Aku mengusap air mata yang menitik di pipi karena tatapan benci Mas Angga barusan. Ah, sakit sekali hatiku, tidak menyangka Mas Angga akan menatapku penuh kebencian seperti tadi. Walaupun kami akan berpisah, inginku kami tetap baik-baik saja tanpa bermusuhan. Tapi mengingat tatapan Mas Angga tadi, sepertinya keinginanku itu akan sulit terwujud.Aku menggelengkan kepala cepat saat ingat Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana. Apa-apaan sih, aku. Gak guna banget merasa sakit hati begini. Tapi, kenapa Mas Angga membukakan pintu mobil untuk Yana? Aku terus bertanya-tanya.Ah, sudahlah. Gak penting banget aku mikirin itu. Aku kembali mengusap air mata, menoleh lalu menatap ke arah teman baruku dengan tak nyaman."Maafin aku, ya? Aku agak mellow.""Gak papa, Din," jawab Mei."Lelaki tadi itu, dia adalah suamiku. Aku dan dia mau cerai," ucapku agar hatiku tak sesak lagi. Dengan curhat, itu akan membuat hatiku sedikit lega."Yang sabar ya, Din," ucap Nari terlihat mengasihaniku."Iya, m
Aku terus mereka-reka sampai merasa jengkel sendiri. Jengkel. Bete. Kesal. Rasanya, aku ingin berteriak melampiaskan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Aku gak ingin memikirkan Mas Angga lagi, tapi bayangannya yang belanja bersama Yana dan Bunda terus mengusik benakku. Ah rasanya pengap banget padahal mobil ini perpendingin. Aku membuka jendela mobil karena ingin menghirup udara segar, tapi yang terhirup justru asap kendaraan. Tiba-tiba, sebuah motor berhenti persis di samping mobilku, aku memperhatikannya. Yang mengendarai motor adalah seorang lelaki mengenakan helm dan jaket kulit warna hitam, juga memakai sepatu kulit warna hitam. Godain, aah, dia terlihat keren. Siapa tahu dengan iseng kembali ke kebiasaanku saat SMA dulu, pikiranku gak akan tertuju pada Mas Angga lagi."Co-wok? Godain kita-kita, dooong," kataku.Lelaki yang mengendarai motor di sebelahku menoleh. Aku meletakkan telapak tangan ke bawah dagu lalu mengerucutkan bibir dan membuat ciuman jarak jauh."Godain kita-kita,
POV Dinda"Ada yang punya kaus kaki?" Yang barusan bicara adalah Pak Rama. Kaus kaki? Kaus kaki buat apa? Kenapa Pak Dosen mencari kaus kaki?"Semua juga pakai kaus kaki, Kak," ucap Andini. Aku terus menelungkup ke meja."Jika di kampus, panggil Bapak." Suara Pak Rama. "Baiklah, Pak!" Suara Andini terdengar kesal. Mungkin, ia kesal disuruh memanggil Bapak sementara Pak Rama adalah kakak kandungnya. "Kaus kaki buat apa, Pak?" tanya Andini lagi. "Untuk membangunkan yang sedang pingsan."Hah? Maksudnya, dia mau bangunin aku dengan cara ciumin kaus kaki ke hidungku, gitu? Hu-eek! Membayangkan bau kaus kaki saja sudah membuatku jadi pengen muntah apalagi jika benar-benar diciumkan ke hidungku? Mana ada dosen sepertinya? Enggak benar, ini."Ada yang mau dengan sukarela melepas kaus kakinya?"Apa-apaan. Mana ada dosen tapi tidak berperikemanusiaan sepertinya? Masa ya dia mau membangunkanku yang sedang pingsan atau lebih tepatnya sedang pura-pura pingsan dengan kaus kaki? Sepertinya, dia p
POV DindaAku mendorong pintu dengan pelan lalu masuk. Pak Rama yang tengah menulis sesuatu di buku langsung mendongak, dia memandangku tajam."Permisi, Pak. Saya mau mengumpul daftar hadir," kataku. Aku memandangnya lalu menunduk. Hening.Aku kembali memandangnya, dia diam saja di kursinya.Bener kataku, kan? Horor banget hawanya. Kayak ada setannya."Jadi, saya mau mengumpul daftar hadir, Pak," kataku lagi.Dia terus diam di kursinya. Sumpah rasanya, aku ingin membalikkan badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Pak Rama lagi-lagi memandangku."Bapak sengaja, ya, mau balas dendam pada saya? Bapak nyuruh saya ke ruangan bapak, tapi bapak hanya diam saja." Aku memberanikan diri membalas tatapannya.Dia menarik napas panjang. "Saya heran padamu. Kamu bilang, kamu ingin mengumpul daftar hadir, tapi kamu terus berdiri di situ. Apa kamu kira, saya punya kekuatan yang hanya dengan mengulurkan tangan saya dari sini misalnya, lalu daftar hadir di tangan kamu itu bisa pindah ke tangan saya,
"What? Benar-benar kakak aku itu, awas aja bakalan aku aduin Mama saat pulang kuliah nanti. Din, kamu gak boleh jauhin aku pokoknya. Kita tinggal di tempat yang sama, masa kamu mau mau jauhin aku," katanya sambil cemberut."Pak Rama yang nyuruh," balasku."Ya gak usah kamu turutin, lah. Awas aja, aku bakal aduin dia ke Mama!" ketusnya. "Memang kejadiannya gimana sampai Pak Rama nyuruh kamu buat jauhin Dini, Din?" tanya Naya terlihat penasaran. Bukan hanya Naya, Yana dan Putri juga terlihat ingin tahu. Sementara Mei dan Nari cengengesan. Tanpa disuruh, Mei pun menjelaskan."Yaaaa, pantes," kata Putri. "Mungkin Pak Rama beneran takut adiknya kena virus, ha ha." Timpal Yana diiringi tawa kecil. Aku mendelik padanya."Ya lagian, kebiasaan SMA gak hilang juga." Yana kembali tertawa. Yang lainnya ikut tertawa kecil menggodaku saat Mei cerita, aku berkata pada Pak Rama jika aku dan Pak Rama sampai bertemu lagi itu artinya kami ditakdirkan jodoh."Cie cieee, bakal jodoh, nih, sama Pak Ra-ma
POV Dinda"Jangan khawatir, aku gak akan temuin Om Angga kok, Din," ucap Yana terlihat tak enak hati. Dia mengusap pelan bahuku."Kamu apaan sih, Yan. Aku dan dia udah berakhir, kok," kataku."Kami duluan ya, Din?" Pamit Mei, dia terlihat tak nyaman. Lalu Mei menatap Nari dan Putri yang hanya diam memandangiku. Mereka tinggal di tempat yang sama atau lebih tepatnya, untuk sementara, Mei dan Nari numpang di kontrakan Putri sampai Mei dan Nari mendapat kontrakan yang murah di kantong."Iya, duluan aja gak papa," sahutku. Mei mengangguk kecil."Duluan ya, Din," ucap Nari. "Iya, silakan.""Soalnya, kami udah dijemput sama kakaknya Putri " Berkata begitu, Mei memandang Putri. Putri mengangguk kecil. Ketiganya pun segera berlalu. Sementara Naya dan Andini masih berdiri di hadapanku dan Yana."Aku juga duluan, Din. Soalnya, aku harus kerja," kata Naya. "Aku kerja setengah hari di kafe," ucapnya lagi. Dia seperti tak tega padaku."Iya, Nay, pergi aja.""Aku tinggal dulu, ya?" "Iya, Nay." Ku
"Ha ... hamil, Pak?" tanyaku seolah salah dengar. Pak Rama menatapku menelisik lalu ia mengangguk."Begitu yang dikatakan dokter pada saya.""Ha ... hamil? Ba ... bagaimana mungkin aku hamil sementara aku sedang proses cerai, Pak? Besok harus menghadiri sidang pertama," kataku dengan perasaan bingung. Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan terisak kecil saat teringat hubunganku dan Mas Angga belakangan ini. Setelah cukup lama terisak, aku akhirnya menyingkirkan tangan dari wajahku. Pak Rama terdiam memandangiku yang masih terisak kecil."Kenapa Bapak menatap saya terus? Apa Bapak berpikir, saya hamil di luar nikah, begitu?""Saya tidak berpikir begitu.""Tapi dari tadi Bapak terus menatap saya.""Karena saya merasa kamu aneh. Bagaimana mungkin menggugat cerai tanpa menunggu haid dulu?""Aku gak pernah memikirkan aku bakal hamil. Karena aku dan suamiku hanya beberapa kali aja nge--" Aku langsung berhenti, melihat tatapannya yang horor. Kenapa, juga, mulutku ini bisa-bisanya mau bica
POV Angga"Harusnya, bukan aku yang temenin Om tapi Dinda," kata Yana begitu kami keluar dari acara pesta pernikahan temanku. Dia membuka pintu mobil bagian belakang lalu menjatuhkan tubuhnya di jok. Wajah teman istriku itu terlihat bete sekali. Tanpa mengatakan apa pun, aku membuka pintu lalu duduk di depan kemudi."Kamu duduk di depan saja, saya bukan sopir," kataku sambil menoleh ke belakang. "Dan, aku bukan istri Om. Aku bukan Dinda yang harus duduk di depan situ jadi aku gak mau duduk di depan. Pokoknya ya, Om, besok-besok, Om gak boleh minta temenin aku lagi!" ucap Yana dengan kesal. Aku menggelengkan kepala lalu mulai mengemudi.Baru saja mobil mulai berjalan, HP-ku berdering. Aku merogoh saku celana mengeluarkan HP lalu memelankan kecepatan."Iya, Bun, ada apa?" tanyaku sambil menempelkan HP ke telinga."Sudah pulang belum, Ga? Jika sudah pulang, langsung bawa Yana ke rumah, ya?" Pinta Bunda. Aku yakin Yana tidak mungkin mau mampir ke rumah jika aku yang memintanya. Maka, ak
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"