POV DindaBeberapa perawat menaikkan Papa ke brankar lalu mendorongnya dengan langkah cepat setengah berlari, aku dan Mama mengikuti di belakang para perawat dengan tangis berderai.Papa pun dibawa masuk ke IGD. Mama duduk di kursi besi panjang dan terisak-isak."Ma, tenang ya, Ma," kataku pada Mama yang terus terisak kecil. Aku juga terisak, benakku tak henti berpraduga hal-hal yang mengerikan tentang Papa semisal, Papa terkena serangan jantung, atau yang lebih mengerikan dari itu, Papa pergi untuk selama-lamanya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi pada Papa.Aku menoleh memandang Mama, lalu tanganku bergerak mengusap bahu Mama yang bergetar kuat oleh tangis yang hebat. Yana yang duduk persis di samping Mama hanya terdiam bisu, wajah sahabatku itu terlihat risau. Sesekali, Yana menatap benda bulat yang melingkar di tangannya. Lalu ia menarik napas panjang."Ma, tenang ya, Ma? Kita berdoa aja moga Papa gak kenapa-kenapa," kataku sambil satu tan
POV Dinda"A-ada apa, Mas?" kataku dengan tergagap saat tiba-tiba saja dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang kokoh. Dadaku berdebar keras dan jantungku berdetak sangat kencang sekali saat merasakan embusan napasnya di wajahku."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi, suaraku terdengar bergetar. Mungkin aku terlalu gugup karena begitu dekat dengannya."Mas tidak ingin kita pisah," katanya, ia kembali memajukan wajahnya ke wajahku. Saat bibirnya sudah hampir menyentuh bibirku, dengan cepat kedua tanganku mendorong dadanya, ia terdorong mundur. Tatapan suamiku terlihat kecewa. Kutekankan pada diriku bahwa aku gak akan tergoda lagi padanya. Cukup sudah beberapa kali aku menjadi bodoh. Aku terlalu bucin, makanya aku terus dibodohi olehnya."Mas mau bicara sesuatu padaku, atau mau menggodaku?" tanyaku dengan pandangan mencemooh tapi sebenarnya, aku begitu gugup. Di dalam sini, jantungku terus berdetak kuat. "Jika Mas begini, lebih baik aku turun saja," kataku sambil membuka pintu mobil da
"Ingat tidak, saat kamu mengirimiku surat cinta? Aku tersenyum membacanya. Lalu, aku diam-diam mengikutimu. Aku sangat senang. Aku suka kamu yang selalu ceria, jadi aku sangat senang kamu mengirimiku surat cinta." Mas Angga tersenyum seolah sedang mengenang saat itu.Aku mengangguk. "Ingat. Dan saat aku menyatakan cintaku pada Mas secara langsung, Mas nyuruh aku agar fokus ujian daripada mikirin pacaran. Bener, kan?" tanyaku balik, balas tersenyum."Iya. Karena aku tidak yakin kamu benar-benar serius dengan ucapanmu. Makanya aku bilang, kan, padamu, jika benar-benar menyukaiku maka lebih baik kita segera menikah. Ingat?" "Iya, ingat." Kuanggukkan kepala."Dan sekarang kita sudah menikah." Diciumnya tanganku. "Sayang, kita sudah menikah. Menikah, dulu adalah impian yang ingin kuwujudkan denganmu. Dan sekarang, kita sudah menikah. Sudah menikah, Sayang. Kita sudah jadi suami istri. Lalu kenapa harus berpisah?""Mas sudah tau jawabanku."Pak Salim mendekat membawa nampan besar. Dia leta
POV AnggaAku mengurangi laju kecepatan saat mobil yang kukendarai melewati Simpang Kampus. Berat sekali rasanya akan berpisah dengan Dinda. Dinda sesekali menatapku, sebentar-sebentar ia menatap ke luar jendela mobil yang terbuka, membuat angin malam yang dingin berembus masuk. Sikapnya yang terus mengalihkan pandang dariku sungguh menyakiti hati juga perasaanku. Dia berbeda dari yang dulu. Biasanya, ia akan mengobrol panjang lebar, apa saja dibicarakan saat berada dalam perjalanan begini, Dinda begitu cerewet sampai terkadang, aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran ada saja yang dia bicarakan. Dia tidak pernah kehilangan obrolan.Tapi sekarang, Dinda terlihat begitu risau. Apa dia benar-benar sudah tak ingin lagi hidup bersamaku? Apa cintanya padaku sudah hilang? Aku menoleh menatapnya. Dia ternyata tengah menatapku, Dinda langsung saja berpaling saat secara tak sengaja kami beradu tatap.Kutarik napas panjang lalu membuangnya pelan, berharap dengan begitu, rasa sesak di dadak
POV Dinda"Dari mana saja kamu?" tanya Mama saat aku membuka pintu kamar Papa dirawat. Aku menunduk menatap plastik yang kupegang lalu berjalan masuk."Habis cari angin di luar, Ma. Tadi liat penjual seblak, akhirnya aku beli, deh," kataku, menatap Mama dengan tak nyaman. Mama menelisik wajahku."Ini aku beli seblak, Ma." Aku kembali menunduk menatap plastik berisi seblak yang kupegang berharap Mama tak mencurigaiku.Mama menarik napas panjang. "Mama kira, kamu pergi sama Angga." Tatapnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, Ma. Ngapain aku pergi sama Mas Angga? Enggak, kok." Dustaku. Mama terlihat curiga, ia terus mengamati wajahku terlihat sangsi. "Semoga yang kamu ucapkan benar. Mama gak ingin, ya, kamu berhubungan lagi dengan lelaki itu. Dia benar-benar bukan suami yang baik. Mama nyesel kamu nikah sama dia. Lihat tuh papamu, gara-gara ulahmu papamu sampai drop. Mama gak ingin papamu tambah stres gara-gara kamu berhubungan lagi sama Angga."Aku memandang ke arah Papa. "Iya, Ma."
Aku ingin muntah, tapi gak bisa muntah.Mungkin aku masuk angin. Lebih baik aku segera pulang agar bisa segera pakai pembalut. Walau di hari pertama datang bulan hanya sedikit darah yang keluar, tapi aku risih kalau gak pakai pembalut. Aku membasuh wajah lalu keluar dari kamar mandi. Ternyata Mama sudah ada di dalam, ia sedang memandang Papa. Papa sudah bangun rupanya."Pagi, Sayang?" Sapa Papa.Aku tersenyum kecil. Walau aku gak sedang baik-baik saja hendak menghadapi perceraian dengan Mas Angga, namun aku menunjukkan wajah bahagia pada Papa. Aku ingin Papa gak kepikiran lagi."Pagi juga, Pa-paaa," sahutku. Mendekat ke arahnya lalu mencium keningnya."Gimana yang Papa rasain? Apa di sini masih sakit?" Tanganku menyentuh dada Papa. Papa menyentuh tanganku di dadanya lalu menggeleng diiringi senyuman."Tidak. Papa tidak sakit. Nanti sore Papa sudah boleh pulang," ucap Papa yang membuat Mama langsung mendelik."Papa ini sok tahu. Kalau dokter gak ijinkan Papa pulang, maka Mama pun gak i
POV Dinda"Halo, Din. Halo?" Terdengar suara Mas Angga dari HP yang sejak tadi kupegang dengan tangan kiri. Aku meloadspeaker, setelah itu menggerakkan tangan ke bawah keran dan mencuci mulut."Iya, Mas.""Kamu belum baikan juga? Tadi aku, dengar kamu muntah-muntah," katanya. Dari nada bicaranya terdengar khawatir. Aku keluar dari kamar mandi, kembali berjalan menuju ruang tamu. Karena belum makan, aku memutuskan kembali menyuap sarapanku. Sama seperti tadi, rasanya begitu amis. Ini simbok mungkin gak bersih cuci lelenya. Akhirnya, kuletakkan lele ke nampan lalu aku menyendok udang. Tapi, mencium bau udang dalam jarak dekat membuatku neg. Perutku terasa bergejolak. Sungguh masuk angin begitu menyiksa.Akhirnya, kepindah udang ke nampan dan aku kembali menyuap hanya dengan sambalnya saja. Amis, tapi gak begitu menyengat. Kalau tidak sedang sakit, aku bisa makan nanti-nanti saja. Kalau sekarang, gak makan bisa-bisa malah tambah masuk angin."Din, aku jalan ke situ, ya?" kata Mas Angga.
"Sudah makan?" tanya Bunda. Dia terus mengamati wajahku. Ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa semalam."Udah, Bun." Suaraku terdengar lirih."Tapi wajahmu pucat. Ayo, makan. Bunda baru saja beli pecal. Ayo." Ajaknya, dia menggenggam tanganku. Aku menatap ke arah Mas Angga dan dia mengangguk, lalu ia membuntut di belakangku.Kini, aku duduk di kursi menghadap meja panjang yang ada di belakang butik. Bunda membuka plastik berisi beberapa bungkus pecal, meraih satu kemudian meletakkannya di hadapanku. Diraihnya satu lagi dan diletakkan di depan Mas Angga duduk. Kemudian, Bunda kembali meraih satu untuknya sendiri. "Itu yang kamu dan Angga makan sebenarnya untuk karyawan Bunda, tapi gak papa, nanti bunda suruh beli lagi," kata Bunda sambil menyuap, tatapannya tertuju ke wajahku. Aku menyendok perlahan, sambal pecalnya begitu pedas, tapi terasa enak di perut, itu membuatku menyuap lagi dan lagi. Kalau tadi aku makan rasanya gak enak, kini terasa enak. Mas Angga tersenyum melihat