POV DindaMas Angga menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin aku bicara saat ada dia. Ini privasi, Din! Tentang kita! Jadi, dia tidak boleh dengar!" kata Mas Angga tegas. Aku tertawa kecil, menatap Mas Angga dengan pandangan mencemooh dan lagi-lagi aku tertawa.Mas Angga tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku, aku langsung menepisnya."Gak, ah. Kalau Mas mau bicara, ya bicara aja! Tapi yang jelas, aku gak mau pisah dari Yana!" Tekanku. Di sebelahku, Yana mengangguk-angguk."Bener tuh, Din, kamu memang gak boleh pisah dari aku. Nanti kalau pisah, bisa-bisa kami dibopong sama dia seperti kemarin," timpal Yana sambil menatapku.Aku mengangguk setuju. "Iya bener, tuuh," sahutku, membuat Mas Angga menggelengkan kepala. Ia menatap Yana dengan pandangan tak senang. Sementara Yana, dia bersidekap memasang wajah angkuh. Ah senang sekali rasanya dia begitu melindungiku.Mas Angga menarik napas panjang, menatap Yana dengan sinis lalu menatapku."Kok kamu jadi berubah gini sih Sayang, pada
Aku nyengir kecil saat bertemu tatap dengannya. Dia letakkan plastik-plastik putih di dekatku lalu menjatuhkan boneka ke kakiku lalu,TAK!"Auw, Ma-aas!" Aku memegangi kepala. Cukup sakit juga dia menjitakku. Aku menatapnya dengan bibir mengerucut. Sesekali aku meringis."Gak ikhlas banget sih Mas beliin aku boneka?" Aku menatapnya dengan wajah cemberut."Bukan tidak ikhlas. Tapi kalau kamu bilang bahwa kamu ada di taman, aku tidak perlu jalan kaki dari Chandra ke sini panas-panasan. Begitu anak ma-niiis," katanya sambil mengusap-usap kepalaku dengan gemas.Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku."I-iih. Kan jadi berantakan, kaaan, rambut a-kuuu.""Kamu, katanya mau kuliah di IAIN, kenapa jilbabnya di lepas?" Dia duduk di sampingku lalu dengan cepat menarik gelas es boba di tanganku. "Kehausan, ya?" tanyaku saat melihatnya menyeruput es bobaku dengan cepat sampai bulatan-bulatan kecokelatan itu pun habis di makannya. Pasti dia lelah aku kerjain. Satu gelas es boba dalam plastik tr
"Ke rumah kamu apa ke kontrakanku, Yan?" tanyaku sambil menoleh menatapnya sekilas."Ke kontrakan kamu lah, Din. Motor aku kan ada di sana.""Oh ya bener. Lapar nih belum makan siang. Kita mau makan di warung makan apa pesen gojek aja, Yan?""Terserah kamu, Din.""Pesen aja ya, Yan?"Dia mengangguk.Aku merogoh saku androk mengeluarkan HP lalu memberikannya pada Yana agar dia memesan. Baru saja Yana akan menerimanya, benda di tanganku tiba-tiba berdering. Di layar HP tertera, Mama.Papa selalu mewanti-wanti, saat mengemudi gak boleh ngangkat telpon. Jadi aku memilih meminggirkan mobil terlebih dulu barulah menggeser simbol telepon warna biru ke atas."Halo, Ma," kataku."Din, kamu ke sini sekarang, ya?""Sekarang, Ma?""Iya, sekarang. Ada Bunda di sini.""Baiklah, Ma. Aku segera ke situ. Ini aku lagi di jalan.""Ya sudah, hati-hati dan jangan ngebut. Mama tunggu. Ingat, hati-hati dan jangan ngebut, Dinda.""Iya, Ma. Siap," sahutku. Sambungan telepon pun dimatikan oleh Mama. Aku langsu
Bunda mengangguk setuju. "Benar yang dikatakan Mama mertuamu, Ga. Kalau tidak cocok juga sampai Dinda akhirnya hamil, Ian dan Deri kan bisa tinggal sama Bunda. Ian dan Deri nurut, kok, sama Bunda.""Tujuanku menikah lagi, agar anak-anak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, Bun. Kalau anak-anak sama Bunda, mereka tidak akan merasakan kasih sayang seorang ibu."Hu-uuh! Mama menyentak napas keras, tangannya bersidekap. Ia menatap Mas Angga dengan sorot mengejek."Itu artinya, kamu hanya mikirin diri sendiri. Mama ini sebenarnya gak masalah loh seandainya Dinda tinggal sama anak-anakmu, ikut ngurus anak-anakmu! Tapi, Mama sangat sangat keberatan kalau kamu tidak mau punya anak!"Mas Angga diam saja. Bunda beranjak berdiri lalu duduk di samping kanan Mama. Bunda merangkul pundak Mama."Mungkin maksud Angga, dia belum ingin punya anak lagi, Ma. Begitu kan, Ga?" tanya Bunda sambil menatap anaknya itu tanpa kedip. Mas Angga menatap Mama, lalu mengangguk kecil. "Sekarang! Kemarin, tidak b
POV Dinda"Siapa yang akan cerai, Ma?" tanya Papa lagi. Mama menggeleng kecil."Tidak ada yang akan cerai, Pa." Mama yang kini berdiri di hadapan Papa tersenyum pada suaminya itu.Papa menatap Mama dengan wajah ragu. "Tadi papa seperti dengar, mama sebut kata cerai," ucap Papa."Oh, itu. Tadi, Mama sama Dinda sedang bahas novel Dinda, Pa." Mama mengedipkan mata padaku, untung Papa gak melihat.Papa memandangku dan aku dengan cepat mengangguk."Iya, Pa. Ja-di, aku sama Mama lagi bahas cerita yang mau aku UP di platfrom online gitu, Pa. Jadi, aku itu cerita sama Mama, kalau aku buat cerita baru. Tokoh ceweknya itu namanya Puspita. Saat suaminya ulang tahun, Puspita beri kejutan sama suaminya dengan ngaku hamil, suaminya kaget, terkena serangan jantung dan langsung ninggal. Nah, beberapa bulan kemudian, ibu mertuanya Puspita sama Mama Puspita, mereka jodohin Puspita sama Rasya kakak iparnya si Puspita. Jelas keduanya kaget, lah. Puspita gak suka sama kakak iparnya yang galak juga dingin,
Papa dan Mama saling pandang, lalu mata keduanya sama-sama melebar."Yang benar?!" tanya keduanya begitu antusias.Aku mengangguk cepat. "Iya bener, lah, masa boong. Tinggal nunggu tes. Aku udah daftar sama Yana, Pa. Ma."Papa beranjak berdiri, menggeser kursi di sampingku, mendudukinya, lalu ia merangkul pundakku dengan erat. Mama juga ikut berdiri ,melakukan hal yang sama dengan Papa. Keduanya merangkulku lalu mencium pipiku dengan lembut. Aku tersenyum karenanya. Aku senang melihat keduanya tampak bahagia setelah sebelumnya aku membuat mereka sakit hati karena ancamanku ingin bunuh diri jika gak dibolehin nikah dengan Om Angga. Ah kalau dipikir-pikir aku emang udah keterlaluan banget pada Papa sama Mama. Walau aku selalu saja membuat keduanya susah, tapi keduanya tetap saja menyayangiku tanpa pamrih. Aku bersyukur banget memiliki keduanya, papa dan Mama yang selalu menyayangiku."Ini baru anaknya Papa." Papa kembali menciumku. Mama juga."Berarti kalau aku gak daftar kuliah, aku b
"Emp ... kontrakan Yana, Pa. Jadi biar gak kejauhan, Yana mau ngontrak dekat kampus," ucapku akhirnya. Aku sedikit was-was karena takut ketahuan."Memangnya pasti keterima sudah cari kontrakan?" tanya Papa dengan kening berkerut."Papa kayak gak tau aja otak Yana itu pinter, dia kan selalu di atasku nilainya ya jadi pasti bakal keterima, laah. Kalau gak keterima ya ke UM."Papa mengangguk. "Oh, begitu. Berapa sebulannya? Nanti Papa langsung bayar setahun."Waah, bakal balik banyak nih uangku yang udah kupakai buat bayar kontrakan. Maka dengan antusias aku menjawab,"Dua juta satu bulannya, Pa. Ada kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi.""Ya, ya, nanti langsung Papa transfer sekalian sama uang buat beli baju dan lainnya."Aku tersenyum senang. "Ditunggu, Pa, transferan uangnya. Yaudah aku pulang dulu. Pokoknya Papa harus jaga kesehatan, gak boleh makan goreng-gorengan, gak boleh mam terlalu asin, gak boleh mam sate ayam apalagi maem sate kambing, harus banyakin mam buah-buahan dan sayur
POV DindaYana menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat aku menjatuhkan tubuh di ranjang dengan kuat. Aku mendesah jengkel membayangkan kelakuan Andika barusan."Kenapa, sih, cemberut gitu?" tanya Yana, lagi-lagi memandangku dengan bibir mengulas senyum. "Itu manusia, ngeselin banget, Yan. Pengen rasanya aku, hi-iiih!" Tanganku mengepal kuat di udara. "Tendang dia sekuat yang aku bisa!" Lanjutku dengan gemas. Gemas ingin tendang dia. Yana tertawa kecil. Dia memandangiku dengan sisa senyum di bibirnya."Tadi aku liat, kamu tendang dia. Emang kenapa, kok, kamu tau-tau tendang dia, Din?" tanyanya tampak penasaran.Aku meraih satu baju lalu menempelkan ke tubuh. "Aku tendang dia karena aku jengkel sama dia, Yan. Ditanya baik-baik eh jawabnya ngeselin banget. Katanya dia gini, kamu naenyaaa? Kamu bertanya tanya-ee?" Sambil aku mengikuti gerak bibir Andika yang menjengkelkan saat dia mengatakan itu.Yana tertawa kecil."Kesel banget aku dengernya sampai rasanya ingin kutsbok, tu, m