Alloh memberikan kamu di dalam hidupku, namun DIA tidak memberikan izin untuk aku sebagai takdirmu.
"Nduk, sudah siap belum?!" Seru dia dari arah lorong menuju kamarku.
Aku menunduk. Mengemasi buku diary yang baru saja aku buat nulis isi hatiku. Siapa lagi yang menjadi tempatku untuk menceritakan perasaanku kecuali buku diary ungu yang mulai kehabisan lembarannya.
Ku masukan buku tersebut pada laci nakas. Lalu menguncinya. Aku paling takut, jika buku itu di baca oleh seseorang. Itu akan menghancurkan semua hubungan dalam rumah ini.
"Ya Alloh, Nduk. Kok belum siap-siap,tho?"
Laki-laki itu sudah ada di ambang pintu. Tanyanya berkacak pinggang, dan wajahnya menunjukkan kekesalan karena melihatku belum berdandan. Aku memang menyuruhnya untuk menunggu aku sehabis mandi, tapi nyatanya untu mandi pun aku malas dan akhirnya hanya berganti baju saja.
Bukan cuaca yang menjadikan aku dingin. Namun hati, dia membeku. Membuat setiap jujur tubuhku kaku.
"Aku gak ikut, ya Mas. Mas saja sama Ibu yang pergi."
"Kenapa? Kamu sakit?"
Dia lantas masuk ke dalam kamarku. Berdiri di depanku lalu menempelkan telapak tangannya di dahiku. Menyibakkan sedikit hijab yang aku gunakan untuk mengecek suhu pada keningku. Hal yang tidak biasa orang lain lakukan, adalah ketika dia selalu mengecek suhu badan dengan menempelkan pula telapak tangan lainnya di dahinya. Dengan wajah yang ia dekatkan tepat di depan ku, menatapku, lalu merasai setiap unsur panas yang entah sama atau tidak.
"Sama saja. Ayolah, jangan malas. Anak perawan kok malas." Ujarnya seraya menjauhkan wajahnya dan menjauhkan telapak tangan dari keningku.
"Aku beneran malas, Mas. Ada banyak tugas juga dari kampus."
Dengan segera aku berdiri dari tepian ranjang yang sejak tadi menjadi singasanaku. Berjalan menuju rak buku, dan memilih beberapa di sana. Meskipun aku juga tidak tahu, buku apa yang aku harus buat jadikan alasan untuk itu.
"Ya sudah. Gak jadi aja."
"Loh, kok gitu? Udah mepet,Lo acaranya. Kalau gak beli sekarang kapan lagi?"
Aku berbalik, membantah keinginannya. Dia malah duduk santai sambil bersandar di tempat ku tadi. Memainkan peranan ponselku yang memang sejak tadi aku geletakan begitu saja di atas ranjang.
"Mas bisa pesan online. Sama saja, kan."
Aku mendengus kesal.
"Ya sudah. Aku siap-siap. Mas tunggu di luar!"
Akhirnya aku kalah. Dia selalu seenaknya memutuskan sesuatu sendiri.
"Kok masih di sini?" tanyaku.
Dia masih asyik bermain game dengan ponselku.
"Nunggu kamu siap-siap. Nanti, kamu di tunggu di luar malah molor lagi."
Aku berdecak. Membuang muka kesal
"Ya Alloh, mas. Gak gak, aku beneran siap-siap. Kamu keluar dulu!" Perintahku.
"Aku siapin bajumu, gih. Kamu mandi dulu."
Dia langsung beranjak menuju lemariku. Membuka dan memilih baju-baju yang tergantung rapi di dalamnya. Mengeluarkan satu sweater Hoodie berwarna coklat muda, lalu satu rok plisket berwarna coklat tua. Tidak lupa, dia juga memilih satu pasmina cream untukku juga.
"Udah."
Dia meletakkan itu semua di atas ranjang. Aku melihat dengan kesal.
Dia tahu semua tentangku. Dia hafal setiap apa yang aku suka dan tidak. Dia pun tahu, apa yang bisa membuatku tidak melawan perkataannya.
"Aku ganti baju. Mas keluar."
"Kenapa? Dulu juga biasanya kamu ganti baju di depanku gak masalah."
"Udah beda, Mas. Udah...Sana keluar. Kalau gak keluar, bakalan tambah lama nanti."
Aku mendorong tubuhnya ke arah pintu kamar. Mengeluarkan dia sampai depan pintu. Lalu segera menutup rapat-rapat pintu tersebut.
Ku tundukkan kepala. Menyandarkan kepala pada daun pintu tersebut.
"Nimas...jangan lama-lama!"
Dia masih di depan pintu. Bicaranya ringan tanpa beban. Itu mungkin karena hatinya sedang bahagia.
"Hai! Sudah belum? Mas masuk,ya?" Ujarnya padahal belum juga ada lima menit. Dia selalu menggodaku. Tak tau kah, jika hatiku tak lagi sekuat dulu?
Namanya, Muhammad Alshad Al Fahri. Cerita dari ibu, nama itu di berikan oleh ibunya saat dia masih bayi dulu. Seperti namanya Alshad dia adalah karunia Tuhan, yang hadir di tengah-tengah gundah gulana Paman dan bibi. Al Fahri seperti pahlawan, karena setelah ia lahir aku bisa hadir sebagai putri tunggal di keluarga kecil ini.
Ya, Mas Alshad adalah kakak sepupuku. Dia lahir jauh sebelum aku ada di dunia ini. Umur kami terpaut lima tahun. Meskipun begitu, dia sudah seperti kakak kandung yang selalu siaga untukku sejak dulu.
Sosok laki-laki yang saat aku mulai berlatih berjalan, dia yang ada belakang mengawasi sambil menjaga alih-alih jika aku akan terjatuh terjungkal. Sosok laki-laki yang saat aku mulai belajar menyendok makanan, dia dengan telaten menjumputi satu persatu nasi yang tumpah dari wadah makan ku.
Sosok laki-laki yang saat aku akan memulai sekolah, dia yang selalu siaga dengan sepedanya lalu berteriak, "Nimas!!!Ayo berangkat!"
Dan dengan senyum mengembang aku akan berlari ke depan rumah. Langsung naik di belakang boncengan sepedanya.
Banyak cerita masa lalu, yang hingga saat ini masih jelas jika aku kenang. Sampai aku tidak sadar, kapan rasa yang seharusnya tidak ada itu hadir di tengah-tengah persaudaraan.
"Nimas!! Sudah belum?" Dia berteriak lagi. Membubarkan lamunanku. Aku segera beranjak. Mengambil pakaian yang telah ia siapkan tadi dan segera menggantinya dengan baju yang sekarang aku pakai.
Apa yang ia pilihkan tidak pernah ia salah. Mungkin aku yang tidak kuasa menolak, atau memang ia tahu apa yang aku suka.
Sebab suka karena terbiasa bersama. Sebab tahu, karena ia ada di setiap tumbuh kembangku.
Dia selalu mengatakan,"Masmu ini tahu apa saja yang kamu suka dan tidak suka, Nimas. Jadi tenang saja," Setiap kali aku memilih apa yang harus ku pilih dia tidak jarang terlebih dahulu memilihkan untukku. Dan benar saja, aku suka.
Aku pun kadang seperti itu. Memilih sesuatu untuknya yang selalu dia anggap tepat. Karena itulah, saat ini dia ngeyel mengajakku.
"Lama sekali kamu, Nimas. Udah kayak anak gadis aja!" Protesnya.
Aku tersenyum tipis. Dia bisa saja menungguku di teras atau ruangan lainya. Toh, aku sudah bilang akan ikut dengannya. Tapi, dia masih berdiri di balik pintu yang aku kunci itu. Kenapa? Entahlah, dia selalu menjaga dan menanti tanpa jeda. Dan itu semua membuatku merasakan sakit tiada tara. Karena mungkin, sebentar lagi bukan aku yang menjadi prioritasnya. Aku kalah oleh keadaan. Aku kalah oleh kenyataan. Bahwa aku harus melepaskan tanpa boleh memperlihatkan air mata kepedihan.
Setelah selesai aku membuka pintu kamar. Menampakkan diriku di depannya. Sudah siap untuk menemani kemana langkah kakinya akan di bawa.
"Wow, cantik sekali, adik Mas ini." Pujinya takjub. Aku mengukir senyum tipis.
Barangkali itu pernah menjadi pujian yang sangat indah. Pujian pernah aku rasakan berkali-kali hingga aku lupa, bahwa dia tidak akan pernah pergi dari kehidupanku nanti. Terkadang manusia, hanya bisa merasakan namun lupa untuk mengingat apa yang akan terjadi di masa depan.
"Ayo!" Serunya dengan mengandeng tanganku.
"Udah ah, aku bukan anak kecil lagi."
Aku melepas gandengannya. Namun, dia kembali meraihnya dan semakin erat menggenggamnya. Dia ruang tamu, kami berpamitan dengan orang tua kami.
"Buk, berangkat, nggeh."
Mas Alshad meraih tangga ibu lalu mencium punggung beliau berganti lalu ayah yang duduk di sampingnya. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Hati-hati, Lo. Jangan larut malam kalau pulang." Pesan ibu.
"Nggeh, bu Lek. Assalamualaikum." Salam Mas Alshad bersamaan denganku.
"Waaikumsalam..." Balas orang tua ku.
Sesampai di depan rumah. Mas Alshad membukanya pintu mobil untukku barulah setelah itu dia masuk ke pintu kemudi.
Sebelum dia yang mengenakan sabuk pengaman untukku aku dengan segera melilitkan sabuk itu pada tubuhku.
"Bagus. Tumben," ujarnya setelah mengetahui aku selesai mengenakan sabuk pengaman.
Lagi-lagi aku tersenyum tipis. Mobil melaju pelan, mulai melewati perumahan dan menuju jalan raya. Jalanan sore kerap ramai dan penuh dengan pekerja yang baru saja pulang dari tempat mereka mengais nafkah.
Tujuan kami sebenarnya tidak jauh. Masih di dalam kota tepatnya pusat kota. Jadi tidak memakan perjalanan yang lama. Hanya 25 menitan kami sampai pada tempat tujuan kami.
Mobil di parkir di tepian jalan raya. Banyak deretan mobil lainya yang sudah rapi berjajar di sana. Jalan ini tidak pernah sepi, meskipun tengah malam sekalipun.
Tukang parkiran memberikan satu kertas berisikan nomer parkir. Setelah itu barulah kami keluar dari mobil.
Mas Alshad tak canggung menggandengku melewati trotoar yang penuh dengan orang yang lalu lalang. Jejeran toko memenuhi area tersebut, dengan beragam dagangan. Kebanyakan adalah toko baju dan swalayan kecil. Di sudut jalan ada juga apotek. Cukup terkenal di kota ini, karena berbagai macam obat di sediakan di sana.
Tujuan kami bukan apotek atau toko baju. Tapi, toko perhiasan yang ada di serbang jalan ini. Toko emas mulia. Rasanya lemas sekali kakiku untuk menginjak kaki di pelataran toko tersebut. Namun genggaman tangan Mas Alshad terus menuntunku untuk sampai pada toko tersebut."Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu, mau cari perhiasan apa?"Seorang pelayan wanita datang dengan ramah."Cincin, Mbak." Jawab Mas Alshad."Untuk pernikahan? Atau untuk mbak-nya?" tanya pelayanan tersebut dengan menunjuk ke arahku dengan telapak tangan yang lebar.Aku nyengir. Kalau itu benar, aku pasti adakan dengan senang bukan masam seperti ini."Pernikahan, Mbak." Jawab Mas Alshad lagi."Oh. Baiklah, tunggu sebentar."Sembari menunggu mbak pelayanan itu mengambil beberapa contoh cincin tersebut. Aku duduk, mengambil ponselku dan mengutak-atik apapun yang bisa aku
Nanti akan ada waktu, di mana hatiku tidak lagi tentangmu. Namun, percayalah hal itu adalah yang paling sulit aku lakukan di dalam kehidupanku.Larut sekali aku belum bisa tidur, menikmati malam sunyi dengan dentingan piano dari kotak musik yang aku biarkan berbunyi berulang kali.Duduk di tepian jendela, menatap bintang yang berkelipan. Malam ini sang bintang sendirian, tanpa rembulan yang mendampinginya. Meskipun begitu, Sang bintang tetap bersinar terang.Andai aku bisa seperti itu. Bisa terus terang meski sang rembulan ku tidak lagi bersamaku."Nimas, banyak orang yang akan pergi dalam hidupmu nanti. Tapi, yakinlah... Bahwa hanya aku yang tidak akan meninggalkan kamu."Itu adalah kata-kata dari Mas Alshad, ketika aku di jauhi teman-temanku sebab aku sedang sakit cangkrang.Penyakit yang menimbulkan benjolan yang gatal, dan bisa menular ke siapapun yang mendekati. Menyebabkan hawa panas dan kada
Simpanlah apa yang engkau pendam. Hingga debarannya hanya engkau dan Alloh saja yang mampu mendengar.Waktu terus berjalan. Semakin mendekatkan perihal lamaran yang akan datang. Antara Mas Alshad dan Mbak Nadia. Selagi mereka sibuk menyiapkan aku berlari kecil untuk sedikit menghindar. Bukan hanya hatiku yang akan lelah nantinya jika aku terus ikut andil dalam momentum tersebut, tapi juga tubuhku.Banyak orang yang mencariku. Namun dengan banyak alasan aku mampu menghindar. Syukurnya setiap alasan tidak menemukan kekosongan. Sebab memang tugas kuliah sedang banyak-banyaknya hingga harus extra waktu untuk mengerjakannya.Sering telat pulang dan menghabiskan waktu di perpustakaan kampus untuk mencari jawaban dari setiap masing-masing tugas yang di berikan.Seperti sore ini, aku masih ada di salah satu bangku dekat kaca jendela perpustakaan. Menyelami satu buku yang sejak tadi mengusik untuk aku baca.Jika d
Boleh kamu berlari, namun jika dia adalah takdirmu untuk kembali. Apa yang bisa kamu lakukan? "Nimas?!" Suara itu langsung menghentikan langkah ku. Dari arah depan Mas Alshad terburu menghampiriku. Wajahnya penuh dengan ke khawatir."Kok di sini?" tanyaku"Bisa-bisanya kamu sesantai itu. Seharian kamu di mana? Di cariin kayak orang hilang.""Aku di sini, gak kemana-mana.""Kenapa chat dan panggilanku tidak di jawab?""Tadi di perpustakaan, jadi aku non aktifkan.""Bikin orang khawatir saja. Aku susah gak tahu kabarmu seharian!""Kenapa harus susah sih, Mas. Lawong sudah ada Mbak Nadia, kenapa gak habisin waktu sama dia." Tanpa peduli aku berjalan lebih dulu. Sebab saat aku menanggapi perkataan dengan
Bagaimana aku bisa mengatakan, aku kehilanganmu. Jika sampai saat ini aku tidak mendapatkanmu."Oh, iya Mas. Aku tadi ketemu lagi dengan laki-laki yang kapan hari menabrakku," Untuk memecah keheningan aku bercerita tentang Reyhan pada Mas Alshad. Selama ini aku terbiasa menceritakan hari-hariku padanya."Laki-laki mana?""Itu loh, waktu beli cincin, pas kita baru saja keluar dari toko. Terus ada laki-laki kan yang nabrak aku. Itu dia, sekarang dia juga mahasiswa di kampus.""Yang Tuna netra itu? Kok bisa?''"Iya, Namanya Reyhan Ahmad. Hari ini, hari pertama dia kuliah di kampus.""Kok bisa dia kuliah di sana, maksudku dia kan tuna netra.""Aku juga gak faham. Kaget juga tadi pas li
Walaupun sudah tahu menyakitkan, kenapa tetap ingin kebersamaannya? Kak Nadia mengajakku untuk ikut saat dia dan Mas Alshad fitting baju lamaran mereka. Sudah pastilah pertunangan mereka akan di gelar mewah. Sebab ke dua belah pihak keluarga hanya memiliki satu-satunya putra. Mas Alshad adalah anak tunggal, sedang Mbak Nadia pun sama tunggalnya, sama sepertiku. Kami bertiga seperti saudara yang beda orang tua. Sebelum mengenal Mbak Nadia, mas Alshad hanya memiliki aku sebagai adik perempuannya. Namun setelah aku bersahabat dengan Mbak Nadia, dia pun menambahkan satu adik perempuannya. Jika di tanya, apakah hanya mbak Nadia saja sahabatku? Maka jawabku 'Iya'. Aku banyak tema
Ingatlah, jika kamu kehilangannya sesuatu yang berharga maka Alloh pasti akan gantikan sesuatu itu dengan hal yang lebih istimewaAku masih bingung kain mana yang akan aku pilih. Yang cerah kah? Padahal waktu itu akan membuat suram hatiku nantinya. Atau yang gelap? Setidaknya apa yang aku pakai akan mewakili suasana hatiku.Hanya sebuah kain, tidak melambangkan apapun nantinya. Tapi, aku tetap saja kebingungan memilihnya. Selama ini terbiasa tidak memiliki pilihan. Apapun yang aku inginkan sudah ada di depan mata tanpa harus aku kebingungan menimangnya. Misalkan, harus makan apa? Aku tidak pernah di tanya mau makan apa? Mau di masakin apa? Semua tersedia begitu saja. Itu pun sesuai seleraku.Ayah dan Ibu sangat mengerti keinginan putrinya. Tanpa bertanya beliau tahu apa yang aku suka. Aku pun terbiasa menerima tanpa perlu memberikan alasan untuk menolak atau pun merasa kurang cocok.
Percayalah Alloh akan menghapus perasaanmu kepada seseorang, jika seseorang itu memang tidak layak untukmu. Aku melirik kearah papar bag di sampingku. Di sana tersimpan kain brokat berwarna sky blue. Ku hela nafas dalam, memejamkan mata lalu melihat arah jalan yang mulai menemukan sunyi. Kurang sepuluh menit toko kain tadi tutup. Aku memutuskan untuk memilih brokat warna sky blue. Mematahkan keinginan Mas Alshad yang memintaku untuk memilih brokat warna nude. "Nimas akan terlihat lebih fress jika menggunakan warna sky blue," kata Reyhan saat itu. "Betul! Tambah bers
Aku mungkin bisa bersaing dengan siapapun. Namun aku tidak bisa jika harus melawan takdir yang telah di tentukan oleh Penciptaku."Reyhan? Cowok yang tunanetra itu?" Menanyakan kepastian.Aku mengangguk."Kamu beneran berteman dengannya?" Tanyanya lagi. Seakan tidak percaya jika aku dan Reyhan bisa berteman."Iyapz.. Dia teman yang baik dan cukup menyenangkan," jawabku."Tapi, Nduk apa dia tidak akan menyusahakan kamu. Maksudku dia kan buta. Aku takut kamu hanya dimanfaatkan dia saja,"Aku menggelengkan kepala. Mas Alshad salah besar. Dia belum mengenal reyhan. Andai dia tahu, bahwa pemuda itu cukup membuatku tertarik sebab pemikirannya, mungkin dia akan berkata lain. Bahkan mungkin, sebaliknya. Aku yang sedang memanfaatkan Reyhan."Tidak. Aku senang kok. Dia tidak merepotkan sam
Perempuan akan menjadi ratu, saat dia menemukan laki-laki yang tepat dan mencintainya "Nimas, makanan sebanyak ini dari siapa? Alshad?!" Tanya ibu setengah berteriak.Aku baru saja dari kamar mandi dapur. Sengaja meletakkan makanan yang aku dapat dari kantin tadi di meja makan, masih dengan wadahnya.Aku mengambil tiga mangkok dan dua piring. Lalu kembali lagi ke ruang makan."Dari kampus, Bu. Hari ini aku kayak dapat durian runtuh," jawabku sambil meletakkan piring lalu mulai mengambil satu persatu makanan di dalam papar bag. Membuka bungkusan tersebut lalu meletakkan pada piring dan mangkuk."Banyak sekali, Nduk." Ujar Ibu.Aku tersenyum. Aku juga baru tahu jika porsi yang di berikan cukup banyak. Capcay, sate dan satunya gulai ka
Di dunia ini tidak melulu tentang cinta. Banyak hal yang sama indahnya. Yang kadang orang lain tidak faham artinya, seperti nafas yang sampai sekarang kita bisa hirup misalnya. Pesanan kami datang. Siomay dengan jus wortel dan satunya, kentang goreng dengan es teh. Rasanya aku ingin meruntuki diriku sendiri. Seandainya tadi aku langsung mengajak Reyhan tanpa harus menanyakan apa yang ingin ia makan mungkin aku tidak akan memilih makanan yang mungkin sama sekali tidak bisa membuatku kenyang. Ah! Nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimana lagi? Tidak sopan juga kan, andai aku tidak menawari Reyhan. Dia ibarat tamu, jadi aku masih harus bersikap menghormatinya. Pe
Boleh saja kamu mengeluh. Boleh saja kamu tidak menerima keadaan. Namun, jangan sampai kamu mengkhianati takdir Tuhan. Tidak aku sangka, satu pertanyaan yang di lontarkan Reyhan tadi membuat kami diskusi hingga sejauh ini. Aku mulai mengetahui bagaimana dia mulai kehilangan penglihatannya. Dia menceritakan banyak hal tentang keluarga yang senantiasa memberikan banyak semangat dalam hidupnya. Bagaimana mereka terus menjadikan dia orang yang berguna meskipun sudah kehilangan satu panca inderanya. Kisah masa lalu, yang ternyata bandel dan susah di atur. Suka kelayapan bersama teman dan juga nongkrong tidak jelas aturan. Itu semua dia rasakan di saat dia menginjak usia tujuh belas tahun. Masa keemasan seorang anak yang mulai menem
Jatuh cinta itu hal biasa, tapi jatuh cinta berulang-ulang kali pada orang yang sama, itu luar biasa. Hakikat dari perasaan manusia adalah sebuah titipan yang di berikan pada Alloh SWT. Kita tidak tahu, kepada siapa hati kita akan jatuh. Pada siapa pula nantinya hati kita akan patah. Kita tidak bisa memilih, andaikan bisa pasti kita hanya akan memilih pada orang yang memang ditakdirkan untuk kita. Andaikan bisa memilih, kita bisa memilih orang yang jauh dan bahkan tidak terlihat oleh mata kita yang mematahkan hati kita. Sebab dengan begitu rasa patah itu tidak terlalu menyakitkan. Namun, pada akhirnya kita hanya bisa menerima. Kita hanya di minta untuk memiliki rasa, tanpa bisa membantah. "Apa yang kamu baca?" tanya Reyhan.
Jika keberadaan adalah hal yang paling indah. Lalu kenapa kamu masih saja terluka. Dia ada kan? Namun ternyata dialah penyebab luka itu ada. "Kamu sudah menyiapkan modelnya, Nimas?" tanya Mbak Nadia. "Sudah," jawabku dengan senyum tipis. Lagi-lagi aku berada di antara mereka berdua. Mas Alshad dan Mbak Nadia, kembali menghadirkan aku untuk ikut serta dalam proses penjahitan baju untuk pertunangan mereka. Kami bertiga sedang menuju penjahit langganan kami. Mas Alshad mengemudi dan aku dan Mbak Nadia duduk di jok kursi belakang. Mas Alshad sudah seperti memiliki dua istri saja. Kadang matanya te
Setiap keinginan memeliki tujuan dan titik temu yang membuatmu harus memilih jalan kehidupan yang nantinya akan kau tempuh"Aku belum tahu. Kamu mengambil jurusan apa?" tanya Reyhan. "Aku Sastra Indonesia, jadul ya?" Bagi banyak orang jurusan yang aku tempuh tidaklah mumpuni. Membuang-buang waktu, uang dan tenaga. Mereka berpikir jurusan itu paling tinggi akan mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa Indonesia dan tidak lebih dari itu. Reyhan tersenyum. Pasti mengiyakan apa yang aku ucapkan. "Aneh sekali. Kamu memilih sesuatu, tapi kamu juga mencela pilihanmu." Ungkapnya.
Beberapa orang mungkin akan pergi. Beberapa lagi akan tetap tinggal. Kehidupan memang sedang mencari yang paling pantas untuk di perjuangkanDi saat mendekati semester terakhir beragama sekali kegiatan di kampus. Terutama pembuatan skripsi yang menjadi momok tersendiri sehingga membuatku menjadi sangat sibuk. Hal ini dikarenakan membuat skripsi itu ‘rumit’. Mulai dari menentukan topik, judul,melakukan penelitian, dan masih banyak lagi. Hal itu belum lagi jika skripsi tersebut di revisi oleh dosen pembimbing.Tentu akan membuatku mau tidak mau mengerjakan ulang sesuai yang diarahkan dosen pembimbing. Tak hanya itu, waktu untuk bertemu dosen pembimbing tidaklah mudah. Terutama jika dosen merupakan dosen yang sang
Percayalah Alloh akan menghapus perasaanmu kepada seseorang, jika seseorang itu memang tidak layak untukmu. Aku melirik kearah papar bag di sampingku. Di sana tersimpan kain brokat berwarna sky blue. Ku hela nafas dalam, memejamkan mata lalu melihat arah jalan yang mulai menemukan sunyi. Kurang sepuluh menit toko kain tadi tutup. Aku memutuskan untuk memilih brokat warna sky blue. Mematahkan keinginan Mas Alshad yang memintaku untuk memilih brokat warna nude. "Nimas akan terlihat lebih fress jika menggunakan warna sky blue," kata Reyhan saat itu. "Betul! Tambah bers