Elly masih memegangi lengan Will selama berjalan, mengikuti langkah prajurit kerajaan yang kini telah sampai di koridor lantai tiga istana, melangkah menyusuri koridor istana. Seisi koridor terlihat begitu mewah terbalut ornamen khas kerajaan yang kental. Vas bunga terpajang rapi dan anggun disepanjang koridor serta dinding koridor dipenuhi potret keluarga kerjaan, mulai dari Pangeran Phillip, Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, Meghan Markle, Pangeran William dan Kate Middleton, terpajang anggun di sepanjang dinding koridor.
"186, 187, 188, 189," gumam Elly seraya menapaki langkahnya.
"Kali ini apa yang kau lakukan 'hah?" tanya Will heran.
"191, 192, menghitung langkah," jawab Elly datar.
"Dan apa manfaatnya?"
"195, 196 aku kan buta. Kalau tongkatku hilang dan aku tersesat bagaimana? 200, 201,"
Setelah lama berjalan menyusuri koridor, langkah mereka bertiga berhenti di depan pintu putih setinggi 3 meter, berba
"Selamat datang di Baskin Robbins! Mau pesan apa hari ini?,"Seperti biasa, kedai eskrim kenamaan Baskin Robbins dipadati banyak pelanggan, sementara para karyawan di balik meja kasir, sibuk menyiapkan pesanan serta melayani antrian pelanggan, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang karyawan yang bekerja. Beberapa karyawan terlihat hilir-mudik keluar-masuk dapur untuk menyiapkan serta memberikan pesanan para pelanggan yang didominasi oleh kaula muda."TigaMint Ice Cream Cakedan satuMarshmallow milkshake!"seru Hana yang baru saja meletakkan nampan berisi pesanan di atas meja kasir."Setelah ini siapkan duaStrawberry Waffle Conedan duaBlueberry Smoothieya, Hana!" sambut salah seorang karyawan sembari mengambil nampan yang dibawa Hana untuk diantar ke pelanggan."On it,Kate!" balas Hana yang langsung dengan cepat berjalan ke dapur.Baik Hana dan karyawan l
Selama hampir satu jam menelusuri rak itu, keduanya belum juga menemukan catatan Raja Edward III, bahkan Elly sampai duduk bersandar di samping pajangan pedang menunggu keduanya menemukan buku tersebut."Kau temukan sesuatu, Tuan Albert?" tanya Will yang masih mencari di rak bagian bawah."Masih belum. Aku juga heran, harusnya catatan para Raja tersimpan semua disini," balas Albert sembari mengusap kacamatanya yang ketutupan debu.Will mulai kelelahan dan hilang harap karena ia dan Albert belum kunjung menemukan buku yang mereka cari. Namun, secercah harapan muncul setelah Elly yang teringat akan sesuatu bangkit dari sandarannya."Atau, catatan Raja Edward III memang tidak pernah tersimpan disini! Raja Edward III di-cap sebagaiDisinheritedkarena berkonspirasi dengan Raja Skotlandia, Edward Balliol, dalam pertempuran di Bannockburn. Ia tidak dianggap sebagai penguasa Inggris karena bekerja sama dengan Kerajaan Skotlandia dengan menjanj
Setelah berhasil mendapatkan petunjuk di Istana Buckingham, perjalanan Elly, Will dan Albert berlanjut ke Birmingham sesuai dengan petunjuk dalam berkas Sir Edric. Ketiganya sedang di tengah perjalanan dengan mengendarai BMW M3 Sedan berwarna merah, diikuti oleh dua mobil berjenis sama yang berisi delapan orang pengawal pribadi Will, menyusuri lalu lintas London yang tidak terlalu padat."Sebenarnya kau tidak perlu berkendara, Tuan Albert. Kami mungkin butuh bantuanmu, tapi tidak sejauh ini. Benar kan, Elly?" ujar Will sembari bertanya pada Elly di jok belakang."Kau hanya tidak mau aku buat mobil ini lecet kan, Wilfred? Hahaha! Asal kau tahu saja, orang tua ubanan ini pernah mengantar Pangeran Charles ke Sheffield mengendarai Limousin. Jangan kira aku tidak paham bagaimana menangani mobil - mobil mahal," balas Albert sombong."Jadi, setibanya di London kau membeli tiga mobil hanya untuk kita berpergian, Will?" tanya Elly."Jet-ku tidak bisa mengangkut mo
Di malam sebelumnya, setelah Silvie berhasil mengangkat sarkofagus dari pesisir Pantai Aberdeen serta membunuh Harold di saat yang sama pula. Sebuah truk bak terbuka, dengan tirai besar yang menutupi bagian atas baknya, tengah melaju di jalanan malam yang lengang.Truk itu tak sendiri, dua mobil Van hitam melaju di depannya. Seakan mengawal dan mengawasi apapun yang tengah truk itu bawa. Silvie terlihat di jok depan salah satu mobil Van, menikmati semilir angin malam dari jendela mobil yang terbuka sepenuhnya. Sembari menghisap batang rokok yang terhimpit di jemarinya, dengan santai ia menghembuskan asap hingga ikut terbawa semilir angin.Malam begitu larut saat tiga kendaraan ini tengah melakukan perjalanan. Kendaraan yang melintas dapat dihitung jari. Jalan raya begitu redup, walau lampu jalan menyala di setiap sisi, hanya cahaya tiga kendaraan ini yang paling benderang menyoroti."Sepenting apa dua sarkofagus ini,Madame?
Setelah melewati perjalanan yang tidak mudah lagi mengancam nyawa, dengan masih mengendarai mobil penuh penyok pasca pengejaran, berkas pemberian Sir Edric mengarahkan mobil yang dikendarai Albert ke sebuah lingkungan pedalaman yang hening, tempat sebuah rumah dua lantai terletak, di kelilingi pepohonan rimbun serta danau besar di samping rumah itu. Ketiganya turun dari mobil dan berjalan kearah teras rumah untuk menemui Professor Bernard Jordan, nama yang tersebut di dalam berkas pemberian Sir Edric. "Permisi. Ada orang di rumah?" panggil Albert setelah mengetuk pintu depan rumah. Will mengedar pandang sekitar, melihat betapa terselubungnya lokasi yang mereka datangi. "Elly, kau yakin ini tempat yang dimaksud? Maksudku, tidak ada pagar, tidak ada tetangga dan hanya ada pohon dan danau sejauh mata memandang. Tempat ini seperti sudah ditinggalkan," ujar Will. Perkataan Will cenderung masuk akal mengingat rumah yang tak terlalu luas itu benar-benar sunyi.
Padahal, sudah ada lima orang yang memasuki kamar Bernard, namun suasana sekitar begitu hening, semuanya terdiam setelah Bernard membuka sebuah pengungkapan, tak terkecuali Elly yang terlihat begitu terguncang. "P-Professor Bernard? Ba-bagaimana kau bisa kenal dengan ayahku?" tanya Elly, tangan yang memegang tongkat mulai bergetar, matanya mulai berkaca-kaca setelah kembali diingatkan oleh sosok ayahnya. Albert melipat tangan, sembari memperhatikan sekitar kamar yang diterangi cahaya lampu jingga. Terkaan demi terkaan beredar di pikirannya, mencoba mencari jawaban mengapa seorang lansia yang bekerja untuk CBA kini tinggal di rumah terpencil, hanya berdua dengan cucunya. "Matter of fact,kau membiarkan cucumu, yang mungkin masih berusia sekitar sepuluh tahun, memegang pistol?" tanya Albert. "Entahlah, Professor. Namun Glock dengan magasin penuh mungkin bukan mainan yang bagus untuk diberikan pada anak seusianya," cel
Aku melempar tas sandang sembarang, dengan cepat berlari menghampiri Johan yang terkapar, di samping kaki papan tulis lipat dan diantara banyaknya kertas berserakan. Dengan keras kutepukkan ujung jemari ke pipinya, sesekali mengguncang tubuhnya, terasa kulit wajah yang begitu dingin, entah apa lagi yang terjadi padanya. "Kau tak apa!? Johan! Bangun!" seruku. "Aku tak mau disalahkan jika ada Arkeolog yang mati saat meneliti!" lanjutku risau. Setelah berkali-kali kutepuk pipi dan kuguncang badannya, Johan mulai mendapatkan kembali kesadaranya, ia mulai memicing kencang, lalu tiba-tiba meringkuk memeluk lutut, menggigil merasakan hawa dingin menusuk yang tak mampu ditahan pakaian minimnnya. "Enngghhh. Ke-kenapa dingin sekali disini? To-tolong turunkan suhu AC-nya," rintihnya. "Ini bukan salah AC, Johan! Kau mengenakan pakaian pendek di tengah musim dingin, You Fool!" sentakku kesal. "Kau baik-baik saja, kan? Apa kau sakit? Perlu kupanggilkan dokter?" tanyaku memastikan. "T-Tak p
Aroma harum menggugah menyeruak setelah foil aluminium yang membungkus Roti Isi Tuna segenggam tangan tersingkap. Disajikan dengan potongan segitiga, dua potong roti menghimpit urutan daun selada, daging ikan tuna panggang, acar mentimun dan beberapa potongan tomat. Tak lupa lumuran mayonaise menjadi sentuhan akhir roti isi yang aku dan Johan nikmati. Satu tangan memegang roti isi, sementara tangan lainnya memegang cangkir kertas berisi Latte Panas. Asap putih yang bersumber dari roti isi dan cangkir kopi menguap, melayang dibawa udara seiring langkah kami menjauhi gedung CBA. Trotoar yang menghubungkan perempatan jalan dengan Gedung CBA menjadi tempatku mengajak Johan untuk mencari angin, menapaki jalan sembari melahap Roti Isi Tuna, sembari memanjakan pandang dengan melihat mentari yang segera terbit. Ruas jalan yang semula lengang kini sudah mulai dilalui banyak kendaraan, embun-embun salju mulai menghujani, menambah keindahan awal musim dingin di Bristol. "Apa kau tahu, Professo