"Selamat siang anak-anak," sapa Bu Mita, guru Seni Budaya.
"Siang, Bu," jawab mereka serempak.
"Baik, materi kali ini tentang seni peran. Hari ini Ibu akan membagi kelompok, satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga orang--"
"Kelompoknya bebas atau ditentukan sama Ibu?" potong salah satu siswa di kelas XI IPA 1.
Bu Mita mendengkus seraya menatap siswa yang memotong ucapannya itu, kesal karena sudah memotong perkataannya saat beliau masih menjelaskan.
"Makanya jika Ibu sedang bicara jangan dulu disela. Untuk anggotanya Ibu yang akan menentukan. Di kotak ini sudah ada nomor kelompok, silakan kalian pilih dan bagi siapapun yang nomornya di panggil harap ke depan," jelas Bu Mita kembali serius.
"Semoga aku bisa satu kelompok dengan Bintang," harap beberapa siswa di sana.
Sementara para siswinya berharap bisa satu kelompok dengan Samudra, siswa yang dijuluki sebagai most wanted sekolah.
"Semoga sama bebeb Sam." Harap siswi-siswi itu disertai dengan gerakan-gerakan centilnya
"Huh!" Mereka disoraki oleh semua siswa yang ada di kelas itu.
"Sudah! Sudah! Mari kita mulai," lerai Bu Mita, setelah itu murid-muridnya mulai maju ke depan untuk mengambil nomor undian.
"Tiga," panggil Bu Mita secara acak.
Sudah banyak yang maju, mereka yang belum terpanggil merasa senang sekaligus deg-degan. Bukan karena apa, tetapi karena dua orang yang mereka harapkan belum juga terpanggil.
"Delapan," panggil Bu Mita lagi.
Bintang berdiri kemudian maju untuk menunjukan nomor yang ia pegang. Namun, tidak ada yang menyusul, semuanya terheran-heran.
"Kok sendirian?" heran mereka semua karena tidak ada lagi yang maju selain pemuda terpintar di kelas mereka itu.
"Nomor delapan," panggil Bu Mita untuk kedua kalinya.
Mereka tersentak ketika melihat siapa yang berdiri dari kursinya. Mereka semua mulai bertanya-tanya siapakah orang beruntung yang akan masuk ke kelompok dua pemuda terkenal itu.
Sudah tampan-tampan otaknya juga cerdas. Itulah isi kepala para siswa-siswi di sana terhadap Bintang dan juga Samudra.
Bu Mita kembali memanggil nomor selanjutnya sampai semuanya kebagian kelompok.
"Bu, mereka kok cuma berdua?" protes salah satu siswi.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Bu Mita dengan tatapan tajamnya.
"Ya tidak sih Bu, tapi--"
"Baiklah, jika tidak ada yang mau ditanyakan lagi pembelajaran kali ini Ibu cukupkan, terima--"
"Iya, kenapa Bintang?" tanya Bu Mita ketika melihat salah satu siswanya mengacungkan tangan.
"Saya mau bertukar kelompok Bu," tutur Bintang tanpa menoleh kiri-kanan.
"Loh kenapa? bukankah kalian berteman baik? Jadi tidak akan menjadi sebuah masalah bukan?" tanya Bu Mita merasa sedikit aneh.
Pemuda itu terdiam, bingung harus memberi alibi apa. Sementara teman-temannya mulai berbisik-bisik tentang hubungan dua siswa tampan itu.
Ya, sudah pasti mereka sedang ada masalah sehingga tidak ingin satu kelompok.
"Sudah, pokoknya kelompok tadi tidak dapat diubah lagi. Ibu tidak peduli kalian sedang ada masalah apa, yang jelas jangan membawa masalah pribadi kalian ke sekolah," ingat Bu Mita kepada Bintang dan Samudra.
***
Selama perjalanan ke perpustakaan, baik Sarah maupun Angkasa tidak berbicara sepatah katapun. Mereka seperti orang asing yang hanya melaksanakan perintah dari guru untuk membawa buku paket.
"Semuanya tiga puluh buku, ya," ujar penjaga perpustakaan.
"Silakan tanda tangan dulu." Lanjutnya menyodorkan sebuah buku besar yang di dalamnya terdapat banyak tanda tangan dari siswa-siswi maupun guru yang meminjam buku.
Angkasa yang menandatanganinya kemudian mengambil setengah dari buku paket yang mereka pinjam.
Sedari tadi, Sarah masih sibuk menata buku yang akan ia bawa. Maklum, untuk seorang perempuan membawa buku sebanyak itu cukup merepotkan dan membutuhkan tenaga.
Angkasa kembali dan tanpa basa basi dia membawa kembali lima buku paket bagian Sarah lalu segera pergi dari sana meninggalkan gadis itu yang masih terkejut dengan sikap manisnya.
Senyum gadis itu merekah. "Dia lucu jika sedang marah seperti ini."
Mereka berjalan beriringan, Angkasa yang berada di depan membawa dua puluh paket buku dan sisanya dibawa oleh Sarah.
***
"Terima kasih Angka, Sarah," kata Bu Rere, guru Sejarah.
"Oh iya, Angka, Ibu dengar Babas masuk rumah sakit. Apa itu benar?" tanyanya. Angkasa hanya menganggukan kepalanya membenarkan.
"Dia sakit apa?" tanya Bu Rere lagi.
"Hanya sakit biasa saja, Bu," jawab Angkasa dengan sopan.
"Ya sudah, kalian silakan kembali ke tempat duduk masing-masing." Perintah Bu Rere lalu mulai mengabsen para siswa-siswinya.
"Baik, sekarang Ibu akan menjelaskan materi tentang berdirinya bangsa Indonesia," tuturnya.
“Negara Nusantara kita ini merupakan sebuah negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa banyaknya. Indonesia terletak di antara tanah besar Asia Tenggara dan Australia dan diantara Samudera Hindia dan Samudra Pasifik. Ada beberapa era sebelum Indonesia merdeka seperti sekarang, yang pertama adalah era pra kolonial atau biasa disebut sebagai era sebelum penjajah datang. Pada era ini banyak sekali kerajaan. Sebut saja kerajaan Hindu Budha, kerajaan Islam dan kerajaan-kerajaan lainnya. Kedua adalah era penjajahan kolonial. Karena Indonesia telah dikenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah yang bermula dari Malaka, bangsa Eropa mulai berbondong-bondong datang ke Indonesia yang saat itu masih bernama Nusantara untuk mengambil rempah-rempahnya. Sebut saja negara Portugis, Belanda, dan Jepang yang merupakan negara Asia ….”
Bu Rere mulai menjelaskan awal mula berdirinya Bangsa Indonesia. Mulai dari jaman kerajaan, lalu dijajah oleh Belanda dan Jepang, berdirinya VOC, sampai Indonesia bisa merdeka.
“PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia melantik Soekarno sebagai presiden pada tanggal 18 Agustus 1945 dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dengan menggunakan konstitusi yang telah dirancang. Kemudian tata letak dibentuk berupa KNIP atau Komite Nasional Indonesia Pusat hingga pemilu dapat dilaksanakan. Pada tanggal 31 Agustus, pemerintahan baru dideklarasikan dan menghendaki Republik Indonesia terdiri dari 8 provinsi yaitu, Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Sejak saat itu Indonesia telah merdeka dan terus berkembang negaranya hingga sekarang menjadi tanah air bangsa dan negara.” pungkas Bu Rere menjelaskan materinya yang telah ia baca dari buku juga internet.
"Jadi itulah Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia telah merdeka serta terus berkembang negaranya hingga sekarang menjadi tanah air bangsa dan negara," pungkasnya.
Mereka sudah mendengar ini beratus-ratus kali. Materi ini selalu dijelaskan saat mereka duduk dibangku sekolah dasar. Nmaun, anehnya mereka tidak pernah hafal.
"Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Bu Rere setelah berbicara panjang lebar.
Angkasa mengacungkan tangan. "Bu, kenapa kita harus mengetahui sejarah? Menurut saya itu hanya akan mengingat masa-masa penderitaan pada jaman itu."
Bu Rere mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan pertanyaan dari salah satu siswanya yang cukup menarik untuk dibahas.
"Baik, sebelum Ibu yang menjawab barangkali ada yang mau memberikan tanggapannya?" tanya Bu Rere lagi.
Kini giliran Sarah yang mengacungkan tangan. "Izin memberi pendapat, menurut saya karena sejarah itu sangatlah penting. Kita tidak akan bisa berdiri di titik ini tanpa adanya sejarah. Mungkin yang dikatakan Angka memang benar, bahwa dengan mempelajari sejarah kita akan selalu diingatkan pada cerita kelam bangsa ini yang menyakitkan hati siapaupn yang mendengarnya. Namun, dengan tahu sejarah, kita akan lebih mencintai, menjaga dan membela negeri ini, bukan? Karena para pahlawan berjuang mati-matiin hanya untuk memerdekakan negeri tercinta ini. Maka dari itu kenapa pentingnya kita sebagai generasi muda mengetahui akan sejarah. Jika bukan kita lantas siapa yang akan menjagi negeri ini sedangkan para pahlawan telah lama gugur?"
Bu Rere tersenyum bangga akan tanggapan siswinya itu. Dia memang tidak salah mengikut sertakan gadis itu untuk pertukaran pelajaran tahun lalu.
"Ya, benar kata Sarah, kalian sebagai generasi muda harus dapat mencintai, menjaga dan melindungi negeri tercinta ini. Karena jika penerus bangsanya saja tidak tahu akan sejarah negeri sendiri bagaimana mereka akan mencintai negerinya? Terima kasih Sarah atas tanggapannya."
"Baik, jika tidak ada yang mau ditanyakan lagi pelajaran hari ini Ibu cukupkan," ucap Bu Rere mengakhiri pembelajaran.
"Angka, tunggu!" Teriak Sarah sedikit berlari untuk mengejarnya sampai ke dekat parkiran. "Angkasa!" panggilnya lagi dengan penekanan berharap pemuda itu berhenti. "Apa?" sahut Angkasa sedater dan sedingin mungkin. "Kamu aneh," ujar gadis itu membuat pemuda itu menaikkan sebelah alisnya. “Maksudmu?” tanya pemuda itu. Kenapa kamu tidak pernah peka? Aku tuh suka sama kamu, Angka. Gadis itu mengerjap beberapa kali. "Ya, aneh. Kamu kan marahnya sama Sam, kenapa aku juga kena?" "Padahal, aku ingin ngobrol sama kamu seperti dulu, tapi kamu malah seperti ini." Protesnya seraya mengerucutkan bibirnya seperti anak bebek. Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. Mungkin lebih baik ia jujur saja pada gadis di depannya ini. Berbohong juga tidak ada gunanya, pikirnya. "Karena kamu terus saja membelanya, terus pakai bentak aku segala lagi," jawab Angkasa dengan sangat jujur. Kening
Setelah sampai rumah, pemuda itu langsung masuk ke dalam kamarnya. Menjatuhkan tubuhnya lelahnya ke atas tempat tidur kemudian kembali terperanjat lalu duduk di sisian ranjang. "Si Sam ngeselin banget sumpah. Dia tidak merasa bersalah sedikitpun." Mulut Bintang terus berkomat-kamit mengeluarkan kekesalannya pada orang yang bahkan tidak sedang bersamanya. "Kenapa lagi?" tanya Bima yang entah masuk sejak kapan. "Astaga Kak membuat kaget saja." Bintang menepuk-nepuk dadanya yang berdebar karena terkejut dengan kedatangan sang kakak yang tiba-tiba. Rasanya dia ingin mencubit ginjal pemuda yang kini sudah duduk di sampingnya. "Mama?" tebak Bima karena biasanya ibunyalah yang membuat mood adiknya berantakan. "Bukan." Jawab Bintang kembali membaringkan tubuh lelahnya. "Terus?" tanya Bima mulai penasaran. "Kepo," timpal Bintang enggan untuk menjawab. Bima berdecak seraya ikut berbaring di tempat tidur adiknya. "Lah, aku ini kak
Tok! Tok! Bianca mengetuk pintu ruangan kerja ayahnya beberapa kali. "Masuk," perintah seseorang dari dalam. "Bianca? Ya ampun Sayang kenapa tidak bilang kalau mau pulang," senang Nugroho karena putri keduanya telah kembali. "Bi mau bicara serius sama Ayah," kata wanita muda itu tidak mengindahkan perkataan ayahnya. Ia tidak suka berbasa-basi. "Bagaimana sekolah kamu di London? Pasti seru banget sampai lupa rumah. Anak Ayah makin cantik saja," Nugroho mengalihkan pembicaraan. Pria itu tahu putri keduanya itu akan membahas ap ajika sudah menatapnya dengan serius seperti ini. "Ayah, Bi mau bicara serius," kekeh Bianca tidak peduli dengan semua pujian yang diberikan oleh sang ayah. Pria dewasa itu mendengkus dan mau tidak mau menurutinya. "Ya sudah, mau bicara apa?" tanyanya. "Ini tentang Babas," jawabnya. Nugroho langsung tersulut emosi ketika nama Baskara disebut, seakan sebuah bakteri jahat yang harus ia jauhi sejauh-ja
Brisia yang sedang fokus menonton acara kesukaannya langsung bangkit saat melihat adiknya lewat di belakangnya. "OMG! Bi, kok tidak bilang-bilang kalau mau pulang? Aku kan bisa jemput kamu di bandara," kata Brisia seraya memeluk Bianca. Wanita muda itu tersenyum seraya membalas pelukan Brisia untuk mengobati rasa rindunya karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu. "Tidak usah repot-repot Kak, lagi pula tadi Bi ke rumah sakit dulu." Jawab Bianca seraya melepaskan pelukannya. "Untuk apa?" tanya Brisia acuh tidak acuh. "Jenguk Babas." Jawab wanita cantik itu seraya menaruh tas yang sedari tadi dijinjingnya. Raut wajah Brisia langsung berubah. Sorot kebencian itu tercetak nyata dalam manik mata bulatnya. "Apa aku tidak salah dengar? Kamu jauh-jauh deh dari anak pembawa sial itu," pinta Brisia dengan sinis. "Kak!" bentak Bianca tidak terima lagi-lagi adiknya dikatakan yang tidak-tidak. "Kakak apa-apaan sih? Masih saja menyal
Pemuda itu sedang berusaha keras menghafal lirik lagunya, sedari tadi ia terus mendengarkan liriknya seraya di tulis ulang dengan alasan akan lebih mudah untuk menghafalnya. "Den, makan dulu," kata Teti dari luar kamar. "Iya Bi, sebentar lagi tanggung," balas Samudra dari dalam kamarnya. ~Persahabatan sejati tak akan pernah matiKenang hari ini, kawan, cerita yang mengagumkan~ Sepenggal lirik dia nyanyikan seraya membayangkan perjalanan persahabatan mereka. Mulai dari pertemuan pertama, terus sering nongkrong bareng sampai akhirnya membuat sebutan yang terinspirasi dari nama-nama mereka, Nature. ~Sempat kita terhasut oleh ego, tak mau saling menyapaNamun, abaikanmu tak sanggup lamaKu menepuk bahumu~ Kemudian menyanyikan lirik selanjutnya dan teringat permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Samudra menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan, berharap bebannya terbuang bersamaan dengan angin malam yang masuk karena pemu
Dengan kemampuan berlarinya, tidak perlu butuh waktu lama untuk sampai ke ruang Kesenian. Bintang langsung membuka pintu ruangan, mengira bahwa Samudra sudah menunggunya di dalam. Namun, dugaannya salah. Tidak ada seorang pun di sana. Bintang mengumpat. "Kampret! ngapain aku sampai lari-lari kalau tau gini." Untungnya tidak lama kemudian lelaki itu datang dengan gitar barunya. Bintang langsung mengeluarkan semua sumpah serapahnya karena telah dibuat menunggu. "Niat latihan gak sih?" Ketusnya. "Temanku galak amat," ujar Samudra tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Gimana rasanya nunggu? Enak gak?" lanjut Samudra membuat kening lelaki itu berkerut sebelum kemudian dia sadar bahwa Samudra sedang membalas perlakuannya tempo hari. Samudra tertawa melihat ekspresi terkejut Bintang. Sebenarnya dia tidak benar-benar sengaja terlambat hanya saja melihat ekspresi kesal sahabatnya itu membuatnya ingin mengerjainya seakan dia sengaja melakukanny.
Setelah pulang sekolah beberapa jam yang lalu tidak ada kegiatan yang Dirgantara lakukan selain bermalas-malasan di tempat tidur. Sampai tiba-tiba wajah Binar seakan berada pada semua barang yang ia lihat. Pemuda itu hanya menghela napasnya dan sesekali mengucek-ngucek matanya untuk menghilangkan bayangan gadis itu. Hanya saja semua usaha yang ia lakukan sia-sia, dia tidak bisa menghilangkan bayangan gadis itu di dalam kepalanya. Akhirnya Dirgantara hanya menikmatinya saja. Jika adiknya melihatnya sedang senyam-senyum pada semua barang yang ada di kamar seperti saat ini, mungkin pemuda itu akan dikatakan gila olehnya. Dirgantara semakin hanyut dalam lamunan indahnya sampai suara bell mengacaukannya. Ting tong! "Tolong bukakan pintunya, Bang," teriak Gita yang sedang berada di dapur. Pemuda itu mendengkus, lalu beranjak untuk membukakan pintu. Ternyata yang datang itu adalah adiknya, tetapi dia tidak sendiri, ad
Anak-anak Nature Squad yang lain sudah berada di rumah Baskara, mereka sedang mempersiapkan kepulangannya.Ucapan selamat datang sudah terpasang indah dengan hiasan pita biru dan juga beberapa balon berwarna senada.Rain terlihat gelisah karena Samudra hanya membaca pesannya saja. Dia berharap lelaki itu datang agar persahabatan mereka kembali baik seperti dulu lagi."Rain." Panggil Angkasa melambaikan tangan."Ada apa?" Tanya Rain langsung menghampirinya."Tolong pegangi kursi ini. Aku mau membenarkan posisi bannernya," ujarnya.Tiba-tiba terlihat sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah, Bintang segera berlari ke dalam untuk memberitahu teman-temannya bahwa orang yang mereka tunggu sudah datang."Siap-siap," kata Bintang memberi komando.Saat pemuda itu masuk, dengan serempak mereka menyambutnya penuh kegembiraan membuat sang empu terkejut sekaligus merasa terharu dengan penyambutan yang diberikan oleh para sahabatnya.
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut