POV AnggaSenyumku merekah saat melihat mobil Dinda berhenti di bibir jalan. Lalu tak lama, pintu mobil itu terbuka dan Dinda turun. Aku mengernyit melihatnya tidak memakai gaun pengantin. Apa belum dia pakai karena tidak ingin ketahuan oleh Papa dan Mama? Sepertinya begitu, pasti dia takut ketahuan oleh Papa dan Mama. Tapi tidak masalah, toh ijab kabul dimulai dua jam lagi, masih banyak waktu untuknya mengenakan gaun pengantin juga merias wajah. Dinda mendekat ke arahku dengan wajah ... aku memperhatikannya dalam, matanya tanpak sembab dan sepertinya habis menangis. Dia bahkan tersengal setibanya di hadapanku."Kamu kenapa?" Kusentuh pipinya yang banjir oleh air mata."Mas, aku minta maaf," ucapnya di antara isak tangis."Minta maaf kenapa?" tanyaku dengan pikiran campur aduk. Aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Kenapa dia minta maaf? Bukannya dia ke sini karena akan membantuku?"Maaf," ucapnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Aku memperhatikannya dalam diam dengan be
"Hallo assalamualaikum, Pak Pras.""Waalaikum salam, Bunda." Terdengar sahutan dari dalam HP bunda. Aku hafal benar suara berat lelaki yang terdengar di HP bunda, ayah Yana."Jadi, Pak, aku menelepon Bapak karena ada hal sangat penting yang harus kusampaikan pada Bapak. Jadi, Pak, Yana dan Angga anak nomer satu saya akan menikah, ja--""Apa?! Menikah?!" "Iya, bapak harus datang untuk jadi wali Yana. Saat ini saya di salon Kartika. Segera datang ya, Pak. Assalamualaikum." Bunda lalu menyentuh simbol telepon warna merah dan ia menarik napas panjang-panjang."Bunda kenal dengan ayah Yana?" tanyaku menyelidik."Tentu saja Bunda kenal. Dia adalah teman Bunda saat SMA. Bunda sering melihat status FB-nya, isinya kebanyakan foto-fotonya dan Yana."Tak lama, terdengar suara salam. Bunda berdiri lalu menjawab, waalaikum salam. Seorang lelaki berperawakan tambun mendekat ke arah Bunda, aku sering bertemu dengannya karena sering makan di warungnya. Dia menatapku menyelidik."Ini, maksudnya apa?"
POV DindaAku tersengal-sengal memandang mobil suamiku yang semakin menjauh. Maafkan aku, Mas. Aku sungguh ingin membantu, tapi Mama dan Papa gak mengijinkan. Semoga, acaranya berjalan lancar. A-miin, doaku dengan perasaan yang sedih sekali. Dari dulu, aku sangat menginginkan bersanding di pelaminan dengan Mas Angga. Lalu saat hari ini datang, aku gak bisa mewujudkan keinginanku itu. Yang kulakukan hanyalah, menangis tak berguna, yang walau aku menangis darah sekalipun gak akan mengubah keadaan.Aku masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi dan kembali terisak. Setelah cukup lama menumpahkan pedih yang kurasa dalam tangisan, akhirnya aku mengendarai mobil sangat pelan menuju kontrakan. Tapi, sudah tak terlihat mobil Papa di halaman kontrakanku, jadi pasti Papa dan Mama saat ini ada di rumah. Aku pun melajukan mobil menuju rumah, benar saja mereka duduk di teras. Tampak Mama sedang menangis dan Papa tengah mencoba menenangkannya. Sesekali, tangan Papa bergerak mengusap pipi Mama yang b
POV Dinda"Eh, Din-daaa, sudah rapi saja, Nak," kata Mama saat aku mendekat ke arahnya. Aku menggeser kursi ke belakang lalu duduk di samping Mama. "Iya, Ma, hari ini pengumuman lulus enggaknya." Aku mencomot tempe goreng di piring, mengunyahnya perlahan. Aku tersenyum kecil pada Papa yang berjalan kemari."Pagi, Papa?" Sapaku. "Pagi juga, Sa-yang." Ia mendekat lalu mengusap sayang kepalaku. Papa tersenyum memperhatikanku."Cantiknya anak Papa pakai jilbab." Pujinya sambil duduk.Senyum kecil terulas di bibir Mama. "Ya cantik lah, Pa, kan anak Mama. Dinda itu cantik mirip mamanya," jawab Mama. Bibirnya lagi-lagi melekuk senyum. Aku senang melihat keduanya ceria seperti pagi ini. Hatiku masih sakit tapi aku menutupinya dengan senyuman. Aku gak mau Papa dan Mama kepikiran karena melihatku murung. Dari awal aku sudah memutuskan cerai maka ya, cerai. Rasanya sesakit ini dan mau gak mau harus kuhadapi. Aku yakin sekali dengan berjalannya waktu, sakit ini pasti akan hilang."Papa senang
Aku mengusap air mata yang menitik di pipi karena tatapan benci Mas Angga barusan. Ah, sakit sekali hatiku, tidak menyangka Mas Angga akan menatapku penuh kebencian seperti tadi. Walaupun kami akan berpisah, inginku kami tetap baik-baik saja tanpa bermusuhan. Tapi mengingat tatapan Mas Angga tadi, sepertinya keinginanku itu akan sulit terwujud.Aku menggelengkan kepala cepat saat ingat Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana. Apa-apaan sih, aku. Gak guna banget merasa sakit hati begini. Tapi, kenapa Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana? Aku terus bertanya-tanya.Ah, sudahlah. Gak penting banget aku mikirin itu. Aku kembali mengusap air mata, menoleh lalu menatap ke arah teman baruku dengan tak nyaman."Maafin aku, ya? Aku agak mellow.""Gak papa, Din," jawab Mei."Lelaki tadi itu, dia adalah suamiku. Aku dan dia mau cerai," ucapku agar hatiku tak sesak lagi. Dengan curhat, itu akan membuat hatiku sedikit lega."Yang sabar ya, Din," ucap Nari terlihat mengasihaniku."Iya, m
Aku terus mereka-reka sampai merasa jengkel sendiri. Jengkel. Bete. Kesal. Rasanya, aku ingin berteriak melampiaskan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Aku gak ingin memikirkan Mas Angga lagi, tapi bayangannya yang belanja bersama Yana dan Bunda terus mengusik benakku. Ah rasanya pengap banget padahal mobil ini perpendingin. Aku membuka jendela mobil karena ingin menghirup udara segar, tapi yang terhirup justru asap kendaraan. Tiba-tiba, sebuah motor berhenti persis di samping mobilku, aku memperhatikannya. Yang mengendarai motor adalah seorang lelaki mengenakan helm dan jaket kulit warna hitam, juga memakai sepatu kulit warna hitam. Godain, aah, dia terlihat keren. Siapa tahu dengan iseng kembali ke kebiasaanku saat SMA dulu, pikiranku gak akan tertuju pada Mas Angga lagi."Co-wok? Godain kita-kita, dooong," kataku.Lelaki yang mengendarai motor di sebelahku menoleh. Aku meletakkan telapak tangan ke bawah dagu lalu mengerucutkan bibir dan membuat ciuman jarak jauh."Godain kita-kita,
POV Dinda"Ada yang punya kaus kaki?" Yang barusan bicara adalah Pak Rama. Kaus kaki? Kaus kaki buat apa? Kenapa Pak Dosen mencari kaus kaki?"Semua juga pakai kaus kaki, Kak," ucap Andini. Aku terus menelungkup ke meja."Jika di kampus, panggil Bapak." Suara Pak Rama. "Baiklah, Pak!" Suara Andini terdengar kesal. Mungkin, ia kesal disuruh memanggil Bapak sementara Pak Rama adalah kakak kandungnya. "Kaus kaki buat apa, Pak?" tanya Andini lagi. "Untuk membangunkan yang sedang pingsan."Hah? Maksudnya, dia mau bangunin aku dengan cara ciumin kaus kaki ke hidungku, gitu? Hu-eek! Membayangkan bau kaus kaki saja sudah membuatku jadi pengen muntah apalagi jika benar-benar diciumkan ke hidungku? Mana ada dosen sepertinya? Enggak benar, ini."Ada yang mau dengan sukarela melepas kaus kakinya?"Apa-apaan. Mana ada dosen tapi tidak berperikemanusiaan sepertinya? Masa ya dia mau membangunkanku yang sedang pingsan atau lebih tepatnya sedang pura-pura pingsan dengan kaus kaki? Sepertinya, dia p
POV DindaAku mendorong pintu dengan pelan lalu masuk. Pak Rama yang tengah menulis sesuatu di buku langsung mendongak, dia memandangku tajam."Permisi, Pak. Saya mau mengumpul daftar hadir," kataku. Aku memandangnya lalu menunduk. Hening.Aku kembali memandangnya, dia diam saja di kursinya.Bener kataku, kan? Horor banget hawanya. Kayak ada setannya."Jadi, saya mau mengumpul daftar hadir, Pak," kataku lagi.Dia terus diam di kursinya. Sumpah rasanya, aku ingin membalikkan badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Pak Rama lagi-lagi memandangku."Bapak sengaja, ya, mau balas dendam pada saya? Bapak nyuruh saya ke ruangan bapak, tapi bapak hanya diam saja." Aku memberanikan diri membalas tatapannya.Dia menarik napas panjang. "Saya heran padamu. Kamu bilang, kamu ingin mengumpul daftar hadir, tapi kamu terus berdiri di situ. Apa kamu kira, saya punya kekuatan yang hanya dengan mengulurkan tangan saya dari sini misalnya, lalu daftar hadir di tangan kamu itu bisa pindah ke tangan saya,