Aku mengalihkan pandang. Karena bertatapan dengannya membuat dadaku berdebar-debar. Mencoba melupakan, tidak semudah membuang ludah. Sulit. Sangat sulit. Sungguh-sungguh sulit andai kamu ingin tahu. "Sayang, aku rindu padamu," katanya lagi sambil tangannya menyentuh pelan daguku, lalu dia menatapku lekat tanpa kedip, membuat jantungku berdetak kencang sekali."Kamu tidak rindu pada Mas?" tanyanya dengan suara lirih.Rindu. Tapi suara itu hanya tersangkut di tenggorokan. Jika aku bilang rindu, nanti dia keGR-an."Enggak," sahutku mendustai hati. "Aku gak rindu sama Mas," sambungku yang membuat matanya melebar tak percaya. Jelas dia kaget mendengar penuturanku. Bagaimana tidak? Aku yang biasanya selalu nempel padanya kini bersikap acuh.Jujur, sebenarnya aku tersiksa. Rasa ini begitu kuat menggebu-gebu. Namun demi harga diri agar dia tak memandangku rendah karena aku terlihat begitu mencintainya, aku terus bersikap abai. Seolah aku gak butuh dia padahal mendengar ucapannya, sebenarnya
Dia menarik napas panjang. "Kalau kamu benar-benar ingin punya anak, baiklah. Dan ingat, anak itu bukan boneka. Saat kamu punya anak, tidak melulu semua dikerjakan oleh baby sitter. Kamu harus ikut andil merawatnya karena anak itu butuh orang tuanya bukan baby sitter-nya.""Iya, tenang aja. Aku akan rawat anak kita kelak.""Juga rawat Ian dan Deri seperti anak sendiri. Sanggup?" tanyanya."Sangguplah, kenapa enggak? Suka sama ayahnya harus suka juga sama anak-anaknya juga," balasku dengan bersemangat. Dia menanggapi ucapanku dengan mengacungkan ibu jarinya ke udara.Mobil berbelok membelah halaman. Mas Angga melepas sabuk pengaman begitu pun aku. Lalu secara bersamaan, kami turun. Mas Angga menggenggam tanganku, menarikku menuju rumahnya yang besar. Di bukannya pintu, lalu setelah aku masuk, dia langsung menguncinya."Ayo." Dia kembali menggenggam tanganku, menarikku menuju dapur."Lapar, kan? Mau ikan bakar, atau ayam bakar?" tanyanya sambil mengangkatku membuatku memekik kaget karen
POV Angga"Kenapa, Mas?" tanyanya."Tidak papa, hanya senang saja kita bisa bersama seperti ini, Sayang." Tanganku terjulur lalu mengusap sayang rambutnya.Dia tersenyum simpul. "Aku juga senang." Dia lagi-lagi tersenyum. Kami terus makan sampai nasi di piring habis. Aku berdiri lalu menumpuk piringnya ke piringku."Sana, kamu mandi dulu. Nanti Bunda akan ke sini, kita butik sama-sama. Kamu pilih gaun pengantin yang paling kamu sukai." "Iya." Dia mendekat lalu memelukku dari belakang. "Aku rindu banget sama Mas," lirihnya."Tadi katanya tidak rindu.""Kan aku udah jawab, tadi, aku rindu."Aku tersenyum mendengar ucapannya. Segera membalikkan badan lalu melingkarkan tangan ke pinggangnya yang ramping, menatapnya dalam. Kukecup keningnya dengan lembut. Cukup sudah aku kehilangan istri-istriku dulu, aku tidak ingin kembali kehilangan istriku lagi. Dinda menjadi yang terakhir. Semoga saja begitu."Sana, mandi. Apa mau aku mandiin?" Aku mengerling menggodanya.Dia mengerucutkan bibir. "Ih
Aku menghela napas panjang saat bayangan wajah Aisyah yang menggenggam tanganku, lagi-lagi memenuhi benak."Bunda, aku takut, nanti Dinda mengalami nasib yang sama seperti Ais. Aku tidak mau!" Aku menggelengkan kepala, jantungku berdetak kuat mengingatnya.Bunda menyentuh lembut bahuku. "Angga, jangan mendahului takdir-Nya. Kamu itu bukan Allah, tidak tahu hidup dan mati seseorang.""Ya tetap saja aku takut, Bun. Aku tidak ingin punya anak lagi, tapi Dinda ingin memiliki anak. Lima tahun lagi. Aku tidak mau kehilangan Dinda."PLAK!Tangan bunda mendarat kuat di pipiku menimbulkan rasa panas juga perih. Aku terdiam menatap Bunda. Bunda menghela napas panjang. "Sudah Bunda bilang jangan mendahului takdir Allah. Banyak yang melahirkan dan baik-baik saja. Jangan seperti ini, Ga, bunda sedih melihatmu." Bunda menggeser tubuh mendekat lalu memelukku."Percaya pada Bunda, semua akan baik-baik saja.""Dan juga jika punya anak, Dinda pasti akan sangat repot sekali," kataku."Kalau sangat repo
POV Angga "Lho, Ga, dari tadi kamu belum mandi?" tanya Bunda saat dia melongokkan kepala ke dalam kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan nanar. Bunda melangkah masuk, dia memandangiku dengan kernyit heran di keningnya.Tangan Bunda menyentuh bahuku dan dia menunduk menatapku. "Kamu kenapa tidak segera mandi?" tanyanya dengan suara lembut. Tatapannya tertuju ke wajahku.Aku menarik napas panjang, menyentuh HP hingga layarnya menyala kemudian menghadapkannya pada Bunda. Bunda menatap layar benda yang kupegang, mataku membulat dan dia menggelengkan kepala.Ditariknya napas panjang. "Dia sudah salah paham. Kamu segera mandi lalu salat, setelah itu kita ke rumah mertuamu. Cepat, Ga," kata Bunda tak sabar."Dinda bilang, dia tidak akan pernah mempercayaiku lagi. Apa pun yang akan kujelaskan padanya, dia tidak akan percaya, Bun. Dia sudah bilang begitu. Ini lihat, bunda baca sendiri." Kembali kuhadapkan layar HP pada Bunda. Aku menghela napas mencoba mengusir sesak di dada. Bar
Suara Bunda dan Mas Angga terdengar. Bunda menarik napas panjang begitu rekaman berhenti. Aku duduk di sofa samping Mama."Aku gak salah paham!" kuucap kata itu dengan keras.Mas Angga memandangku. "Kamu salah paham, Din. Vidio yang kamu rekam itu, itu saat aku bilang pada Bunda bahwa aku ragu mau punya anak. Setelah itu, aku mengatakan pada Bunda bahwa aku mau punya anak," jelasnya yang kutanggapi dengan senyuman mencibir. Aku tidak mau percaya padanya lagi. Titik!"Benar yang dikatakan Angga, Din." Bunda memandangku. "Kamu hanya salah paham," lanjutnya dengan tatapan terus ke arahku.Aku menggeleng. "Aku gak percaya sama Mas Angga lagi, Bun," sahutku tanpa menatap Bunda. Yang kutatap justru Mas Angga. Mas Angga menghela napas, dia memijit-mijit keningnya.Mama memandang Bunda. "Bunda sudah mendengar sendiri jawaban Dinda, kan? Dinda tidak percaya lagi pada Angga. Jika Dinda tidak ingin kembali pada Angga, maka aku mendukung keputusannya.""Dinda." Suara Bunda terdengar lirih. "Tolon
POV Angga "Bunda benar-benar pusing," kata Bunda, ia mengemudi sambil sebentar-sebentar memijit keningnya. Wajah Bunda terlihat pucat. Matanya berkaca-kaca seperti akan menangis. "Jika Bunda pusing, biar Angga saja yang mengemudi," kataku.Bunda menoleh sekilas. "Bunda bukan pusing karena sakit kepala, tapi pusing memikirkan semua ini, Ga." Ditariknya napas panjang. "Apa yang harus Bunda katakan pada ayahmu jika resepsimu sampai batal, Ga? Ayahmu juga Bunda, pasti akan kehilangan muka. Banyak rekan bisnis ayahmu yang diundang, Ga."Bunda lagi-lagi menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Wajah Bunda terlihat amat ketakutan seolah sedang membayangkan sesuatu yang mengerikan. Bunda akhirnya menepikan mobil lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Aku mendekat dan merangkulnya."Belum-belum Bunda sudah merasa sangat malu, Ga. Orang-orang pasti akan berpikir bahwa kamu benar-benar payah, kawin cerai terus!" kata Bunda, terlihat kilat jengkel di manik matanya. Walau aku ing
"Kumakan, kan? Kalau itu kamu buang ...." Dia tuding piring yang kupegang. "Kamu keterlaluan." Dia membalikkan badan lalu keluar gerbang. Aku memandangi bakwan juga tempe di piring. Masa, aku makan makanan yang udah jatuh begini? Aku lalu menatap rerumputan. Bagaimana kalau ada kucing pipis di sini? Juga, rumput ini sudah puluhan kali diinjak injak sandal, hiiiMau kubuang di kotak sampah nanti ketahuan Andika, pasti dia akan ngoceh-ngoceh kalau tahu makanan buatan mamanya kubuang. Lebih baik kumasukkan ke dalam saja deh, buang besok saja di luar.Aku pun berjalan menuju kontrakan, meletakkan piring ke meja ruang tamu setelah itu sambil menghubungi Yana, aku mengunci kontrakan."Halo, Yan? Kok dimatikan?" "Kamu sepertinya lagi sibuk ngobrol, siapa cowok tadi?" tanyanya."Si Andika, anaknya ibu kos," sahutku, teringat si cowok tengil itu aku jengkel sekali. Masa aku disuruh makan makanan yang sudah jatuh? Benar-benar si Andika itu, tidak beres otaknya."Oh anaknya ibu pemilik kontraka