"He, he. Iya, Ma, dulu," kataku, senyum malu-malu saat bersitatap dengan Papa juga Mama. Jangan sampai deh ketahuan kalau kami ada konflik, malu lah, yaaa.
Mama celingak-celinguk, lalu dia menatapku keheranan."Kenapa, Ma?" tanya Papa. Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Mama malah memandangku. Jadi papa ikut-ikutan memandangku tapi sesekali Papa memperhatikan Mama."Ada apa, Ma?" tanya Papa lagi tampak keheranan."Dinda, kok datang sendirian? Mana suami kamu?" tanya Mama sambil beranjak berdiri."Pasti Angga gak mau temui Mama ya, Din? Yaa walau Mama gak setuju kamu nikah sama dia, yaa mau gimana lagi. Dia sudah jadi menantu mama jadi tidak mungkinlah mama menunjukkan raut tak senang padanya seperti biasanya, Din.""Bener itu, Ma. Pasti Angga nyangka kita akan bersikap ketus lagi padanya, Ma," timpal Papa. Kedua orangtuaku itu lantas mengangguk-angguk seolah asumsi mereka benar.Jadi, selama ini papa sama Mama selalu menunjukkan ekspresi tak senang tiap Om Angga bertandang kemari. Bukan hanya itu, kemarin selesai aku dan Mas Angga ijab kabul, pas Om Angga mengulurkan tangan pada Mama dan Papa, kedua orang tuaku ini menjabat tangan suamiku tanpa memandang Om Angga sama sekali. Om Angga menatap Mama dan Papa terlihat sedih. Maka aku menenangkan hati suamiku, mengatakan padanya nanti seiring bergulirnya waktu pasti hati Mama dan Papa yang keras seperti batu akan mencair.Nah, benar ternyata dugaanku. Ini buktinya Mama dan Papa menanyakan Om Angga. Sayang sekali aku dan Om Angga lagi marahan. Allah, aku mohon tolong buka hari suamiku lalu dia datang ke sini. A-miiin."Iya, Ma. Ayo kita ke depan." Papa ikut berdiri. Mereka melangkah sambil bergandengan tangan. Romantis banget kan orang tuaku? Mereka memang selalu mesra begitu. Aku pun berharap pernikahanku dan Om Angga seperti pernikahan papa dan Mama.Aku membuntuti keduanya dengan langkah lesu. Yaa aku tentu saja harus cari alasan untuk dijelaskan pada mereka kenapa Om Angga tidak ikut datang."Lho, Mana Angga, Din? Kok mobilnya gak ada?" tanya Mama sesampainya di ambang pintu. Keduanya menatapku heran penuh tanya."Jadi, Ma ... Om Angga itu sibuk sama warung makannya jadi, yaaaa, aku datang sendiri, deh. Om Angga pagi-pagi banget jam 5 berangkat ke warung makan. Katanya ada yang nyelenggarain ulang tahun di warungnya, Ma. Jadi ya dia sebagai pemilik warung harus datang, gitu. Aku sebenarnya mau ikut, tapi pas Om Angga mau berangkat udah ganteng, gitu, aku masih ngantuk. Jadi aku lanjut bobok syantik, deeh," kataku panjang lebar yang membuat Papa dan Mama langsung bertatapan.Untung, saja, aku pintar memgarang. Nilai bahasa Indonesiaku 10 tiap disuruh bikin cerpen. Dan memberitahu, aku pernah juara dua lomba buat cerpen antar sekolah. Aku hobi mengarang. Jadi aku bisa bicara begini dengan begitu lancar dan terkesan alami seolah gak bohong sama sekali."Baru juga nikah kemarin, sudah sibuk kerja aja. Tanda suami tidak romantis itu, Pa. Harusnya dia menyempatkan waktu seminggu, bulan madu, kek. Eeeh, lha ini, sudah sibuk kerja ya, Pa?" Mama memandang Papa. Papa langsung mengangguk-angguk."Iya benar, Ma. Ingat tidak waktu kita menikah dulu, Ma? Waktu itu papa sampai tidak masuk kerja 1 bulan agar kita bisa puas bulan madu. Ingat, Ma?""Oh ya ingat dong, Pa. Padahal waktu itu Papa lagi sibuk-sibuknya dengan perusahaan baru. Papa so sweet, deh. Nah, Din, si Angga yang kata kamu romantis perhatian sampai kamu ngancam mau bunuh diri segala kalau gak diijinkan nikah sama dia apa? Masa tidak ada acara bulan madu." Mama berkata dengan sorot mengejek. Ah puas banget sepertinya Mama bisa menggojlokiku. Mungkin balas dendam karena kemarin-kemarin aku sulit banget diberitahu."Iya, benar itu Mama kamu. Masa habis nikah langsung kerja. Dia itu kan punya orang kepercayaan kan?" Papa menatapku lekat."Ya pasti punya lah, Pa. Orang waktu Angga dan Dinda masih PDKT kan, Angga sering ajak Dinda Main. Angga itu tidak pintar berarti, Pa. Masa hanya karena ada yang mau ulang tahun di warung makannya dia harus turun tangan sendiri. Papa dulu bisa handel semuanya tanpa harus ke kantor ya pa, ya?""Iya benar, Ma," jawab papa segera."Ternyata Angga tidak seromantis papamu, Din. Katamu Angga cinta mati padamu, tapi masa tidak ada acara bulan madu. Katanya cinta, pre-eeet," kata Mama yang disambut tawa kecil oleh Papa."Ih Mama ih, orang kan beda-beda, Ma. Bukan berarti Om Angga gak romantis. kami mau bulan madu tapi belum." Aku mengerucutkan bibir lalu bersenandung kecil dengan lirik kuubah dari versi aslinya.'Mama Papa kok seneng bandeng-bandengkeee,saing-saingke yo o-jo ngonooUong ki yo bedo-be-doooDadi ojo terus dibandengneKu berharap Mama Papa mengertiUrusan orang, itu be-da-be-daa"Ha ha." Mama dan Papa tertawa kompak. Sampai keluar air tuh mata mereka. Padahal gak ada yang lucu. Ya beginilah orang tuaku, selalu kompak apa pun itu.Apa jadinya, coba, jika aku jujur apa yang sedang kualami pada mereka? Waaah bisa tamat riwayatku. Jadi aku akan menunggu situasi yang tepat dulu untuk mengatakan ini. Siapa tahu nanti Om Angga berubah pikiran lalu tiba-tiba datang menjemput kan gak tahu juga."Apaan sih Mama dan Papa ini. Yang penting kan Om Angga cinta sama aku gitu, lho. Hmm, kesel, deh."Mama dan Papa saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Keduanya mendekat lalu memelukku."Iya Dinda iya, mama salah kalau begitu, Mama minta maaf, deh. Udah makan belum?" tanya Mama memperhatikan wajahku."Udah, Ma. Tadi. Pagi-pagi banget Om Angga bangunin aku ngajak makan. Eh ternyata dia udah masakin makanan kesukaan aku, Ma, ayam bakar yang enak, banget. Lalu kami makan berdua, deeeh," kataku dengan riang sambil membayangkan moment tadi pagi yang indah banget. Iya, indah. Sebelum dirusak oleh perkataan Om Angga yang mengatakan setelah makan ke rumah sakit angkat rahim."Jadi, Mama dan Papa jangan bilang Om Angga gak romantis. Dia romantis dan sayang banget sama aku, pagi-pagi udah masakin aku," kataku dengan bangga merasa menang melihat orang tuaku yang tiba-tiba saling menatap. Lalu keduanya sama-sama menyipitkan mata terlihat heran."Bentar, bentar, bentar." Tangan Mama membuat stop di udara saat aku hendak berkata lagi."Katamu tadi, kamu ingin ikut Angga ke rumah makan tapi kamu akhirnya gak jadi ikut karena masih mengantuk. Lah kok sekarang kamu bilang pagi-pagi udah dimasakin sama Angga. Bingung, Mama. Bingung."A-duuuh. Aku nyengir. Ingin rasanya menepuk jidat, tapi gak mungkin kulakukan nanti bisa-bisa Mama curiga. Yang bisa aku lakukan ya hanya nyengir, lalu meralat ucapanku, ya semoga saja dua makhluk jengkelin di hadapanku ini percaya."Gini, lho, Ma, Pa, maksud aku. Jadi pagi-pagi itu, kan, Om Angga bangunin aku buat makan bareng. Nah setelah sarapan aku masih ngantuk lalu aku lanjut bobok syantik, deh. Itu yang bener," kataku sambil mencebik.Mama dan Mama berpandangan saling menatap heran. Aku mengerucutkan bibir."Mama dan Papa, ih, anak datang berkunjung bukannya disambut penuh kasih sayang malah dibuat jengkel."Mama merangkulku. "Iya iya maaaf," kata Mama."Ayo, Pa, lanjut makan," ajak Mama kemudian. Mama lalu menggandengku menuju ruang makan, sementara Papa membuntut di belakang kami."Kamu sama Angga tidak ada, gitu, rencana bulan madu?" tanya Mama, ia memperhatikanku yang tengah meraih peyek udang di piring."A-ada kok, Ma. Tapi nanti setelah Om Angga gak sibuk," jawabku."Sama suami kok panggil Om, Din. Panggil Mas," kata Papa. Aku nyengir kecil saat beradu tatap dengannya."Iya namanya juga kebiasaan, Pa," jawabku sambil menyuap peyek udang ke mulut."Ya mulai sekarang diubah, Din. Kan dia sudah jadi suami kamu. Apa kata orang jika dengar kamu panggil suamimu Om. Pasti heran, lah." Timpal Mama."Iya, Ma. Iya." Aku mengangguk-angguk. "Peyeknya enak, deh." Aku meraih lagi."Makan, Din." Tawar Mama yang kujawab gelengan."Tadi udah makan dimasakin sama Om Ang-eh Mas Angga tercinta. Saking enaknya sampai aku makan banyak banget, Pa, Mam."Mama menarik napas. "Jujur aja sebenarnya sampai sekarang, Mama itu gak srek kamu nikah sama Angga, Din. Tapi karena kamu cinta banget sama dia, dan sepertinya dia memang benar-benar sayang sama kamu ya sudahlah. Mama walau awalnya gak setuju, tapi kini mama mencoba ikhlas. Semoga, kamu dan Angga hidup bahagia sampai mau memisahkan, ya, Din?" kata Mama, ia memandangku terlihat tulus. Aku jadi ingin menangis mendengar ucapannya.Oh Mama. Andai kamu tahu aku dan menantu Mama itu sedang marahan."Ma?" ucapku, menatap Mama dan Papa dengan was-was."Emp, nanti malam aku nginap di sini ya, Ma? Karena Om Angga itu sibuk kerja, jadi daripada aku tidur di rumah sendirian mending sama papa dan Mama." Aku menyungging senyum kecil. Mama dan Papa berpandangan."Boleh kan, Ma?" tanyaku memastikan. Karena kan gak mungkin aku pulang ke rumah Om Angga."Masa ya kerja mau sampai malam sih, Din?""Ya mungkin aja kan, Ma? Jadi aku di sini aja dulu deh, Ma. Sampai Om Angga jemput," kataku. Keduanya berpandangan lagi. Aku bersikap cuek."Ya udah ya, Ma, aku mau ke kamar. Mau beres-beres kamar," pamitku.Mama mengerutkan kening. Mendongak menatapku yang beranjak berdiri. "Sejak kapan kamu mau beresin kamar, Din? Biasanya Simbok yang beres-beres kamar," kata Papa. Aku tertawa kecil."Ya sejak sekarang lah, Pa. Kan aku udah jadi istri Mas Angga sekarang, jadi mau belajar mandiri. Yaudah aku beres-beres kamar dulu. Bye papa, bye Mama."Aku mengerucutkan bibir lalu membuat ciuman jarak jauh dengan telapak tangan, setelah itu melangkah cepat masuk ke kamar. Aku langsung menuju lemari, meraih ransel dan membukanya. Isinya masih sama, uang seratusan ribu mahar dari Om Angga, eh Mas Angga. Papa bilang aku harus membiasakan diri memanggil suamiku dengan sebutan Mas. Jadi ya mulai sekarang panggil dia Mas. Nanti kalau beneran cerai kembali panggil Om.Aku kembali memasukkan tas berisi uang ke lemari lalu merebah di ranjang, membuka kotak obrolan WA.Kenapa gak ada pesan masuk sama sekali dari dia, ya? Apa dia marah sama aku ya karena belalainya kutendang?Aku mengepalkan tangan lalu memukul-mukul kasur gemas. Pengen banget menghubungi lebih dulu tapi gengsi, diam saja aku gemes. Masa dia gak kangen aku, gitu. Aku aja udah kangen banget sama dia. Ayo dong hubungi aku Om Ang-gaa. Eh Mas Angga, ayo telpon aku, pleaseee. Harapku dalam hati.Tapi walau cukup lama menunggu, dia sama sekali tak meneleponku. Dengan gemas, aku menekan simbol telepon warna hijau. Teleponku langsung diangkat dan di layar HPku kini terlihat wajah suamiku tercinta."Berubah pikiran? Mau dijemput?" tanyanya sambil mengulas senyum di bibir."Iiiih pede banget. Aku hanya mau kasih tau Mas Angga.""Mas?" tanyanya tak percaya. Lalu dia mengulum senyum.Aku mengibaskan tangan di layar HP. "Gak usah GR!" kataku.Dia tertawa kecil."Aku mau kasih tau Mas Angga bahwa Mas punya waktu satu bulan. Jika Mas gak jemput aku di waktu yang udah aku tentuin itu, yaudah kita ... end."Dia mengulas senyum. "Aku tidak akan pernah ke situ sampai kapan pun. Kecuali kalau kamu berubah pikiran minta dijemput, baru aku akan datang.""Enggak bakalan!" sahutku cepat."Yasudah kalau begitu kumatikan ya, adik Din-daaa.""Eh, tunggu-tunggu!""Ya? Apa yang mau kamu bicarakan padaku adik manis?"Aku menarik napas panjang, merasa sakit hati dengan sikapnya yang seperti sedang mengejekku. Tapi aku tak menunjukkan rasa pedih yang kualami padanya. Sebaliknya aku menatapnya seolah-olah aku tak takut dengan ucapannya."Jadi, aku datang ke rumah Mama sambil nangis. Mama dan Papa heran kenapa aku nangis. Akhirnya, aku ceritakan yang Mas bilang pada Papa dan Mama. Kata Papa, yaa kalau akhirnya aku sama Mas pisah, papa bersyukur banget. Katanya, Papa mau cariin jodoh buat aku. Papa lalu nunjukin foto. Ternyata, anak temen Papa gan-teeeng, banget. Ja-diii, aku bilang pada Papa, bahwa mau mau kenalan sama dia kalau akhirnya aku beneran pisah sama Mas.""A-pa?!" Matanya melebar kaget.Aku mengangguk-angguk. Lalu mengulas senyum di bibir."Dinda, satu hal yang harus kamu tahu, kamu masih istriku!" katanya dengan jengkel.Aku tertawa kecil, senang banget rasanya melihatnya tampak cemburu."Bo-do a-maaat. Pokoknya kalau dalam sebulan Mas gak ke sini jemput aku yaaaa ... kita end! Bie bie, Mas. Mu-aaaah!" Aku mengerucutkan bibir lalu dengan cepat mematikan sambungan.Senyumku merebak saat HPku berdering. Panggilan dari Mas Angga.Kumatikan.HPku berdering lagi.Kumatikan lagi.Kembali berdering.Kembali kumatikan.Aku tertawa kecil dengan hati yang berbunga-bunga. Aku yakin banget saat ini dia pasti sedang kesal. Mari kita lihat, apa nanti dia akan datang menjemput? Aku sih berharap begitu.POV Angga Dimatikan terus. Asem! Sejak kapan dia jadi seperti ini? Biasanya dulu, dia yang terus menghubungiku. Baik itu pagi, siang, sore, selalu menelepon mengingatkan jangan telat makan, ya, Oooom, dengan logat manja tapi kini panggilanku malah dimatikan terus. Ada apa dengan dia sebenarnya? Dinda, arrrrgh. Aku mengepalkan tangan dengan gemas karena panggilanku terus dimatikan. Dengan jengkel, akhirnya aku mengirim pesan menggunakan huruf kapital besar-besar pertanda bahwa aku sedang marah. DINDA MAUMU SEBENARNYA APA? DITELPON TiDAK DIANGKAT JUGA. JANGAN BERANI MAIN-MAIN DI BELAKANGKU! NAMANYA ITU SELINGKUH KARENA KAMU MASIH ISTRIKU! Kirim. Dinda langsung membalas dengan emoticon tertawa 3 biji.??? Ada yang aneh tapi apa, ya??(Pesan dari Adinda Kemala Dewi kembali masuk. Aku mengembuskan napas. Aku aneh kenapa? Kamu jangan macam-macam ya. Balasku. Terlihat sedang mengetik di bawah foto profilnya. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pesannya tertera di layar HP. Ya M
POV DindaAku tersenyum senang melihat layar HP, Om Angga lagi-lagi menghubungi dan aku dengan cepat mematikannya. Begitu terus sampai akhirnya dia sepertinya lelah. Ting. Notif pesan dari sahabat dekatku, Dayana. Biasa aku memanggilnya Yana.Din, aku main tempatmu, ya? Kamu di mana nih sekarang, rumah Mamamu atau di rumah Om Angga, niiih?Aku dan Yana memang sering banget main ke rumah Om Angga, kadang pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, tapi malah main ke rumah Om Angga. Yana aslinya tidak mau tiap kuajak main, tapi aku selalu membujuknya dengan berbagai alasan. Aku di rumah, Yan. Aku tungguin, yaa?Aku biasa berkeluh kesah pada Yana. Dia tempatku curhat, juga sering memberi solusi dari masalah yang kuhadapi. Kemarin itu contohnya. Saat aku bilang padanya ingin nikah dengan Om Angga tapi Papa dan Mama tak merestui, dia menyarankan agar aku menuruti ucapan Papa dan Mama saja agar tak durhaka. Tapi aku bilang tidak bisa karena aku ingin menikah. Akhirnya, dia memberi ide, yaitu
"Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya. Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga "Emp, ja-di," kataku. "Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga. Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa. "Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tol
"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong
Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar
Dia tak menjawab hanya diam saja. Aku heran kenapa ada orang seperti ini. Karena dia terus diam, akhirnya aku membonceng di belakangnya. Motor pun melaju pelan membelah jalanan yang sepi. Dinginnya angin membuatku bersidekap. Sepanjang jalan hanya kehengingan. Baik aku juga lelaki asing di depanku sama-sama diam. Sungguh ini begitu menyiksa. Aku akhirnya bisa bernapas lega saat kami memasuki Pekalongan. "Rumah itu, Pak," kataku. Tanganku terjulur lurus ke depan pas di samping tubuhnya. Motor akhirnya berhenti. "Saya mengantarmu hitung-hitung membalas kebaikanmu tadi pagi. Ternyata tadi pagi saya lupa tidak bawa dompet." "Iya, Pak Terima ka--" Belum selesai aku bicara, dia sudah melajukan kendaraannya pergi menjauh. Aku menggelengkan kepala, merasa begitu heran. Kok ada orang seperti itu, ya? Ah masa bodoh bukan urusanku. Aku segera melangkah ke halaman rumah Yana lalu mengetuk pintunya. Tok tok tok "Assalamualaikum." Dua kali ketukan, pintu mengayun membuka. Ayah Yana yang menya
"Jangan ragu, Din. Aku yakin, kok, Papa dan Mamamu pasti akan mengerti. Lebih baik kamu katakan aja semuanya terus terang, pertama kamu akan merasa lega dan gak akan terbebani lagi. Juga jika kamu bilang pada mereka, pasti akan ada yang melindungimu. Aku yakin kalau sampai Papamu tahu mengenai ini, Papamu pasti akan marah pada Om Angga." Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin bisa mengatakan semua ini pada Papa. Tapi mungkin yang dikatakan Yana benar, jadi aku harus mencobanya. Apa pun reaksi Papa dan Mama nantinya, yang penting aku bilang dulu. Om Pras mandangku lalu dia berdiri, melangkah keluar dari dapur. Dari sini terlihat ia memetiki daun singkong yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Bukan hanya daun singkong saja yang tumbuh di belakang rumah, juga ada cabai dan kangkung juga bayam dalam kalibet, membuat pandangan jadi segar karena hijaunya dedaunan. Langit berangsur terang. Cericit burung prenjak di kanan kiri rumah mulai terdengar. Yana yang baru selesai masak kini se
"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de