Cerai? Aku merinding mendengar kata itu. Masa baru nikah mau bercerai? Tapi jujur saja, aku saat ini takut banget dengan suamiku itu. "Aku takut jika kembali dengan Mas Angga, nanti saat aku tidur di dekatnya, nanti aku dibius lalu rahimku diangkat, Ma. Aku gak mau hal itu terjadi. Karena kan aku gak tau, kami akan jodoh sampai mati apa gak. Aku gak mau kembali nyesel, jadi aku mau milih jalan aman aja. Mungkin, lebih baik cerai aja, Ma."Mama terlihat sedih saat berkata. "Mama sebenarnya tidak suka pada perceraian, Din. Tapi, Angga menurut Mama, dia sangat tidak masuk akal. Buat apa menikah kalau tidak mau punya anak? Heran, Mama, dengan jalan pikirannya.""Mas Angga bilang, katanya anak-anak sangat merepotkan, Ma. Makanya Mas Angga gak mau punya anak lagi. Katanya dua anak aja cukup," jelasku menirukan ucapan Mas Angga.Mama menyentak napas keras. "Enak, sa-ja! Ya dia enak sudah punya anak. Sementara kamu?! Lihat saja kalau bertemu dengannya lagi, Mama pastikan tendang burungnya sa
POV Angga"Tidak papa, Bun." Kugelengkan kepala. Bunda menatapku dengan pandangan tak percaya. Begitu pun Sisil yang duduk di sebelahnya, menatapku dengan sebelah mata memicing."Gak papa kok basah gitu, Mas? Jalannya kayak kesakitan, kayak habis disunat." Tatapan Sisil tertuju ke wajahku lalu turun ke bawah, berlama-lama pada bagian bawah pusarku.Aku mendelik padanya. "Melihat apa, kamu?!" tanyaku yang merasa risih dengan tatapannya."Liatin Mas, lah. Masa liatin batu. Kan yang berdiri di depan aku adalah Mas bukannya batu," sahutnya cepat. Tanganku langsung nengibas-ngibas di depan wajahnya karena tatapannya tetap di bawah pusarku. "Pasti, deh, abis berantem dan 'itunya kena tendang, tuh, pasti. Ha, ha. Gimana? Enak, Mas, rasanya? Makanya jangan suka berantem," katanya sambil geleng-geleng. Bunda mendelik pada Sisil."Sisil, masnya sakit malah diketawain, sih, kamu ini. Ga, Dinda mana?" tanya Bunda sambil celingak-celinguk, lalu tatapannya berlama-lama ke arah mobilku."Dinda tida
"Tapi bunda suka, Ga!" Suara keras bunda membuatku tersentak dari lamunan. "Kamu ini, daritadi bunda perhatiin, kamu terlihat keberatan terus. Padahal kemarin sebelum kamu nikah dengan Dinda, katanya masalah resepsi terserah Bunda aja. Nah sekarang, sudah bunda urus semuanya, jadi tidak bisa dibatalkan begitu saja, Ga. Kalau dibatalkan, uang bunda akan hilang percuma, juga malu pada teman Bunda yang sudah terlanjur dikasih undangan. Kamu ini gimana sih, Ga! Jangan buat bunda pusing." Tangan Bunda mengibas-ngibas di depan wajahku lalu ia memijit-mijit keningnya.Sisil mencebik padaku. "Iya nih, Mas Angga. Seenak sendiri mau batalin! Gak tau, apa, bunda ke sana kemari buat urus semuanya?" Adik bungsuku itu menatapku dengan jengkel.Aku menghela napas. "Mas tidak bilang suruh batalin. Mas hanya bilang, tidak suka resepsi, itu saja. Lagian, ini bukan pernikahan pertama Angga, Bun, apa kata orang-orang nanti, Bun?" Dan juga, apa Mama Farida akan mengijinkan Dinda ikut denganku? Tatapan M
POV Dinda"Aah, ca-peknyaaaa," kataku sambil menjatuhkan tubuh di ranjang empuk. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, menatap langit-langit ruangan warna putih bersih.Sungguh rasanya, aku sangat lega karena sudah mengatakan semuanya pada Mama. Dan Mama pun percaya. Langkah selanjutnya adalah mengurus perceraian. Membayangkan tentang perceraian, tiba-tiba aku merasa sangat sedih. Aku dengan cepat menggeleng. Tidak! Tidak ada gunanya aku merasa sedih. Kenapa aku harus melow sementara Mas Angga saja tak punya perasaan padaku? Dia egoist hanya mementingkan diri sendiri. Jadi, aku tidak boleh sedih. Ini yang terbaik, tekanku dalam hati dan aku menarik napas panjang-panjang. Kurogoh saku celana lalu aku menelepon Yana. Langsung diangkat."Halo, Yan? Gimana? Apa kamu udah sampai rumah?" tanyaku."Aku udah sampai warung Padang, Din. Mau pulang bareng ayahku," sahutnya."Oh, gitu. Yaudah, aku hanya tanya aja.""Din, Din! Tunggu jangan dimatiin dulu!""Apa, Yan?" tanyaku, yang tadinya hendak
Begitu selesai makan, aku memberesi bekas bungkus-bungkus makanan lalu memasukkannya ke kotak sampah kecil di sudut teras yang penuh bunga-bunga. Kata Bu Delima pemilik kontrakan, tiap pagi akan ada tukang sampah yang akan mengambili sampah-sampah di sini. Juga akan ada Mbak-mbak yang membersihkan halaman. Mbak-mbak itu adalah asisten rumah tangganya. Jadi aku tidak perlu menyapu halaman, begitu katanya.Sebaiknya, aku segera beli gas di warung depan. Mumpung belum tutup. Aku pun menuju dapur, membungkuk depan gas, terdiam memandangi regulator. Nanti kalau dilepas, bakal meledak tidak, yaa? Kalau meledak, bisa mati, dong, a-kuuu. Membayangkannya aku bergidik sendiri. Aku belum siap mati. Juga kalau aku mati, pasti Papa dan Mama akan sedih sekali karena aku anak satu-satunya.Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, akhirnya aku memilih keluar kontrakan, berjalan pelan di halaman yang penuh dengan bunga warna-warni dan akhirnya aku mengetuk pintu rumah Bu Delima. Tak menunggu lam
"Karena, tidak ada yang betah. Itulah kenapa kontrakan ini kosong. Tiap malam, akan terdengar cekikikan dan tangis kuntilanak di sini. Mungkin saja itu tangisan mahasiswi itu.""Kamu pasti bohong. Sengaja ngerjain aku, kan?!" kataku sambil berkacak pinggang. Bisa-bisanya malam-malam bercerita mistis begini. ."Mau percaya sana, gak pun gak papa. Tunggu saja nanti, Din. Pukul 12 malam, teeeet!"Lalu dia membalikkan badan pergi. Sepeninggalnya aku bergidik sendiri. Aku ragu-ragu masuk ke dalam kontrakan, menuju dapur. Gas sudah dipasang. Syukurlah.Karena penasaran ucapan Andika, aku pun mengecek kolong kursi juga meja, akhirnya aku kembali lagi ke kamar, mencoba memejamkan mata namun tak bisa tidur lagi.Akhirnya aku meraih HP, tidak ada pesan dari siapapun. Aku membaca percakapan terakhirku dan Mas Angga, lalu menghela napas panjang.Kenapa Mas Angga gak mengirimiku pesan, ya? Jujur walau aku memutuskan ingin berpisah, namun aku merasa hampa.Jariku menari di atas keyboard HP lalu men
POV DindaMas Angga menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin aku bicara saat ada dia. Ini privasi, Din! Tentang kita! Jadi, dia tidak boleh dengar!" kata Mas Angga tegas. Aku tertawa kecil, menatap Mas Angga dengan pandangan mencemooh dan lagi-lagi aku tertawa.Mas Angga tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku, aku langsung menepisnya."Gak, ah. Kalau Mas mau bicara, ya bicara aja! Tapi yang jelas, aku gak mau pisah dari Yana!" Tekanku. Di sebelahku, Yana mengangguk-angguk."Bener tuh, Din, kamu memang gak boleh pisah dari aku. Nanti kalau pisah, bisa-bisa kami dibopong sama dia seperti kemarin," timpal Yana sambil menatapku.Aku mengangguk setuju. "Iya bener, tuuh," sahutku, membuat Mas Angga menggelengkan kepala. Ia menatap Yana dengan pandangan tak senang. Sementara Yana, dia bersidekap memasang wajah angkuh. Ah senang sekali rasanya dia begitu melindungiku.Mas Angga menarik napas panjang, menatap Yana dengan sinis lalu menatapku."Kok kamu jadi berubah gini sih Sayang, pada
Aku nyengir kecil saat bertemu tatap dengannya. Dia letakkan plastik-plastik putih di dekatku lalu menjatuhkan boneka ke kakiku lalu,TAK!"Auw, Ma-aas!" Aku memegangi kepala. Cukup sakit juga dia menjitakku. Aku menatapnya dengan bibir mengerucut. Sesekali aku meringis."Gak ikhlas banget sih Mas beliin aku boneka?" Aku menatapnya dengan wajah cemberut."Bukan tidak ikhlas. Tapi kalau kamu bilang bahwa kamu ada di taman, aku tidak perlu jalan kaki dari Chandra ke sini panas-panasan. Begitu anak ma-niiis," katanya sambil mengusap-usap kepalaku dengan gemas.Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku."I-iih. Kan jadi berantakan, kaaan, rambut a-kuuu.""Kamu, katanya mau kuliah di IAIN, kenapa jilbabnya di lepas?" Dia duduk di sampingku lalu dengan cepat menarik gelas es boba di tanganku. "Kehausan, ya?" tanyaku saat melihatnya menyeruput es bobaku dengan cepat sampai bulatan-bulatan kecokelatan itu pun habis di makannya. Pasti dia lelah aku kerjain. Satu gelas es boba dalam plastik tr