Sudah menjadi rutinitas setiap jam istirahat anak-anak Nature Squad selalu berkumpul di kantin untuk berbagi cerita selama di kelas atau hanya sekadar untuk menyusun rencana sepulang sekolah.
Sama halnya dengan hari ini, mereka berkumpul untuk membahas rencana selepas pulang sekolah nanti.
"Nanti siang kumpul di rumahku, ok," ucap Dirgantara memulai pembicaraan.
"Bahas apa nih? Jahat banget gak ngajak," kata Samudra yang entah muncul dari mana.
"Ngapain ke sini?" tanya Bintang dengan ketus.
"Ya ampun kalian masih marah?" Tanya pemuda itu seraya menempelkan kedua tangannya di pipi mulusnya serta memasang ekspresi sok terkejut.
"Iya deh, sorry.” Lanjutnya seraya menatap satu persatu sahabatnya lalu menempelkan telapak tangannya, membuat gerakan seperti menyembah.
"Dir," panggil Samudra.
"Apa?" tanya Dirgantara masih bernada ketus.
"Sorry," ucap Samudra dengan tulus.
"hhh, Iya," jawab Dirgantara walaupun masih sedikit kesal.
Lalu ia beralih ke sahabat-sahabatnya yang lain dan melakukan hal yang sama.
"Angka," panggil Samudra.
"Huh! Ok," balas Angkasa tidak ingin memperpanjang masalah.
"Bintang," panggil Samudra kini pada sahabat sekaligus teman sebangkunya.
"Lihat nanti deh," timpal Bintang masih bernada ketus dan dingin.
Bercandaan pemuda itu memang sangat keterlaluan.
Berpura-pura pingsan, membuat semua orang panik. Sehingga Bintang ingin memberinya sedikit pelajaran agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.
"Bintang." Samudra menempelkan telapak tangannya seraya mengerucutkan bibir, "maaf."
Bintang mendengkus dan sedikit tidak tega melihat Samudra terus memohon padanya. Akhirnya ia mau memaafkannya meski masih sedikit kesal dan terdengar tidak ikhlas.
"Iya. Puas?”
Samudra tersenyum lebar. "Nah, gitu dong."
Kini pemuda itu beralih ke sahabatnya yang galaknya melebihi emak-emak yang tidak mau disalahkan gara-gara membuat jatuh pengendara lain karena naik motor saat memberi sein kiri tapi belok ke kanan.
"Babas," panggilnya dengan suara di imut-imutkan seperti perempuan.
"Aku akan kasih maaf kalau kamu sudahku tonjok," balas pemuda itu sedatar dan dingin seperti biasanya.
Samudra menelan Salivanya. "Ngeri Bos."
Tidak ingin berlama-lama memaksa Baskara, kini Samudra harus meminta maaf kepada orang yang telah ia buat khawatir setengah mati, gadis yang kini hanya menundukkan kepalanya dan tidak berbicara sepatah katapun saat ia datang.
"Rain," panggil Samudra, kini nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Bukannya menjawab, gadis itu malah langsung beranjak pergi dari sana sedangkan Samudra hanya diam melihat kepergiannya.
Mungkin pemuda itu masih sedikit syok dengan respon dari sahabat cantiknya itu.
"Ngapain masih di sini? Kejar sana!" perintah Dirgantara.
Samudra mengangguk dan langsung berdiri serta mengejar Rain yang terus melangkahkan kakinya menjauh darinya.
"Rain!" Panggil Samudra seraya memegang tangan gadis itu agar tidak terus berjalan menjauhinya.
"Lepas!" Berontaknya.
Samudra sedikit tertegun kala melihat mata gadis itu berkaca-kaca.
"Apa dia menangis?" pikirnya, tetapi ia mencoba untuk mengabaikannya dan terus membujuknya agar Rain memaafkannya.
Jujur saja diabaikan olehnya membuat Samudra uring-uringan dan tidak memiliki semangat bahkan sekadar menarik bibirnya.
"Ayolah kemarin aku hanya bercanda, masa kamu tidak mau memaafkan sahabat tampanmu ini?"
Lagi-lagi pemuda itu mengerucutkan bibirnya, manik matanya mengisyaratkan bahwa dia benar-benar menyesal dengan perbuatannya tempo hari.
Rain mendongakkan kepalanya untuk menatap ke dalam matanya. Samudra bisa melihat gadis itu benar-benar sedang marah sekarang.
"Kamu bilang bercanda?" tanya Rain dengan nada yang cukup tinggi.
"Kita sudah panik dan kamu bilang cuma bercanda? Otak kamu di mana? Hah!" Gadis itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran pemuda itu.
Samudra kembali tertegun, ia tidak menyangka gadis itu akan semarah ini padanya.
"Itu tidak lucu Sam." Suara gadis itu bergetar menahan tangis dan emosi yang sedari tadi ditahannya.
Samudra tidak sanggup melihat air mata itu. Ia langsung menarik Rain ke dalam dekapannya seraya mengusap surai panjang berwarna hitam milik gadis itu.
"Sorry."
Hanya kata itu yang dapat diucapkan Samudra. Dia benar-benar menyesali perbuatan bodohnya.
"Hiks ... kamu jahat!" Racaunya seraya memukul dada pemuda itu dengan cukup kuat.
***
“Sam, kamu lupa rumahku atau gimana?” tanya Rain setengah bercanda. “kok lama.”
Sedangkan yang ditanya hanya menyipitkan matanya dan memperlihatkan barisan gigi putihnya.
"Aku bawa Sarah tidak apa-apa kan?" tanya Samudra.
Di belakangnya sudah berdiri seorang gadis yang seusia mereka.
Seperti yang di rencanakan tadi, kini mereka sedang berada di rumah Dirgantara dan Rain.
"Dia siapa?" Tanya Rain menunjuk Sarah dengan dagunya.
Dirgantara menyenggol siku adiknya. "Yang sopan sama tamu."
Gadis itu sama sekali tidak mengindahkan teguran kakaknya. Hatinya tiba-tiba panas melihat Samudra membawa gadis lain.
Entahlah perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini, ia pun tidak tahu.
"Perkenalkan aku Sarah, Sepupunya Sam," ujar gadis itu memperkenalkan diri.
Rain tersenyum. "Rain," jawabnya.
Entah kenapa hatinya langsung merasa lega setelah gadis itu mengenalkan diri sebagai sepupu pemuda itu.
"Sarah, ikut aku yuk!" ajak Rain.
Gadis itu mengangguk seraya mengekor dari belakang.
"Jangan jahilin dia!" teriak Samudra karena jarak mereka yang cukup jauh.
Rain menoleh dan ikut berteriak. "Aku bukan kamu."
Pppttt... HAHA! Kedua pemuda lainnya menyemburkan tawanya sedangkan Samudra hanya bisa mendengkus kesal.
"Main apa nih?" tanya Bintang setelah lelah tertawa.
"Berhubung kalau Basket si Sam pasti akan kabur lagi, gimana kalau kita main kartu?" saran Dirgantara, sang pemilik rumah.
"Tidak boleh! Dosa," sahut Samudra menirukan para Ustadz yang pernah ia tonton bersama ibunya di televisi.
Baik Dirgantara maupun Bintang sama-sama memutar bola matanya malas.
"Ini tidak pakai uang, PEA! Yang kalah hukumannya di jepit pakai jepit jemuran," sergah Dirgantara mengerti arah pikiran satu sahabatnya itu.
"Oh, bilang dong. Kalau itu ayo." Samudra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Si Babas sama si Angka ke mana?" tanya Bintang baru sadar kalau jumlah mereka tidak lengkap.
"Si Angka katanya lagi ada urusan, kalau si Babas aku tidak tahu dia ke mana." Jawab Dirgantara mulai mengocok kartu-kartu yang akan dimainkannya.
"Hobi menghilangnya sedang kumat kali," timpal Samudra.
"Bisa jadi." Kini mereka setuju dengan pendapat pemuda itu. Mengingat memang Baskara sering sekali muncul dan pergi secara tiba-tiba seperti ... hantu.
***
"Kamu sekolah di mana? sepertinya wajah kamu agak familiar," Tanya Rain sekaligus berpendapat seraya memanaskan minyak goreng. Ia berencana membuat bakso goreng untuk camilan kali ini.
"Aku satu sekolah dengan kalian kok, cuma semester kemarin aku ikut pertukaran pelajar ke Singapura," jawabnya sbari memperhatikan cara gadis itu memasak.
"Sepertinya Rain cocok dengannya," pikir Sarah dalam hati.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Sarah setelah bergulum dengan pikirannya.
"Mmm, tidak usah, sebentar lagi juga selesai," kata Rain.
"Kamu berteman sama Angka juga?" tanya gadis itu, membuat Rain menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Tahu Angka juga? Iya kita berteman sudah sekitar satu tahun," jawabnya. Lalu mengambil piring dan membuat saus untuk cocolannya.
"Dia teman sekelas aku," lanjut Sarah dengan santai berbeda dengan respon yang ditunjukkan Rain.
"Berarti kamu kakak kelas aku dong? Aduh sorry Kak." Gadis itu sekarang benar-benar merasa tidak sopan karena bersikap sok akrab pada kakak kelasnya.
"Ih, Jangan panggil Kak! Panggil Sarah saja seperti tadi. Aku tidak gila hormat kok." Sarah berjalan ke arahnya untuk melihat Rain menuangkan saus.
Ia memperhatikan Rain yang sekarang sedang menuangkan susu putih untuk lima orang dan menuangkan segelas susu yang berbeda.
"Kamu sudah kenal Sam lama?" tanya Sarah lagi. Sepertinya gadis itu sangat tertarik untuk membahas sepupu tampannya itu.
"Dua tahun." Jawab Rain seraya menuangkan segelas susu kedelai.
"Mmm, pantas saja." Balas Sarah seraya menyilangkan tangannya di dada serta memperhatikan Rain yang sedang fokus dengan pekerjaannya, "sabar-sabar ya sama sifat jahilnya."
"Sudah kebal," timpal Rain.
Kemudian mereka saling tertawa.
Pemuda itu memang selalu menjadi topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas.
Haha ... Dirgantara tertawa ngakak melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh dengan jepitan jemuran, sementara yang ditertawakan hanya mendengkus kesal. "Puas banget ketawanya, Bang Di," ujar Rain dari arah dapur. "Camilan hari ini bakso goreng ala Rain dan Sarah," lanjutnya sangat bangga dengan kreasi yang ia buat kali ini. Setelah menaruh piring dan gelas-gelas itu di meja, tawa Rain langsung menggelegar kala melihat wajah kedua sahabatnya yang sudah penuh dengan jepitan. Baik Samudra maupun Bintang hanya bisa mendengkus kesal menerima kekalahan. "Mainnya sudah dulu, sekarang ayo makan," perintah Rain sudah seperti seorang ibu yang mengingatkan anak-anaknya yang keasyikan bermain. Bintang membuang napasnya dengan sangat keras seraya melepaskan jepitan-jepitan yang masih menempel di wajahnya, begitupun dengan Samudra. Namun, pemuda itu dikejutkan dengan pergerakan Rain yang tiba-tiba duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan
Baskara benar-benar terpukul dengan meninggalnya nenek tercinta, apalagi ia tidak diijinkan untuk sekadar mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya. "Babas." Panggil Wina mengetuk pintu kokoh tersebut, "ada teman-teman kamu datang." "Gimana?" tanya Bintang berbisik karena tidak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya yang terus mengurung diri di dalam kamar. "Dari semalam dia belum keluar-keluar kamar," jawab Wina tampak sangat khawatir dengan kondisi pemuda itu. "Babas." Kini Rain yang mencoba memanggilnya, tetapi hasilnya tetap sama, pemuda itu tidak mau keluar dari kamarnya bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. "Bas, kamu harus makan, nanti kamu sakit." Wina kembali mengetuk pintu kamar dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya. "Bas buka! Kamu tidak sendiri. Ada kita-kita yang selalu siap menjadi sandaran buatmu," seru Angkasa berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dia tidak sendiri. Sedangkan kondisi di dala
Sarah langsung pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar sepupunya masuk rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya saat manik matanya melihat tantenya yang sedang duduk di depan ruang ICU. "Tante, Sam kenapa?" tanya Sarah. "Dia habis menerima panggilan dari Rain, tiba-tiba--" Wanita paruh baya itu bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Sa, Tante takut." Lanjutnya diiringi dengan isak tangis yang kembali pecah. Gadis itu hanya memeluk wanita itu untuk memberikannya kekuatan. Dewi langsung menghampiri Dokter Leon yang baru saja keluar dari ruang ICU, dia adalah dokter yang menangani Samudra selama ini, sekaligus kakak dari Sarah. Jadi, mereka masih satu keluarga besar. "Kondisinya masih sangat lemah dan belum sadarkan diri, tapi Tante jangan khawatir, Sam laki-laki yang kuat, dia tidak akan kalah hanya karena ini," tutur Dokter Leon menenangkan wanita yang sedang dilanda kecemasan itu. *** Baskara sudah di pindahkan ke rua
Keadaan Samudra sudah mulai membaik. Oleh karenanya pemuda itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. "Sayang, yakin mau sekolah hari ini?" tanya Dewi khawatir ketika melihat putranya sudah siap dengan seragam sekolahnya. "Iya, Sam sudah ketinggalan banyak pelajaran Bun," jawabnya, "kalau kelamaan tidak masuk, nanti Sam jadi bodoh." Jujur, dia sangat merindukan para sahabatnya. Selama hampir satu minggu tidak mendengar dan tidak melihat kekonyolan mereka rasanya ada yang kurang. Pemuda itu juga rindu mengendarai motor kesayangannya. "Ya sudah, tunggu, Bunda bawa kunci mobil dulu." Pinta Dewi hendak mengambil kunci mobil yang tergantung di tempatnya. "Eh, mau ngapain?" tanya Samudra mengernyitkan kening. "Bunda mau antar kamu lah, apa lagi," jawab wanita itu gemas dengan sikap Samudra yang terlihat menggemaskan. "Jangan mulai Bun. Sam tidak suka Bunda memperlakukan Sam seperti anak kecil seperti ini." Pemuda itu mengerucutkan b
"Selamat siang anak-anak," sapa Bu Mita, guru Seni Budaya. "Siang, Bu," jawab mereka serempak. "Baik, materi kali ini tentang seni peran. Hari ini Ibu akan membagi kelompok, satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga orang--" "Kelompoknya bebas atau ditentukan sama Ibu?" potong salah satu siswa di kelas XI IPA 1. Bu Mita mendengkus seraya menatap siswa yang memotong ucapannya itu, kesal karena sudah memotong perkataannya saat beliau masih menjelaskan. "Makanya jika Ibu sedang bicara jangan dulu disela. Untuk anggotanya Ibu yang akan menentukan. Di kotak ini sudah ada nomor kelompok, silakan kalian pilih dan bagi siapapun yang nomornya di panggil harap ke depan," jelas Bu Mita kembali serius. "Semoga aku bisa satu kelompok dengan Bintang," harap beberapa siswa di sana. Sementara para siswinya berharap bisa satu kelompok dengan Samudra, siswa yang dijuluki sebagaimostwantedsekolah. "Semoga sama bebeb Sam
"Angka, tunggu!" Teriak Sarah sedikit berlari untuk mengejarnya sampai ke dekat parkiran. "Angkasa!" panggilnya lagi dengan penekanan berharap pemuda itu berhenti. "Apa?" sahut Angkasa sedater dan sedingin mungkin. "Kamu aneh," ujar gadis itu membuat pemuda itu menaikkan sebelah alisnya. “Maksudmu?” tanya pemuda itu. Kenapa kamu tidak pernah peka? Aku tuh suka sama kamu, Angka. Gadis itu mengerjap beberapa kali. "Ya, aneh. Kamu kan marahnya sama Sam, kenapa aku juga kena?" "Padahal, aku ingin ngobrol sama kamu seperti dulu, tapi kamu malah seperti ini." Protesnya seraya mengerucutkan bibirnya seperti anak bebek. Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. Mungkin lebih baik ia jujur saja pada gadis di depannya ini. Berbohong juga tidak ada gunanya, pikirnya. "Karena kamu terus saja membelanya, terus pakai bentak aku segala lagi," jawab Angkasa dengan sangat jujur. Kening
Setelah sampai rumah, pemuda itu langsung masuk ke dalam kamarnya. Menjatuhkan tubuhnya lelahnya ke atas tempat tidur kemudian kembali terperanjat lalu duduk di sisian ranjang. "Si Sam ngeselin banget sumpah. Dia tidak merasa bersalah sedikitpun." Mulut Bintang terus berkomat-kamit mengeluarkan kekesalannya pada orang yang bahkan tidak sedang bersamanya. "Kenapa lagi?" tanya Bima yang entah masuk sejak kapan. "Astaga Kak membuat kaget saja." Bintang menepuk-nepuk dadanya yang berdebar karena terkejut dengan kedatangan sang kakak yang tiba-tiba. Rasanya dia ingin mencubit ginjal pemuda yang kini sudah duduk di sampingnya. "Mama?" tebak Bima karena biasanya ibunyalah yang membuat mood adiknya berantakan. "Bukan." Jawab Bintang kembali membaringkan tubuh lelahnya. "Terus?" tanya Bima mulai penasaran. "Kepo," timpal Bintang enggan untuk menjawab. Bima berdecak seraya ikut berbaring di tempat tidur adiknya. "Lah, aku ini kak
Tok! Tok! Bianca mengetuk pintu ruangan kerja ayahnya beberapa kali. "Masuk," perintah seseorang dari dalam. "Bianca? Ya ampun Sayang kenapa tidak bilang kalau mau pulang," senang Nugroho karena putri keduanya telah kembali. "Bi mau bicara serius sama Ayah," kata wanita muda itu tidak mengindahkan perkataan ayahnya. Ia tidak suka berbasa-basi. "Bagaimana sekolah kamu di London? Pasti seru banget sampai lupa rumah. Anak Ayah makin cantik saja," Nugroho mengalihkan pembicaraan. Pria itu tahu putri keduanya itu akan membahas ap ajika sudah menatapnya dengan serius seperti ini. "Ayah, Bi mau bicara serius," kekeh Bianca tidak peduli dengan semua pujian yang diberikan oleh sang ayah. Pria dewasa itu mendengkus dan mau tidak mau menurutinya. "Ya sudah, mau bicara apa?" tanyanya. "Ini tentang Babas," jawabnya. Nugroho langsung tersulut emosi ketika nama Baskara disebut, seakan sebuah bakteri jahat yang harus ia jauhi sejauh-ja
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut