Aku ingin muntah, tapi gak bisa muntah.Mungkin aku masuk angin. Lebih baik aku segera pulang agar bisa segera pakai pembalut. Walau di hari pertama datang bulan hanya sedikit darah yang keluar, tapi aku risih kalau gak pakai pembalut. Aku membasuh wajah lalu keluar dari kamar mandi. Ternyata Mama sudah ada di dalam, ia sedang memandang Papa. Papa sudah bangun rupanya."Pagi, Sayang?" Sapa Papa.Aku tersenyum kecil. Walau aku gak sedang baik-baik saja hendak menghadapi perceraian dengan Mas Angga, namun aku menunjukkan wajah bahagia pada Papa. Aku ingin Papa gak kepikiran lagi."Pagi juga, Pa-paaa," sahutku. Mendekat ke arahnya lalu mencium keningnya."Gimana yang Papa rasain? Apa di sini masih sakit?" Tanganku menyentuh dada Papa. Papa menyentuh tanganku di dadanya lalu menggeleng diiringi senyuman."Tidak. Papa tidak sakit. Nanti sore Papa sudah boleh pulang," ucap Papa yang membuat Mama langsung mendelik."Papa ini sok tahu. Kalau dokter gak ijinkan Papa pulang, maka Mama pun gak i
POV Dinda"Halo, Din. Halo?" Terdengar suara Mas Angga dari HP yang sejak tadi kupegang dengan tangan kiri. Aku meloadspeaker, setelah itu menggerakkan tangan ke bawah keran dan mencuci mulut."Iya, Mas.""Kamu belum baikan juga? Tadi aku, dengar kamu muntah-muntah," katanya. Dari nada bicaranya terdengar khawatir. Aku keluar dari kamar mandi, kembali berjalan menuju ruang tamu. Karena belum makan, aku memutuskan kembali menyuap sarapanku. Sama seperti tadi, rasanya begitu amis. Ini simbok mungkin gak bersih cuci lelenya. Akhirnya, kuletakkan lele ke nampan lalu aku menyendok udang. Tapi, mencium bau udang dalam jarak dekat membuatku neg. Perutku terasa bergejolak. Sungguh masuk angin begitu menyiksa.Akhirnya, kepindah udang ke nampan dan aku kembali menyuap hanya dengan sambalnya saja. Amis, tapi gak begitu menyengat. Kalau tidak sedang sakit, aku bisa makan nanti-nanti saja. Kalau sekarang, gak makan bisa-bisa malah tambah masuk angin."Din, aku jalan ke situ, ya?" kata Mas Angga.
"Sudah makan?" tanya Bunda. Dia terus mengamati wajahku. Ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa semalam."Udah, Bun." Suaraku terdengar lirih."Tapi wajahmu pucat. Ayo, makan. Bunda baru saja beli pecal. Ayo." Ajaknya, dia menggenggam tanganku. Aku menatap ke arah Mas Angga dan dia mengangguk, lalu ia membuntut di belakangku.Kini, aku duduk di kursi menghadap meja panjang yang ada di belakang butik. Bunda membuka plastik berisi beberapa bungkus pecal, meraih satu kemudian meletakkannya di hadapanku. Diraihnya satu lagi dan diletakkan di depan Mas Angga duduk. Kemudian, Bunda kembali meraih satu untuknya sendiri. "Itu yang kamu dan Angga makan sebenarnya untuk karyawan Bunda, tapi gak papa, nanti bunda suruh beli lagi," kata Bunda sambil menyuap, tatapannya tertuju ke wajahku. Aku menyendok perlahan, sambal pecalnya begitu pedas, tapi terasa enak di perut, itu membuatku menyuap lagi dan lagi. Kalau tadi aku makan rasanya gak enak, kini terasa enak. Mas Angga tersenyum melihat
POV Dinda"Maa," kata Papa. Tapi Mama mengabaikannya. Mama memandangku sekilas dan kembali bicara. Aku yakin sekali setelah Mama selesai bicara, aku pasti bakal diomelin karena bohongi Mama. Mama pasti akan bertanya pada Simbok aku keluar rumah dari tadi apa gak."Halo, Mbok? Tolong masak kan buat Bapak ya, Mbok. Nanti sore kami pulang," ucap Mama yang membuatku begitu lega. Aku menghela napas. Syukurlah.Setelah berkata begitu, Mama mematikan sambungan teleponnya, lalu dia memandangku."Kenapa wajahmu ketakutan begitu?" tanya Mama dengan sebelah mata menyipit. Aku menggeleng cepat."Ih, Ma-maa. Si-a-paaa, ju-ga, yang ketakutan? Alhamdulillah ya, Pa, Papa nanti sore udah boleh pulang," kataku. Ucapan Mama pada simbok tadi sudah menjelaskan semuanya bahwa dokter mengijinkan Papa pulang. Papa mengangguk diiringi senyuman."Alhamdulillah. Papa tidak suka di rumah sakit, Din. Lebih baik Papa di rumah, ada kamu sama Mamamu." Aku memeluk lengan Papa dan tersenyum. "Iya, Pa." Aku menganggu
POV Angga + Dinda"Assalamu'alaikum," ucapku setibanya di depan kamar Bunda yang sedikit membuka. Aku mendorong pintunya lalu melangkah masuk. "Waalaikum salam," sahut Ayah, Bunda juga Sisil berbarengan. Adikku yang tengah makan itu mendongak."Makan, Mas. Aku beliin makanan buat Mas, nih." Diraihnya kotak strrefoam di hadapannya kemudian mengulurkan padaku. Aku menerimanya."Untung saja kamu beliin Mas makanan. Mas belum makan siang," sahutku sambil meletakkan plastik yang kutenteng ke atas meja. Kotak sterefoam dari Sisil juga kuletakkan di meja. Aku meraih sebutir apel, setelah mengupasnya segera kuulurkan pada Ayah. Aku mengupas sebutir lagi dan mengulurkannya pada Bunda. Setelah itu, aku mengambil kotak sterefoam, duduk lesehan di samping Sisil dan mulai makan."Memangnya tadi belum makan siang, Ga?" tanya Bunda saat aku menggigit paha ayam goreng kemudian memuluk nasi juga sambal tomat."Belum, Bun. Dari pagi aku hanya sarapan pecal dari Bunda saja, makanya aku begini lapar," j
Aku mengernyit mengingat-ingat pertemuanku dan si Bapak barusan. Pertama bertemu dengannya itu di angkot. Saat itu, aku menangis karena sedih. Saat itu aku, bilang padanya, ngapain lihat-lihat aku yang sedang menangis? Apa karena itu, dia jadi membenciku? Tapi menurutku, gak salah ucapanku waktu itu. Jelas lah waktu itu aku kesal padanya, orang sedang nangis masa dilihatin terus. Mungkin, dia gak menyukaiku karena dipertemuan kedua kami, aku nyelonong masuk ke rumahnya. Nah kalau alasan yang itu, sepertinya lebih masuk akal. Tapi kan waktu itu, aku sudah menjelaskan alasanku kenapa bisa masuk ke rumahnya. Dia bahkan mengantarku ke Pekalongan. Aku menggeleng sebal. Ah sudahlah, ngapain juga aku pikirin. Gak penting banget.Aku mampir ke pasar untuk membeli es cendol pesanan Mama, lalu saat akhirnya mobil berhenti di parkiran rumah sakit, aku lekas turun. Aku menjulurkan tangan meraih buruanku lalu dengan menenteng plastik-plastik berisi makanan aku menuju kamar Papa dirawat. Senyumku m
POV Dinda"Halo, Yan, udah sampai mana?" tanyaku. Aku sudah mengenakan gaun pengantin dan merias wajah dengan make up tipis. Nanti akan dimake up, begitu yang dikatakan Mas Angga saat dia menelepon 2 menit lalu, bertanya aku sudah siap apa belum. Jika sudah siap, dia akan datang menjemput. Acara dimulai pukul 10. Kata Mas Angga, nanti kami akan ijab kabul lagi karena saudara-saudara ayah juga bunda yang dari jauh belum ada yang tahu bahwa kamu sudah menikah, jadi, kami akan kembali ijab kabul. Menurutku itu aneh, kan tinggal bilang saja bahwa kami sudah ijab kabul, tapi aku tak mengatakan apa pun pada Mas Angga. Aku setuju saja.Aku menatap jam di dinding lalu berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pukul 8, tapi Yana belum juga datang. Aku ingin dia menemaniku saat aku ijab kabul nanti, tentu saja gak enak jika aku datang ke resepsi sendiri tanpa Papa dan Mama juga tanpa teman. Karena Yana tak juga datang, aku kembali meneleponnya."Halo, Yan, udah sampai mana?" "Ini udah sampai Sim
POV AnggaSenyumku merekah saat melihat mobil Dinda berhenti di bibir jalan. Lalu tak lama, pintu mobil itu terbuka dan Dinda turun. Aku mengernyit melihatnya tidak memakai gaun pengantin. Apa belum dia pakai karena tidak ingin ketahuan oleh Papa dan Mama? Sepertinya begitu, pasti dia takut ketahuan oleh Papa dan Mama. Tapi tidak masalah, toh ijab kabul dimulai dua jam lagi, masih banyak waktu untuknya mengenakan gaun pengantin juga merias wajah. Dinda mendekat ke arahku dengan wajah ... aku memperhatikannya dalam, matanya tanpak sembab dan sepertinya habis menangis. Dia bahkan tersengal setibanya di hadapanku."Kamu kenapa?" Kusentuh pipinya yang banjir oleh air mata."Mas, aku minta maaf," ucapnya di antara isak tangis."Minta maaf kenapa?" tanyaku dengan pikiran campur aduk. Aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Kenapa dia minta maaf? Bukannya dia ke sini karena akan membantuku?"Maaf," ucapnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Aku memperhatikannya dalam diam dengan be