POV Angga
Dimatikan terus. Asem! Sejak kapan dia jadi seperti ini? Biasanya dulu, dia yang terus menghubungiku. Baik itu pagi, siang, sore, selalu menelepon mengingatkan jangan telat makan, ya, Oooom, dengan logat manja tapi kini panggilanku malah dimatikan terus. Ada apa dengan dia sebenarnya?Dinda, arrrrgh. Aku mengepalkan tangan dengan gemas karena panggilanku terus dimatikan.Dengan jengkel, akhirnya aku mengirim pesan menggunakan huruf kapital besar-besar pertanda bahwa aku sedang marah.DINDA MAUMU SEBENARNYA APA? DITELPON TiDAK DIANGKAT JUGA. JANGAN BERANI MAIN-MAIN DI BELAKANGKU! NAMANYA ITU SELINGKUH KARENA KAMU MASIH ISTRIKU!Kirim.Dinda langsung membalas dengan emoticon tertawa 3 biji.???Ada yang aneh tapi apa, ya??(Pesan dari Adinda Kemala Dewi kembali masuk.Aku mengembuskan napas. Aku aneh kenapa? Kamu jangan macam-macam ya. Balasku.Terlihat sedang mengetik di bawah foto profilnya.Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pesannya tertera di layar HP.Ya Mas yang aneh. Kan Mas yang lebih dulu bilang kalau dalam waktu satu bulan aku gak datang ke situ, kata Mas, Mas mau cari istri lagi. Yaaaa, sa-na. Aku si terserah takdir aja deh ke mana takdir hendak menuntunku. Ehemp. Aku nunggu satu bulan buat Mas pikirkan ucapanku. Udah dulu ya, Mas, anak temen Papa yang aku maksud tadi, dia datang ke sini sama Papanya. Katanya mama, mereka datang mau bicarain bisnis, gitu. Dia baru lulus kuliah. Aku mau buatin dia teh dulu. Muach muach?Sentuh tombol telepon warna hijau. Berdering. Tapi tidak diangkat. Asem asemADINDA! ANGKAT!Pesanku langsung terkirim. Tapi pesanku tak dibacanya. Tetap saja ceklis dua abu-abu. Siapa yang akan menyangka dia jadi seperti ini?Selama ini, dia itu begitu penurut padaku. Aku bilang begini, aku bilang begitu, dia iyakan. Dan sikapnya juga tidak pernah seperti ini, dia selalu manis dan selalu menuruti keinginanku. Misal tiap akhir pekan dia mau main sama teman-temannya, aku bilang jangan pulang sore-sore, dia menurut. Aku bilang, jangan pakai baju yang terlalu seksi, dia mengiyakan. Dulu pas awal kenal, pakaiannya kelewat terbuka. Waktu dia menyapaku pertama kali di warung Padang, dia mengenakan tank top dan celana jins di atas lutut, memperlihatkan pusar juga paha mulusnya yang jenjang. Pertemuan-pertemuan kami berikutnya yang terjadi secara kebetulan, dia juga selalu mengenakan pakaian kurang bahan juga sangat ketat, membuat tubuhnya seakan bisa diraba dengan jelas. Oh yang bagian ini segini, bagian ini segini. Tapi seiring berjalannya waktu begitu kami dekat, lebih tepatnya setelah dia nembak aku, aku bilang jika dia serius denganku, aku ingin dia bisa mengubah cara berpakaiannya. Karena Bunda tidak suka cewek yang terlalu terbuka. Dia langsung mengiyakan. Katanya demi cinta, apa sih yang tidak dia lakukan untukku? Tapi kini, apa? Kusuruh angkat rahim dia malah minggat. Dinda, Dinda.Ting nung!Ting nung!Siapa yang datang? Aku menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Tidak mungkin jika itu Adinda. Dengan malas aku beranjak dari sofa lalu berjalan perlahan menuju pintu. Buka."Lama sekali tidak dibuka-buka, Ga," kata Bunda, dia menatapku dari atas ke bawah. Di sampingnya, Sisil tersenyum."Ya maklum namanya juga pengantin baru, Bun," kata Sisil sambil menyerobot masuk. Adik bungsuku itu lalu menjatuhkan tubuh rampingnya di sofa."Mbak, Mbak Din-daaa!" Panggilnya.Walau Dinda jauh lebih mudah darinya, namun saat kuberitahu bahwa aku akan menikah dengan Dinda begitu Dinda lulus sekolah, si bungsu langsung saja memanggil Dinda dengan sebutan Mbak. Tentu saja kala itu Dinda terus berkata padanya jangan memanggilnya, Mbak, panggil Dinda saja tapi Sisil tidak mau. Dia tetap saja memanggil Mbak Dinda. Bunda menggelengkan kepala melihat Sisil yang kini berdiri, lalu anak itu masuk ke kamarku."Dinda tidak ada di kamar," kataku. "Ayo masuk, Bun."Bunda mengangguk, dia mengulurkan bawaannya padaku yaitu rantang susun warna putih polos. Aku menerimanya sambil mereka-reka apa isinya."Apa ini, Bun?" tanyaku."Itu lauk, Ga. Katamu, Dinda gak bisa masak. Makanya bunda bela-belain ke sini biar kalian gak kelaparan," jawab Bunda setengah tertawa. Ia melangkah masuk lalu duduk di sofa."Tidak mungkin kelaparan, Bun. Pagi-pagi aku sudah masak untuk kami berdua," kataku sambil duduk di seberang Bunda terpisah meja kecil."Ya bagus itu, memang harus begitu. Yaa namanya istri tidak bisa masak jadi sementara sambil menunggu bibi kembali dari kampungnya, kamu sementara yang masak, Ga. Dari tadi kok Bunda tidak melihat Dinda, mana Dinda?" tanya Bunda sambil celingak-celinguk."Mbak Dinda di mana, Mas?" tanya Sisil yang baru saja keluar dari kamar. Dia mendekat lalu duduk di dekat Bunda."Emp, jadi ... Dinda pulang ke rumahnya, Bun," kataku sambil nyengir. Semoga Bunda tidak bertanya aneh-aneh.Bunda menyipitkan mata heran. begitu pun Sisil."Jadi, dia ingin pulang ke rumah Mamanya sebentar, ada yang mau diambil katanya, Bun." Aku mencari alasan yang masuk akal agar bunda tidak berpikir ada yang tak beres di antara kami."Oh, begitu. Bunda kira ada apaan. Sudah parno duluan, Bunda." Sambil Bunda mengusap dadanya."Parno kenapa?" tanyaku dengan sedikit tertawa. Tapi aku ya deh deg kan juga."Ya, parno. Bunda kira kamu dan Dinda bertengkar, gitu.""Ya gak lah Bunda, masa pengantin baru bertengkar," timpal Sisil."Ya bisa jadi, kan? Buktinya Angga sama Sintia hanya bertahan 3 Minggu saja menikah. Makanya Bunda tadi sempat parno," kata Bunda. "Pokoknya kali ini kamu gak boleh sampai pisah lho, Ga. Awas saja kalau sampai kamu pisah dengan Dinda, Bunda akan diamkan kamu.""Tu-uuh, dengerin ucapan Bunda, Mas. Kali ini gak boleh pisah."Aku menggaruk rambut."Pokoknya kali ini, kamu itu harus mengalah sama istri tidak boleh keras kepala seperti dulu," kata Bunda yang membuatku lagi-lagi hanya bisa nyengir.Sebenarnya, aku tidak egois seperti yang dikatakan bunda. Aku dan Anjani, istri keduaku, berpisah secara baik-baik bukan karena perseteruan apa pun. Anjani tahu-tahu minta pisah. Katanya, dia kelelahan mengurus Ian dan Deri, menurutnya anak-anakku itu sangat nakal sampai dia kelelahan dan keguguran. Aku sudah membujuk agar dia memikirkan hal itu karena aku tak menyukai perpisahan, tapi dia terus saja bersikukuh ingin pisah. Ya kecuali kalau Ian dan Deri yang sering mengerjainya tinggal saja dengan Bunda. Tentu saja aku menolak keras permintaanya itu. Mana mungkin begitu? Niatku memiliki istri lagi agar Ian dan Deri bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Jadi tidak lucu menurutku jika Ian dan Deri tinggal dengan Bunda.Lalu, setelah cukup lama berpisah dengan Anjani, aku menikah dengan Sintia. Berbeda dengan Anjani yang meminta cerai duluan, tapi dengan Sintia akulah yang menceraikannya karena ternyata dia hamil 2 bulan. Aku memergokinya sedang menelepon pacarnya. Hamil dengan lelaki lain, tapi akulah yang dijadikan tameng. Asem. Ya masa menikah 3 baru tiga Minggu dia dudsh hamil 2 bulan? Yaa kecuali kalau kami belah duren duluan sebelum nikah.Jadi, perceraianku dengan istri-istriku bukan karena perseteruan. Jika rumah tanggaku dan Anjani bisa dipertahankan, tentu saja aku akan mempertahankannya. Karena aku tidak menyukai perceraian. Jadi, ucapanku pada Dinda sebenarnya tidak serius. Aku hanya mengertaknya saja agar dia mau angkat rahim. Tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang? Dia sepertinya malah happy, bilang mau cari yang baru. Padahal, aku hanya mengertak agar dia mau angkat rahim. Toh angkat rahim juga untuk kebaikannya. Aku tidak mau dia nanti mengalami yang seperti Anjani alami, hamil lalu keguguran karena anakku sangat nakal. Ya memang bisa KB seperti yang dikatakannya, tapi banyak yang KB tetap saja kebobolan contohnya bunda. Jadi, untuk menghindari agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan misal dia hamil seperti Anjani, ya lebih baik dia angkat rahim. Itu aman. Sementara jika aku yang harus vasektomi ... aku bergidik membayangkannya. Jarum suntik saja aku takut, masa ya vasektomi. Itu mengerikan.Jadi, aku inginnya Dinda yang angkat rahim. Toh itu kan untuk kebaikannya. Dengan angkat rahim dia juga tidak akan kelelahan mengurus bayi. Hanya mengurus Ian dan Deri yang sudah besar. Itu pun dibantu pembantu. Jadi lagi-lagi, permintaanku untuk kebaikan Dinda juga."Ya sudah kalau begitu Bunda pulang dulu, Gs. Oh ya nanti malam, kamu ajak Dinda makan malam di rumah, ya? Pakdemu dan istrinya datang dari Jakarta, katanya pengen liat calon istrimu."Duh.Aku menggaruk rambut. Nyengir saat bersitatap dengan Bunda. "Begini, Bun. Ya nanti lihat nanti, Bun," kataku kesulitan bicara."Pokoknya, kamu harus datang lho Ga sama Dinda? Awas kalau tidak, ya? Pasti ayahmu akan mengomel. Karena pakdemu itu sudah bela-belain datang dari Jakarta.""Tuuuh, dengar gak tuuuh," kata Sisil. Aku mendelik pada gadis berusia 26 tahun itu."Iya, Bun. Aku usahakan datang," kataku."Jangan bilang usahakan tapi harus datang. Awas saja kalau tidak datang. Ayo, Sil." Ajak Bunda. Anak perempuan memakai jilbab ungu sama persis dengan jilbab yang bunda pakai itu sigap berdiri."Awas ya, Ga, kalau sampai tidak datang? Soalnya pakdemu di Lampung tidak lama. Besok sudah harus terbang ke Singapore ada urusan bisnis. Pakdemu itu bela-belain datang dari Jakarta karena ada urusan bisnis cukup lama di Singapore. Katanya, belum tentu pas resepsimu bisa hadir."Aku menggaruk rambut saat memikirkan bagaimana caranya mengatakan ini pada Dinda. Tentu saja gengsi mengajaknya pergi ke rumah Bunda.Aku menghela napas. Kenapa malah jadi kacau begini? Kupikir Dinda akan menuruti keinginanku. Tapi ternyata dia sangat keberatan. Padahal walau dia tak memiliki anak dariku, aku tak masalah. Dua anak cukup. Dua anak saja sudah sangat merepotkan apalagi lebih dari dua. Aku juga ingin dia fokus pada Ian dan Deri agar kedua anakku itu bisa merasakan memiliki sosok ibu. Jika kami punya anak, Ian dan Deri pasti akan dia abaikan."Ya sudah kalau begitu Bunda pulang, Ga.""Sisil pulang dulu ya, Mas?" Pamit Sisil sambil tersenyum. Si bungsu ini memang sukanya cengengesan."Jangan lupa ya, Ga? Mama tunggu habis magrib kamu sudah harus datang ke rumah dengan Dinda. Assalamualaikum.""Waalaikum salam," jawabku sambil menggaruk-garuk rambut.Begitu mobil Bunda pergi dari halaman, aku menutup pintu lalu meraih HP di meja. Aku yang hendak menelepon Dinda seketika melebarkan mata saat melihat statusnya, yaitu vidio dia sedang bergoyang sambil bersenandung kecil,Siapa-kah ....Orang i-tuuSejak tadi, memandangku ....Jangan-jangan dia sekarang sedang mengobrol sok kenal sok dekat dengan anak teman papanya itu. Aku masih ingat jelas saat dia menyapaku pertama kali, sok kenal sok dekat sampai aku merasa risih.Aku masuk ke kamar meraih kunci mobil lalu keluar rumah dengan buru-buru.POV DindaAku tersenyum senang melihat layar HP, Om Angga lagi-lagi menghubungi dan aku dengan cepat mematikannya. Begitu terus sampai akhirnya dia sepertinya lelah. Ting. Notif pesan dari sahabat dekatku, Dayana. Biasa aku memanggilnya Yana.Din, aku main tempatmu, ya? Kamu di mana nih sekarang, rumah Mamamu atau di rumah Om Angga, niiih?Aku dan Yana memang sering banget main ke rumah Om Angga, kadang pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, tapi malah main ke rumah Om Angga. Yana aslinya tidak mau tiap kuajak main, tapi aku selalu membujuknya dengan berbagai alasan. Aku di rumah, Yan. Aku tungguin, yaa?Aku biasa berkeluh kesah pada Yana. Dia tempatku curhat, juga sering memberi solusi dari masalah yang kuhadapi. Kemarin itu contohnya. Saat aku bilang padanya ingin nikah dengan Om Angga tapi Papa dan Mama tak merestui, dia menyarankan agar aku menuruti ucapan Papa dan Mama saja agar tak durhaka. Tapi aku bilang tidak bisa karena aku ingin menikah. Akhirnya, dia memberi ide, yaitu
"Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya. Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga "Emp, ja-di," kataku. "Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga. Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa. "Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tol
"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong
Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar
Dia tak menjawab hanya diam saja. Aku heran kenapa ada orang seperti ini. Karena dia terus diam, akhirnya aku membonceng di belakangnya. Motor pun melaju pelan membelah jalanan yang sepi. Dinginnya angin membuatku bersidekap. Sepanjang jalan hanya kehengingan. Baik aku juga lelaki asing di depanku sama-sama diam. Sungguh ini begitu menyiksa. Aku akhirnya bisa bernapas lega saat kami memasuki Pekalongan. "Rumah itu, Pak," kataku. Tanganku terjulur lurus ke depan pas di samping tubuhnya. Motor akhirnya berhenti. "Saya mengantarmu hitung-hitung membalas kebaikanmu tadi pagi. Ternyata tadi pagi saya lupa tidak bawa dompet." "Iya, Pak Terima ka--" Belum selesai aku bicara, dia sudah melajukan kendaraannya pergi menjauh. Aku menggelengkan kepala, merasa begitu heran. Kok ada orang seperti itu, ya? Ah masa bodoh bukan urusanku. Aku segera melangkah ke halaman rumah Yana lalu mengetuk pintunya. Tok tok tok "Assalamualaikum." Dua kali ketukan, pintu mengayun membuka. Ayah Yana yang menya
"Jangan ragu, Din. Aku yakin, kok, Papa dan Mamamu pasti akan mengerti. Lebih baik kamu katakan aja semuanya terus terang, pertama kamu akan merasa lega dan gak akan terbebani lagi. Juga jika kamu bilang pada mereka, pasti akan ada yang melindungimu. Aku yakin kalau sampai Papamu tahu mengenai ini, Papamu pasti akan marah pada Om Angga." Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin bisa mengatakan semua ini pada Papa. Tapi mungkin yang dikatakan Yana benar, jadi aku harus mencobanya. Apa pun reaksi Papa dan Mama nantinya, yang penting aku bilang dulu. Om Pras mandangku lalu dia berdiri, melangkah keluar dari dapur. Dari sini terlihat ia memetiki daun singkong yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Bukan hanya daun singkong saja yang tumbuh di belakang rumah, juga ada cabai dan kangkung juga bayam dalam kalibet, membuat pandangan jadi segar karena hijaunya dedaunan. Langit berangsur terang. Cericit burung prenjak di kanan kiri rumah mulai terdengar. Yana yang baru selesai masak kini se
"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de
"Ma, bagaimana tanggapan Mama tentang angkat rahim?"Uhuk! Uhuk! Suamiku tersedak. Aku meraih gelas di dekatnya lalu mengulurkan padanya.Mama memandangku penuh tanya. Aku melanjutkan ucapanku."Jadi, Ma, aku punya temen dia baru nikah semalam."Uhuk! Uhuk! Mas Angga kembali tersedak. Dia menghela napas, lalu mengelap hidungnya uang sedikit berair dengan tisu."Baru aja dia sama suaminya itu selesai malam pertama, temenku itu masih merasakan sakit setelah malam pertama, tiba-tiba suaminya itu bilang, adik, kamu besok angkat rahim, ya, karena Mas sudah punya anak. Mas tidak ingin memiliki anak lagi. Itu akan sangat merepotkan.""Itu egois sekali namanya." Celetuk bunda dengan wajah geram."Benar, itu sangat egois." Ayah mengangguk membenarkan."Dan, mana bisa main angkat rahim, gitu, Din? Dokter mana yang mau mengoperasinya?""Pasti dokter yang gila uang lah, Ma. Jadi Ma, Bun, bagaimana tanggapan Mama dan Bunda pada cerita temanku itu? Temanku belum punya anak, eeeh suaminya yang kejam