POV Dinda"Eh, Din-daaa, sudah rapi saja, Nak," kata Mama saat aku mendekat ke arahnya. Aku menggeser kursi ke belakang lalu duduk di samping Mama. "Iya, Ma, hari ini pengumuman lulus enggaknya." Aku mencomot tempe goreng di piring, mengunyahnya perlahan. Aku tersenyum kecil pada Papa yang berjalan kemari."Pagi, Papa?" Sapaku. "Pagi juga, Sa-yang." Ia mendekat lalu mengusap sayang kepalaku. Papa tersenyum memperhatikanku."Cantiknya anak Papa pakai jilbab." Pujinya sambil duduk.Senyum kecil terulas di bibir Mama. "Ya cantik lah, Pa, kan anak Mama. Dinda itu cantik mirip mamanya," jawab Mama. Bibirnya lagi-lagi melekuk senyum. Aku senang melihat keduanya ceria seperti pagi ini. Hatiku masih sakit tapi aku menutupinya dengan senyuman. Aku gak mau Papa dan Mama kepikiran karena melihatku murung. Dari awal aku sudah memutuskan cerai maka ya, cerai. Rasanya sesakit ini dan mau gak mau harus kuhadapi. Aku yakin sekali dengan berjalannya waktu, sakit ini pasti akan hilang."Papa senang
Aku mengusap air mata yang menitik di pipi karena tatapan benci Mas Angga barusan. Ah, sakit sekali hatiku, tidak menyangka Mas Angga akan menatapku penuh kebencian seperti tadi. Walaupun kami akan berpisah, inginku kami tetap baik-baik saja tanpa bermusuhan. Tapi mengingat tatapan Mas Angga tadi, sepertinya keinginanku itu akan sulit terwujud.Aku menggelengkan kepala cepat saat ingat Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana. Apa-apaan sih, aku. Gak guna banget merasa sakit hati begini. Tapi, kenapa Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana? Aku terus bertanya-tanya.Ah, sudahlah. Gak penting banget aku mikirin itu. Aku kembali mengusap air mata, menoleh lalu menatap ke arah teman baruku dengan tak nyaman."Maafin aku, ya? Aku agak mellow.""Gak papa, Din," jawab Mei."Lelaki tadi itu, dia adalah suamiku. Aku dan dia mau cerai," ucapku agar hatiku tak sesak lagi. Dengan curhat, itu akan membuat hatiku sedikit lega."Yang sabar ya, Din," ucap Nari terlihat mengasihaniku."Iya, m
Aku terus mereka-reka sampai merasa jengkel sendiri. Jengkel. Bete. Kesal. Rasanya, aku ingin berteriak melampiaskan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Aku gak ingin memikirkan Mas Angga lagi, tapi bayangannya yang belanja bersama Yana dan Bunda terus mengusik benakku. Ah rasanya pengap banget padahal mobil ini perpendingin. Aku membuka jendela mobil karena ingin menghirup udara segar, tapi yang terhirup justru asap kendaraan. Tiba-tiba, sebuah motor berhenti persis di samping mobilku, aku memperhatikannya. Yang mengendarai motor adalah seorang lelaki mengenakan helm dan jaket kulit warna hitam, juga memakai sepatu kulit warna hitam. Godain, aah, dia terlihat keren. Siapa tahu dengan iseng kembali ke kebiasaanku saat SMA dulu, pikiranku gak akan tertuju pada Mas Angga lagi."Co-wok? Godain kita-kita, dooong," kataku.Lelaki yang mengendarai motor di sebelahku menoleh. Aku meletakkan telapak tangan ke bawah dagu lalu mengerucutkan bibir dan membuat ciuman jarak jauh."Godain kita-kita,
POV Dinda"Ada yang punya kaus kaki?" Yang barusan bicara adalah Pak Rama. Kaus kaki? Kaus kaki buat apa? Kenapa Pak Dosen mencari kaus kaki?"Semua juga pakai kaus kaki, Kak," ucap Andini. Aku terus menelungkup ke meja."Jika di kampus, panggil Bapak." Suara Pak Rama. "Baiklah, Pak!" Suara Andini terdengar kesal. Mungkin, ia kesal disuruh memanggil Bapak sementara Pak Rama adalah kakak kandungnya. "Kaus kaki buat apa, Pak?" tanya Andini lagi. "Untuk membangunkan yang sedang pingsan."Hah? Maksudnya, dia mau bangunin aku dengan cara ciumin kaus kaki ke hidungku, gitu? Hu-eek! Membayangkan bau kaus kaki saja sudah membuatku jadi pengen muntah apalagi jika benar-benar diciumkan ke hidungku? Mana ada dosen sepertinya? Enggak benar, ini."Ada yang mau dengan sukarela melepas kaus kakinya?"Apa-apaan. Mana ada dosen tapi tidak berperikemanusiaan sepertinya? Masa ya dia mau membangunkanku yang sedang pingsan atau lebih tepatnya sedang pura-pura pingsan dengan kaus kaki? Sepertinya, dia p
POV DindaAku mendorong pintu dengan pelan lalu masuk. Pak Rama yang tengah menulis sesuatu di buku langsung mendongak, dia memandangku tajam."Permisi, Pak. Saya mau mengumpul daftar hadir," kataku. Aku memandangnya lalu menunduk. Hening.Aku kembali memandangnya, dia diam saja di kursinya.Bener kataku, kan? Horor banget hawanya. Kayak ada setannya."Jadi, saya mau mengumpul daftar hadir, Pak," kataku lagi.Dia terus diam di kursinya. Sumpah rasanya, aku ingin membalikkan badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Pak Rama lagi-lagi memandangku."Bapak sengaja, ya, mau balas dendam pada saya? Bapak nyuruh saya ke ruangan bapak, tapi bapak hanya diam saja." Aku memberanikan diri membalas tatapannya.Dia menarik napas panjang. "Saya heran padamu. Kamu bilang, kamu ingin mengumpul daftar hadir, tapi kamu terus berdiri di situ. Apa kamu kira, saya punya kekuatan yang hanya dengan mengulurkan tangan saya dari sini misalnya, lalu daftar hadir di tangan kamu itu bisa pindah ke tangan saya,
"What? Benar-benar kakak aku itu, awas aja bakalan aku aduin Mama saat pulang kuliah nanti. Din, kamu gak boleh jauhin aku pokoknya. Kita tinggal di tempat yang sama, masa kamu mau mau jauhin aku," katanya sambil cemberut."Pak Rama yang nyuruh," balasku."Ya gak usah kamu turutin, lah. Awas aja, aku bakal aduin dia ke Mama!" ketusnya. "Memang kejadiannya gimana sampai Pak Rama nyuruh kamu buat jauhin Dini, Din?" tanya Naya terlihat penasaran. Bukan hanya Naya, Yana dan Putri juga terlihat ingin tahu. Sementara Mei dan Nari cengengesan. Tanpa disuruh, Mei pun menjelaskan."Yaaaa, pantes," kata Putri. "Mungkin Pak Rama beneran takut adiknya kena virus, ha ha." Timpal Yana diiringi tawa kecil. Aku mendelik padanya."Ya lagian, kebiasaan SMA gak hilang juga." Yana kembali tertawa. Yang lainnya ikut tertawa kecil menggodaku saat Mei cerita, aku berkata pada Pak Rama jika aku dan Pak Rama sampai bertemu lagi itu artinya kami ditakdirkan jodoh."Cie cieee, bakal jodoh, nih, sama Pak Ra-ma
POV Dinda"Jangan khawatir, aku gak akan temuin Om Angga kok, Din," ucap Yana terlihat tak enak hati. Dia mengusap pelan bahuku."Kamu apaan sih, Yan. Aku dan dia udah berakhir, kok," kataku."Kami duluan ya, Din?" Pamit Mei, dia terlihat tak nyaman. Lalu Mei menatap Nari dan Putri yang hanya diam memandangiku. Mereka tinggal di tempat yang sama atau lebih tepatnya, untuk sementara, Mei dan Nari numpang di kontrakan Putri sampai Mei dan Nari mendapat kontrakan yang murah di kantong."Iya, duluan aja gak papa," sahutku. Mei mengangguk kecil."Duluan ya, Din," ucap Nari. "Iya, silakan.""Soalnya, kami udah dijemput sama kakaknya Putri " Berkata begitu, Mei memandang Putri. Putri mengangguk kecil. Ketiganya pun segera berlalu. Sementara Naya dan Andini masih berdiri di hadapanku dan Yana."Aku juga duluan, Din. Soalnya, aku harus kerja," kata Naya. "Aku kerja setengah hari di kafe," ucapnya lagi. Dia seperti tak tega padaku."Iya, Nay, pergi aja.""Aku tinggal dulu, ya?" "Iya, Nay." Ku
"Ha ... hamil, Pak?" tanyaku seolah salah dengar. Pak Rama menatapku menelisik lalu ia mengangguk."Begitu yang dikatakan dokter pada saya.""Ha ... hamil? Ba ... bagaimana mungkin aku hamil sementara aku sedang proses cerai, Pak? Besok harus menghadiri sidang pertama," kataku dengan perasaan bingung. Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan terisak kecil saat teringat hubunganku dan Mas Angga belakangan ini. Setelah cukup lama terisak, aku akhirnya menyingkirkan tangan dari wajahku. Pak Rama terdiam memandangiku yang masih terisak kecil."Kenapa Bapak menatap saya terus? Apa Bapak berpikir, saya hamil di luar nikah, begitu?""Saya tidak berpikir begitu.""Tapi dari tadi Bapak terus menatap saya.""Karena saya merasa kamu aneh. Bagaimana mungkin menggugat cerai tanpa menunggu haid dulu?""Aku gak pernah memikirkan aku bakal hamil. Karena aku dan suamiku hanya beberapa kali aja nge--" Aku langsung berhenti, melihat tatapannya yang horor. Kenapa, juga, mulutku ini bisa-bisanya mau bica