".........ly!"
".......Elly!"
"........Tetaplah didalam Elly!"
".........Aku ada bersamamu, Nak!"
"Tutup telingamu, percaya padaku!"
"ELEANOR!"
Elly terkesiap dan kembali tersadar setelah mendapat secercah bayangan kejadian samar selama tidak sadarkan diri. Ia mendapati dirinya terbaring berbalut selimut diatas sofa.
Sementara itu, Margaret sedang mencuci peralatan memasak di dapur Elly, sembari menunggu masakannya matang di dalam oven. Setelah peralatan memasak seperti wajan dan sutil bersih dan tersusun rapi di rak piring, Margaret mengambil piring dan sendok untuk menadah masakannya, serta menyeduh teh dalam cangkir.Mendengarkan suara riuh dapur dari Margaret yang tengah sibuk menyiapkan makanan, Elly mencoba bangkit dari tempatnya berbaring dan berniat membantu Margaret.
"Nyonya Margaret? Tidak usah repot rep-."
"A! A! Ah! Jangan coba - coba turun dari tempatmu, Nona Muda!"
"Tidak usah khawatir, Aku bisa sendi-."
"Diam dan tunggu wanita tua ini selesai memasak!"
Elly yang tidak bisa membantah, hanya bisa diam dan menunggu Margaret selesai dengan masakannya. Bel oven berbunyi, tanda masakan sudah matang. Margaret mengambil dan mengenakan sarung tangan oven lalu dengan berhati - hati ia mengeluarkan masakannya dari dalam oven. Ternyata Margaret memasak Lasagna, dengan telaten ia mengambil potongan besar Lasagna dari dalam loyang besi dan menadahkannya di atas piring.
Dengan membawa nampan berisi sepiring Lasagna dan segelas teh kamomil, Margaret duduk disamping Elly. "Karena berbicara saja kau lemas, biar aku suapi. Duduklah, pelan - pelan saja," ujarnya.
Elly hanya bisa menuruti perintah Margaret karena lapar dan tidak mau berdebat lagi dengannya. Perlahan ia bangkit lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, supaya Margaret bisa dengan mudah menyuapinya.
Bak ibu merawat anaknya yang sedang sakit, dengan lembut dan perlahan Margaret menyuapkan sendok demi sendok Lasagna buatannya. Tiap suapan diterima dengan lahap, bahkan sesekali mulut Elly terbuka sebelum Margaret sempat menyendok Lasagna dari piring.
Lasagna buatan Margaret habis tanpa sisa dilahap oleh Elly, yang belum menyentuh makanan selama dua hari, hanya kopi kalengan yang mengisi pencernaannya. Margaret menaruh piring kosong keatas nampan, mengambil segelas teh dan memandu tangan Elly untuk bisa menggenggam gelas, sembari menyeka mulut dan dahinya yang keringatan dengan serbet.
"Ngomong - ngomong, Nyonya Margaret, ada perlu apa datang kesini?" tanya Elly sembari menyeruput teh.
"Aku tidak melihatmu dua hari ini. Awalnya aku berpikir kau sudah pergi kerja seperti biasa. Tapi, sepatumu masih kelihatan didepan pintu. Dugaanku benar, kau tidak keluar kamar dua hari ini. Apa yang sedang kau kerjakan, Anakku?" tanya Margaret khawatir.
"Well, hanya bekerja seperti biasa kok Nyonya, hanya saja kali ini lebih, pelik, mungkin?" jawab Elly berkilah.
"Elly sayangku, kau tidak pernah berhenti membuatku kagum sejak pertama aku pindah ke samping tempatmu. Tapi, apa lagi yang coba kau buktikan, Nak? Apakah sebanding dengan menyiksa dirimu sendiri?" tanyanya iba.
Elly tertegun, matanya berkaca - kaca dan tangannya mengeratkan genggam mendengar setiap perkataan Margaret yang amat sangat memperdulikannya.
"Da-Dari sekian banyak penghuni apartemen ini, mengapa kau sebaik ini padaku, Nyonya? A-Aku ... aku hanya.... gadis buta.....Se-Semua ini.... semata untuk menunjukkan... jika aku bisa setara... de-dengan yang lain... meski tanpa penglihatan," ucap Elly sesenggukan, air mata tercucur deras, bibirnya bergetar mengucap setiap kata.
Margaret dengan inisiatif cepat mendekap lembut Elly yang mencurahkan semua ganjalan batinnya. Mencoba menenangkan gadis muda yang tidak bisa lagi menahan tangisnya.
"A-Aku... menolak ajakan ... ba-banyak kantor berita... karena aku takut... orang lain... ti-tidak suka dengan... keterbatasanku," sambung Elly masih kalut dalam tangis yang begitu pilu, hingga air matanya membasahi bagian pundak gaun motif bunga Margaret.
"Begitu-begitu, keluarkan semuanya, Cantik. Kau sudah melalui banyak hal. Kau pasti sangat lelah, bukan? Ingatlah anakku, tidak ada yang bisa membedakanmu dengan siapapun. Baik keterbatasanmu atau apapun itu. Dimataku, kau adalah anak mungil yang manis, namun siap bertarung layaknya prajurit Istana Buckingham," hibur Margaret sembari mengelus lembut kepalanya.
Margaret melepas lembut dekapannya, lalu mengusap wajah Elly yang kuyup dibasahi air mata. "Bagaimana? Sudah lebih baik bukan?" tanya Margaret, yang disambut dengan anggukan Elly.
"Sebentar. Apa kau baru saja menyebut Istana Buckingham, Nyonya?"
"Apa aku ada salah bicara, Nak?"
"NYONYA MARGARET! KAU JENIUS!"
Elly yang teringat akan sesuatu kembali memeluk Margaret sembari tertawa kegirangan. Sementara Margaret bingung melihat kesedihan Elly dengan cepat sirna tergantikan riang tawa.
"Temuan artefak CBA berfokus ke perang antara Gael dan Pict. Namun ada perbedaan signifikan antara Arkeolog dan Pengamat sejarah! Mereka terlalu fokus melakukan penggalian namun tidak ada satupun penemuan yang berlandas dokumen kerajaan! Itulah kenapa pencarian ini menemui jalan buntu! Pencarian ini mungkin mengarah langsung pada arsip kerajaan Inggris! Astaga kenapa aku bodoh sekali! Kenapa pertempuran Bannockburn bisa terlewat! Perang yang diikuti langsung oleh Raja Edward III! Ini semua tentang konflik dengan Skotlandia! Raja Edward pasti punya peninggalan, catatan atau apapun yang bisa menjadi petunjuk! INI JALAN EMAS!" seru Elly menggenggam pundak Margaret.
"O-Yi-Yippiee! Kau menemukan emas!" seru Margaret canggung, tidak mengerti satupun kalimat yang diucapkan Elly.
Tak lama Elly sadar dia kelepasan dalam bertingkah laku, membuatnya malu sendiri dihadapan Margaret. "Emm, maafkan aku Nyonya, sepertinya aku terlalu bersemangat," kilah Elly, wajahnya memerah menahan malu.
Elly melepas genggamannya dari bahu margaret dan bergegas kembali ke kamarnya. "Terima kasih makanannya, Nyonya. Aku rasa aku harus lanjut bekerja. Kalau mau pulang, jangan lupa tutup pintunya ya," pamit Elly berusaha kembali ke kamarnya.
Margaret dengan cepat menggenggam lengan Elly dan mendudukkannya kembali ke sofa. "Kau tidak akan pergi kemana - mana, Nona Muda! Satu - satunya pekerjaanmu sekarang adalah IS! TI! RA! HAT!" tegas Margaret.
Elly yang mengamini perkataan Margaret seketika berbaring, menyandarkan kepalanya ke atas paha Margaret. "Baiklah, Nyonya. Kau tidak keberatan untuk menemaniku satu hari ini saja kan? Hanya sampai aku tertidur," tanya Elly lirih.
Margaret kembali membalutkan selimut keatas tubuh Elly, mengecup lembut dahinya lalu mengelus - elus kepalanya. "Aku akan di sini, kapanpun kau butuh. Karena aku adalah tetangga terbaik di Britania, hahaha," celetuk Margaret.
[***]
Pasca pertemuannya dengan Sir Edric dan Elly terkait permasalahan Thorn Construction, Will disibukkan dengan banyak berkas menumpuk dimeja kerjanya serta panggilan telpon yang tiada habisnya.
"Baik, Pak. Saya pastikan saham perusahaan tidak akan anjlok terkait pemberitaan baru - baru ini. Belum banyak investor yang menarik diri dari perusahaan, jadi kita masih bisa mengatur perencanaan proyek mendatang. Akan kutelpon lagi jika ada perkembangan," ucap Will segera menutup telpon setelah berbincang dengan Kliennya.
Setelah lama sibuk dengan perbincangan di telpon, Will berniat menyelesaikan banyak berkas yang tertumpuk. Namun, hal tersebut terjeda ketika sekretarisnya mengetuk pintu lalu memasuki ruangan.
"Tuan Wilfred, apa kau punya waktu sebentar?" tanya Sekretaris.
"Kau tidak lihat aku sedang sibuk, Jane? Kontrak - kontrak kerja ini tidak akan bisa menandatangani dirinya sendiri bukan?" sergah Will. "Well. Berterima kasihlah pada Fox dan kawan - kawannya, sekarang aku hanya perlu memperbaharui upah para pekerja dengan jumlah yang mereka bilang 'wajar'. What a freaking day, wajar semua orang ingin jadi direktur," gerutunya sembari menandatangani berkas.
"Maaf jika aku mengganggumu, Pak. Namun kau kedatangan tamu, dia bilang suruhan Sir Edric," papar Sekretaris.
"Apa lagi yang diinginkan Pak Tua itu!? Tidakkah cukup menempatkanku dalam neraka berkas ini?" sungut Will kesal. "Yasudah, Jane. Suruh dia masuk, sekalian buatkan kopi," pungkasnya.
Seiring dengan keluarnya si sekretaris, orang yang disebut suruhan Sir Edric tadi memasuki ruang kerja Will. Will mengernyitkan alis tatkala mengetahui bahwa perempuan yang mengenakan jaket coklat serta menyandang tas selempang putih itu adalah Elly, yang dengan santai memasuki ruangan sambil meraba sekitar dengan tongkat tunanetranya.
Will berdiri seraya memandang nanar, mengacuhkan berkas yang tadinya ia kerjakan. "Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa masuk ke kantorku!?" tanya Will heran.
Dengan santai Elly menutup pintu ruangan lalu menduduki kursi di depan meja kerja Will. "Keuntungan menjadi orang buta adalah, apapun yang diucapkan hampir mustahil dicurigai. Satpam dan sekretarismu kuakui sangat baik mau mengantarku ke kantormu tanpa prosedur macam - macam," jawab Elly.
Will mengusap keras kepalanya, tidak habis pikir setelah semua yang terjadi diantara mereka berdua, Elly masih dengan santai menjumpai Will dikantornya sendiri. "Lalu apa maumu? Hah? Mau mengejekku? Dengar, hariku sudah cukup menyesakkan, dan terima kasih untukmu karena sudah membuat semua lebih kacau lagi. Hei, bagaimana jika kau keluar dan cari perusahaan lain untuk kau kacaukan? Carikan aku teman, setidaknya aku tidak sendirian akibat ulahmu. Sebentar biar kubuat lebih mudah untukmu," gerutu Will.
Will berjalan kearah pintu masuk, berniat membukakan pintu untuk Elly. "Semua yang kau lakukan adalah usaha pembuktian," ujar Elly.
Tepat dihadapan pintu, langkah Will terhenti sesaat mendengar ucapan Elly. "Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?" tanya Will yang perlahan memutar tubuh menghadap Elly.
"Kekayaan Sir Edric tanpa bisa dipungkiri memang sangat sulit ditandingi. Baik kalangan atas maupun bawah Britania mengetahui namanya. Dan itu menjadi beban tersendiri untukmu selaku penerus kekayaannya. Setidaknya itulah perkiraanku setelah merasakan perlakuanmu dan mendengar perkataanmu pada Sir Edric di jamuan tempo hari," tambah Elly.
"Aku pernah mendengar omong kosong yang lebih baik lagi daripada yang barusan kau katakan!" kilah Will.
"Perlakuanmu padaku dan Hana memang tidak bisa dimaafkan, namun aku bukan tipikal orang yang gampang membenci. Baik dan buruk perbuatan seseorang pasti dilandaskan oleh suatu hal. Suatu hal itulah yang membuatku datang kesini," papar Elly.
Meski sempat tertarik untuk mendengar ucapan Elly lebih lanjut, Will berusaha mengabaikan lalu membuka pintu kantornya. "Waktu mengobrol sudah habis, mohon pergi dan jangan kembali," usir Will dengan sopan.
Elly berdiri dari duduknya dan berjalan perlahan kearah pintu masuk. Namun langkahnya terhenti sebelum keluar. "Sir Edric membuat penawaran untukku. Jika kau membantuku menyelesaikan tugas pemberiannya, dapat kupastikan keberhasilanmu untuk membuktikan diri dihadapan ayahmu. Percaya atau tidak percaya, itu pilihanmu. Kutegaskan, kedatanganku bukan untuk mengejekmu, melainkan membantumu. Simbiosis Mutualisme, jika kau pernah dengar istilah itu. Lacak lagi ponselku jika kau berubah pikiran. Aku permisi dulu," pamit Elly melangkah keluar dari kantor Will.
Will menutup pintu kantornya sesaat setelah Elly pergi. Namun, tawaran Elly membuat dirinya bimbang. Ia masih marah pada Elly terkait tersiarnya berita mengenai Thorn Construction, namun disisi lain tawaran Elly layak diterima meski Will sendiri belum mengetahui tugas seperti apa yang diberikan ayahnya pada Elly.
Setelah beberapa saat termenung didepan pintu, Will mengernyitkan dahi dan kembali membuka pintu, berharap keputusannya tepat. "Tunggu! Tugas macam apa yang diberikan ayahku padamu?" sergah Will, mengejutkan para karyawan di bilik meja kerja mereka. Seketika menjeda langkah Elly yang belum jauh dari kantornya.
Elly tersenyum simpul mengetahui keberhasilannya membujuk Will untuk membantunya dalam pencarian Northern Union Loot. "Butuh waktu lama untuk menjelaskannya. Tapi untuk sekarang, aku butuh tumpangan ke London," terang Elly.
~TO BE CONTINUED~
Cahaya bulan bersinar menerangi laut timur Skotlandia. Sebuah kapal keruk besar tengah menepi di bibir pantai Aberdeen, dimana sudah terlihat komplotan bersenjata dengan empat mobil terparkir di belakang mereka, menunggu kedatangan kapal tersebut. Empat awak kapal bahu - membahu menurunkan dua buah sarkofagus berlumut dari atas kapal."Hanya ini yang bisa kami angkat! Kami kehabisan oksigen untuk melanjutkan pencarian di dalam!" seru salah seorang awak kapal kepada komplotan yang dipimpin seorang wanita itu.Setelah bersusah payah mengangkat sarkofagus dari kapal, para awak meletakkan keduanya dihadapan para komplotan. Dengan menggunakan linggis sarkofagus dibuka, memperlihatkan jasad yang menghitam kering setelah berabad - abad tersimpan dalam sarkofagus.Aroma busuk me
Setelah berhasil mengajak Will bekerja sama dalam pencariannya, Elly kini tengah santai membaca buku yang ditulis dengan hurufbraile, ditemani oleh Will yang sedang duduk di hadapannya, mengenakan kaca mata hitam sembari manikmati segelas sampanye, di dalam jet pribadinya, diatas awan, terbang menuju London."Ah! Nikmatnya!" ujar Will setelah meneguk gelas sampanye. "Hei, John! Mau segelas?" tawar Will pada salah seorang pengawalnya yang sedang duduk dibangku penumpang bersama delapan pengawal lainnya."Tidak, Tuan. Nikmati saja minumanmu," tolak pengawal sopan.Tak lama, salah seorang pramugari dengan anggun mengantar nampan berisi Caviar dan Sushi ke bangku eksklusif tempat Elly dan Will duduk. "Silahkan dinikmati hidangan kami, Tuan dan Nona," ujar pram
London, Ibukota Inggris serta empat negara lain yang tergabung dalam satu kesatuan, Britania Raya. Kota digdaya dengan kemajuan berbagai aspek, kota yang namanya santer terdengar diseluruh penjuru Eropa sebagai pusat negara monarki terkuat dan paling disegani di dunia. Diantara banyaknya destinasi wisata, hanya ada satu tempat yang diramaikan pasang mata setiap harinya. Istana Buckingham, rumah Keluarga Kerajaan. Pelataran Istana diramaikan oleh ribuan pengunjung dari seluruh penjuru Inggris, ada yang hanya hendak melihat megahnya istana dan ada juga yang mengabadikan momen kedatangan mereka di kediaman Ratu Elizabeth II dengan merekam ataupun memotret. Will yang masih mengenakan kacamata hitam kini tengah berdiri di pinggir keramaian bersama Elly, memantau sekitar sembari memikirkan rencana untuk bisa masuk kedalam istana. "Hmmm, ini lebih ramai dari unjuk rasa minggu lalu. Menurutmu ada jalur rahasia yang tidak dijaga?" tanya Will pada Elly yang berdiri di sampingnya. Riuh kerama
Elly masih memegangi lengan Will selama berjalan, mengikuti langkah prajurit kerajaan yang kini telah sampai di koridor lantai tiga istana, melangkah menyusuri koridor istana. Seisi koridor terlihat begitu mewah terbalut ornamen khas kerajaan yang kental. Vas bunga terpajang rapi dan anggun disepanjang koridor serta dinding koridor dipenuhi potret keluarga kerjaan, mulai dari Pangeran Phillip, Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, Meghan Markle, Pangeran William dan Kate Middleton, terpajang anggun di sepanjang dinding koridor."186, 187, 188, 189," gumam Elly seraya menapaki langkahnya."Kali ini apa yang kau lakukan 'hah?" tanya Will heran."191, 192, menghitung langkah," jawab Elly datar."Dan apa manfaatnya?""195, 196 aku kan buta. Kalau tongkatku hilang dan aku tersesat bagaimana? 200, 201,"Setelah lama berjalan menyusuri koridor, langkah mereka bertiga berhenti di depan pintu putih setinggi 3 meter, berba
"Selamat datang di Baskin Robbins! Mau pesan apa hari ini?,"Seperti biasa, kedai eskrim kenamaan Baskin Robbins dipadati banyak pelanggan, sementara para karyawan di balik meja kasir, sibuk menyiapkan pesanan serta melayani antrian pelanggan, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang karyawan yang bekerja. Beberapa karyawan terlihat hilir-mudik keluar-masuk dapur untuk menyiapkan serta memberikan pesanan para pelanggan yang didominasi oleh kaula muda."TigaMint Ice Cream Cakedan satuMarshmallow milkshake!"seru Hana yang baru saja meletakkan nampan berisi pesanan di atas meja kasir."Setelah ini siapkan duaStrawberry Waffle Conedan duaBlueberry Smoothieya, Hana!" sambut salah seorang karyawan sembari mengambil nampan yang dibawa Hana untuk diantar ke pelanggan."On it,Kate!" balas Hana yang langsung dengan cepat berjalan ke dapur.Baik Hana dan karyawan l
Selama hampir satu jam menelusuri rak itu, keduanya belum juga menemukan catatan Raja Edward III, bahkan Elly sampai duduk bersandar di samping pajangan pedang menunggu keduanya menemukan buku tersebut."Kau temukan sesuatu, Tuan Albert?" tanya Will yang masih mencari di rak bagian bawah."Masih belum. Aku juga heran, harusnya catatan para Raja tersimpan semua disini," balas Albert sembari mengusap kacamatanya yang ketutupan debu.Will mulai kelelahan dan hilang harap karena ia dan Albert belum kunjung menemukan buku yang mereka cari. Namun, secercah harapan muncul setelah Elly yang teringat akan sesuatu bangkit dari sandarannya."Atau, catatan Raja Edward III memang tidak pernah tersimpan disini! Raja Edward III di-cap sebagaiDisinheritedkarena berkonspirasi dengan Raja Skotlandia, Edward Balliol, dalam pertempuran di Bannockburn. Ia tidak dianggap sebagai penguasa Inggris karena bekerja sama dengan Kerajaan Skotlandia dengan menjanj
Setelah berhasil mendapatkan petunjuk di Istana Buckingham, perjalanan Elly, Will dan Albert berlanjut ke Birmingham sesuai dengan petunjuk dalam berkas Sir Edric. Ketiganya sedang di tengah perjalanan dengan mengendarai BMW M3 Sedan berwarna merah, diikuti oleh dua mobil berjenis sama yang berisi delapan orang pengawal pribadi Will, menyusuri lalu lintas London yang tidak terlalu padat."Sebenarnya kau tidak perlu berkendara, Tuan Albert. Kami mungkin butuh bantuanmu, tapi tidak sejauh ini. Benar kan, Elly?" ujar Will sembari bertanya pada Elly di jok belakang."Kau hanya tidak mau aku buat mobil ini lecet kan, Wilfred? Hahaha! Asal kau tahu saja, orang tua ubanan ini pernah mengantar Pangeran Charles ke Sheffield mengendarai Limousin. Jangan kira aku tidak paham bagaimana menangani mobil - mobil mahal," balas Albert sombong."Jadi, setibanya di London kau membeli tiga mobil hanya untuk kita berpergian, Will?" tanya Elly."Jet-ku tidak bisa mengangkut mo
Di malam sebelumnya, setelah Silvie berhasil mengangkat sarkofagus dari pesisir Pantai Aberdeen serta membunuh Harold di saat yang sama pula. Sebuah truk bak terbuka, dengan tirai besar yang menutupi bagian atas baknya, tengah melaju di jalanan malam yang lengang.Truk itu tak sendiri, dua mobil Van hitam melaju di depannya. Seakan mengawal dan mengawasi apapun yang tengah truk itu bawa. Silvie terlihat di jok depan salah satu mobil Van, menikmati semilir angin malam dari jendela mobil yang terbuka sepenuhnya. Sembari menghisap batang rokok yang terhimpit di jemarinya, dengan santai ia menghembuskan asap hingga ikut terbawa semilir angin.Malam begitu larut saat tiga kendaraan ini tengah melakukan perjalanan. Kendaraan yang melintas dapat dihitung jari. Jalan raya begitu redup, walau lampu jalan menyala di setiap sisi, hanya cahaya tiga kendaraan ini yang paling benderang menyoroti."Sepenting apa dua sarkofagus ini,Madame?