"Aden nya belum pulang, Non," kata Teti, pekerja di rumah keluarga Aprilio, “mau nunggu di kamar aden saja?”
"Tidak apa-apa Bi, aku tunggu di sini saja," balas Rain dengan ramah.
"Non mau minum apa? Biar Bibi buatkan," tanyanya menawarkan barangkali gadis cantik itu haus atau menginginkan sesuatu.
"Minuman paling sehat pastinya Bi," jawab Rain menjeda perkataannya, "air putih."
Teti langsung mengangguk lalu setelah itu pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan dari sahabat majikannya. Rain mendengkus seraya mengerucutkan bibirnya.
Ya, gadis cantik itu saat ini berniat bercanda, tetapi nyatanya tidak berpengaruh apa-apa pada wanita setengah abad itu.
"Menyebalkan. Sepertinya aku memang tidak berbakat ngelucu." Monolog gadis itu masih memasang wajah kesalnya.
Beberapa menit kemudian Teti sudah kembali dengan membawa segelas air putih dan juga beberapa camilan. Mood gadis itu yang awalnya buruk tiba-tiba kembali baik setelah Teti membawakan camilan kesukaannya. Apa lagi kalau bukan brownis coklat.
Setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih, dalam hitungan detik ia langsung mengeksekusinya sembari menonton acara TV.
"Eh, ada Rain," ujar Dewi, ibunya Samudra yang baru keluar dari kamarnya dengan sebelah tangan menarik koper besar berwana hitam.
"Cari Sam?" tanya Dewi setelahnya.
"Hehe ... iya, Tan." Jawab Rain sembari mengusap tengkuknya yang tertutupi oleh rambut hitam panjangnya.
"Tadi, Sam pamit mau ke Alfa. Katanya mau beli camilan, paling sebentar lagi juga pulang. Kamu tunggu di atas saja," suruh wanita paruh baya tersebut.
"Tidak apa-apa Tan, aku tunggu di sini saja," tolak Rain dengan sopan.
Mana mungkin ia menunggu di kamar pemuda itu. Walaupun mereka telah bersahabat cukup lama bahkan keluarga mereka juga sudah sangat dekat, tetapi baik Rain maupun Samudra sangat pantang melakukannya.
"Ya sudah kalau Rain mau tunggu di sini, tapi maaf ya Tante tidak bisa temani. Tante harus pergi ke Surabaya." Balas Dewi yang sudah siap dengan koper besarnya serta sesekali melirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya.
"Anggap saja rumah sendiri ya, Sayang." Lanjutnya seraya mengusap lembut surai panjang gadis itu yang dibiarkan tergerai.
"Siap Tante." Gadis itu mengangkat tangannya membuat gerakan hormat, kemudian kembali dengan camilan-camilan di depannya.
Karena sudah bosan menunggu, Rain merebahkan tubuh mungilnya di sofa dan dalam hitungan menit ia sudah pergi ke alam bawah sadarnya.
***
“Assalamualaikum, Sam pulang,” ucap pemuda itu seraya berjalan santai ke dalam rumah sembari menjinjing sekresek besar berbagai camilan yang ia beli.
Samudra mendengkus kala tidak ada seorangpun yang menjawab salamnya. Pemuda itu yakin jika ibunya telah berangkat ke Surabaya seperti yang ibunya katakan tempo hari padanya, sedangkan Bi Teti pasti sedang berada di dapur.
“Huh, sudahlah lebih baik aku ke kamar saja,” pikir Samudra.
Namun, saat di ruang keluarga ia melihat televisi menyala dan seseorang yang sudah tertidur di atas sofa.
“cantik,” gumam Samudra seraya memperhatikan bagaimana damainya gadis itu tertidur.
Namun, hanya beberapa detik ia memperhatikannya. Karena setelah itu ia pergi ke atas untuk mengambil sesuatu dan kembali ke bawah setelah menemukan barang yang dicarinya.
“Aku akan membuat karya terbaik di sini,” ucap Samudra menahan agar tidak tertawa saat melakukan aksinya.
Pemuda itu mencoret-coret wajah Rain menggunakan spidol merah dan gadis itu sama sekali tidak menyadarinya.
***
"Selamat pagi Tuan Putri," sapa Samudra memberikan senyuman terbaiknya.
"Ukh … selamat pagi? Ini sudah sore astaga," balas gadis itu masih setengah sadar.
Pemuda itu mendengkus seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Sudah tahu sore kenapa Anda malah tidur?"
"Saya kan menunggu Anda!" Jawab Rain mengikuti gaya bicara pemuda itu kemudian bangun merubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan Samudra.
"Lagi pula pergi ke Alfa saja seperti pergi ke hutan belantara … lama." Protes Rain sembari mengerucutkan bibirnya.
Lagi-lagi pemuda itu hanya mendengkus serta mencondongkan tubuhnya ke arah gadis di sampingnya. "Pasti lagi kesal sama abang kamu kan?" tebaknya.
Gadis itu sama sekali tidak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya diam kemudian sedetik kemudian merebut bingkisan yang ada di tangan pemuda itu dan membuka camilan tersebut lalu memasukannya ke dalam mulutnya.
"Ok, karena kamu diam berarti aku anggap jawabannya iya," putus Samudra.
"Iya. Puas?" jawab sekaligus tanya Rain dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
"Sudah sana pulang! Ini rumah bukan tempat wisata yang bisa menghilangkan bad mood." Timpal Samudra seraya merebut kembali bungkus makanannya.
"Ngusir?" tanya Rain bertambah kesal, tetapi masih mencoba untuk menahannya.
"Iya," jawab Samudra dengan nada datar.
Gadis itu mendengkus sembari menghentakkan kakinya ke lantai. "Sam nyebelin!"
Setelah memastikan gadis itu benar-benar telah pergi, Samudra tertawa terbahak-bahak membayangkan hasil karyanya di wajah gadis itu.
***
Rain pergi dari rumah pemuda itu dengan perasaan marah dan juga kesal. Belum juga kesalnya pada sang kakak hilang kini harus ditambah lagi dengan sikap menyebalkan pemuda itu.
Rain kesal pada kakaknya karena tadi pagi dia meninggalkannya hanya karena Rain terlambat bangun, dan akibat kelakuan sang kakak ia jadi terlambat sekolah serta mendapat hukuman membersihkan perpustakaan yang luasnya seperti dua ruang kelasnya.
"Mbak Rain?" tanya ojol ketika melihat seorang gadis cantik berpenampilan sedikit aneh sedang berdiri di depan gerbang rumah seseorang.
"Iya. Gas, Mas," ujar Rain jutek, lalu langsung mengambil helm dari ojol tersebut serta naik ke atas motor.
"Mbak, maaf, itu mukanya kenapa?" tanya ojol dengan hati-hati.
"Mas bisa langsung jalan saja tidak? Saya sedang tidak mood menjawab pertanyaan Mas nya," balas gadis itu masih saja dengan nada jutek.
Ya, mungkin ini salah satu sifat buruknya. Marah kepada siapapun jika perasaannya sedang buruk.
Di dalam pikirannya Rain hanya ingin cepat sampai rumah lalu diam di dalam kamar, berharap tidak bertemu dengan kakaknya ataupun Samudra.
***
"Mbak," panggil mas ojol setelah mereka sampai ke tempat tujuan.
"Kembaliannya ambil saja," kata Rain hendak masuk ke dalam rumah.
"Eeuuu ... bukan seperti itu Mbak, tapi itu …." Mas ojol menunjuk helm putih yang masih terpasang di kepalanya.
Rain langsung mengikuti arah tunjuk mas ojol tersebut. Setelah menyadari ada sesuatu di atas kepalanya ia langsung berdeham seraya langsung melepaskannya dan buru-buru masuk karena tidak mau malu lebih dalam lagi.
Ternyata keadaan tidak berpihak kepadanya. Baru membuka pintu ia sudah disambut oleh suara tertawa keras Dirgantara, sang kakak.
"Ih sudah gila ya? Diam! Tidak ada yang lucu. Aku masih kesal ya sama Bang Di," ujar Rain memasang wajah galaknya.
"Kamu habis main di TK mana?" tanya pemuda yang dianggil Bang Di, atau lebih tepatnya Dirgantara.
"Apaan sih tidak jelas!" sewot Rain seraya ingin naik ke atas untuk segera masuk ke dalam kamarnya.
"Ya ampun ngegas mulu. Ngaca sana!" Perintah pemuda bertubuh jangkung itu sembari menunjuk cermin dengan dagunya.
Gadis itu memutar bola matanya dengan malas seraya mengikuti perintah dari sang kakak dan saat pantulan wajahnya terlihat di cermin, mata Rain membulat sempurna ketika melihat wajah cantiknya penuh dengan coretan abstrak.
Rain langsung tahu siapa yang melakukan ini padanya. Dan dugaannya tepat sekali ketika ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Rain mengeceknya dan tertulis nama Samudra di sana.
Sam si jail |18:00
Gimana mahakaryaku? Bagus kan?
Melihat ekspresi sang adik, Dirgantara langsung memundurkan langkahnya untuk melindungi gendang telinganya.
“Satu … dua … tiga,” hitung pemuda itu.
"Samudra!" Teriak Rain kepada ponsel malangnya yang tidak bersalah karena harus menjadi pelampiasan kemarahan gadis cantik itu.
Jam istirahat telah berbunyi, semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kelas gebetan, ada yang memilih pergi ke perpustakaan, ada yang memilih bergosip di kelas serta 90 persen pergi ke kantin untuk menenangkan cacing-cacing yang sudah berdemo di dalam perut, dan itu yang Nature Squad lakukan setiap jam istirahat." Bu, baksonya 5, es teh manisnya 5 jangan pakai es." Samudra sedang memesankan menu untuknya dan juga teman-temannya. "Maksudnya gimana?" tanya ibu kantin dengan ekspresi bingungnya. "Hmm sudah Bu, bakso sama teh manisnya 5," balas Bintang membenarkan pesanannya. Setelah mengerti dengan apa yang dipesan ibu kantin itu langsung pergi untuk membuatkan pesanan mereka. "Astaga parah banget ibu kantin saja dikerjain," lanjutnya, sedangkan Samudra hanya tertawa seperti biasanya. Ya, pemuda itu memang paling ceria dan seperti tidak memiliki beban hidup. Tampan, kaya, memiliki keluarga yang sangat
"Pekan depan Bintang diundang untuk mengisi acara di kafé Kenanga. Mama sama Papa datang, kan?" tanya Bintang kepada orang tuanya. "Pasti. Papa pasti datang dong," jawab Bram, ayahnya. "Mama datang, kan?" tanya Bintang pada ibunya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, tidak memedulikan perbincangan antara suami dan anak laki-laki yang kini sedang menunggu jawaban darinya. "Bima, kamu dari mana saja? Apa kamu tidak melihat jam? Ini sudah larut malam," tanya Bram marah ketika melihat anak sulungnya baru pulang seraya menenteng jaket kulitnya. "Biasalah Pa, anak muda," jawab putra sulungnya itu dengan santai. "Kamu ini--" "Sudah sekarang kamu pergi mandi, ya," suruh Rita memotong ucapan suaminya. Wanita paruh baya itu selalu menjadi tameng untuk membela si sulung. "Bima! Papa belum selesai bicara," geram Bram ketika putra sulungnya malah naik ke atas. "Sudahlah Mas, Bima juga baru saja pulang," lerai sang istri.
Sudah menjadi rutinitas setiap jam istirahat anak-anak Nature Squad selalu berkumpul di kantin untuk berbagi cerita selama di kelas atau hanya sekadar untuk menyusun rencana sepulang sekolah. Sama halnya dengan hari ini, mereka berkumpul untuk membahas rencana selepas pulang sekolah nanti. "Nanti siang kumpul di rumahku, ok," ucap Dirgantara memulai pembicaraan. "Bahas apa nih? Jahat banget gak ngajak," kata Samudra yang entah muncul dari mana. "Ngapain ke sini?" tanya Bintang dengan ketus. "Ya ampun kalian masih marah?" Tanya pemuda itu seraya menempelkan kedua tangannya di pipi mulusnya serta memasang ekspresi sok terkejut. "Iya deh,sorry.” Lanjutnya seraya menatap satu persatu sahabatnya lalu menempelkan telapak tangannya, membuat gerakan seperti menyembah. "Dir," panggil Samudra. "Apa?" tanya Dirgantara masih bernada ketus. "Sorry," ucap Samudra dengan tulus. "hhh, Iya," jawab Dirgantara walaup
Haha ... Dirgantara tertawa ngakak melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh dengan jepitan jemuran, sementara yang ditertawakan hanya mendengkus kesal. "Puas banget ketawanya, Bang Di," ujar Rain dari arah dapur. "Camilan hari ini bakso goreng ala Rain dan Sarah," lanjutnya sangat bangga dengan kreasi yang ia buat kali ini. Setelah menaruh piring dan gelas-gelas itu di meja, tawa Rain langsung menggelegar kala melihat wajah kedua sahabatnya yang sudah penuh dengan jepitan. Baik Samudra maupun Bintang hanya bisa mendengkus kesal menerima kekalahan. "Mainnya sudah dulu, sekarang ayo makan," perintah Rain sudah seperti seorang ibu yang mengingatkan anak-anaknya yang keasyikan bermain. Bintang membuang napasnya dengan sangat keras seraya melepaskan jepitan-jepitan yang masih menempel di wajahnya, begitupun dengan Samudra. Namun, pemuda itu dikejutkan dengan pergerakan Rain yang tiba-tiba duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan
Baskara benar-benar terpukul dengan meninggalnya nenek tercinta, apalagi ia tidak diijinkan untuk sekadar mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya. "Babas." Panggil Wina mengetuk pintu kokoh tersebut, "ada teman-teman kamu datang." "Gimana?" tanya Bintang berbisik karena tidak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya yang terus mengurung diri di dalam kamar. "Dari semalam dia belum keluar-keluar kamar," jawab Wina tampak sangat khawatir dengan kondisi pemuda itu. "Babas." Kini Rain yang mencoba memanggilnya, tetapi hasilnya tetap sama, pemuda itu tidak mau keluar dari kamarnya bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. "Bas, kamu harus makan, nanti kamu sakit." Wina kembali mengetuk pintu kamar dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya. "Bas buka! Kamu tidak sendiri. Ada kita-kita yang selalu siap menjadi sandaran buatmu," seru Angkasa berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dia tidak sendiri. Sedangkan kondisi di dala
Sarah langsung pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar sepupunya masuk rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya saat manik matanya melihat tantenya yang sedang duduk di depan ruang ICU. "Tante, Sam kenapa?" tanya Sarah. "Dia habis menerima panggilan dari Rain, tiba-tiba--" Wanita paruh baya itu bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Sa, Tante takut." Lanjutnya diiringi dengan isak tangis yang kembali pecah. Gadis itu hanya memeluk wanita itu untuk memberikannya kekuatan. Dewi langsung menghampiri Dokter Leon yang baru saja keluar dari ruang ICU, dia adalah dokter yang menangani Samudra selama ini, sekaligus kakak dari Sarah. Jadi, mereka masih satu keluarga besar. "Kondisinya masih sangat lemah dan belum sadarkan diri, tapi Tante jangan khawatir, Sam laki-laki yang kuat, dia tidak akan kalah hanya karena ini," tutur Dokter Leon menenangkan wanita yang sedang dilanda kecemasan itu. *** Baskara sudah di pindahkan ke rua
Keadaan Samudra sudah mulai membaik. Oleh karenanya pemuda itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. "Sayang, yakin mau sekolah hari ini?" tanya Dewi khawatir ketika melihat putranya sudah siap dengan seragam sekolahnya. "Iya, Sam sudah ketinggalan banyak pelajaran Bun," jawabnya, "kalau kelamaan tidak masuk, nanti Sam jadi bodoh." Jujur, dia sangat merindukan para sahabatnya. Selama hampir satu minggu tidak mendengar dan tidak melihat kekonyolan mereka rasanya ada yang kurang. Pemuda itu juga rindu mengendarai motor kesayangannya. "Ya sudah, tunggu, Bunda bawa kunci mobil dulu." Pinta Dewi hendak mengambil kunci mobil yang tergantung di tempatnya. "Eh, mau ngapain?" tanya Samudra mengernyitkan kening. "Bunda mau antar kamu lah, apa lagi," jawab wanita itu gemas dengan sikap Samudra yang terlihat menggemaskan. "Jangan mulai Bun. Sam tidak suka Bunda memperlakukan Sam seperti anak kecil seperti ini." Pemuda itu mengerucutkan b
"Selamat siang anak-anak," sapa Bu Mita, guru Seni Budaya. "Siang, Bu," jawab mereka serempak. "Baik, materi kali ini tentang seni peran. Hari ini Ibu akan membagi kelompok, satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga orang--" "Kelompoknya bebas atau ditentukan sama Ibu?" potong salah satu siswa di kelas XI IPA 1. Bu Mita mendengkus seraya menatap siswa yang memotong ucapannya itu, kesal karena sudah memotong perkataannya saat beliau masih menjelaskan. "Makanya jika Ibu sedang bicara jangan dulu disela. Untuk anggotanya Ibu yang akan menentukan. Di kotak ini sudah ada nomor kelompok, silakan kalian pilih dan bagi siapapun yang nomornya di panggil harap ke depan," jelas Bu Mita kembali serius. "Semoga aku bisa satu kelompok dengan Bintang," harap beberapa siswa di sana. Sementara para siswinya berharap bisa satu kelompok dengan Samudra, siswa yang dijuluki sebagaimostwantedsekolah. "Semoga sama bebeb Sam
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut