"Kumakan, kan? Kalau itu kamu buang ...." Dia tuding piring yang kupegang. "Kamu keterlaluan." Dia membalikkan badan lalu keluar gerbang. Aku memandangi bakwan juga tempe di piring. Masa, aku makan makanan yang udah jatuh begini? Aku lalu menatap rerumputan. Bagaimana kalau ada kucing pipis di sini? Juga, rumput ini sudah puluhan kali diinjak injak sandal, hiiiMau kubuang di kotak sampah nanti ketahuan Andika, pasti dia akan ngoceh-ngoceh kalau tahu makanan buatan mamanya kubuang. Lebih baik kumasukkan ke dalam saja deh, buang besok saja di luar.Aku pun berjalan menuju kontrakan, meletakkan piring ke meja ruang tamu setelah itu sambil menghubungi Yana, aku mengunci kontrakan."Halo, Yan? Kok dimatikan?" "Kamu sepertinya lagi sibuk ngobrol, siapa cowok tadi?" tanyanya."Si Andika, anaknya ibu kos," sahutku, teringat si cowok tengil itu aku jengkel sekali. Masa aku disuruh makan makanan yang sudah jatuh? Benar-benar si Andika itu, tidak beres otaknya."Oh anaknya ibu pemilik kontraka
POV AnggaAku menjambak rambut frustrasi melihat mobil Dinda yang semakin menjauh. Dia salah paham. Dan sama sekali tidak mau mendengar ucapanku sama sekali. Percuma saja jika sekarang aku mengejarnya, dia pasti akan kembali menghindar.Apa yang harus kukatakan pada Bunda? Bunda sangat berharap aku pulang membawa Dinda, Bunda pasti kecewa jika aku pulang dengan tangan kosong.Aku kembali menjambak rambut. Dengan langkah lunglai, aku berjalan menuju mobil. Baru saja masuk, HP yang kuletakkan di dasboard berdering. Kuraih, lalu melihat layarnya. Panggilan dari Sisil.Sentuh."Halo, Sil? Ada apa?" tanyaku."Mas, Bunda masuk rumah sakit. Barusan aja dibawa ke rumah sakit.""Apa, Sil?! tanyaku kaget, jantungku seperti diremas kuat saat mendengarnya."Mas buruan ke sini." Suara Sisil terdengar sedih."Iya. Iya, ini mau ke situ. Di rumah sakit mana, Sil?""Muhammadiyah, Mas.""Ya. Ya. Mas ke situ sekarang," kataku dengan panik. Tanpa menunggu lebih lama lagi segera kukendarai mobil menuju ta
"Sil, Ardy sudah kamu hubungi?" tanya Ayah tiba-tiba. "Bilang ada Ardy, Bunda sakit.""Sudah tadi, Yah. Tapi WA-ku gak dibalas. Mungkin jam segini dia lagi ngajar.""Bukannya kampus libur setengah bulan? Kemarin waktu ayah ke rumah Ardy karena kangen dengan Shelin, dia di rumah. Ayah tanya apa dia tidak ke kampus, katanya kampus libur setengah bulan. Jangan di WA tapi ditelpon," ucap Ayah dengan sedikit mendelik pada Sisil.Adik keduaku, Ardy, dia mengajar di IAIN. Sudah hampir 2 tahun dia menjadi dosen di IAIN. Dua warung makannya dia pasrahkan pada orang kepercayaan, itu yang dikatakan Ayah padaku. Selain warung makan, dia juga bisnis kontrakan. Dia memiliki 10 kontrakan di dekat kampus IAIN juga UM, itu juga aku tahu dari ayah. Aku nyaris tidak pernah komunikasi dengan Ardy. Dia menjaga jarak. Hanya lebaran saja kami bertemu, itu pun tidak kurang dari 30 menit. Tiga puluh menit itu, biasanya Ardy berbincang dengan ayah dan Bunda. Sementara padaku, ia hanya mengajak berjabat tangan
POV Dinda"Angga, jelaskan pada Ayah apa maksud ucapan Dinda barusan?" tanya Ayah, dia memandang Mas Angga lalu ganti menatapku. Sama seperti ayah, papa juga menatap kami bergantian dengan pandangan menyelidik sedikit jengkel.Mas Angga terus menunduk diam, sama sekali tak menjawab ucapan Ayah. Karena terus dipandangi oleh Ayah juga Papa, akhirnya aku menuding ke arah Mas Angga. Lalu sambil terisak karena terbawa perasaan yang menyedihkan, aku memandang Ayah, kemudian berganti menatap Papa. Mereka sudah dengar. Jadi, kujelaskan saja sekalian agar semuanya menjadi jelas."Mas Angga nyuruh aku angkat rahim, Pa, Yah. Sebenarnya, ceritaku waktu itu saat kita makan bersama bukan temenku yang disuruh angkat rahim oleh suaminya, itu sebenarnya itu adalah aku. Mas Angga bilang ...." Aku memandang Mas Angga. Lalu lanjutku, "Mas Angga, dia gak ingin punya anak dariku. Kemarin-kemarin, dia terus membujuk agar aku mau angkat rahim, tujuannya agar gak punya anak dariku. Mas Angga bilang, anak-anak
"Yang barusan kukatakan adalah benar. Tidak mengada-ada. Dinda yang salah paham." Bunda menatapku. Entah kenapa aku sama sekali tidak percaya perkataan Bunda. Begitu pun Papa juga Mama, terlihat sangsi. Apa pun yang keluar dari bibir Mas Angga juga Bunda kuanggap hanya alasan agar aku mengurungkan niat pisah."Aku heran, kenapa menikahi Dinda tapi tidak mau punya anak darinya." Mama menatap Bunda penuh ejekan. "Masa anakku hanya akan dijadikan pengasuh anak-anak juga pemuas di tempat tidur saja. Alangkah malang nasibmu, Nak. Sudah, lebih baik cerai saja," kata Mama, dia kini memandang Mas Angga dengan pandangan tak senang."Aku tidak ada niatan begitu, Ma." Suara Mas Angga lirih."Halah, kamu kira aku percaya, apa?""Sekarang, aku mau punya anak, Ma," ucap Mas Angga lagi. Mama tertawa mengejek. "Siapa yang akan tahu jika nanti kamu diam-diam vasektomi?" Tatapan Mama tajam. Begitu pun Papa, dari tadi terus memperhatikan suamiku dengan pandangan tak senang."Tidak, akan, Ma. Aku bisa j
POV DindaBeberapa perawat menaikkan Papa ke brankar lalu mendorongnya dengan langkah cepat setengah berlari, aku dan Mama mengikuti di belakang para perawat dengan tangis berderai.Papa pun dibawa masuk ke IGD. Mama duduk di kursi besi panjang dan terisak-isak."Ma, tenang ya, Ma," kataku pada Mama yang terus terisak kecil. Aku juga terisak, benakku tak henti berpraduga hal-hal yang mengerikan tentang Papa semisal, Papa terkena serangan jantung, atau yang lebih mengerikan dari itu, Papa pergi untuk selama-lamanya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi pada Papa.Aku menoleh memandang Mama, lalu tanganku bergerak mengusap bahu Mama yang bergetar kuat oleh tangis yang hebat. Yana yang duduk persis di samping Mama hanya terdiam bisu, wajah sahabatku itu terlihat risau. Sesekali, Yana menatap benda bulat yang melingkar di tangannya. Lalu ia menarik napas panjang."Ma, tenang ya, Ma? Kita berdoa aja moga Papa gak kenapa-kenapa," kataku sambil satu tan
POV Dinda"A-ada apa, Mas?" kataku dengan tergagap saat tiba-tiba saja dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang kokoh. Dadaku berdebar keras dan jantungku berdetak sangat kencang sekali saat merasakan embusan napasnya di wajahku."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi, suaraku terdengar bergetar. Mungkin aku terlalu gugup karena begitu dekat dengannya."Mas tidak ingin kita pisah," katanya, ia kembali memajukan wajahnya ke wajahku. Saat bibirnya sudah hampir menyentuh bibirku, dengan cepat kedua tanganku mendorong dadanya, ia terdorong mundur. Tatapan suamiku terlihat kecewa. Kutekankan pada diriku bahwa aku gak akan tergoda lagi padanya. Cukup sudah beberapa kali aku menjadi bodoh. Aku terlalu bucin, makanya aku terus dibodohi olehnya."Mas mau bicara sesuatu padaku, atau mau menggodaku?" tanyaku dengan pandangan mencemooh tapi sebenarnya, aku begitu gugup. Di dalam sini, jantungku terus berdetak kuat. "Jika Mas begini, lebih baik aku turun saja," kataku sambil membuka pintu mobil da
"Ingat tidak, saat kamu mengirimiku surat cinta? Aku tersenyum membacanya. Lalu, aku diam-diam mengikutimu. Aku sangat senang. Aku suka kamu yang selalu ceria, jadi aku sangat senang kamu mengirimiku surat cinta." Mas Angga tersenyum seolah sedang mengenang saat itu.Aku mengangguk. "Ingat. Dan saat aku menyatakan cintaku pada Mas secara langsung, Mas nyuruh aku agar fokus ujian daripada mikirin pacaran. Bener, kan?" tanyaku balik, balas tersenyum."Iya. Karena aku tidak yakin kamu benar-benar serius dengan ucapanmu. Makanya aku bilang, kan, padamu, jika benar-benar menyukaiku maka lebih baik kita segera menikah. Ingat?" "Iya, ingat." Kuanggukkan kepala."Dan sekarang kita sudah menikah." Diciumnya tanganku. "Sayang, kita sudah menikah. Menikah, dulu adalah impian yang ingin kuwujudkan denganmu. Dan sekarang, kita sudah menikah. Sudah menikah, Sayang. Kita sudah jadi suami istri. Lalu kenapa harus berpisah?""Mas sudah tau jawabanku."Pak Salim mendekat membawa nampan besar. Dia leta