Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
"Besok, kita ke dokter untuk angkat rahim kamu ya, Sayang?" "Buat apa angkat rahim, Om?" Aku memandang lelaki yang baru 'mewisudaku' sebagai istrinya dengan heran. "Agar kamu tidak hamil, Sayang." Diusapnya kepalaku penuh sayang. Ia tersenyum melihat darah di sprei, malam ini adalah malam pertama kami. "Memang kenapa kalau aku hamil, Om? Kan kita udah nikah, jadi gak masalah kalau seandainya aku hamil, kaaan? Aku ingin kita punya anak." Ia menggeleng. "Tentu saja bermasalah. Aku tidak ingin punya anak lagi, dua anak saja cukup. Jadi, besok kita ke rumah sakit untuk angkat rahim. Aku punya teman dokter, dia pasti mau bantu angkat rahimmu." "Kalau rahimku diangkat, aku gak akan bisa punya anak, Om." Mataku tiba-tiba memanas dan aku ingin menangis rasanya, namun kutahan. "Iya, tidak papa tidak punya anak lagi, kan kita sudah punya Ian dan Deri. Anakku, maka menjadi anakmu juga. Kamu fokus saja mengurus Ian dan Deri, tidak usah memikirkan punya anak yang akan membuat kita repot. Mem
Om Angga tiba-tiba membuka mata, ia menatapku."Kenapa, Sayang? Apa sangat sakit?" tanyanya tampak khawatir. Aku menggeleng pelan. Sebenarnya masih perih usai percintaan kami, tapi tak seperih ucapannya yang mengatakan besok angkat rahim.Bagiku, tidak sempurna menjadi seorang perempuan jika tak bisa melahirkan anak untuk suaminya, tapi Om Angga malah ingin aku angkat rahim. Mama dan papa pasti akan syok jika mendengar aku akan angkat rahim. Aku tahu walau mereka tak sepenuhnya merestui pernikahan kami, tapi mereka pasti ingin aku memiliki keturunan bukannya menjadi perempuan mandul. Perempuan yang tak memiliki anak saja akan berusaha bagaimana caranya agar hamil sampai melakukan berbagai cara dan mendatangi dokter kandungan, aku malah disuruh angkat rahim. Aku menggeleng sambil terisak, aku tidak mau angkat rahim, tidak mau pokoknya."Sayang, kenapa?" tanya Om Angga lagi."Aku gak mau angkat rahim, Om," jawabku, menatapnya sambil terisak. "Kalau rahimku diangkat, aku gak bakalan bisa
"Kenapa, Om, kok kaget banget kayaknya?" tanyaku yang keheranan melihatnya terus tersedak-sedak begitu. Aku gak merasa bicara hal yang gak masuk akal.Aku berdiri lalu duduk di kursi sampingnya, tanganku mengusap-usap bahu suamiku perlahan."Kalau Om vasektomi, aku kan gak mungkin punya anak, Om. Seperti papa aku contohnya. Papa vasektomi karena mama terus keguguran tiap hamil adik-adikku, dan setelah papa vasektomi, Mama gak hamil. Jadi, Om aja yang vasektomi," kataku mencari jalan keluar.Angkat rahim? Hiii, aku gak maulah. Pertama, aku takut jarum suntik. Jarum suntik aja takut apalagi sampai operasi angkat rahim perut dibelek. Kedua, angkat rahim itu artinya menghilangkan ciptaan Allah dan aku pasti akan jadi mandul. Dan yang ketiga, belum tentu aku dan Om Angga jodoh sampai maut memisahkan. Memiliki suami ganteng dan tajir melintir sepertinya, aku sungguh was-was. Aku takut nanti seperti kisah bibi yang terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi berakhir perceraian.Tangan Om
"Ha ha ha, haa." Om Angga tiba-tiba tertawa. Pundaknya terus bergetar-getar oleh tawa padahal menurutku gak ada yang lucu tapi dia terus saja terpingkal-pingkal. Apaan sih, dia. Aneh tiba-tiba saja tertawa begitu. "Kenapa, sih? Aneh banget tertawa-tawa enggak jelas. Aku kan mau pinjam uang bukannya minta, Om," kataku jengkel. Aku sedikit mencebik padanya. "Oh jadi Adik Dinda mau pinjam uang, ya? Tidak malu? Ha, ha." Dia tertawa lagi. "Tadi marah-marah, sekarang mau pinjam uang," katanya dengan sorot geli. "Iya mau pinjam uang! Dengar, kan? Kenapa aku jarus malu? Kan aku mau pinjam uang bukannya minta, jadi kenapa musti malu? Nanti sampai rumah aku ganti!" Balasku yang lagi-lagi menatapnya jengkel. Aku itu bukannya gak punya uang. Aku punya, kok. Mahar dari dia 50 juta cas seratusan ribu. Itu dari dia. Murni dari dia aku gak minta sama sekali mahar sejumlah itu. Saat waktu itu dia tanya mau mas kawin berapa, aku bilang seperangkat alat salat saja sudah cukup, yang penting kami menik
Hu, hu, hu-uuu, bahkan sampai aku tiba di halaman rumahnya menuju ke jalan raya pun gak dipanggil juga. Apa yang harus kukatakan pada Mama nanti? Huaaaa. Sumpah aku rasanya ingin nangis karena bingung juga sedih tapi kutahan. "Din-daaa!" Itu suara Om Angga. Ya ampun dadaku langsung berdebar-debar. Aku tetap dalam posisi menghadap jalan raya, menunggu pangeran pujaanku itu datang ke sini menghampiri. Aku gak mau menoleh karena gengsi. Aaaaah pasti dia berubah pikiran, deh. Oh senangnya hatiku. "Dinda." Suaranya kembali terdengar kini semakin dekat. "Ya?" Aku berkata begitu tanpa menoleh, gengsi tingkat tinggi. Tapi aslinya, aku ingin sekali menghadapnya lalu mengalungkan tangan ke ke lehernya menatapnya penuh cinta. Sampai Om Angga berdiri di hadapanku, aku terus saja bersikap cuek. "Ada apa, Om? Apa Om berubah pikiran?" tanyaku menatapnya angkuh. Jawab iya, Om, maka sikap angkuhku ini akan mencair menjadi kelembutan. Aku menunggunya berkata dengan harap-harap cemas. "Hanya member
"He, he. Iya, Ma, dulu," kataku, senyum malu-malu saat bersitatap dengan Papa juga Mama. Jangan sampai deh ketahuan kalau kami ada konflik, malu lah, yaaa. Mama celingak-celinguk, lalu dia menatapku keheranan. "Kenapa, Ma?" tanya Papa. Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Mama malah memandangku. Jadi papa ikut-ikutan memandangku tapi sesekali Papa memperhatikan Mama. "Ada apa, Ma?" tanya Papa lagi tampak keheranan. "Dinda, kok datang sendirian? Mana suami kamu?" tanya Mama sambil beranjak berdiri. "Pasti Angga gak mau temui Mama ya, Din? Yaa walau Mama gak setuju kamu nikah sama dia, yaa mau gimana lagi. Dia sudah jadi menantu mama jadi tidak mungkinlah mama menunjukkan raut tak senang padanya seperti biasanya, Din." "Bener itu, Ma. Pasti Angga nyangka kita akan bersikap ketus lagi padanya, Ma," timpal Papa. Kedua orangtuaku itu lantas mengangguk-angguk seolah asumsi mereka benar. Jadi, selama ini papa sama Mama selalu menunjukkan ekspresi tak senang tiap Om Angga bertandang k
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"