"Emp ... kontrakan Yana, Pa. Jadi biar gak kejauhan, Yana mau ngontrak dekat kampus," ucapku akhirnya. Aku sedikit was-was karena takut ketahuan."Memangnya pasti keterima sudah cari kontrakan?" tanya Papa dengan kening berkerut."Papa kayak gak tau aja otak Yana itu pinter, dia kan selalu di atasku nilainya ya jadi pasti bakal keterima, laah. Kalau gak keterima ya ke UM."Papa mengangguk. "Oh, begitu. Berapa sebulannya? Nanti Papa langsung bayar setahun."Waah, bakal balik banyak nih uangku yang udah kupakai buat bayar kontrakan. Maka dengan antusias aku menjawab,"Dua juta satu bulannya, Pa. Ada kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi.""Ya, ya, nanti langsung Papa transfer sekalian sama uang buat beli baju dan lainnya."Aku tersenyum senang. "Ditunggu, Pa, transferan uangnya. Yaudah aku pulang dulu. Pokoknya Papa harus jaga kesehatan, gak boleh makan goreng-gorengan, gak boleh mam terlalu asin, gak boleh mam sate ayam apalagi maem sate kambing, harus banyakin mam buah-buahan dan sayur
POV DindaYana menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat aku menjatuhkan tubuh di ranjang dengan kuat. Aku mendesah jengkel membayangkan kelakuan Andika barusan."Kenapa, sih, cemberut gitu?" tanya Yana, lagi-lagi memandangku dengan bibir mengulas senyum. "Itu manusia, ngeselin banget, Yan. Pengen rasanya aku, hi-iiih!" Tanganku mengepal kuat di udara. "Tendang dia sekuat yang aku bisa!" Lanjutku dengan gemas. Gemas ingin tendang dia. Yana tertawa kecil. Dia memandangiku dengan sisa senyum di bibirnya."Tadi aku liat, kamu tendang dia. Emang kenapa, kok, kamu tau-tau tendang dia, Din?" tanyanya tampak penasaran.Aku meraih satu baju lalu menempelkan ke tubuh. "Aku tendang dia karena aku jengkel sama dia, Yan. Ditanya baik-baik eh jawabnya ngeselin banget. Katanya dia gini, kamu naenyaaa? Kamu bertanya tanya-ee?" Sambil aku mengikuti gerak bibir Andika yang menjengkelkan saat dia mengatakan itu.Yana tertawa kecil."Kesel banget aku dengernya sampai rasanya ingin kutsbok, tu, m
"Andika, tidak boleh begitu," tegur Bu Delima. Andika menudingku."Dia sebentar-sebentar natap aku, Bu. Seperti tidak pernah lihat cowok ganteng saja!" ketusnya.Aku nganga. Hah pede sekali dia? Aku balas menudingnya. "Asal kamu tau, ya, suami aku lebih ganteng banget dari kamu. Kamu gak ada apa-apanya dibandingkan suamiku!" Balasku tak kalah sinis."Kamu udah nikah?" Andini tampak tak percaya."Udah," balasku. "Tapi, aku lagi ada masalah sama dia makanya aku ngontrak.""Nak, kalau sedang ada masalah itu, sebaiknya masalahnya segera diselesaikan," tutur Bu Delima. "Iya, Bu," sahutku. Andika menghela napas. "Aku sudah kenyang, Bu. Mau main." Dia beranjak berdiri. "Iya, pulang jangan malam-malam.""Iya," sahutnya. Tangannya terulur ke arah Bu Delima. "Kunci mobil Andika mana?"Bu Delima menatap Andini. "Jangan kasih, Ma, nanti dia kebut-kebutan lagi sama temennya. Heran, aku, hanya gara-gara putus sama pacarnya sampai berbuat bahayain nyawa sendiri. Otaknya sedang pindah ke dengkul,
Aku mengalihkan pandang. Karena bertatapan dengannya membuat dadaku berdebar-debar. Mencoba melupakan, tidak semudah membuang ludah. Sulit. Sangat sulit. Sungguh-sungguh sulit andai kamu ingin tahu. "Sayang, aku rindu padamu," katanya lagi sambil tangannya menyentuh pelan daguku, lalu dia menatapku lekat tanpa kedip, membuat jantungku berdetak kencang sekali."Kamu tidak rindu pada Mas?" tanyanya dengan suara lirih.Rindu. Tapi suara itu hanya tersangkut di tenggorokan. Jika aku bilang rindu, nanti dia keGR-an."Enggak," sahutku mendustai hati. "Aku gak rindu sama Mas," sambungku yang membuat matanya melebar tak percaya. Jelas dia kaget mendengar penuturanku. Bagaimana tidak? Aku yang biasanya selalu nempel padanya kini bersikap acuh.Jujur, sebenarnya aku tersiksa. Rasa ini begitu kuat menggebu-gebu. Namun demi harga diri agar dia tak memandangku rendah karena aku terlihat begitu mencintainya, aku terus bersikap abai. Seolah aku gak butuh dia padahal mendengar ucapannya, sebenarnya
Dia menarik napas panjang. "Kalau kamu benar-benar ingin punya anak, baiklah. Dan ingat, anak itu bukan boneka. Saat kamu punya anak, tidak melulu semua dikerjakan oleh baby sitter. Kamu harus ikut andil merawatnya karena anak itu butuh orang tuanya bukan baby sitter-nya.""Iya, tenang aja. Aku akan rawat anak kita kelak.""Juga rawat Ian dan Deri seperti anak sendiri. Sanggup?" tanyanya."Sangguplah, kenapa enggak? Suka sama ayahnya harus suka juga sama anak-anaknya juga," balasku dengan bersemangat. Dia menanggapi ucapanku dengan mengacungkan ibu jarinya ke udara.Mobil berbelok membelah halaman. Mas Angga melepas sabuk pengaman begitu pun aku. Lalu secara bersamaan, kami turun. Mas Angga menggenggam tanganku, menarikku menuju rumahnya yang besar. Di bukannya pintu, lalu setelah aku masuk, dia langsung menguncinya."Ayo." Dia kembali menggenggam tanganku, menarikku menuju dapur."Lapar, kan? Mau ikan bakar, atau ayam bakar?" tanyanya sambil mengangkatku membuatku memekik kaget karen
POV Angga"Kenapa, Mas?" tanyanya."Tidak papa, hanya senang saja kita bisa bersama seperti ini, Sayang." Tanganku terjulur lalu mengusap sayang rambutnya.Dia tersenyum simpul. "Aku juga senang." Dia lagi-lagi tersenyum. Kami terus makan sampai nasi di piring habis. Aku berdiri lalu menumpuk piringnya ke piringku."Sana, kamu mandi dulu. Nanti Bunda akan ke sini, kita butik sama-sama. Kamu pilih gaun pengantin yang paling kamu sukai." "Iya." Dia mendekat lalu memelukku dari belakang. "Aku rindu banget sama Mas," lirihnya."Tadi katanya tidak rindu.""Kan aku udah jawab, tadi, aku rindu."Aku tersenyum mendengar ucapannya. Segera membalikkan badan lalu melingkarkan tangan ke pinggangnya yang ramping, menatapnya dalam. Kukecup keningnya dengan lembut. Cukup sudah aku kehilangan istri-istriku dulu, aku tidak ingin kembali kehilangan istriku lagi. Dinda menjadi yang terakhir. Semoga saja begitu."Sana, mandi. Apa mau aku mandiin?" Aku mengerling menggodanya.Dia mengerucutkan bibir. "Ih
Aku menghela napas panjang saat bayangan wajah Aisyah yang menggenggam tanganku, lagi-lagi memenuhi benak."Bunda, aku takut, nanti Dinda mengalami nasib yang sama seperti Ais. Aku tidak mau!" Aku menggelengkan kepala, jantungku berdetak kuat mengingatnya.Bunda menyentuh lembut bahuku. "Angga, jangan mendahului takdir-Nya. Kamu itu bukan Allah, tidak tahu hidup dan mati seseorang.""Ya tetap saja aku takut, Bun. Aku tidak ingin punya anak lagi, tapi Dinda ingin memiliki anak. Lima tahun lagi. Aku tidak mau kehilangan Dinda."PLAK!Tangan bunda mendarat kuat di pipiku menimbulkan rasa panas juga perih. Aku terdiam menatap Bunda. Bunda menghela napas panjang. "Sudah Bunda bilang jangan mendahului takdir Allah. Banyak yang melahirkan dan baik-baik saja. Jangan seperti ini, Ga, bunda sedih melihatmu." Bunda menggeser tubuh mendekat lalu memelukku."Percaya pada Bunda, semua akan baik-baik saja.""Dan juga jika punya anak, Dinda pasti akan sangat repot sekali," kataku."Kalau sangat repo
POV Angga "Lho, Ga, dari tadi kamu belum mandi?" tanya Bunda saat dia melongokkan kepala ke dalam kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan nanar. Bunda melangkah masuk, dia memandangiku dengan kernyit heran di keningnya.Tangan Bunda menyentuh bahuku dan dia menunduk menatapku. "Kamu kenapa tidak segera mandi?" tanyanya dengan suara lembut. Tatapannya tertuju ke wajahku.Aku menarik napas panjang, menyentuh HP hingga layarnya menyala kemudian menghadapkannya pada Bunda. Bunda menatap layar benda yang kupegang, mataku membulat dan dia menggelengkan kepala.Ditariknya napas panjang. "Dia sudah salah paham. Kamu segera mandi lalu salat, setelah itu kita ke rumah mertuamu. Cepat, Ga," kata Bunda tak sabar."Dinda bilang, dia tidak akan pernah mempercayaiku lagi. Apa pun yang akan kujelaskan padanya, dia tidak akan percaya, Bun. Dia sudah bilang begitu. Ini lihat, bunda baca sendiri." Kembali kuhadapkan layar HP pada Bunda. Aku menghela napas mencoba mengusir sesak di dada. Bar