Nanti akan ada waktu, di mana hatiku tidak lagi tentangmu. Namun, percayalah hal itu adalah yang paling sulit aku lakukan di dalam kehidupanku.
Larut sekali aku belum bisa tidur, menikmati malam sunyi dengan dentingan piano dari kotak musik yang aku biarkan berbunyi berulang kali.
Duduk di tepian jendela, menatap bintang yang berkelipan. Malam ini sang bintang sendirian, tanpa rembulan yang mendampinginya. Meskipun begitu, Sang bintang tetap bersinar terang.
Andai aku bisa seperti itu. Bisa terus terang meski sang rembulan ku tidak lagi bersamaku.
"Nimas, banyak orang yang akan pergi dalam hidupmu nanti. Tapi, yakinlah... Bahwa hanya aku yang tidak akan meninggalkan kamu."
Itu adalah kata-kata dari Mas Alshad, ketika aku di jauhi teman-temanku sebab aku sedang sakit cangkrang.
Penyakit yang menimbulkan benjolan yang gatal, dan bisa menular ke siapapun yang mendekati. Menyebabkan hawa panas dan kadang demam berkepanjangan. Syukurnya, penyakit itu umumnya hanya akan di alami manusia satu kali seumur hidup. Saat itu aku sudah masuk kelas 2 MA.
Barang kali kata-kata itu hanya untuk menghiburku. Tapi, hingga saat ini ucapannya itu selalu terngiang-ngiang. Menjadi aku percaya bahwa dia adalah salah satu orang yang tidak akan meninggalkan aku sendirian.
Drtttt Drtttt Drttt
Ponsel di atas nakas tidak berhenti bergetar. Mau tidak mau membuatku bangkit dari posisi nyamanku.
'Mbak Nadia' nama yang terpampang di layar ponsel. Dengan malas aku mengambil lalu menekan tanda hijau, untuk menerima panggilan.
"Hallo, Assalamualaikum, Nimas..." Suara khawatir terdengar dari balik ponsel.
"Waaikumsalam, Ada apa Mbak?''
"Sejak tadi aku mengirimi pesan lewat Wa. Kenapa kok gak di balas? Kamu sakit? Kemarin kata Mas Alshad kamu murung seharian. Ada apa? Cerita!''
Aku diam sejenak. Kentara sekali dia sedang mengkhawatirkan diriku. Perempuan baik, sangat baik. Penuh kasih sayang sopan santun, positif, pintar dan mapan. Sempurna. Mas Alshad berhak mendapatkan dirinya, pun sebaiknya.
''Loh, beneran sakit kamu? Aku ke rumah kamu, ya?"
"Nggak-nggak, Mbak. Hanya lagi capek saja, ini aku bangun tidur." Jawabku asal.
Ku lihat jam di dinding. Sudah pukul setengah dua belas. Semoga alasanku bisa ia terima.
"Beneran? Tumben, biasanya kamu tidur juga agak malam. Ini malah udah bangun tidur."
"Iya, Mbak. Lagi capek saja,"
"Nulis novel? Jangan terlalu lelah, apalagi di paksain."
"Iya, Mbak. Gak kok. Hanya capek aja, biasa deadline akhir bulan."
Mbak Nadia tahu, jika saat ini aku mengisi waktu luang ku dengan menulis di salah satu platform Novel. Selain untuk menyalurkan hoby, di sana aku bisa mendapatkan penghasilan. Menjadi kebanggaan tersendiri saat di mana kita bisa menghasilkan uang sendiri. Tidak terlalu tergantung dan belajar mandiri.
Sayangnya, sampai saat ini hanya Mbak Nadia saja yang tahu tentang itu. Orang tua, keluarga lainya hanya tahu aku begadang untuk mengerjakan tugas kuliah.
Andai tahu, mungkin mereka tidak akan mengizinkan. Sebab takut jika itu akan menggangu kuliahku.
"Ya sudah. Jaga kesehatanlah, bentar lagi aku mau lamaran. Masak iya, kamu sakit. Yang ada nanti di kita kamu sakit karena patah hati." Ujarnya tanpa beban.
Aku diam. Sebab apa yang ia lontarkan memang benar kejadian. Hanya saja, masih aku simpan sendirian.
"Apa kamu sudah lihat pesanku?'' tanyanya lagi.
"Belum. Memangnya ada apa?''
"Aku sedang memilih beberapa kemeja untuk seserahan. Bisa pilihkan untuk Mas Alshad mu itu. Aku bingung.''
Aku menghela nafas. Begitu lugunya Mbak Nadia, dia bahkan sama sekali tidak menganggap aku saingan. Padahal dia tahu, sedekat apa aku dengan Mas Alshad. em
MEmang kami sudah bersahabat lama. Kami saling mengenal satu sama lain. Kadang tanpa berucap pun kita sudah saling faham. Anehnya, sampai detik ini Mbak Nadia, tidak faham akan rasa yang aku pendam. Sedalam itu kah aku memendam, hingga orang yang sedekat dia bahkan keluarga ku tidak faham?
"Kenapa tidak Mbak pilihkan sendiri. Kan yang nanti jadi istrinya Mas Alshad, Mbak bukan aku."
"Hehehe... Iya sih. Tadinya mau pilihin sendiri. Tapi, takut dia gak suka. Biasanya kalau kamu yang pilih dia langsung suka juga, kan? Mangkanya aku minta tolong pilihin."
"Iya mbak. Tapi ya jangan ke aku terus lah. Mbak Nadia harus mulai pede, milihin sesuatu untuk Mas Alshad. Biar dia juga terbiasa dengan pilihan Mbak Nadia."
"Yah... Nanti kalau dia gak suka gimana?"
"Pasti suka. Mbak adalah pilihan Mas Alshad, dia pasti akan menghargai pilihan Mbak nanti."
"Kamu yakin seperti itu?''
"InsyaAllah..."
Terdengar Mbak Nadia menghela nafas juga.
"Aku tidak selamanya terus ada di antara kalian. Nanti setelah kalian menikah, kalian yang harus saling menentukan. Aku apalah... Hanya saudara, yang Insyaallah jika butuh bantuan siap untuk datang. Tapi untuk ranah luar saja," kataku.
Jika di tanya bagaimana hatiku sekarang, pastinya hancur. Aku menciptakan jarak untuk diriku sendiri. Belajar sedikit demi sedikit untuk tidak lagi peduli. Mereka akan bahagia, itu pasti. Sedang aku tidak ingin menjadi benalu, dengan merusak kebahagiaan mereka sebab rasaku yang aku nikmati sendiri.
"Padahal aku dan Mas Alshad sudah biasa ada kamu, Nimas."
"Iya...Aku pun begitu. Tapi aku juga gak mau kalau di kira perusak hubungan orang. Yah, kalian aman-aman aja, kalian yang nantinya bersatu. Lah, aku? Sekarang aja banyak teman yang bilang aku patah hati gara-gara kamu dan Mas Alshad mau nikah."
"Itu karena sejak dulu yang sama Mas Alshad itu kamu, bukan aku."
"Lah, iya... Tapi kenapa malah kamu yang nikah sama Mas Alshad."
"Hahaha... Ya gak tahu. Tanyain aja ke Masmu itu kenapa malah mau ngelamar aku." Tanpa beban Mbak Nadia mengatakan hal itu. Senormal itu, dan sepositif itu dia menanggapi perkataanku.
"Malaslah... Tanyain aja sendiri. Ke Ge-er an dia nanti. Di kita buat rebutan kita berdua." Sahutku.
"Hahaha..."
Kita mengobrol hingga lewat tengah malam. Jujur Mbak Nadia sahabat yang menyenangkan. Saat berbicara dengannya kita tidak akan kehilangan pembahasan. Terus ada, hingga salah satu dari kita kadang harus mengalah untuk menghentikan percakapannya.
Aku harus belajar bahagia dengan kebahagiaan mereka. Aku harus belajar ikhlas jika memang ini sudah menjadi kehendak-Nya.
Aku hanya berharap, semoga setelah ini hatiku bisa lekas pulih. Sebab akan sulit jika hati yang sakit. Seluruh anggota badan akan ikut merasakan. Dan aku tidak ingin hal itu menghambat semuanya.
Di saat kami mengobrol, chat masuk dari Mas Alshad. Aku segera membukanya.
*Mas Alshad*
Belum tidur, Nduk? Kok jendela balkon kamar dan lampu kamar masih menyala?
Isi chat tersebut. Aku segera secreanshot layar ponsel. Lalu mengirim foto panggilan tersebut pada Mas Alshad. Menulis dibawah foto tersebut, dengan kalimat "Sedang bergadang dengan calon istrimu." Lalu aku kirim lagi.
Beberapa detik kemudian, Mbak Nadia juga diam. Barang kali juga sedang membalas pesan dari Mas Alshad. Jika aku di kirimi pesan malam-malam seperti ini, apalagi dia. Pastinya dia lebih banyak pesan lagi.
"Hay, Masmu memarahiku. Dia bilang aku suruh cepat mengakhiri panggilan kita.'' Ujar Mbak Nadia.
"Kenapa? Biarin aja."
"Yah, Aku di omelin ini. Katanya mengganggu jam istirahatku."
"Alasan saja, barang kali dia mau kamu gantian telponan sama dia."
"Haha, masak iya? Dasar, laki-laki banyak sekali modusnya."
Aku hanya tersenyum. Entah begitu apa tidak alasannya. Tapi, aku merasa Mas Alshad masih lebih mementingkan aku ketimbang Mbak Nadia.
Sulit, jika terus menerus seperti ini. Akan lebih sulit lagi, jika salah satu dari mereka mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
"Ya sudah, ya Nimas. Kamu bobok gih, tutup jendela terus matiin lampu. Jangan lupa, baca doa," kata Mbak Nadia tiba-tiba.
"Hehe, iya mbak. Selamat malam, selamat bobok juga. Maaf ya, kalau Mas ku merepotkan."
"Iya nih, dia rempong banget. Katanya lampu kamarmu masih menyala, jendela kamar juga masih terbuka."
"Hehehe... Memang iya. Tapi setelah ini aku tutup kok. Ya sudah ya... Assalamualaikum,"
"Waaikumsalam,"
Selesai. Ku hela nafas dalam-dalam. Merasakan detak jantung dan tikaman yang mengerikan. Lambat laun aku akan terbiasa dengan luka-luka ini. Hingga aku lupa akan rasa sakitnya. Barulah setelah itu, aku bisa mulai menyembuhkan hatiku.
Aku beranjak dari ranjang. Mulai menutup jendela. Di seberang sana, tepat di kamar lantai dua. Aku melihat Mas Alshad ada di balkon kamarnya. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Namun di satu tangannya lagi sedang memegang ponselnya. Di dekatkan di telinganya. Tanda dia sedang menerima panggilan. Mungkin benar, dia ingin Mbak Nadia ganti menelponnya.
Ku toreh senyum singkat untuk dia. Sebelum benar tirai dan jendela aku tutup rapat. Di sana,dia sedang bahagia dengan kekasihnya. Aku tidak boleh egois dengan meminta perhatiannya.
Selamat datang rasa sakit. Semoga kamu bisa bersahabat denganku. Agar aku bisa berdiskusi dan meminta bantuanmu. Semoga kelak kamu tidak menampakkan wujudmu di depan banyak orang dan biarkan aku berjuang dengan rasa sakit itu sendirian.
***
Simpanlah apa yang engkau pendam. Hingga debarannya hanya engkau dan Alloh saja yang mampu mendengar.Waktu terus berjalan. Semakin mendekatkan perihal lamaran yang akan datang. Antara Mas Alshad dan Mbak Nadia. Selagi mereka sibuk menyiapkan aku berlari kecil untuk sedikit menghindar. Bukan hanya hatiku yang akan lelah nantinya jika aku terus ikut andil dalam momentum tersebut, tapi juga tubuhku.Banyak orang yang mencariku. Namun dengan banyak alasan aku mampu menghindar. Syukurnya setiap alasan tidak menemukan kekosongan. Sebab memang tugas kuliah sedang banyak-banyaknya hingga harus extra waktu untuk mengerjakannya.Sering telat pulang dan menghabiskan waktu di perpustakaan kampus untuk mencari jawaban dari setiap masing-masing tugas yang di berikan.Seperti sore ini, aku masih ada di salah satu bangku dekat kaca jendela perpustakaan. Menyelami satu buku yang sejak tadi mengusik untuk aku baca.Jika d
Boleh kamu berlari, namun jika dia adalah takdirmu untuk kembali. Apa yang bisa kamu lakukan? "Nimas?!" Suara itu langsung menghentikan langkah ku. Dari arah depan Mas Alshad terburu menghampiriku. Wajahnya penuh dengan ke khawatir."Kok di sini?" tanyaku"Bisa-bisanya kamu sesantai itu. Seharian kamu di mana? Di cariin kayak orang hilang.""Aku di sini, gak kemana-mana.""Kenapa chat dan panggilanku tidak di jawab?""Tadi di perpustakaan, jadi aku non aktifkan.""Bikin orang khawatir saja. Aku susah gak tahu kabarmu seharian!""Kenapa harus susah sih, Mas. Lawong sudah ada Mbak Nadia, kenapa gak habisin waktu sama dia." Tanpa peduli aku berjalan lebih dulu. Sebab saat aku menanggapi perkataan dengan
Bagaimana aku bisa mengatakan, aku kehilanganmu. Jika sampai saat ini aku tidak mendapatkanmu."Oh, iya Mas. Aku tadi ketemu lagi dengan laki-laki yang kapan hari menabrakku," Untuk memecah keheningan aku bercerita tentang Reyhan pada Mas Alshad. Selama ini aku terbiasa menceritakan hari-hariku padanya."Laki-laki mana?""Itu loh, waktu beli cincin, pas kita baru saja keluar dari toko. Terus ada laki-laki kan yang nabrak aku. Itu dia, sekarang dia juga mahasiswa di kampus.""Yang Tuna netra itu? Kok bisa?''"Iya, Namanya Reyhan Ahmad. Hari ini, hari pertama dia kuliah di kampus.""Kok bisa dia kuliah di sana, maksudku dia kan tuna netra.""Aku juga gak faham. Kaget juga tadi pas li
Walaupun sudah tahu menyakitkan, kenapa tetap ingin kebersamaannya? Kak Nadia mengajakku untuk ikut saat dia dan Mas Alshad fitting baju lamaran mereka. Sudah pastilah pertunangan mereka akan di gelar mewah. Sebab ke dua belah pihak keluarga hanya memiliki satu-satunya putra. Mas Alshad adalah anak tunggal, sedang Mbak Nadia pun sama tunggalnya, sama sepertiku. Kami bertiga seperti saudara yang beda orang tua. Sebelum mengenal Mbak Nadia, mas Alshad hanya memiliki aku sebagai adik perempuannya. Namun setelah aku bersahabat dengan Mbak Nadia, dia pun menambahkan satu adik perempuannya. Jika di tanya, apakah hanya mbak Nadia saja sahabatku? Maka jawabku 'Iya'. Aku banyak tema
Ingatlah, jika kamu kehilangannya sesuatu yang berharga maka Alloh pasti akan gantikan sesuatu itu dengan hal yang lebih istimewaAku masih bingung kain mana yang akan aku pilih. Yang cerah kah? Padahal waktu itu akan membuat suram hatiku nantinya. Atau yang gelap? Setidaknya apa yang aku pakai akan mewakili suasana hatiku.Hanya sebuah kain, tidak melambangkan apapun nantinya. Tapi, aku tetap saja kebingungan memilihnya. Selama ini terbiasa tidak memiliki pilihan. Apapun yang aku inginkan sudah ada di depan mata tanpa harus aku kebingungan menimangnya. Misalkan, harus makan apa? Aku tidak pernah di tanya mau makan apa? Mau di masakin apa? Semua tersedia begitu saja. Itu pun sesuai seleraku.Ayah dan Ibu sangat mengerti keinginan putrinya. Tanpa bertanya beliau tahu apa yang aku suka. Aku pun terbiasa menerima tanpa perlu memberikan alasan untuk menolak atau pun merasa kurang cocok.
Percayalah Alloh akan menghapus perasaanmu kepada seseorang, jika seseorang itu memang tidak layak untukmu. Aku melirik kearah papar bag di sampingku. Di sana tersimpan kain brokat berwarna sky blue. Ku hela nafas dalam, memejamkan mata lalu melihat arah jalan yang mulai menemukan sunyi. Kurang sepuluh menit toko kain tadi tutup. Aku memutuskan untuk memilih brokat warna sky blue. Mematahkan keinginan Mas Alshad yang memintaku untuk memilih brokat warna nude. "Nimas akan terlihat lebih fress jika menggunakan warna sky blue," kata Reyhan saat itu. "Betul! Tambah bers
Beberapa orang mungkin akan pergi. Beberapa lagi akan tetap tinggal. Kehidupan memang sedang mencari yang paling pantas untuk di perjuangkanDi saat mendekati semester terakhir beragama sekali kegiatan di kampus. Terutama pembuatan skripsi yang menjadi momok tersendiri sehingga membuatku menjadi sangat sibuk. Hal ini dikarenakan membuat skripsi itu ‘rumit’. Mulai dari menentukan topik, judul,melakukan penelitian, dan masih banyak lagi. Hal itu belum lagi jika skripsi tersebut di revisi oleh dosen pembimbing.Tentu akan membuatku mau tidak mau mengerjakan ulang sesuai yang diarahkan dosen pembimbing. Tak hanya itu, waktu untuk bertemu dosen pembimbing tidaklah mudah. Terutama jika dosen merupakan dosen yang sang
Setiap keinginan memeliki tujuan dan titik temu yang membuatmu harus memilih jalan kehidupan yang nantinya akan kau tempuh"Aku belum tahu. Kamu mengambil jurusan apa?" tanya Reyhan. "Aku Sastra Indonesia, jadul ya?" Bagi banyak orang jurusan yang aku tempuh tidaklah mumpuni. Membuang-buang waktu, uang dan tenaga. Mereka berpikir jurusan itu paling tinggi akan mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa Indonesia dan tidak lebih dari itu. Reyhan tersenyum. Pasti mengiyakan apa yang aku ucapkan. "Aneh sekali. Kamu memilih sesuatu, tapi kamu juga mencela pilihanmu." Ungkapnya.
Aku mungkin bisa bersaing dengan siapapun. Namun aku tidak bisa jika harus melawan takdir yang telah di tentukan oleh Penciptaku."Reyhan? Cowok yang tunanetra itu?" Menanyakan kepastian.Aku mengangguk."Kamu beneran berteman dengannya?" Tanyanya lagi. Seakan tidak percaya jika aku dan Reyhan bisa berteman."Iyapz.. Dia teman yang baik dan cukup menyenangkan," jawabku."Tapi, Nduk apa dia tidak akan menyusahakan kamu. Maksudku dia kan buta. Aku takut kamu hanya dimanfaatkan dia saja,"Aku menggelengkan kepala. Mas Alshad salah besar. Dia belum mengenal reyhan. Andai dia tahu, bahwa pemuda itu cukup membuatku tertarik sebab pemikirannya, mungkin dia akan berkata lain. Bahkan mungkin, sebaliknya. Aku yang sedang memanfaatkan Reyhan."Tidak. Aku senang kok. Dia tidak merepotkan sam
Perempuan akan menjadi ratu, saat dia menemukan laki-laki yang tepat dan mencintainya "Nimas, makanan sebanyak ini dari siapa? Alshad?!" Tanya ibu setengah berteriak.Aku baru saja dari kamar mandi dapur. Sengaja meletakkan makanan yang aku dapat dari kantin tadi di meja makan, masih dengan wadahnya.Aku mengambil tiga mangkok dan dua piring. Lalu kembali lagi ke ruang makan."Dari kampus, Bu. Hari ini aku kayak dapat durian runtuh," jawabku sambil meletakkan piring lalu mulai mengambil satu persatu makanan di dalam papar bag. Membuka bungkusan tersebut lalu meletakkan pada piring dan mangkuk."Banyak sekali, Nduk." Ujar Ibu.Aku tersenyum. Aku juga baru tahu jika porsi yang di berikan cukup banyak. Capcay, sate dan satunya gulai ka
Di dunia ini tidak melulu tentang cinta. Banyak hal yang sama indahnya. Yang kadang orang lain tidak faham artinya, seperti nafas yang sampai sekarang kita bisa hirup misalnya. Pesanan kami datang. Siomay dengan jus wortel dan satunya, kentang goreng dengan es teh. Rasanya aku ingin meruntuki diriku sendiri. Seandainya tadi aku langsung mengajak Reyhan tanpa harus menanyakan apa yang ingin ia makan mungkin aku tidak akan memilih makanan yang mungkin sama sekali tidak bisa membuatku kenyang. Ah! Nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimana lagi? Tidak sopan juga kan, andai aku tidak menawari Reyhan. Dia ibarat tamu, jadi aku masih harus bersikap menghormatinya. Pe
Boleh saja kamu mengeluh. Boleh saja kamu tidak menerima keadaan. Namun, jangan sampai kamu mengkhianati takdir Tuhan. Tidak aku sangka, satu pertanyaan yang di lontarkan Reyhan tadi membuat kami diskusi hingga sejauh ini. Aku mulai mengetahui bagaimana dia mulai kehilangan penglihatannya. Dia menceritakan banyak hal tentang keluarga yang senantiasa memberikan banyak semangat dalam hidupnya. Bagaimana mereka terus menjadikan dia orang yang berguna meskipun sudah kehilangan satu panca inderanya. Kisah masa lalu, yang ternyata bandel dan susah di atur. Suka kelayapan bersama teman dan juga nongkrong tidak jelas aturan. Itu semua dia rasakan di saat dia menginjak usia tujuh belas tahun. Masa keemasan seorang anak yang mulai menem
Jatuh cinta itu hal biasa, tapi jatuh cinta berulang-ulang kali pada orang yang sama, itu luar biasa. Hakikat dari perasaan manusia adalah sebuah titipan yang di berikan pada Alloh SWT. Kita tidak tahu, kepada siapa hati kita akan jatuh. Pada siapa pula nantinya hati kita akan patah. Kita tidak bisa memilih, andaikan bisa pasti kita hanya akan memilih pada orang yang memang ditakdirkan untuk kita. Andaikan bisa memilih, kita bisa memilih orang yang jauh dan bahkan tidak terlihat oleh mata kita yang mematahkan hati kita. Sebab dengan begitu rasa patah itu tidak terlalu menyakitkan. Namun, pada akhirnya kita hanya bisa menerima. Kita hanya di minta untuk memiliki rasa, tanpa bisa membantah. "Apa yang kamu baca?" tanya Reyhan.
Jika keberadaan adalah hal yang paling indah. Lalu kenapa kamu masih saja terluka. Dia ada kan? Namun ternyata dialah penyebab luka itu ada. "Kamu sudah menyiapkan modelnya, Nimas?" tanya Mbak Nadia. "Sudah," jawabku dengan senyum tipis. Lagi-lagi aku berada di antara mereka berdua. Mas Alshad dan Mbak Nadia, kembali menghadirkan aku untuk ikut serta dalam proses penjahitan baju untuk pertunangan mereka. Kami bertiga sedang menuju penjahit langganan kami. Mas Alshad mengemudi dan aku dan Mbak Nadia duduk di jok kursi belakang. Mas Alshad sudah seperti memiliki dua istri saja. Kadang matanya te
Setiap keinginan memeliki tujuan dan titik temu yang membuatmu harus memilih jalan kehidupan yang nantinya akan kau tempuh"Aku belum tahu. Kamu mengambil jurusan apa?" tanya Reyhan. "Aku Sastra Indonesia, jadul ya?" Bagi banyak orang jurusan yang aku tempuh tidaklah mumpuni. Membuang-buang waktu, uang dan tenaga. Mereka berpikir jurusan itu paling tinggi akan mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa Indonesia dan tidak lebih dari itu. Reyhan tersenyum. Pasti mengiyakan apa yang aku ucapkan. "Aneh sekali. Kamu memilih sesuatu, tapi kamu juga mencela pilihanmu." Ungkapnya.
Beberapa orang mungkin akan pergi. Beberapa lagi akan tetap tinggal. Kehidupan memang sedang mencari yang paling pantas untuk di perjuangkanDi saat mendekati semester terakhir beragama sekali kegiatan di kampus. Terutama pembuatan skripsi yang menjadi momok tersendiri sehingga membuatku menjadi sangat sibuk. Hal ini dikarenakan membuat skripsi itu ‘rumit’. Mulai dari menentukan topik, judul,melakukan penelitian, dan masih banyak lagi. Hal itu belum lagi jika skripsi tersebut di revisi oleh dosen pembimbing.Tentu akan membuatku mau tidak mau mengerjakan ulang sesuai yang diarahkan dosen pembimbing. Tak hanya itu, waktu untuk bertemu dosen pembimbing tidaklah mudah. Terutama jika dosen merupakan dosen yang sang
Percayalah Alloh akan menghapus perasaanmu kepada seseorang, jika seseorang itu memang tidak layak untukmu. Aku melirik kearah papar bag di sampingku. Di sana tersimpan kain brokat berwarna sky blue. Ku hela nafas dalam, memejamkan mata lalu melihat arah jalan yang mulai menemukan sunyi. Kurang sepuluh menit toko kain tadi tutup. Aku memutuskan untuk memilih brokat warna sky blue. Mematahkan keinginan Mas Alshad yang memintaku untuk memilih brokat warna nude. "Nimas akan terlihat lebih fress jika menggunakan warna sky blue," kata Reyhan saat itu. "Betul! Tambah bers