Kapten George memegang tepi geladak. Matanya tertuju kepada sebuah kapal yang jauh di depan. Tidaklah terlalu jelas terlihat bagaimana suasana di kapal tersebut, cahaya rembulan belum cukup untuk menerangi setiap bagiannya. Dalam pikiran George, "aku harus melumpuhkan kapal itu, kemudian menculik si gadis sialan!"Namun, apa yang terpikirkan olehnya sudah bisa dipahami oleh awak kapal. Diantara mereka ada yang sudah siap dengan senapan. Beberapa orang pun memegang pedang untuk segera digunakan. "Sekarang!"Perintah tersebut sudah cukup jelas bagi prajuritnya untuk menyalakan sumbu. Dalam beberapa detik kemudian, meriam pun memuntahkan pelurunya hingga melesat keluar dari lambung kapal. Darr!Semuanya bersorak ketika tahu sebutir peluru bulat berbahan logam yang mengenai sasaran. Bukan sasaran yang terlampau sulit bagi meriam Armada Laut Britania tersebut menembus sasaran. Objek peluru hanyalah kapal layar dengan lambung kayu tanpa plat baja atau benda apa pun yang kuat menahan gemp
Sebuah ide yang terdengar sederhana, masuk ke dalam kotak kayu. Namun, bagi Samantha itu tidaklah sederhana. Dia harus mengurung diri dalam peti kayu untuk memuat barang kemudian keluar jika diperintahkan. "Apakah kau yakin jika rencana ini akan berhasil?" pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut gadis itu. "Sejujurnya, aku tidak terlalu yakin jika ini akan berhasil.""Ha? Kau sendiri tidak yakin?" Samantha heran dengan jawaban dari Kapten Sayyid."Jika ada ide lain, silakan bicara. Jika tidak ada, maka kita jalankan rencana ini."Demikianlah percakapan diantara para awak kapal dan penumpang bersama Kapten Sayyid beberapa saat sebelum kapal Liberty menghancurkan lambung kapal Ar-Rihlah. Sejak percakapan tersebut, Samantha masih meragukan keberhasilan dari rencana yang terlontar dari mulut sang kapten kapal. Kini, Samantha telah berada dalam kotak kayu yang semula berisi muatan. Untungnya, dia menggantikan teh kering sehingga hidungnya tidak terlalu asing dengan bau wangi yang di
Samantha saling tatap dengan Iskandar. Tangan kanan pemuda itu bermaksud membuka pintu yang sejajar dengan lantai tersebut. Namun, Samantha memegang tangan Iskandar sambil menggelengkan kepala. Si Pemuda Melayu mengerti akan maksud dari orang di hadapannya. Lain halnya dengan orang yang baru saja tiba. Pemandangan yang tersaji di depan matanya, mungkin tidak sesuai dengan apa yang semula dibayangkannya."Mana dia? Mana si George?" ternyata James sudah berdiri di bawah kusen pintu kabin. Dia menenteng senapan serta tampak bernafsu. "Ssttt!" Samantha meminta James untuk tidak bicara. "Ke mana?" demikian maksud isyarat yang disampaikan James jika diterjemahkan. Dia mengangkat dagu sambil membelalakkan mata. Iskandar memberi isyarat dengan memelototi lantai tepat dimana lentera diletakkan. James agak mengerti.Mereka bertiga pun berkumpul tepat di depan "pintu" yang menghubungkan kabin dengan sebuah ruangan atau sesuatu. Hal yang belum diketahui. Samantha berpikir jika George "merenc
Duel beradu pedang bukan hanya tentang mempertaruhkan nyawa. Samantha pun berusaha meningkatkan harga dirinya di hadapan George. Karena alasan itu pula, sejak awal dia meminta kepada Sayyid agar menjadi orang yang ditugaskan untuk mencari Si Kapten Kapal Liberty kemudian melumpuhkannya. Ketika waktu itu telah tiba, gadis itu benar-benar mempersiapkan diri secara mental dan fisik. Meskipun sempat mengundang kekhawatiran dari James, Samantha bisa membuktikan jika dia memang sanggup menghadapi George. Seorang gadis yang baru tumbuh dewasa harus menghadapi perwira Angkatan Laut Britania berpengalaman. Terkesan tidak berimbang. Untungnya, keadaan sering berpihak kepada mereka yang berpikiran jernih. "Keserakahan telah melemahkan jiwamu, Tuan George." Seraya mengancam George dengan mendekatkan ujung pedang tepat di leher, Samantha menegaskan kenapa komandan pasukan Inggris itu terkesan mudah dikalahkan. "Ha, kau bermaksud menceramahi aku? Kau tahu apa tentang jiwa manusia?"Samantha ter
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k