Sementara itu di luar ruang makan, Hana mondar mandir di koridor, khawatir akan hal buruk terjadi pada temannya yang sedang berbincang dengan Sir Edric. Will juga sedang jongkok di pinggir koridor sembari menekuri ponselnya, menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Sir Edric. Salah satu pelayan sedang berjaga didepan pintu masuk ruang makan, mencegah orang lain masuk dan mengganggu perbincangan Elly dan Sir Edric, juga mencegah agar Will dan Hana bertengkar lagi.
"Temanmu disetubuhi!" ledek Will yang masih sibuk dengan ponselnya.
Hana terbelalak, wajahnya berubah berang setelah mendengar hinaan Will pada temannya. "Apa maksud perkataan menjijikkanmu itu!" sergah Hana yang seketika berhenti mondar – mandir.
"Setiap orang punya cara sendiri untuk berdamai, dan mungkin ayahku memilih berdamai dengan cara menggagahi temanmu. Konglomerat biasa begitu," duga Will asal - asalan.
Muak dengan perlakuan Will di Houndshill dan perkataannya saat ini terhadap Elly, Hana menderap kehadapan Will, berdiri tepat di hadapan sembari menatapnya nanar. "Sahabatku masih terlalu suci untuk mengamini perkataan dari mulut sampahmu itu! Lebih baik kau pergi dan benahi perusahaan ayahmu!" cerca Hana sekaligus meledeknya.
Will yang tidak mau kalah berdiri dari jongkoknya, berhadapan dengan Hana dengan tatapan penuh nanar dan penuh akan amarah. "Yang kau maksud adalah perusahaanku! Berani - beraninya orang sepertimu berbicara tidak sopan padaku! Orang yang cocok jadi pembersih toilet tidak pantas berbicara seperti itu!" cerca balik Will dengan lantang.
Melihat tingkah kekanak - kanakan Will dan Hana, pelayan yang menjaga pintu dengan cepat mengambil inisiatif menengahi keduanya. "Tuan dan Nona! Maaf jika lancang, namun pertemuan Sir Edric bisa terganggu karena suara pertikaian kalian. Akhiri pertengkaran kalian atau aku terpaksa mengambil tindakan tegas!" ancam si pelayan, membuat keduanya terdiam meski masih saling bertukar pandangan tajam.
Tak lama pintu ruang makan terbuka, di tengah konflik antara Hana dan Will, Sir Edric keluar dari ruang makan diikuti oleh Elly yang berjalan sembari meraba sekitar dengan Tongkat tunanetra-nya,.
"Kau sudah selesai pak tua?" tanya Will.
Sir Edric menghela napas mendengar putranya meledek. "Kata tepat yang kau maksud mungkin 'ayah', Wilfred. Dan aku ingin berbicara empat mata denganmu,” tegasnya. “David! antar nona - nona ini pulang, urusanku dengan mereka sudah selesai, untuk hari ini" perintahnya pada pelayannya.
"Umm! Eh! Maaf! Jangan pakai helikopter lagi ya kalau bisa, Tuan," imbuh Hana yang tidak mau Elly panik lagi.
"Kami permisi dulu, Sir Edric, terima kasih atas jamuannya hari ini," pamit Elly sopan.
Pelayan yang menjaga pintu tadi menuntun Elly dan Hana meninggalkan Mansion, menyisakan Sir Edric dan Will di depan pintu masuk ruang makan. "Sudah? Begitu saja? Kau biarkan mereka pulang setelah apa yang terjadi pada perusahaanku!?" sergah Will berang.
"Seluruh anak perusahaan masih dibawah kekuasaan Thorn Enterprise, yang artinya masih akulah yang memegang kendali atas semua aset yang kau punya, tidak terkecuali perusahaanmu. Eleanor dan temannya berada di dalam pengawasanku. Maka, kau sebaiknya tinggalkan mereka dan mulai perbaiki kesalahan yang kau buat. Bukan kau yang bicara di hadapan media, bukan?" tandas Sir Edric yang kemudian berlalu pergi meninggalkan Will dengan wajah masam tidak terima.
***
Dua hari setelah pertemuannya dengan Sir Edric, Elly lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam apartemen kecil tempat tinggalnya. Tanktop abu dan celana pendeknya terlihat begitu lusuh akan noda keringat, pertanda Elly belum sekalipun keluar dari kamarnya.
Elly duduk bersila, menekuri laptop yang menjadi satu- satunya sumber cahaya di kamarnya. Ditemani dengan banyak buku terbuka dan kertas - kertas berserakan di sekitar tempat tidur, kertas-kertas yang tak lain adalah dokumen pemberian Sir Edric, yang terus di raba dengan jemari tonjolan tulisan braile-nya.
Laptop yang di gunakan Elly sudah dilengkapi dengan pembaca layar, memudahkan ia yang tidak bisa melihat untuk mendengarkan apa yang ia ketikkan serta apa yang ditampilkan pada layar laptopnya. Lima belas kaleng kopi kosong di atas nakas dan di bawah kasur menjadi tanda lamanya waktu yang dihabiskan Elly untuk tetap terjaga mempelajari berkas pemberian Sir Edric.
"Peperangan antara kerajaan Dal Riata dari bangsa Gael dengan kerajaan bangsa Pict menemui akhir pada abad ke-sembilan. Baik bangsa Gael dan Pict menyepakati bahwa kesatuan kekuasaan setelah perdamaian kedua bangsa berdiri di bawah naungan Raja Caustantin dari bangsa Pict. Bersatunya dua bangsa ini membantuk negara baru yang hingga saat ini dikenal sebagai Skotlandia."
Dengan seksama, Elly meraba jemari pada salah satu lembar kertas di genggamannya, sembari mendengarkan informasi ensiklopedia digital yang dipaparkan melalui suara pembaca layarnya. Haus, Elly meraba ke arah nakas untuk meneguk kopi kalengan, namun tidak ada satu kalengpun yang berisi.
Tidak lama berselang, terdengar suara ketukan dari arah pintu masuk apartemen Elly. "Hey Siri, pukul berapa sekarang?" tanya Elly pada Homepod di nakasnya.
"Sekarang sudah pukul 08:00 malam waktu setempat."
Elly tertunduk dan mengernyitkan dahi mendengar informasi yang disampaikan dari Homepod-nya, tersadar akan berapa lama waktu yang di habiskan hanya di dalam kamar apartemen. "Bloody hell," umpat Elly.
Suara ketukan pintu terdengar berulang - ulang, memaksa Elly menghentikan aktifitasnya untuk sementara. Elly turun dari kasur dan tidak sengaja menendang kaleng - kaleng kosong. Dengan sempoyongan ia berjalan keluar kamar, sembari meraba dinding yang menuntun langkahnya menuju pintu masuk apartemennya. Ketika Elly berhasil sampai di pintu masuk, ia membuka pintu, dimana seorang wanita tua sudah berdiri tepat di depan apartemennya, dengan wajah yang menggurat risau.
"Selamat malam, Elly," sapa wanita tua.
"Halo, Nyonya Margaret," sambut Elly yang mengenal suara wanita itu.
Lamat-lamat wanita tua itu memandangi sekujur tubuh Elly, hingga ia di kagetkan oleh betapa memprihatinkan kondisi gadis di hadapannya. "Oh! My! Apa yang terjadi padamu anakku?" tanya si wanita tua kaget melihat wajah pucat Elly.
"Aku ... tidak apa, Nyonya, hanya sedikit tidak enak badan," kilah Elly berusaha menahan lelah.
"Tidak! Bibirmu pucat dan kau terlihat seperti mendiang suamiku di pemakamannya! Kapan terakhir kali kau makan Elly? Tidak! Kapan terakhir kali kau tidur? Kau terlihat begitu mengkhawatirkan, Nak," tanya Margaret khawatir.
"A-Aku ... ba-baik-baik sa-saja... ha-hanya bu-butuh se-sedikit."
Suara Elly bahkan terdengar parau serta napasnya sudah terkesan berat. Karena kehabisan tenaga, Elly terkulai lemas tidak sadarkan diri di hadapan Margaret, membuatnya terkaget histeris melihat Elly terbaring tiba-tiba.
"Oh! Lord!" seru Margaret.
".........ly!"".......Elly!""........Tetaplah didalam Elly!"".........Aku ada bersamamu, Nak!""Tutup telingamu, percaya padaku!""ELEANOR!"Elly terkesiap dan kembali tersadar setelah mendapat secercah bayangan kejadian samar selama tidak sadarkan diri. Ia mendapati dirinya terbaring berbalut selimut diatas sofa.Sementara itu, Margaret sedang mencuci peralatan memasak di dapur Elly, sembari menunggu masakannya matang di dalam oven. Setelah peralatan memasak seperti wajan dan sutil bersih dan tersusun rapi di rak piring, Margaret mengambil piring dan sendok untuk menadah masakannya, serta menyeduh teh dalam cangkir.Mendengarkan suara riuh dapur dari Margaret yang tengah sibuk menyiapkan makanan, Elly mencoba bangkit dari tempatnya berbaring dan berniat membantu Margaret."Nyonya Margaret? Tidak usah repot rep-.""A! A! Ah! Jangan coba - coba turun dari tempatmu, Nona Muda!""Tidak usah khawatir, Aku bisa sendi-.""Diam dan tunggu wanita tua ini selesai memasak!"Elly yang tidak bi
Cahaya bulan bersinar menerangi laut timur Skotlandia. Sebuah kapal keruk besar tengah menepi di bibir pantai Aberdeen, dimana sudah terlihat komplotan bersenjata dengan empat mobil terparkir di belakang mereka, menunggu kedatangan kapal tersebut. Empat awak kapal bahu - membahu menurunkan dua buah sarkofagus berlumut dari atas kapal."Hanya ini yang bisa kami angkat! Kami kehabisan oksigen untuk melanjutkan pencarian di dalam!" seru salah seorang awak kapal kepada komplotan yang dipimpin seorang wanita itu.Setelah bersusah payah mengangkat sarkofagus dari kapal, para awak meletakkan keduanya dihadapan para komplotan. Dengan menggunakan linggis sarkofagus dibuka, memperlihatkan jasad yang menghitam kering setelah berabad - abad tersimpan dalam sarkofagus.Aroma busuk me
Setelah berhasil mengajak Will bekerja sama dalam pencariannya, Elly kini tengah santai membaca buku yang ditulis dengan hurufbraile, ditemani oleh Will yang sedang duduk di hadapannya, mengenakan kaca mata hitam sembari manikmati segelas sampanye, di dalam jet pribadinya, diatas awan, terbang menuju London."Ah! Nikmatnya!" ujar Will setelah meneguk gelas sampanye. "Hei, John! Mau segelas?" tawar Will pada salah seorang pengawalnya yang sedang duduk dibangku penumpang bersama delapan pengawal lainnya."Tidak, Tuan. Nikmati saja minumanmu," tolak pengawal sopan.Tak lama, salah seorang pramugari dengan anggun mengantar nampan berisi Caviar dan Sushi ke bangku eksklusif tempat Elly dan Will duduk. "Silahkan dinikmati hidangan kami, Tuan dan Nona," ujar pram
London, Ibukota Inggris serta empat negara lain yang tergabung dalam satu kesatuan, Britania Raya. Kota digdaya dengan kemajuan berbagai aspek, kota yang namanya santer terdengar diseluruh penjuru Eropa sebagai pusat negara monarki terkuat dan paling disegani di dunia. Diantara banyaknya destinasi wisata, hanya ada satu tempat yang diramaikan pasang mata setiap harinya. Istana Buckingham, rumah Keluarga Kerajaan. Pelataran Istana diramaikan oleh ribuan pengunjung dari seluruh penjuru Inggris, ada yang hanya hendak melihat megahnya istana dan ada juga yang mengabadikan momen kedatangan mereka di kediaman Ratu Elizabeth II dengan merekam ataupun memotret. Will yang masih mengenakan kacamata hitam kini tengah berdiri di pinggir keramaian bersama Elly, memantau sekitar sembari memikirkan rencana untuk bisa masuk kedalam istana. "Hmmm, ini lebih ramai dari unjuk rasa minggu lalu. Menurutmu ada jalur rahasia yang tidak dijaga?" tanya Will pada Elly yang berdiri di sampingnya. Riuh kerama
Elly masih memegangi lengan Will selama berjalan, mengikuti langkah prajurit kerajaan yang kini telah sampai di koridor lantai tiga istana, melangkah menyusuri koridor istana. Seisi koridor terlihat begitu mewah terbalut ornamen khas kerajaan yang kental. Vas bunga terpajang rapi dan anggun disepanjang koridor serta dinding koridor dipenuhi potret keluarga kerjaan, mulai dari Pangeran Phillip, Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles, Meghan Markle, Pangeran William dan Kate Middleton, terpajang anggun di sepanjang dinding koridor."186, 187, 188, 189," gumam Elly seraya menapaki langkahnya."Kali ini apa yang kau lakukan 'hah?" tanya Will heran."191, 192, menghitung langkah," jawab Elly datar."Dan apa manfaatnya?""195, 196 aku kan buta. Kalau tongkatku hilang dan aku tersesat bagaimana? 200, 201,"Setelah lama berjalan menyusuri koridor, langkah mereka bertiga berhenti di depan pintu putih setinggi 3 meter, berba
"Selamat datang di Baskin Robbins! Mau pesan apa hari ini?,"Seperti biasa, kedai eskrim kenamaan Baskin Robbins dipadati banyak pelanggan, sementara para karyawan di balik meja kasir, sibuk menyiapkan pesanan serta melayani antrian pelanggan, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang karyawan yang bekerja. Beberapa karyawan terlihat hilir-mudik keluar-masuk dapur untuk menyiapkan serta memberikan pesanan para pelanggan yang didominasi oleh kaula muda."TigaMint Ice Cream Cakedan satuMarshmallow milkshake!"seru Hana yang baru saja meletakkan nampan berisi pesanan di atas meja kasir."Setelah ini siapkan duaStrawberry Waffle Conedan duaBlueberry Smoothieya, Hana!" sambut salah seorang karyawan sembari mengambil nampan yang dibawa Hana untuk diantar ke pelanggan."On it,Kate!" balas Hana yang langsung dengan cepat berjalan ke dapur.Baik Hana dan karyawan l
Selama hampir satu jam menelusuri rak itu, keduanya belum juga menemukan catatan Raja Edward III, bahkan Elly sampai duduk bersandar di samping pajangan pedang menunggu keduanya menemukan buku tersebut."Kau temukan sesuatu, Tuan Albert?" tanya Will yang masih mencari di rak bagian bawah."Masih belum. Aku juga heran, harusnya catatan para Raja tersimpan semua disini," balas Albert sembari mengusap kacamatanya yang ketutupan debu.Will mulai kelelahan dan hilang harap karena ia dan Albert belum kunjung menemukan buku yang mereka cari. Namun, secercah harapan muncul setelah Elly yang teringat akan sesuatu bangkit dari sandarannya."Atau, catatan Raja Edward III memang tidak pernah tersimpan disini! Raja Edward III di-cap sebagaiDisinheritedkarena berkonspirasi dengan Raja Skotlandia, Edward Balliol, dalam pertempuran di Bannockburn. Ia tidak dianggap sebagai penguasa Inggris karena bekerja sama dengan Kerajaan Skotlandia dengan menjanj
Setelah berhasil mendapatkan petunjuk di Istana Buckingham, perjalanan Elly, Will dan Albert berlanjut ke Birmingham sesuai dengan petunjuk dalam berkas Sir Edric. Ketiganya sedang di tengah perjalanan dengan mengendarai BMW M3 Sedan berwarna merah, diikuti oleh dua mobil berjenis sama yang berisi delapan orang pengawal pribadi Will, menyusuri lalu lintas London yang tidak terlalu padat."Sebenarnya kau tidak perlu berkendara, Tuan Albert. Kami mungkin butuh bantuanmu, tapi tidak sejauh ini. Benar kan, Elly?" ujar Will sembari bertanya pada Elly di jok belakang."Kau hanya tidak mau aku buat mobil ini lecet kan, Wilfred? Hahaha! Asal kau tahu saja, orang tua ubanan ini pernah mengantar Pangeran Charles ke Sheffield mengendarai Limousin. Jangan kira aku tidak paham bagaimana menangani mobil - mobil mahal," balas Albert sombong."Jadi, setibanya di London kau membeli tiga mobil hanya untuk kita berpergian, Will?" tanya Elly."Jet-ku tidak bisa mengangkut mo
Sejatinya, perjalanan dari Roma menuju Sirakusa terbilang sangat jauh jika mengambil jalur darat. Ada empat kota yang harus dilewati sebelum mencapai Sirakusa, yakni Napoli, Benevento dan Catania. Membuat waktu perjalanan dapat diperkirakan menjadi 10 jam lamanya. Namun, berkat helikopter MI5, rombongan Pascal hanya perlu menempuh waktu 1 jam perjalanan, hanya butuh terbang dengan memotong jalur melewati garis Laut Tirenia. Katakomba San Giovanni. Sebuah kapel bersejarah yang terbangun diantara susunan batu alam. Kesan kuno serta dilengkapi ukiran-ukiran fresko yang semakin memudar, merupakan pelengkap setiap dinding-dinding dan pilar-pilar fondasi area pemakaman. Tampak luarnya tak beda dengan arsitektur kapel dan gereja pada umumnya, hanya kesan kuno serta sarat sejarah yang membedakannya. Setidaknya, itulah tampak sekilas dari atas tanah. Terkesan tak begitu mencolok sebagai salah satu situs bersejarah, bahkan disekitaran area kapel masih dapat dijumpai bengunan-bangunan pemukiman
Vilfredo membawa rombongan Pascal ke ruang kerja pribadinya, yang terletak di lantai dua Museum Capitolini. Tak seperti ruang kerja pribadi pada umumnya, terdapat bentang tiga rak melengkun setinggi dua meter di belakang meja kerja Vilfredo. Tak hanya itu beberapa sisi ruangan juga dipenuhi beragam pajangan artefak-artefak bersejarah. Seperti lukisan langka milik Caravaggio, Titian serta pahatan patung dari Praksiteles dan Skopas. Seluruh rombongan Pascal menyusuri ruang kerja seluas 30 meter persegi itu. Dona mengambil salah satu buku dari rak lengkung dan memperhatikan sampul beserta isinya, membaca buku berjudul 'The Romans: From Village to Empire' karya Mary T. Boatwright. Pascal tengah memperhatikan salah satu lukisan yang terpanjang di dinding, lamat-lamat memandangi karya berjudul Assumption of the Virgin oleh Carvaggio, lukisan yang menggambarkan Kenaikan Perawan Maria ke Surga, dengan komposisi yang dramatis dan penggunaan warna yang luar biasa. Sementara Hana bergedik jiji
Karena memutuskan untuk menuruti permintaan Elly, penerbangan yang seharusnya hanya memakan waktu 1 jam saja menuju london kini berlangsung lebih lama. Deru mesin helikopter yang begitu bising berangsur memudar seiring berjalannya waktu penerbangan, terkesan lebih menenangkan. Elly bahkan sampai tertidur, duduk di bangku panjang helikopter namun kepalanya bersandar di atas brankar, tepatnya menyandari perut Will yang juga sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Will tertidur nyenyak, dengan posisi tangan kanan yang menapak di atas kepala Elly. Begitu juga dengan Hana, hanyut terbawa kantuk setelah penerbangan hampir berlangsung selama dua jam. Terlelap begitu nyenyak dengan berbaring di atas bangku panjang helikopter. Berbeda halnya dengan Pascal dan Dona yang masih terjaga, di bangku panjang seberang Hana, keduanya tengah fokus memperhatikan tampilan satelit peta digital di layar tablet pintar. Seraya berdiskusi untuk mempersiapkan lokasi pendaratan. "Hmmm.. Susunan komplek museum
Sayang, momen-momen meramu asmara dalam cumbuan terpaksa berhenti, tatkala ko-pilot helikopter menjulurkan radio genggam ke belakang. "Sir Wilfred, Dame Eleanor. Letnan Pascal ingin bicara dengan kalian," potongnya. Sontak, Will dan Elly yang tadinya hanyut dalam pagutan secara bersamaan menjauhkan badan, melepas dekapan setelah mendengar panggilan ko-pilot. Elly begitu tersipu setelah menghabiskan menit-menit singkat untuk mencumbu Will, kepalanya tertunduk, hendak menyembunyikan wajah memerah dari Will. Sementara Will merangkak di atas brankar, meraih radio genggam dari tangan ko-pilot lalu mendekatkannya ke mulut. "Ya, Pascal? Ada apa?" tanya Will. "Ah! Wilfred. Kau sudah bangun ternyata. Baru saja aku ingin menanyakan keadanmu pada Dame Eleanor. Kau sudah merasa lebih baik sekarang?""Begitulah. Dada dan perutku masih terasa berdenyut, sesekali aku juga kesulitan bernafas. Tapi selebihnya, tubuhku sudah mulai bisa digerakkan seperti sedia kala," ujar Will, seraya meregangkan ba
"Nyonya R. Nyonya R. Bangunlah. Aku butuh bantuanmu."Greta yang tadinya terlelap kini berubah tak tenang, ia yang mendudukkan badan di atas matras putih, kini sedang mengguncang pelan tubuh Revna, yang terlelap bersama Greta di matras yang sama, tidur dengan posisi membelakangi gadis kecil itu. Setelah beberapa kali tubuhnya diguncang oleh tangan mungil Greta, Revna yang semula tertidur nyenyak kini memicing mata, guncangan pelan Greta seketika menarik kembali kesadarannya. Revna meregangkan badan seraya mengusap mata sayup setelah terbangun, sebelum kemudian ia mendudukkan badan perlahan, lalu berbalik menghadap Greta, yang terlihat memasang wajah murung. Sadar Greta telah terbangun, Revna lekas menangkup pipi kiri Greta seraya mengusap lembut dengan jemari. "Ada apa, Greta? Mengapa kau terlihat gelisah sekali?" tanya Revna lemas. "Anu. Apa perbanku sudah boleh dibuka, Nyonya R? Ini terasa sangat gatal. Aku tidak tahan," pinta Greta lirih, seraya memangku kepal kedua tangan, yang
Malam semakin larut, para pengungsi lanjut beristirahat setelah menikmati kari daging sederhana, kemah pengungsian sudah tak se-riuh sebelumnya, para pengungsi termasuk Greta telah kembali ke tenda masing-masing, menyudahi hari untuk menyambut hari berikutnya, sambil terus berharap agar situasi berat ini segera usai.Di saat semua pengungsi beristirahat, lain halnya di tenda utama. Diaz dan Andrew berjongkok di samping kiri dan kanan Clansman PRC-320, memperhatikan seorang lansia yang tengah fokus memutar tuas bundar frekuensi, pria tua berpakaian kemeja putih lengan panjang terbalut mantel wol abu, serta memiliki rambut pendek serba putih, yang tak lain adalah Pak Tua Sam. "Padahal sudah dari tadi sore kau kusuruh memanggil Pak Tua Sam, kenapa kau baru membawanya setelah makan malam, Diaz!?" sungun Andrew kesal. "Si Tua ini tidur di tendanya! Kau tahu sendiri jika dia sudah tidur akan sesulit apa dibangunkan! Dia hanya akan bangun jika mendengar suara baku tembak!" timpal Diaz. "L
Lembayung senja berganti menjadi rembang petang, langit berangsur temaram, menandakan hari hampir menyambut malam. Rembang petang menjadi pertanda datangnya waktu makan malam bagi para pengungsi Armargh, dimana kini puluhan pengungsi berbondong-bondong mendatangi pelataran tenda hijau. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, bahkan juga lansia, membawa masing-masing piring, berkerumun mengelilingi kuali besar yang dipanaskan oleh kayu bakar, menunggu Kari matang. Petinggi Maze seperti Lloyd, Andrew dan Peter bertugas mengatur kerumunan pengungsi, agar tak berada terlalu dekat dengan kuali selama Revna, Elly serta beberapa pengungsi wanita yang tengah menyiapkan makan malam.Sebuah meja panjang kayu berdiri di samping kuali, tempat Revna, Elly serta dua orang pengungsi wanita tengah sibuk meracik bahan-bahan Kari. Revna dan satu pengungsi wanita terlihat tengah memarinasi daging di dalam sebuah loyang besar, mengaduk dan memijat lembut potongan-potongan daging agar bumbu seperti gara
"Kalian boleh buka lagi catatanku dan jurnal Ayah. Aku ingat sekali sempat beberapa kali menulis kata Magna Graecia saat tengah menyalin," pinta Elly. Mendengar Elly, Revna kembali membuka dua jurnal milik Johan, meletaknya secara bersamping-sampingan seraya membalikkan halaman dengan seksama, mencari kata Magna Graecia di dalam jurnal untuk memastikan prakiraan putrinya. Sama halnya dengan Andrew, ia kembali membuka catatan Elly, juga mencari kata Magna Graecia. Setelah beberapa saat membalik susun halaman serta memindai catatan, baik Revna dan Andrew berhasil menemukan kata Magna Graecia di jurnal Johan dan catatan Elly, tersemat diantara beberapa baris paragraf. "Tahun Tujuh Ratus Lima Puluh Delapan. Kapal besar yang membawa rombongan Misionaris Magna Graecia tiba di Pulau Iona. Kedatangan mereka tak disambut baik karena ajaran yang dibawa berlawanan dengan paham Gereja Iona," Andrew membacakan salah satu paragraf di catatan Elly, seraya mengernyit heran karena penjelasan paragr
Diaz bergegas keluar dari tenda, berniat memanggil Pak Tua Sam untuk membantu pencarian sinya komunikasi tepat terhadap militer Britania. Namun sesaat setelah ia melewati pintu tirai, Diaz mendapati Lloyd di pelataran tenda, yang tengah duduk merebah diatas sebuah kursi malas, memandang murung semburat kemerahan mentari sembari meneguk sebotol bir.Menyadari kedatangan Diaz, Lloyd mengambil satu botor bir yang terletak di samping kursi malas, lalu menyodorkannya pada Diaz, namun tatapannya masih terarah pada angkasa. "Kalau aku jadi kau, takkan kupenuhi permintaan gadis muda itu untuk menghubungi MI5 dan MI6. We've through a lot in here. Mayoritas pengungsi adalah warga Irlandia. Kau tak ingin mengubah kemah pengungsian yang tenang ini menjadi ricuh saat para cecunguk Kerajaan itu datang, bukan?" himbau Lloyd. Tidaknya menerima tawaran bir dari Lloyd, Diaz malah melipat tangan, mengabaikan sodoran bir. Ia sadar bahwa Lloyd sedari tadi mendengar perbincangan di dalam tenda. "What's wr