Cahaya bulan bersinar menerangi laut timur Skotlandia. Sebuah kapal keruk besar tengah menepi di bibir pantai Aberdeen, dimana sudah terlihat komplotan bersenjata dengan empat mobil terparkir di belakang mereka, menunggu kedatangan kapal tersebut. Empat awak kapal bahu - membahu menurunkan dua buah sarkofagus berlumut dari atas kapal.
"Hanya ini yang bisa kami angkat! Kami kehabisan oksigen untuk melanjutkan pencarian di dalam!" seru salah seorang awak kapal kepada komplotan yang dipimpin seorang wanita itu.
Setelah bersusah payah mengangkat sarkofagus dari kapal, para awak meletakkan keduanya dihadapan para komplotan. Dengan menggunakan linggis sarkofagus dibuka, memperlihatkan jasad yang menghitam kering setelah berabad - abad tersimpan dalam sarkofagus.
Aroma busuk menyeruak sesaat setelah sarkofagus terbuka, membuat orang - orang disekitarnya reflek menutup hidung karena tidak tahan akan baunya. Kecuali sang pemimpin komplotan yang berdiri dengan senyuman puas sembari melipat tangan, menghadap sarkofagus seraya menatapnya bangga.
"Madame!? Bagaimana bisa kau tidak kebauan?" tanya salah seorang anggota komplotan kepada pemimpinnya.
Wanita bergaun hitam terbalut mantel bulu itu hanya tertawa mendengar pertanyaan anak buahnya. "Tunjukkan hormat, Vigor. Jasad busuk yang kau lihat adalah jasad dari Raja Conall Mac Taidg, Pemimpin rakyat Gaelik. Lalu yang satunya, Raja Conall Mac Aedain, suksesor setelah Raja Conall turun tahta. Merekalah saksi --tidak. Merekalah kunci terbentuknya Skotlandia setelah pertempuran panjang melawan bangsa Pict," terangnya puas.
"Mengejutkan juga! Bisa-bisanya dua sarkofagus ini belum di temukan oleh CBA! Hahahaha! Johan ternyata tak begitu pintar jika di bandingkan para kolektor-kolektor pasar gelap!" sambungnya.
Vigor mengangkat alis, memasang wajah heran karena tak paham akan apa yang dijelaskan atasannya. "Lalu, Madame Silvie. Mau kita apakan jasad bus-- jasad kedua bangsawan ini? Apakah ada kolektor yang sudi menerima temuan ini?" tanya Vigor yang hampir saja keceplosan.
Silvie berjalan mendekati salah satu sarkofagus, memperhatikan isi sarkofaus dengan mendekatkan wajahnya, sembari mengelus kepala salah satu jasad hitam kering di dalamnya. "Yang pantas memiliki kedua temuan ini, adalah suamiku. Mon Amour. Inilah bentuk penghargaan yang pantas ia dapatkan," jelas Silvie yang masih mengelus wajah jasad, membuat orang-orang di sekitarnya memicing jijik melihat apa yang dilakukan Silvie.
Puas mengelus wajah jasad di dalam sarkofagus, Silvie kembali menganggkat tubuhnya. "Vigor, sebelum kita pergi, panggilkan tamu kita, ajak dia bergabung dalam momen bersejarah ini," perintah Silvie.
"Bawa dia kemari! Cepat!," seru Vigor pada anggota lainnya.
Mendengar perintah Vigor, dua orang anak buah Silvie berlari ke salah satu mobil, membuka bagasi lalu menyeret seseorang berpakaian jas dengan tangan terikat dan kepala yang tertutup kain dari dalam bagasi. Orang itu dibawa kehadapan Silvie dan dipaksa bertumpu lutut.
Silvie menyingkap kain yang menutupi kepala orang itu, menunjukkan wajah seorang pria tua botak dengan wajah yang dipenuhi lebam, tengah memicing mata seraya menangis ketakutan. "Bonne nuit, Professor Harold. Lihat apa yang kutemukan!," ujar Silvie girang pada pria tua itu.
Pria tua itu mengedar pandang, melihat sekitarnya sudah di kelilingi komplotan berjaket hitam serta pistol tersangga di holster pinggang, semakin ngeri melihat dimana ia berada kini. Tubuhnya bergetar, tak berani berontak, takut akan dipukuli lagi.
"Dengar! Entah kalian dari CBA, FBI, CIA atau siapapun, aku tidak tahu apa - apa, aku sudah lama tidak melakukan penelitian, aku sudah pensiun, biarkan aku pulang, kubayar berapapun biarkan aku-,"
PLAKK!
Silvie menampar Harold yang tengah meringis ketakutan, seketika membuatnya terdiam. "Tenanglah, tidak ada yang akan membunuhmu, aku hanya ingin menanyakan beberapa hal, itu saja. Kita mulai ya?" ujar Silvie yang langsung dibalas anggukan kepala gemetaran.
Silvie menatap kearah Vigor dan menganggukkan kepalanya. Seakan mengisyaratkan sesuatu pada bawahannya. Vigor yang mengerti maksud Silvie berlari kemobil, mengambil sebuah Tang lalu kembali berdiri di belakang Harold. Vigor kemudian mencengkram kuat kedua tangan Harold yang terikat tali, membuat Harold semakin gemetaran.
"Tunggu! Apa yang kau lakukan? Mau apa kalian?" seru Harold gemetaran yang melihat Silvie memberikan kode pada Vigor, serta merasakan kedua tangannya tengah di cengkram kuat.
Silvie menarik nafas dalam, bersiam memulai interogasinya. "Jadi, Professor James Harold, apa kau tahu sesuatu, tentang Northern Union Loot?" tanya Silvie dengan tatapan nanar serta seringai menakutkan.
"Tidak! Aku tidak tahu! Apa itu!? Aku belum pernah mendengar hal semacam it-."
CRAAKKK!!
"GGRRAAAAAAAAHHGGGGGGKKKK!!!"
Harold menjerit keras, memekik dengan suara parau, merasa kesakitan teramat sangat setelah Vigor mencabut kuku tangan Harold menggunakan Tang. "Aku dikenal sebagai orang sabar, Professor. Tapi aku tidak dapat mentolerir kebohongan. Kusarankan, perhatikan kata-katamu berikutnya," ancam Silvie.
"YOU BASTARD!!! FUCKING WHORE!!! YOU-." kutuk Harold pada Silvie.
CRAKKKK!!!
"AAAAAARRRGGGHHHHKKK!!!"
Belum sempat Harold menyelesaikan kutukannya, Vigor kembali menarik paksa kuku jemari Harold. Darah mengalir deras dari ruas jemari setelah kuku di tarik paksa. "Tersisa delapan jari lagi Professor, sekali lagi, pikirkan baik - baik kalimatmu berikutnya," himbau Silvie tanpa belas kasihan, meski dapat melihat jelas Harold meringis keras sampai nafasnya mulai berat menahan sakit.
"CBA menutup rapat segala hal menyangkut Northern Union Loot. Temuan - temuannya pun sudah tidak ada lagi di kantor mereka. Entah sudah berapa kali aku menemui Arkeolog CBA. Malangnya mereka. Mereka pasti masih hidup jika mau buka suara," papar Silvie.
"Aku penasaran, kira - kira dimana mereka menyembunyikannya. Mungkin kau tahu, Professor? Atau kau ingin bernasib sama seperti para rekanmu?" lanjut Silvie mengintimidasi.
"DEMI TUHAN!! DEMI TUHAN!!! AKU TIDAK TAHU DIMANA MEREKA MENYIMPAN TEM-,"
CRAKKKK!!!
"GRAAAAAAAAAAGHHHKKKKK!!"
"Tidak ada tuhan dipesisir pantai ini, Professor. Hanya ada aku. Ayolah, jangan memaksaku jadi jahat."
"AKU MENGATAKAN YANG SEBENARNYA!! AKU TID-."
CRAKKK!!!!!
"GRAAAAAAGHHHKKKK!!!!"
"Masih lanjut omong kosongnya?"
"BUNUH SAJA AKU!! BUNUH SAJA AKU!!!BUN-."
CRAKKK!!!
"AAAAAAAAAAGGHHHHHKKK!!"
"Ayolah! Aku tidak punya waktu semalaman disini, Professor."
"BIRMINGHAM!!! RUBANAH RUMAH BERNARD!!!!!
Silvie tersenyum sinis mendengar pengakuan Harold, setelah tak Harold tak kuasa menahan sakit dari jemari yang terus-terusan di cabut kukunya. Darah bercucuran deras dari jemari Harold memenuhi pasir di sekitarnya dengan genangan darah yang menetes. "Wow! Terima kasih banyak, Professor. Baik sekali dirimu. Padahal kau tak perlu repot-repot memberitahu jika tak ingin," ujar satir Silvie.
Setelah pengakuan itu, Silvie memerintahkan Vigor untuk melepas ikatan Harold dan membiarkan Harold pergi. Setelah ikatan tali di putus dengan pisau, Harold segera bangkit lalu menderap panik meninggalkan Silvie beserta komplotan bersenjata.
"KALIAN MONSTER! IBLIS! MONSTER! " teriak Harold sembari berlari panik menggenggam tangan yang bercucuran darah, dengan langkah derapan pincang, kesulitan menapaki pasir di sekitar pijakannya.
DOR!!
Sebutir peluru berhasil menembus kepala Harold setelah Silvie meraih pistol yang di pegang salah satu anak buahnya, membuat Harold yang tengah berlari tewas seketika di atas hamparan pasir.
"Huh, Babi Hutan masih lebih cepat," ujar Silvie datar, tak menunjukkan ekspresi apapapun saat melihat jelas Harold yang terbaring meregang nyawa.
~TO BE CONTINUED~
Setelah berhasil mengajak Will bekerja sama dalam pencariannya, Elly kini tengah santai membaca buku yang ditulis dengan hurufbraile, ditemani oleh Will yang sedang duduk di hadapannya, mengenakan kaca mata hitam sembari manikmati segelas sampanye, di dalam jet pribadinya, diatas awan, terbang menuju London."Ah! Nikmatnya!" ujar Will setelah meneguk gelas sampanye. "Hei, John! Mau segelas?" tawar Will pada salah seorang pengawalnya yang sedang duduk dibangku penumpang bersama delapan pengawal lainnya."Tidak, Tuan. Nikmati saja minumanmu," tolak pengawal sopan.Tak lama, salah seorang pramugari dengan anggun mengantar nampan berisi Caviar dan Sushi ke bangku eksklusif tempat Elly dan Will duduk. "Silahkan dinikmati hidangan kami, Tuan dan Nona," ujar pram
London, Ibukota Inggris serta empat negara lain yang tergabung dalam satu kesatuan, Britania Raya. Kota digdaya dengan kemajuan berbagai aspek, kota yang namanya santer terdengar diseluruh penjuru Eropa sebagai pusat negara monarki terkuat dan paling disegani di dunia. Diantara banyaknya destinasi wisata, hanya ada satu tempat yang diramaikan pasang mata setiap harinya. Istana Buckingham, rumah Keluarga Kerajaan. Pelataran Istana diramaikan oleh ribuan pengunjung dari seluruh penjuru Inggris, ada yang hanya hendak melihat megahnya istana dan ada juga yang mengabadikan momen kedatangan mereka di kediaman Ratu Elizabeth II dengan merekam ataupun memotret. Will yang masih mengenakan kacamata hitam kini tengah berdiri di pinggir keramaian bersama Elly, memantau sekitar sembari memikirkan rencana untuk bisa masuk kedalam istana. "Hmmm, ini lebih ramai dari unjuk rasa minggu lalu. Menurutmu ada jalur rahasia yang tidak dijaga?" tanya Will pada Elly yang berdiri di sampingnya. Riuh kerama
Elly masih memegangi lengan Will selama berjalan, mengikuti langkah prajurit kerajaan yang kini telah sampai di koridor lantai tiga istana, melangkah menyusuri koridor istana. Seisi koridor terlihat begitu mewah terbalut ornamen khas kerajaan yang kental. Vas bunga terpajang rapi dan anggun disepanjang koridor serta dinding koridor dipenuhi potret keluarga kerjaan, mulai dari Pangeran Phillip, Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, Meghan Markle, Pangeran William dan Kate Middleton, terpajang anggun di sepanjang dinding koridor."186, 187, 188, 189," gumam Elly seraya menapaki langkahnya."Kali ini apa yang kau lakukan 'hah?" tanya Will heran."191, 192, menghitung langkah," jawab Elly datar."Dan apa manfaatnya?""195, 196 aku kan buta. Kalau tongkatku hilang dan aku tersesat bagaimana? 200, 201,"Setelah lama berjalan menyusuri koridor, langkah mereka bertiga berhenti di depan pintu putih setinggi 3 meter, berba
"Selamat datang di Baskin Robbins! Mau pesan apa hari ini?,"Seperti biasa, kedai eskrim kenamaan Baskin Robbins dipadati banyak pelanggan, sementara para karyawan di balik meja kasir, sibuk menyiapkan pesanan serta melayani antrian pelanggan, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang karyawan yang bekerja. Beberapa karyawan terlihat hilir-mudik keluar-masuk dapur untuk menyiapkan serta memberikan pesanan para pelanggan yang didominasi oleh kaula muda."TigaMint Ice Cream Cakedan satuMarshmallow milkshake!"seru Hana yang baru saja meletakkan nampan berisi pesanan di atas meja kasir."Setelah ini siapkan duaStrawberry Waffle Conedan duaBlueberry Smoothieya, Hana!" sambut salah seorang karyawan sembari mengambil nampan yang dibawa Hana untuk diantar ke pelanggan."On it,Kate!" balas Hana yang langsung dengan cepat berjalan ke dapur.Baik Hana dan karyawan l
Selama hampir satu jam menelusuri rak itu, keduanya belum juga menemukan catatan Raja Edward III, bahkan Elly sampai duduk bersandar di samping pajangan pedang menunggu keduanya menemukan buku tersebut."Kau temukan sesuatu, Tuan Albert?" tanya Will yang masih mencari di rak bagian bawah."Masih belum. Aku juga heran, harusnya catatan para Raja tersimpan semua disini," balas Albert sembari mengusap kacamatanya yang ketutupan debu.Will mulai kelelahan dan hilang harap karena ia dan Albert belum kunjung menemukan buku yang mereka cari. Namun, secercah harapan muncul setelah Elly yang teringat akan sesuatu bangkit dari sandarannya."Atau, catatan Raja Edward III memang tidak pernah tersimpan disini! Raja Edward III di-cap sebagaiDisinheritedkarena berkonspirasi dengan Raja Skotlandia, Edward Balliol, dalam pertempuran di Bannockburn. Ia tidak dianggap sebagai penguasa Inggris karena bekerja sama dengan Kerajaan Skotlandia dengan menjanj
Setelah berhasil mendapatkan petunjuk di Istana Buckingham, perjalanan Elly, Will dan Albert berlanjut ke Birmingham sesuai dengan petunjuk dalam berkas Sir Edric. Ketiganya sedang di tengah perjalanan dengan mengendarai BMW M3 Sedan berwarna merah, diikuti oleh dua mobil berjenis sama yang berisi delapan orang pengawal pribadi Will, menyusuri lalu lintas London yang tidak terlalu padat."Sebenarnya kau tidak perlu berkendara, Tuan Albert. Kami mungkin butuh bantuanmu, tapi tidak sejauh ini. Benar kan, Elly?" ujar Will sembari bertanya pada Elly di jok belakang."Kau hanya tidak mau aku buat mobil ini lecet kan, Wilfred? Hahaha! Asal kau tahu saja, orang tua ubanan ini pernah mengantar Pangeran Charles ke Sheffield mengendarai Limousin. Jangan kira aku tidak paham bagaimana menangani mobil - mobil mahal," balas Albert sombong."Jadi, setibanya di London kau membeli tiga mobil hanya untuk kita berpergian, Will?" tanya Elly."Jet-ku tidak bisa mengangkut mo
Di malam sebelumnya, setelah Silvie berhasil mengangkat sarkofagus dari pesisir Pantai Aberdeen serta membunuh Harold di saat yang sama pula. Sebuah truk bak terbuka, dengan tirai besar yang menutupi bagian atas baknya, tengah melaju di jalanan malam yang lengang.Truk itu tak sendiri, dua mobil Van hitam melaju di depannya. Seakan mengawal dan mengawasi apapun yang tengah truk itu bawa. Silvie terlihat di jok depan salah satu mobil Van, menikmati semilir angin malam dari jendela mobil yang terbuka sepenuhnya. Sembari menghisap batang rokok yang terhimpit di jemarinya, dengan santai ia menghembuskan asap hingga ikut terbawa semilir angin.Malam begitu larut saat tiga kendaraan ini tengah melakukan perjalanan. Kendaraan yang melintas dapat dihitung jari. Jalan raya begitu redup, walau lampu jalan menyala di setiap sisi, hanya cahaya tiga kendaraan ini yang paling benderang menyoroti."Sepenting apa dua sarkofagus ini,Madame?
Setelah melewati perjalanan yang tidak mudah lagi mengancam nyawa, dengan masih mengendarai mobil penuh penyok pasca pengejaran, berkas pemberian Sir Edric mengarahkan mobil yang dikendarai Albert ke sebuah lingkungan pedalaman yang hening, tempat sebuah rumah dua lantai terletak, di kelilingi pepohonan rimbun serta danau besar di samping rumah itu. Ketiganya turun dari mobil dan berjalan kearah teras rumah untuk menemui Professor Bernard Jordan, nama yang tersebut di dalam berkas pemberian Sir Edric. "Permisi. Ada orang di rumah?" panggil Albert setelah mengetuk pintu depan rumah. Will mengedar pandang sekitar, melihat betapa terselubungnya lokasi yang mereka datangi. "Elly, kau yakin ini tempat yang dimaksud? Maksudku, tidak ada pagar, tidak ada tetangga dan hanya ada pohon dan danau sejauh mata memandang. Tempat ini seperti sudah ditinggalkan," ujar Will. Perkataan Will cenderung masuk akal mengingat rumah yang tak terlalu luas itu benar-benar sunyi.