Beranda / Romansa / NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET / 7. (POV Angga) Maumu Sebenarnya Apa? Arrrgh

Share

7. (POV Angga) Maumu Sebenarnya Apa? Arrrgh

POV Angga

Dimatikan terus. Asem! Sejak kapan dia jadi seperti ini? Biasanya dulu, dia yang terus menghubungiku. Baik itu pagi, siang, sore, selalu menelepon mengingatkan jangan telat makan, ya, Oooom, dengan logat manja tapi kini panggilanku malah dimatikan terus. Ada apa dengan dia sebenarnya?

Dinda, arrrrgh. Aku mengepalkan tangan dengan gemas karena panggilanku terus dimatikan.

Dengan jengkel, akhirnya aku mengirim pesan menggunakan huruf kapital besar-besar pertanda bahwa aku sedang marah.

DINDA MAUMU SEBENARNYA APA? DITELPON TiDAK DIANGKAT JUGA. JANGAN BERANI MAIN-MAIN DI BELAKANGKU! NAMANYA ITU SELINGKUH KARENA KAMU MASIH ISTRIKU!

Kirim.

Dinda langsung membalas dengan emoticon tertawa 3 biji.???

Ada yang aneh tapi apa, ya??(Pesan dari Adinda Kemala Dewi kembali masuk.

Aku mengembuskan napas. Aku aneh kenapa? Kamu jangan macam-macam ya. Balasku.

Terlihat sedang mengetik di bawah foto profilnya.

Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pesannya tertera di layar HP.

Ya Mas yang aneh. Kan Mas yang lebih dulu bilang kalau dalam waktu satu bulan aku gak datang ke situ, kata Mas, Mas mau cari istri lagi. Yaaaa, sa-na. Aku si terserah takdir aja deh ke mana takdir hendak menuntunku. Ehemp. Aku nunggu satu bulan buat Mas pikirkan ucapanku. Udah dulu ya, Mas, anak temen Papa yang aku maksud tadi, dia datang ke sini sama Papanya. Katanya mama, mereka datang mau bicarain bisnis, gitu. Dia baru lulus kuliah. Aku mau buatin dia teh dulu. Muach muach?

Sentuh tombol telepon warna hijau. Berdering. Tapi tidak diangkat. Asem asem

ADINDA! ANGKAT!

Pesanku langsung terkirim. Tapi pesanku tak dibacanya. Tetap saja ceklis dua abu-abu. Siapa yang akan menyangka dia jadi seperti ini?

Selama ini, dia itu begitu penurut padaku. Aku bilang begini, aku bilang begitu, dia iyakan. Dan sikapnya juga tidak pernah seperti ini, dia selalu manis dan selalu menuruti keinginanku. Misal tiap akhir pekan dia mau main sama teman-temannya, aku bilang jangan pulang sore-sore, dia menurut. Aku bilang, jangan pakai baju yang terlalu seksi, dia mengiyakan. Dulu pas awal kenal, pakaiannya kelewat terbuka. Waktu dia menyapaku pertama kali di warung Padang, dia mengenakan tank top dan celana jins di atas lutut, memperlihatkan pusar juga paha mulusnya yang jenjang. Pertemuan-pertemuan kami berikutnya yang terjadi secara kebetulan, dia juga selalu mengenakan pakaian kurang bahan juga sangat ketat, membuat tubuhnya seakan bisa diraba dengan jelas. Oh yang bagian ini segini, bagian ini segini. Tapi seiring berjalannya waktu begitu kami dekat, lebih tepatnya setelah dia nembak aku, aku bilang jika dia serius denganku, aku ingin dia bisa mengubah cara berpakaiannya. Karena Bunda tidak suka cewek yang terlalu terbuka. Dia langsung mengiyakan. Katanya demi cinta, apa sih yang tidak dia lakukan untukku? Tapi kini, apa? Kusuruh angkat rahim dia malah minggat. Dinda, Dinda.

Ting nung!

Ting nung!

Siapa yang datang? Aku menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Tidak mungkin jika itu Adinda. Dengan malas aku beranjak dari sofa lalu berjalan perlahan menuju pintu. Buka.

"Lama sekali tidak dibuka-buka, Ga," kata Bunda, dia menatapku dari atas ke bawah. Di sampingnya, Sisil tersenyum.

"Ya maklum namanya juga pengantin baru, Bun," kata Sisil sambil menyerobot masuk. Adik bungsuku itu lalu menjatuhkan tubuh rampingnya di sofa.

"Mbak, Mbak Din-daaa!" Panggilnya.

Walau Dinda jauh lebih mudah darinya, namun saat kuberitahu bahwa aku akan menikah dengan Dinda begitu Dinda lulus sekolah, si bungsu langsung saja memanggil Dinda dengan sebutan Mbak. Tentu saja kala itu Dinda terus berkata padanya jangan memanggilnya, Mbak, panggil Dinda saja tapi Sisil tidak mau. Dia tetap saja memanggil Mbak Dinda. Bunda menggelengkan kepala melihat Sisil yang kini berdiri, lalu anak itu masuk ke kamarku.

"Dinda tidak ada di kamar," kataku. "Ayo masuk, Bun."

Bunda mengangguk, dia mengulurkan bawaannya padaku yaitu rantang susun warna putih polos. Aku menerimanya sambil mereka-reka apa isinya.

"Apa ini, Bun?" tanyaku.

"Itu lauk, Ga. Katamu, Dinda gak bisa masak. Makanya bunda bela-belain ke sini biar kalian gak kelaparan," jawab Bunda setengah tertawa. Ia melangkah masuk lalu duduk di sofa.

"Tidak mungkin kelaparan, Bun. Pagi-pagi aku sudah masak untuk kami berdua," kataku sambil duduk di seberang Bunda terpisah meja kecil.

"Ya bagus itu, memang harus begitu. Yaa namanya istri tidak bisa masak jadi sementara sambil menunggu bibi kembali dari kampungnya, kamu sementara yang masak, Ga. Dari tadi kok Bunda tidak melihat Dinda, mana Dinda?" tanya Bunda sambil celingak-celinguk.

"Mbak Dinda di mana, Mas?" tanya Sisil yang baru saja keluar dari kamar. Dia mendekat lalu duduk di dekat Bunda.

"Emp, jadi ... Dinda pulang ke rumahnya, Bun," kataku sambil nyengir. Semoga Bunda tidak bertanya aneh-aneh.

Bunda menyipitkan mata heran. begitu pun Sisil.

"Jadi, dia ingin pulang ke rumah Mamanya sebentar, ada yang mau diambil katanya, Bun." Aku mencari alasan yang masuk akal agar bunda tidak berpikir ada yang tak beres di antara kami.

"Oh, begitu. Bunda kira ada apaan. Sudah parno duluan, Bunda." Sambil Bunda mengusap dadanya.

"Parno kenapa?" tanyaku dengan sedikit tertawa. Tapi aku ya deh deg kan juga.

"Ya, parno. Bunda kira kamu dan Dinda bertengkar, gitu."

"Ya gak lah Bunda, masa pengantin baru bertengkar," timpal Sisil.

"Ya bisa jadi, kan? Buktinya Angga sama Sintia hanya bertahan 3 Minggu saja menikah. Makanya Bunda tadi sempat parno," kata Bunda. "Pokoknya kali ini kamu gak boleh sampai pisah lho, Ga. Awas saja kalau sampai kamu pisah dengan Dinda, Bunda akan diamkan kamu."

"Tu-uuh, dengerin ucapan Bunda, Mas. Kali ini gak boleh pisah."

Aku menggaruk rambut.

"Pokoknya kali ini, kamu itu harus mengalah sama istri tidak boleh keras kepala seperti dulu," kata Bunda yang membuatku lagi-lagi hanya bisa nyengir.

Sebenarnya, aku tidak egois seperti yang dikatakan bunda. Aku dan Anjani, istri keduaku, berpisah secara baik-baik bukan karena perseteruan apa pun. Anjani tahu-tahu minta pisah. Katanya, dia kelelahan mengurus Ian dan Deri, menurutnya anak-anakku itu sangat nakal sampai dia kelelahan dan keguguran. Aku sudah membujuk agar dia memikirkan hal itu karena aku tak menyukai perpisahan, tapi dia terus saja bersikukuh ingin pisah. Ya kecuali kalau Ian dan Deri yang sering mengerjainya tinggal saja dengan Bunda. Tentu saja aku menolak keras permintaanya itu. Mana mungkin begitu? Niatku memiliki istri lagi agar Ian dan Deri bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Jadi tidak lucu menurutku jika Ian dan Deri tinggal dengan Bunda.

Lalu, setelah cukup lama berpisah dengan Anjani, aku menikah dengan Sintia. Berbeda dengan Anjani yang meminta cerai duluan, tapi dengan Sintia akulah yang menceraikannya karena ternyata dia hamil 2 bulan. Aku memergokinya sedang menelepon pacarnya. Hamil dengan lelaki lain, tapi akulah yang dijadikan tameng. Asem. Ya masa menikah 3 baru tiga Minggu dia dudsh hamil 2 bulan? Yaa kecuali kalau kami belah duren duluan sebelum nikah.

Jadi, perceraianku dengan istri-istriku bukan karena perseteruan. Jika rumah tanggaku dan Anjani bisa dipertahankan, tentu saja aku akan mempertahankannya. Karena aku tidak menyukai perceraian. Jadi, ucapanku pada Dinda sebenarnya tidak serius. Aku hanya mengertaknya saja agar dia mau angkat rahim. Tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang? Dia sepertinya malah happy, bilang mau cari yang baru. Padahal, aku hanya mengertak agar dia mau angkat rahim. Toh angkat rahim juga untuk kebaikannya. Aku tidak mau dia nanti mengalami yang seperti Anjani alami, hamil lalu keguguran karena anakku sangat nakal. Ya memang bisa KB seperti yang dikatakannya, tapi banyak yang KB tetap saja kebobolan contohnya bunda. Jadi, untuk menghindari agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan misal dia hamil seperti Anjani, ya lebih baik dia angkat rahim. Itu aman. Sementara jika aku yang harus vasektomi ... aku bergidik membayangkannya. Jarum suntik saja aku takut, masa ya vasektomi. Itu mengerikan.

Jadi, aku inginnya Dinda yang angkat rahim. Toh itu kan untuk kebaikannya. Dengan angkat rahim dia juga tidak akan kelelahan mengurus bayi. Hanya mengurus Ian dan Deri yang sudah besar. Itu pun dibantu pembantu. Jadi lagi-lagi, permintaanku untuk kebaikan Dinda juga.

"Ya sudah kalau begitu Bunda pulang dulu, Gs. Oh ya nanti malam, kamu ajak Dinda makan malam di rumah, ya? Pakdemu dan istrinya datang dari Jakarta, katanya pengen liat calon istrimu."

Duh.

Aku menggaruk rambut. Nyengir saat bersitatap dengan Bunda. "Begini, Bun. Ya nanti lihat nanti, Bun," kataku kesulitan bicara.

"Pokoknya, kamu harus datang lho Ga sama Dinda? Awas kalau tidak, ya? Pasti ayahmu akan mengomel. Karena pakdemu itu sudah bela-belain datang dari Jakarta."

"Tuuuh, dengar gak tuuuh," kata Sisil. Aku mendelik pada gadis berusia 26 tahun itu.

"Iya, Bun. Aku usahakan datang," kataku.

"Jangan bilang usahakan tapi harus datang. Awas saja kalau tidak datang. Ayo, Sil." Ajak Bunda. Anak perempuan memakai jilbab ungu sama persis dengan jilbab yang bunda pakai itu sigap berdiri.

"Awas ya, Ga, kalau sampai tidak datang? Soalnya pakdemu di Lampung tidak lama. Besok sudah harus terbang ke Singapore ada urusan bisnis. Pakdemu itu bela-belain datang dari Jakarta karena ada urusan bisnis cukup lama di Singapore. Katanya, belum tentu pas resepsimu bisa hadir."

Aku menggaruk rambut saat memikirkan bagaimana caranya mengatakan ini pada Dinda. Tentu saja gengsi mengajaknya pergi ke rumah Bunda.

Aku menghela napas. Kenapa malah jadi kacau begini? Kupikir Dinda akan menuruti keinginanku. Tapi ternyata dia sangat keberatan. Padahal walau dia tak memiliki anak dariku, aku tak masalah. Dua anak cukup. Dua anak saja sudah sangat merepotkan apalagi lebih dari dua. Aku juga ingin dia fokus pada Ian dan Deri agar kedua anakku itu bisa merasakan memiliki sosok ibu. Jika kami punya anak, Ian dan Deri pasti akan dia abaikan.

"Ya sudah kalau begitu Bunda pulang, Ga."

"Sisil pulang dulu ya, Mas?" Pamit Sisil sambil tersenyum. Si bungsu ini memang sukanya cengengesan.

"Jangan lupa ya, Ga? Mama tunggu habis magrib kamu sudah harus datang ke rumah dengan Dinda. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam," jawabku sambil menggaruk-garuk rambut.

Begitu mobil Bunda pergi dari halaman, aku menutup pintu lalu meraih HP di meja. Aku yang hendak menelepon Dinda seketika melebarkan mata saat melihat statusnya, yaitu vidio dia sedang bergoyang sambil bersenandung kecil,

Siapa-kah ....

Orang i-tuu

Sejak tadi, memandangku ....

Jangan-jangan dia sekarang sedang mengobrol sok kenal sok dekat dengan anak teman papanya itu. Aku masih ingat jelas saat dia menyapaku pertama kali, sok kenal sok dekat sampai aku merasa risih.

Aku masuk ke kamar meraih kunci mobil lalu keluar rumah dengan buru-buru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status