POV Angga + Dinda"Assalamu'alaikum," ucapku setibanya di depan kamar Bunda yang sedikit membuka. Aku mendorong pintunya lalu melangkah masuk. "Waalaikum salam," sahut Ayah, Bunda juga Sisil berbarengan. Adikku yang tengah makan itu mendongak."Makan, Mas. Aku beliin makanan buat Mas, nih." Diraihnya kotak strrefoam di hadapannya kemudian mengulurkan padaku. Aku menerimanya."Untung saja kamu beliin Mas makanan. Mas belum makan siang," sahutku sambil meletakkan plastik yang kutenteng ke atas meja. Kotak sterefoam dari Sisil juga kuletakkan di meja. Aku meraih sebutir apel, setelah mengupasnya segera kuulurkan pada Ayah. Aku mengupas sebutir lagi dan mengulurkannya pada Bunda. Setelah itu, aku mengambil kotak sterefoam, duduk lesehan di samping Sisil dan mulai makan."Memangnya tadi belum makan siang, Ga?" tanya Bunda saat aku menggigit paha ayam goreng kemudian memuluk nasi juga sambal tomat."Belum, Bun. Dari pagi aku hanya sarapan pecal dari Bunda saja, makanya aku begini lapar," j
Aku mengernyit mengingat-ingat pertemuanku dan si Bapak barusan. Pertama bertemu dengannya itu di angkot. Saat itu, aku menangis karena sedih. Saat itu aku, bilang padanya, ngapain lihat-lihat aku yang sedang menangis? Apa karena itu, dia jadi membenciku? Tapi menurutku, gak salah ucapanku waktu itu. Jelas lah waktu itu aku kesal padanya, orang sedang nangis masa dilihatin terus. Mungkin, dia gak menyukaiku karena dipertemuan kedua kami, aku nyelonong masuk ke rumahnya. Nah kalau alasan yang itu, sepertinya lebih masuk akal. Tapi kan waktu itu, aku sudah menjelaskan alasanku kenapa bisa masuk ke rumahnya. Dia bahkan mengantarku ke Pekalongan. Aku menggeleng sebal. Ah sudahlah, ngapain juga aku pikirin. Gak penting banget.Aku mampir ke pasar untuk membeli es cendol pesanan Mama, lalu saat akhirnya mobil berhenti di parkiran rumah sakit, aku lekas turun. Aku menjulurkan tangan meraih buruanku lalu dengan menenteng plastik-plastik berisi makanan aku menuju kamar Papa dirawat. Senyumku m
POV Dinda"Halo, Yan, udah sampai mana?" tanyaku. Aku sudah mengenakan gaun pengantin dan merias wajah dengan make up tipis. Nanti akan dimake up, begitu yang dikatakan Mas Angga saat dia menelepon 2 menit lalu, bertanya aku sudah siap apa belum. Jika sudah siap, dia akan datang menjemput. Acara dimulai pukul 10. Kata Mas Angga, nanti kami akan ijab kabul lagi karena saudara-saudara ayah juga bunda yang dari jauh belum ada yang tahu bahwa kamu sudah menikah, jadi, kami akan kembali ijab kabul. Menurutku itu aneh, kan tinggal bilang saja bahwa kami sudah ijab kabul, tapi aku tak mengatakan apa pun pada Mas Angga. Aku setuju saja.Aku menatap jam di dinding lalu berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pukul 8, tapi Yana belum juga datang. Aku ingin dia menemaniku saat aku ijab kabul nanti, tentu saja gak enak jika aku datang ke resepsi sendiri tanpa Papa dan Mama juga tanpa teman. Karena Yana tak juga datang, aku kembali meneleponnya."Halo, Yan, udah sampai mana?" "Ini udah sampai Sim
POV AnggaSenyumku merekah saat melihat mobil Dinda berhenti di bibir jalan. Lalu tak lama, pintu mobil itu terbuka dan Dinda turun. Aku mengernyit melihatnya tidak memakai gaun pengantin. Apa belum dia pakai karena tidak ingin ketahuan oleh Papa dan Mama? Sepertinya begitu, pasti dia takut ketahuan oleh Papa dan Mama. Tapi tidak masalah, toh ijab kabul dimulai dua jam lagi, masih banyak waktu untuknya mengenakan gaun pengantin juga merias wajah. Dinda mendekat ke arahku dengan wajah ... aku memperhatikannya dalam, matanya tanpak sembab dan sepertinya habis menangis. Dia bahkan tersengal setibanya di hadapanku."Kamu kenapa?" Kusentuh pipinya yang banjir oleh air mata."Mas, aku minta maaf," ucapnya di antara isak tangis."Minta maaf kenapa?" tanyaku dengan pikiran campur aduk. Aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Kenapa dia minta maaf? Bukannya dia ke sini karena akan membantuku?"Maaf," ucapnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Aku memperhatikannya dalam diam dengan be
"Hallo assalamualaikum, Pak Pras.""Waalaikum salam, Bunda." Terdengar sahutan dari dalam HP bunda. Aku hafal benar suara berat lelaki yang terdengar di HP bunda, ayah Yana."Jadi, Pak, aku menelepon Bapak karena ada hal sangat penting yang harus kusampaikan pada Bapak. Jadi, Pak, Yana dan Angga anak nomer satu saya akan menikah, ja--""Apa?! Menikah?!" "Iya, bapak harus datang untuk jadi wali Yana. Saat ini saya di salon Kartika. Segera datang ya, Pak. Assalamualaikum." Bunda lalu menyentuh simbol telepon warna merah dan ia menarik napas panjang-panjang."Bunda kenal dengan ayah Yana?" tanyaku menyelidik."Tentu saja Bunda kenal. Dia adalah teman Bunda saat SMA. Bunda sering melihat status FB-nya, isinya kebanyakan foto-fotonya dan Yana."Tak lama, terdengar suara salam. Bunda berdiri lalu menjawab, waalaikum salam. Seorang lelaki berperawakan tambun mendekat ke arah Bunda, aku sering bertemu dengannya karena sering makan di warungnya. Dia menatapku menyelidik."Ini, maksudnya apa?"
POV DindaAku tersengal-sengal memandang mobil suamiku yang semakin menjauh. Maafkan aku, Mas. Aku sungguh ingin membantu, tapi Mama dan Papa gak mengijinkan. Semoga, acaranya berjalan lancar. A-miin, doaku dengan perasaan yang sedih sekali. Dari dulu, aku sangat menginginkan bersanding di pelaminan dengan Mas Angga. Lalu saat hari ini datang, aku gak bisa mewujudkan keinginanku itu. Yang kulakukan hanyalah, menangis tak berguna, yang walau aku menangis darah sekalipun gak akan mengubah keadaan.Aku masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi dan kembali terisak. Setelah cukup lama menumpahkan pedih yang kurasa dalam tangisan, akhirnya aku mengendarai mobil sangat pelan menuju kontrakan. Tapi, sudah tak terlihat mobil Papa di halaman kontrakanku, jadi pasti Papa dan Mama saat ini ada di rumah. Aku pun melajukan mobil menuju rumah, benar saja mereka duduk di teras. Tampak Mama sedang menangis dan Papa tengah mencoba menenangkannya. Sesekali, tangan Papa bergerak mengusap pipi Mama yang b
POV Dinda"Eh, Din-daaa, sudah rapi saja, Nak," kata Mama saat aku mendekat ke arahnya. Aku menggeser kursi ke belakang lalu duduk di samping Mama. "Iya, Ma, hari ini pengumuman lulus enggaknya." Aku mencomot tempe goreng di piring, mengunyahnya perlahan. Aku tersenyum kecil pada Papa yang berjalan kemari."Pagi, Papa?" Sapaku. "Pagi juga, Sa-yang." Ia mendekat lalu mengusap sayang kepalaku. Papa tersenyum memperhatikanku."Cantiknya anak Papa pakai jilbab." Pujinya sambil duduk.Senyum kecil terulas di bibir Mama. "Ya cantik lah, Pa, kan anak Mama. Dinda itu cantik mirip mamanya," jawab Mama. Bibirnya lagi-lagi melekuk senyum. Aku senang melihat keduanya ceria seperti pagi ini. Hatiku masih sakit tapi aku menutupinya dengan senyuman. Aku gak mau Papa dan Mama kepikiran karena melihatku murung. Dari awal aku sudah memutuskan cerai maka ya, cerai. Rasanya sesakit ini dan mau gak mau harus kuhadapi. Aku yakin sekali dengan berjalannya waktu, sakit ini pasti akan hilang."Papa senang
Aku mengusap air mata yang menitik di pipi karena tatapan benci Mas Angga barusan. Ah, sakit sekali hatiku, tidak menyangka Mas Angga akan menatapku penuh kebencian seperti tadi. Walaupun kami akan berpisah, inginku kami tetap baik-baik saja tanpa bermusuhan. Tapi mengingat tatapan Mas Angga tadi, sepertinya keinginanku itu akan sulit terwujud.Aku menggelengkan kepala cepat saat ingat Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana. Apa-apaan sih, aku. Gak guna banget merasa sakit hati begini. Tapi, kenapa Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana? Aku terus bertanya-tanya.Ah, sudahlah. Gak penting banget aku mikirin itu. Aku kembali mengusap air mata, menoleh lalu menatap ke arah teman baruku dengan tak nyaman."Maafin aku, ya? Aku agak mellow.""Gak papa, Din," jawab Mei."Lelaki tadi itu, dia adalah suamiku. Aku dan dia mau cerai," ucapku agar hatiku tak sesak lagi. Dengan curhat, itu akan membuat hatiku sedikit lega."Yang sabar ya, Din," ucap Nari terlihat mengasihaniku."Iya, m