Ribuan pengunjuk rasa memenuhi pintu masuk gedung Thorn Enterprises pada siang hari di Blackpool. Mereka menunggu CEO perusahaan keluar dan memberi keterangan terkait kesenjangan upah di salah satu anak perusahaannya, Thorn Construction. Para petugas kepolisian Blackpool dikerahkan untuk membuat barikade di depan pengunjuk rasa, demi mencegah terciptanya kericuhan.
"BAYARKAN HAK KAMI!"
"BAYARKAN HAK KAMI!"
"BAYARKAN HAK KAMI!"
Begitu riuh mencipta hiruk pikuk para pekerja berbondong-bondong, memenuhi pelataran salah satu gedung pencakar langit di kota Blackpool itu. Saking ramainya, ruas jalan di sekitar gedung itu terblokade, aksi unjuk rasa menutup akses kendaraan. Aksi ini juga berhasil mencuri perhatian para wartawan dari berbagai media kenamaan, para pekerja jurnalistik telah mengambil tempat untuk menyoroti.
"Disiarkan langsung dari Blackpool, seperti yang anda lihat dibelakang saya, pengunjuk rasa yang didominasi oleh pekerja konstruksi Thorn Construction terus menyerukan 'Bayarkan Hak Kami' terkait pemberitaan yang sudah tersiar, mengenai ketidakadilan dalam pembayaran upah para pekerja konstruksi. Saat ini saya dan rekan jurnalis lainnya tengah menunggu kehadiran Sir Edric Arathorn untuk memberikan keterangan lebih lanjut pada para pengunjuk rasa terkait masalah ini. Saya Regina Palmer melaporkan untuk Fox News," papar seorang reporter di depan kamera.
"Aku bekerja 10 jam sehari! Aku bahkan tidak bisa menemui anak - anakku! Pantaskah sembilan ratus poundsterling sebulan? Mau makan apa keluargaku? F#CK YOU THORN!" maki seorang pengunjuk rasa ketika tengah diwawancarai.
***
Sembari menggulir layar ponselnya seorang gadis muda berambut pirang berbusana Mini Dress terbalut Cardigan tengah berjalan santai di trotoar, yang diramaikan para pejalan kaki berlalu lalang. Ia hendak menuju kedai roti bernama Pound Bakery untuk menemui temannya sesuai janji.
Setelah lama berjalan sampailah gadis itu sampai di tujuan, dimana ia melihat temannya yang berbusana kemeja abu terbalut mantel hitam, tengah duduk di meja payung depan toko roti tujuan si gadis pirang. Ia tengah asik membaca sebuah buku tebal, ditemani sepiring Croissant dan secangkir Espresso. Gadis pirang itu memasukkan ponselnya ke tas dan menghampiri temannya, dengan mengendap-endap berniat mengejutkan .
Perlahan ia berjalan di belakang tempat duduk temannya, dengan wajah sumringah menahan tawa bersiap mengagetkan temannya.
"Halo Hana," sapa temannya yang dengan cepat menyadari kehadiran gadis itu tanpa menoleh.
Gadis pirang terperangah, terpatung setelah temannya dengan cepat menyadari keberadaannya. "Bisa tidak pura-pura tidak tahu kalau aku mau mengagetkanmu, Elly? Humm!" sungutnya kesal seraya menggembukan pipi.
"Kau harus jadi lalat dulu jika ingin mengendap-endap, duduklah," ujar Elly santai, seraya mempersilahkan Hana menduduki bangku kosong di mejanya.
"Bzzz-bzzz-bzzzz!" dengus Hana yang langsung duduk di hadapan Elly.
Mengetahui temannya sudah datang, Elly menutup bukunya, mengaduk kopi kemudian menyeruputnya. Sementara Hana memanggil pelayan toko untuk memesan Latte dan Muffin.
Tanpa menunggu lama, pesanan Hana akhirnya tiba. Wanita pelayan toko dengan anggun membawakan nampan berisi secangkir Latte dan sepiring Muffin yang masih hangat, asap samar yang keluar dari makanan dan minuman membuatnya semakin menggiurkan.
"Tidak biasanya kau membaca yang tebal-tebal, buku apa itu?" tanya Hana sembari melahap Muffin.
"Marry, Queen of Scots. Mau baca?" tanya Elly yang menampilkan buku bacaannya pada Hana.
"Elly, kau sudah tahu kan aku tidak bisa membaca apa yang kau baca? Nanti kucari versi aslinya di toko buku," ujarnya.
"Kau hanya perlu belajar cara membaca sepertiku, membuatmu lebih hemat dan bisa memakan lebih banyak Muffin. Supaya jadi lebih Fluffy lagi," ledeknya.
"Jahat! Jahat! Elly jahatt!" ringis Hana kembali yang menggembungkan pipinya.
"Hihi. Aku bercanda, Hana. Jadi, dalam rangka apa kau ajak aku kesini?" tanya Elly.
"Kenapa bertanya begitu sih, Elly? Kita sudah empat bulan tidak bertemu, kau terlalu sibuk menggoreng di media. Kalau kau masuk penjara bagaimana? Aku rindu tahu," papar Hana risau.
"Semua pekerjaan itu punya resikonya masing-masing, Hana. Termasuk pekerjaanku sebagai wartawan lepas, tak terkecuali pekerjaanmu juga," terang Elly.
"Elly, aku kerja di Baskin Robbins, hal buruk apa yang bisa terjadi? Paling ketumpahan Milkshake," ujarnya.
"Well, bagaimana kalau kau temani aku ke Houndshill? Aku mau beli sepatu baru. Nanti kubelikan sepasang juga, aku baru dapat bonus," ajak Elly.
"Really? I love you so ... so much dear! Oke aku pesan Uber sekarang," Hana menyeruput habis minumannya dan langsung merogoh tas kecilnya untuk mengambil ponsel.
Mendengar Hana yang begitu semangat, Elly juga ikut menyeruput minumannya, walau tak bisa dihabiskan semuanya. Ia kemudian menyimpan buku yang dibacanya, sekaligus mengambil tongkat tunanetra yang ada di dalam tas bahunya.
Elly merupakan seorang tunanetra, itulah mengapa Hana menolak untuk membaca buku yang di tawarkan Elly. Karena buku yang sedari tadi dibacanya di cetak menggunakan huruf braile.
Setelah beberapa saat menunggu, mobil Uber yang dipesan Hana akhirnya tiba. Keduanya beranjak dari meja payung ke mobil Uber. Hana masuk lebih dulu ke jok belakang mobil, sementara Elly menyusul sembari meraba sekitar pijakan dengan tongkat tunanetra yang sudah terbuka lipatannya, melangkah dengan berhati-hati hingga sampai ke dalam mobil.
Seperti gadis muda pada umumnya, Elly dan Hana menikmati perjalanan menuju Houndshill sembari asik bergosip ria. Meski tidak bisa menatap Hana karena penglihatannya sudah menghilang, Hana tetap dengan riangnya bercerita dengan sahabatnya itu, membuat supir mobil Uber ikut senyum melihat keduanya lewat spion tengah.
Setelah lama di perjalanan sampailah mereka di Houndshill, pusat perbelanjaan yang terletak persis di seberang menara Blackpool. Setelah membayar ongkos, keduanya turun dari mobil. Hana menggandeng Elly melangkah dengan tongkat tunanetra, berjalan masuk ke Houndshill.
Di dalam Houndshill keduanya mengunjungi kios pakaian dengan plang bertuliskan YOURS, dimana banyak pakaian dan sepatu wanita dipajang memenuhi seisi toko. Hana menyusuri setiap sepatu yang dipajang, hingga dilihatnya sepasang Loafer yang mencuri perhatiannya, sementara Elly melipat tongkat tunanetra, menyimpannya di tas dan duduk menunggu temannya memilih-milih model sepatu.
"Elly, aku sudah dapat sepatunya, Loafer! Merah untukku dan hitam untukmu," ujar girang Hana yang menenteng dua pasang Loafer.
"Apapun jenisnya tidak masalah, Hana. Aku hanya butuh yang awet. Sepatuku sudah hampir menganga. Apa gunanya keren-kerenan kalau aku tidak bisa lihat seberapa kerennya 'kan?" ucapnya.
"HUSH! Tidak baik bicara begitu, Elly," tegur Hana. Ngomong-ngomong, tulisan seperti apa yang kau kirim ke media? Sampai dapat bonus dan bisa membelikanku sepatu?" tanya Hana yang langsung duduk di samping Elly.
"Kau mungkin mau lihat TV supaya tahu jawabannya," jawab Elly senyum.
Hana segera menolehkan pandangannya ke TV di atas pajangan gaun, yang menyiarkan berita tentang unjuk rasa di depan gedung Thorn Enterprises. Di situ terlihat pria tua dengan kebotakan tengah berambut putih, berstelan jas coklat, yang tidak lain adalah Sir Edric Arathorn, tengah memberi keterangan di hadapan media, berbicara di hadapan banyak sekali mikrofon para wartawan yang disodorkan padanya.
"Terkait dugaan ketidakadilan dalam pembayaran gaji para pekerja, kami akan segera menindak lanjuti masalah ini dengan meninjau ulang aliran dana yang telah dikeluarkan. Saya selaku CEO ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang dirugikan karena masalah ini, baik investor maupun para pekerja konstruksi," papar Sir Edric Arathorn dalam siaran berita Fox News, dengan headline 'Diupah Tidak Adil, Para Pekerja Thorn Construction Berunjuk Rasa'.
"Upah minimum di Inggris itu sepuluh poundsterling per-jamnya. Jika dikalikan sebulan, seharusnya para pekerja itu mendapatkan sekitar tiga ribu poundsterling. Jika mereka diupah sembilan ratus pounsterling sebulan, maka dengan kata lain mereka hanya menerima tiga poundsterling per-jam. Jauh sekali perbandingannya 'kan?" papar Elly bangga.
Hana mendengarkan penjelasan Elly dengan masih terdiam, terbelalak menyaksikan siaran berita di TV. "Umm, Elly? Kau orang baik, aku tahu kau menulis berita itu untuk kebaikan banyak orang. Tapi, kau tidak apa-apa kan?" tanya Hana tanpa memalingkan wajahnya dari TV.
"Maksudnya apa Hana? Tentu aku tidak apa-apa," jawabnya heran.
"Maksudku, kau baru saja membuat masalah dengan Thorn Enterprise, Elly! Sir Edric Arathorn adalah orang nomor dua di Inggris setelah Ratu Lizzie dan orang terkaya di Blackpool dan Manchester! Kalau aku jadi kau, aku tidak akan ke Houndshill saat ini, melainkan langsung ke bandara dan memesan tiket ke Wales!" maki Hana khawatir.
Elly meraba udara, hingga kedua tangannya berhasil memegang kedua bahu Hana. "Hei-hei, Hana tenanglah, ingat semua pekerjaan ada resikonya. Lagipula, aku tidak mencantumkan nama asliku, hanya nama penaku, Ether, ingat? Aku akan baik- baik saja, tenanglah," ucap Elly menenangkan Hana.
"Bagaimana aku bisa tenang!? Berbuat nekat adalah kebiasanmu, bukan? Kapan kau bisa sadar jika tulisanmu bisa saja mendatangkan bahaya padamu, Elly?" maki Hana lagi. "Jika ada sesuatu yang tidak beres setelah berita ini, kau perlu menyewa pengacara mahal untuk bisa menghadapi keluarga Arathorn di persidangan!" s
Tak lama setelah perbincangan keduanya, dua orang berstelan jas hitam lengkap dengan kacamata hitam dan Earpiece memasuki kios pakaian menghampiri mereka berdua.
"Kalian berdua ikut kami, Tuan Muda sudah menunggu," perintah salah satu pria berjas.
Kedatangan dua pria berjas itu membuat Hana terkejut bukan main sampai tidak bisa berkata apapun, Tidak mau membuat masalah, Hana dan Elly mengikuti ajakan mereka berdua. Elly dan Hana dituntun ke Starbucks yang terletak di seberang kios pakaian.
~TO BE CONTINUED~
Hana melangkah sembari menggandeng tangan Elly memasuki Starbucks, terlihat para pelayan sibuk menyiapkan pesanan para pembeli yang mengantri, serta ada pria berjanggut tipis dan berjaket kulit merah duduk disalah satu meja, menunggu sembari menggulir layar ponsel. Hana yang mengetahui siapa pria itu langsung menuntun Elly duduk dihadapannya."Hana tunggulah diluar.""Apa? Kau gila?""Ini masalahku Hana, tidak apa, sebentar saja kok.""Kalau apa - apa terjadi ingat, panggil aku, oke?"Menuruti permintaan Elly, Hana keluar dan menunggu Elly di balik pembatas kaca, ditemani dua pria berjas yang menjemput mereka sebelumnya. Pria berjaket kulit merah dihadapan Elly langsung mematikan ponselnya melihat orang yang ditunggunya sudah hadir."Okay, Shall we?" tanyanya pada Elly. "Hei dua Frappucino cepat!" perintahnya pada pelayan kedai."Aku rasa kau sudah menunggu kedatanganku. Namun sebelum itu, bagaimana caramu menemukanku, Tuan...?" tanya Elly santai."Owh! Willfred Arathorn, panggil
Meski sudah diberi headset untuk meredam suara mesin helikopter di tengah penerbangan, Elly masih gemetaran sambil memeluk erat Hana. Hana yang melihat temannya panik tidak bisa berhenti khawatir, terus mengelus kepala Elly untuk menenangkannya."Elly? Elly? Hei kau dengar aku?" tanya Hana yang memastikan komunikasi antar headset dengan Elly berjalan baik."Ke-ke-kecilkan suaramu, Hana," rintih Elly gemetar.Awak helikopter yang menjemput mereka tadi terheran melihat Elly yang begitu paniknya hanya karena mendengar suara mesin helikopter. "Maaf jika lancang, boleh aku tahu apa yang terjadi pada teman anda?" tanyanya."Pendengarannya sensitif, ia sering panik ketika mendengar suara - suara keras," jelas Hana. Mendengar penjelasan Hana, si awak hanya mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut, takut salah bicara.Setelah menjalani sekitar dua puluh menit penerbangan, akhirnya tujuan pendaratan helikopter sudah mulai terlihat. "Bersiaplah, Nona-nona, sebentar lagi kita akan mendarat,"
Sementara itu di luar ruang makan, Hana mondar mandir di koridor, khawatir akan hal buruk terjadi pada temannya yang sedang berbincang dengan Sir Edric. Will juga sedang jongkok di pinggir koridor sembari menekuri ponselnya, menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Sir Edric. Salah satu pelayan sedang berjaga didepan pintu masuk ruang makan, mencegah orang lain masuk dan mengganggu perbincangan Elly dan Sir Edric, juga mencegah agar Will dan Hana bertengkar lagi."Temanmu disetubuhi!" ledek Will yang masih sibuk dengan ponselnya.Hana terbelalak, wajahnya berubah berang setelah mendengar hinaan Will pada temannya. "Apa maksud perkataan menjijikkanmu itu!" sergah Hana yang seketika berhenti mondar – mandir."Setiap orang punya cara sendiri untuk berdamai, dan mungkin ayahku memilih berdamai dengan cara menggagahi temanmu. Konglomerat biasa begitu," duga Will asal - asalan.Muak dengan perlakuan Will di Houndshill dan perkataannya saat ini terhadap Elly, Hana menderap kehadapan Will,
".........ly!"".......Elly!""........Tetaplah didalam Elly!"".........Aku ada bersamamu, Nak!""Tutup telingamu, percaya padaku!""ELEANOR!"Elly terkesiap dan kembali tersadar setelah mendapat secercah bayangan kejadian samar selama tidak sadarkan diri. Ia mendapati dirinya terbaring berbalut selimut diatas sofa.Sementara itu, Margaret sedang mencuci peralatan memasak di dapur Elly, sembari menunggu masakannya matang di dalam oven. Setelah peralatan memasak seperti wajan dan sutil bersih dan tersusun rapi di rak piring, Margaret mengambil piring dan sendok untuk menadah masakannya, serta menyeduh teh dalam cangkir.Mendengarkan suara riuh dapur dari Margaret yang tengah sibuk menyiapkan makanan, Elly mencoba bangkit dari tempatnya berbaring dan berniat membantu Margaret."Nyonya Margaret? Tidak usah repot rep-.""A! A! Ah! Jangan coba - coba turun dari tempatmu, Nona Muda!""Tidak usah khawatir, Aku bisa sendi-.""Diam dan tunggu wanita tua ini selesai memasak!"Elly yang tidak bi
Cahaya bulan bersinar menerangi laut timur Skotlandia. Sebuah kapal keruk besar tengah menepi di bibir pantai Aberdeen, dimana sudah terlihat komplotan bersenjata dengan empat mobil terparkir di belakang mereka, menunggu kedatangan kapal tersebut. Empat awak kapal bahu - membahu menurunkan dua buah sarkofagus berlumut dari atas kapal."Hanya ini yang bisa kami angkat! Kami kehabisan oksigen untuk melanjutkan pencarian di dalam!" seru salah seorang awak kapal kepada komplotan yang dipimpin seorang wanita itu.Setelah bersusah payah mengangkat sarkofagus dari kapal, para awak meletakkan keduanya dihadapan para komplotan. Dengan menggunakan linggis sarkofagus dibuka, memperlihatkan jasad yang menghitam kering setelah berabad - abad tersimpan dalam sarkofagus.Aroma busuk me
Setelah berhasil mengajak Will bekerja sama dalam pencariannya, Elly kini tengah santai membaca buku yang ditulis dengan hurufbraile, ditemani oleh Will yang sedang duduk di hadapannya, mengenakan kaca mata hitam sembari manikmati segelas sampanye, di dalam jet pribadinya, diatas awan, terbang menuju London."Ah! Nikmatnya!" ujar Will setelah meneguk gelas sampanye. "Hei, John! Mau segelas?" tawar Will pada salah seorang pengawalnya yang sedang duduk dibangku penumpang bersama delapan pengawal lainnya."Tidak, Tuan. Nikmati saja minumanmu," tolak pengawal sopan.Tak lama, salah seorang pramugari dengan anggun mengantar nampan berisi Caviar dan Sushi ke bangku eksklusif tempat Elly dan Will duduk. "Silahkan dinikmati hidangan kami, Tuan dan Nona," ujar pram
London, Ibukota Inggris serta empat negara lain yang tergabung dalam satu kesatuan, Britania Raya. Kota digdaya dengan kemajuan berbagai aspek, kota yang namanya santer terdengar diseluruh penjuru Eropa sebagai pusat negara monarki terkuat dan paling disegani di dunia. Diantara banyaknya destinasi wisata, hanya ada satu tempat yang diramaikan pasang mata setiap harinya. Istana Buckingham, rumah Keluarga Kerajaan. Pelataran Istana diramaikan oleh ribuan pengunjung dari seluruh penjuru Inggris, ada yang hanya hendak melihat megahnya istana dan ada juga yang mengabadikan momen kedatangan mereka di kediaman Ratu Elizabeth II dengan merekam ataupun memotret. Will yang masih mengenakan kacamata hitam kini tengah berdiri di pinggir keramaian bersama Elly, memantau sekitar sembari memikirkan rencana untuk bisa masuk kedalam istana. "Hmmm, ini lebih ramai dari unjuk rasa minggu lalu. Menurutmu ada jalur rahasia yang tidak dijaga?" tanya Will pada Elly yang berdiri di sampingnya. Riuh kerama
Elly masih memegangi lengan Will selama berjalan, mengikuti langkah prajurit kerajaan yang kini telah sampai di koridor lantai tiga istana, melangkah menyusuri koridor istana. Seisi koridor terlihat begitu mewah terbalut ornamen khas kerajaan yang kental. Vas bunga terpajang rapi dan anggun disepanjang koridor serta dinding koridor dipenuhi potret keluarga kerjaan, mulai dari Pangeran Phillip, Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, Meghan Markle, Pangeran William dan Kate Middleton, terpajang anggun di sepanjang dinding koridor."186, 187, 188, 189," gumam Elly seraya menapaki langkahnya."Kali ini apa yang kau lakukan 'hah?" tanya Will heran."191, 192, menghitung langkah," jawab Elly datar."Dan apa manfaatnya?""195, 196 aku kan buta. Kalau tongkatku hilang dan aku tersesat bagaimana? 200, 201,"Setelah lama berjalan menyusuri koridor, langkah mereka bertiga berhenti di depan pintu putih setinggi 3 meter, berba