Padahal, sudah ada lima orang yang memasuki kamar Bernard, namun suasana sekitar begitu hening, semuanya terdiam setelah Bernard membuka sebuah pengungkapan, tak terkecuali Elly yang terlihat begitu terguncang.
"P-Professor Bernard? Ba-bagaimana kau bisa kenal dengan ayahku?" tanya Elly, tangan yang memegang tongkat mulai bergetar, matanya mulai berkaca-kaca setelah kembali diingatkan oleh sosok ayahnya.
Albert melipat tangan, sembari memperhatikan sekitar kamar yang diterangi cahaya lampu jingga. Terkaan demi terkaan beredar di pikirannya, mencoba mencari jawaban mengapa seorang lansia yang bekerja untuk CBA kini tinggal di rumah terpencil, hanya berdua dengan cucunya.
"Matter of fact, kau membiarkan cucumu, yang mungkin masih berusia sekitar sepuluh tahun, memegang pistol?" tanya Albert. "Entahlah, Professor. Namun Glock dengan magasin penuh mungkin bukan mainan yang bagus untuk diberikan pada anak seusianya," cel
Aku melempar tas sandang sembarang, dengan cepat berlari menghampiri Johan yang terkapar, di samping kaki papan tulis lipat dan diantara banyaknya kertas berserakan. Dengan keras kutepukkan ujung jemari ke pipinya, sesekali mengguncang tubuhnya, terasa kulit wajah yang begitu dingin, entah apa lagi yang terjadi padanya. "Kau tak apa!? Johan! Bangun!" seruku. "Aku tak mau disalahkan jika ada Arkeolog yang mati saat meneliti!" lanjutku risau. Setelah berkali-kali kutepuk pipi dan kuguncang badannya, Johan mulai mendapatkan kembali kesadaranya, ia mulai memicing kencang, lalu tiba-tiba meringkuk memeluk lutut, menggigil merasakan hawa dingin menusuk yang tak mampu ditahan pakaian minimnnya. "Enngghhh. Ke-kenapa dingin sekali disini? To-tolong turunkan suhu AC-nya," rintihnya. "Ini bukan salah AC, Johan! Kau mengenakan pakaian pendek di tengah musim dingin, You Fool!" sentakku kesal. "Kau baik-baik saja, kan? Apa kau sakit? Perlu kupanggilkan dokter?" tanyaku memastikan. "T-Tak p
Aroma harum menggugah menyeruak setelah foil aluminium yang membungkus Roti Isi Tuna segenggam tangan tersingkap. Disajikan dengan potongan segitiga, dua potong roti menghimpit urutan daun selada, daging ikan tuna panggang, acar mentimun dan beberapa potongan tomat. Tak lupa lumuran mayonaise menjadi sentuhan akhir roti isi yang aku dan Johan nikmati. Satu tangan memegang roti isi, sementara tangan lainnya memegang cangkir kertas berisi Latte Panas. Asap putih yang bersumber dari roti isi dan cangkir kopi menguap, melayang dibawa udara seiring langkah kami menjauhi gedung CBA. Trotoar yang menghubungkan perempatan jalan dengan Gedung CBA menjadi tempatku mengajak Johan untuk mencari angin, menapaki jalan sembari melahap Roti Isi Tuna, sembari memanjakan pandang dengan melihat mentari yang segera terbit. Ruas jalan yang semula lengang kini sudah mulai dilalui banyak kendaraan, embun-embun salju mulai menghujani, menambah keindahan awal musim dingin di Bristol. "Apa kau tahu, Professo
Pukul 08:00 pagi, posisi mentari telah naik, mengganti redup biru langit menjadi benderang. Suhu dingin menusuk mulai tak begitu terasa. Embun salju mulai semakin tebal setelah menghujani kota Bristol sedari pagi buta. Dari luar, rona cuaca hari ini terkesan nyaman. Namun lain cerita di dalam Gedung CBA. Setiap detik yang kulalui dipenuhi kerisauan, akan kelangsungan penelitian Northern Union Loot yang segera di bahas dalam rapat bersama Dewan Pimpinan, serta cemas akan Johan yang akan kembali menghadapi cecar remeh-temeh dari para senior. Selaku pemimpin, Johan sudah berhadir duluan di ruang rapat yang terletak di lantai tiga. Sementara aku dan Edgar masih sibuk di ruang kerja lantai dua, tengah menyusun berkas-berkas yang mencatat perkembangan penelitian di lemari arsip, berusaha teliti membuka laci demi laci besi dua lemari arsip yang diletakkan samping-sampingan tak jauh dari rak buku. Tiga tahun penelitian telah berhasil menciptakan tumpukan kertas yang sementara kami letakkan d
Saat-saat menegangkan dimulai, Tim Pencarian Northern Union Loot yang diketuai oleh Johan Aetherelt kini duduk di bangku meja bundar sembari menguatkan fokus, berusaha seksama mendengarkan pemaparan demi pemaparan yang segera disampaikan oleh Professor Jaimerson Graham bersama kedua rekan Arkeolog Senior di hadapan kami. Jaimerson membenarkan posisi kacamata, kemudian membuka map biru yang sedari tadi diletakkan di atas meja, berisi lembaran-lembaran yang mungkin menjadi pembahasan pada rapat pagi ini. "Sudah hampir tiga setengah tahun lamanya, pencarian Northern Union Loot dilaksanakan oleh tim yang diketuai Tuan Aetherelt. Tim yang berhadir mungkin sudah tahu pasti apa saja perkembangan yang telah diraih, dapat kulihat dari banyaknya arsip penelitian yang kalian bawakan. Namun, Professor Stanford dan Professor Dunham mungkin lupa atau hanya mendapat gambaran samar. Maka dari itu, izinkan aku membacakan versi singkat dari perkembangan pencarian Northern Union Loot," bukanya sembari
Begitu pintu ruang rapat terbuka, tidak hanya aku dan Johan yang terperangah melihat kedatangannya. Edgar, Michael, Stuart bahkan Jaimerson segera bangkit dari tempat duduknya, bersiap menghampiri seorang pria di luar ruang rapat, datang mengenakan jaket bulu hitam membalut setelan Waistcoat coklat yang melapisi kemeja biru muda lengkap dengan dasi hitam. Terlihat ia memegangi tongkat mode berwarna hitam serta memiliki gagang melingkar berwarna keemasan, tongkat yang menjadi simbol kemahsyurannya. Terlihat pula dua pria berstelan jas sibuk menghalau sekitar puluhan paparazi yang berusaha meminta wawancara serta memotret si pria berjaket bulu, sumber suara riuh yang sempat kudengarkan sebelum pintu ruang rapat terbuka. Pria yang menggemparkan rapat hari ini serta mencuri atensi, tak lain adalah Sir Edric Arathorn, pemilik perusahaan besar di Britania, Thorn Enterprise. Sir Edric melangkah masuk setelah dengan ramah menjabat tanganku serta Johan, dengan santai ia melangkah tanpa menghi
Pandangan Jaimerson, Stuart, Michael dan Edgar tertuju sepenuhnya pada Johan. Mereka memberi tatapan bersirat murka. Begitu geram mereka dengan Johan. Namun apa daya, mereka tak bisa berbuat banyak, selama Sir Edric masih ada di ruang rapat ini. Aku bahkan bingung harus berbuat atau berkata apa. Belum pernah kusaksikan dalam sejarah karirku sebuah ketegangan besar terjadi di pertemuan yang melibatkan Ketua CBA. "Ini kesalahan besar! Terrible mistake! Kami beserta seluruh Arkeolog CBA perlu melalui proses panjang untuk bisa ambil bagian di sini! Johan Aetherelt tak memenuhi standart! Dia masih terlalu cepat untuk menangani sebuah proyek penelitian!" Michael buka suara, dengan nada tegas menyerukan ketidakadilan. Aku mulai melangkah maju mendekati Johan, bersiap membalas ucapan Michael untuk membela Johan. "Is that so? Kenapa tak kau katakan itu sebelum Sir Edric datang?" sergahku. "Aku sama sepertimu, Michael. Mungkin aku lebih lama berkarir di CBA. Dan aku sama sekali tak keberatan
Keesokan paginya. Tim penelitianNorthern Union Lootberkumpul di ruang kerja lantai dua. Namun, pagi ini tak hanya ada aku, Johan dan Edgar saja di ruangan ini. Tapi juga ada Jaimerson. Kami bertiga tengah duduk di bangku meja panjang, sembari papan tulis besar di depan meja panjang. Johan tengah menerangkan langkah selanjutnya untuk melanjutkan penelitian kami, dengan papan tulis yang ditempeli kertas berukuran besar. Terlihat juga sebuah kardus besar berisi berbagai macam tumpukan serta gulungan kertas berbagai ukutan. Kami semua menyiapkan catatan untuk menyalin hasil pemaparan Johan.Kertas besar yang tertempel menunjukkan gambar samping sebuah struktur pulau. Sebuah pulau berbentuk lonjong dengan semacam pembatas berwarna biru melengkapi setengah gambarnya. Bentukan pulau di bawah batas biru terlihat lebih lebar ketimbang di atasnya. Terlihat pula beragam tulisan tangan Johan disekitar gambar tersebut. Samar-samar menerangkan apa yang ada dalam
Kamis, 23 Desember 2004. Tersisa tiga hari sebelum Hari Natal tiba. Disaat orang lain menjeda pekerjaanya untuk menghabiskan sekitar tiga minggu bersama keluarga dalam menyambut datangnya Natal, disinilah kami, sibuk melanjutkan penelitian Northern Union Loot. Mobil MPV berwarna silver yang ku kendarai berjalan begitu lengang di jalanan. Tentu saja, Bristol tak begitu padat kendaraan saat waktu masih menunjukkan pukul 09:00 pagi. Bahkan Edgar yang duduk di jok depan terlihat begitu tenang menaiki mobil yang kukendarai, menatap keluar jendela sembari menikmati kentang tumbuk berlumur kacang merah yang tersaji dalam wadah stereofoam. Dapat kulihat jelas dari jendela mobilku, mulai dari setiap sudut jalanan, trotoar, atap rumah, meja dan kursi di luar restoran mulai diselimuti salju yang tebal. Para pejalan kaki yang hilir-mudik mengenakan pakaian tebal tak lupa sarung tangan, sama seperti yang Edgar dan aku kenakan. Asap makanan Edgar tak ada apa-apanya dibandingkan dengan asap yang k