POV Dinda
Aku tersenyum senang melihat layar HP, Om Angga lagi-lagi menghubungi dan aku dengan cepat mematikannya. Begitu terus sampai akhirnya dia sepertinya lelah.Ting. Notif pesan dari sahabat dekatku, Dayana. Biasa aku memanggilnya Yana.Din, aku main tempatmu, ya? Kamu di mana nih sekarang, rumah Mamamu atau di rumah Om Angga, niiih?Aku dan Yana memang sering banget main ke rumah Om Angga, kadang pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, tapi malah main ke rumah Om Angga. Yana aslinya tidak mau tiap kuajak main, tapi aku selalu membujuknya dengan berbagai alasan.Aku di rumah, Yan. Aku tungguin, yaa?Aku biasa berkeluh kesah pada Yana. Dia tempatku curhat, juga sering memberi solusi dari masalah yang kuhadapi. Kemarin itu contohnya. Saat aku bilang padanya ingin nikah dengan Om Angga tapi Papa dan Mama tak merestui, dia menyarankan agar aku menuruti ucapan Papa dan Mama saja agar tak durhaka. Tapi aku bilang tidak bisa karena aku ingin menikah. Akhirnya, dia memberi ide, yaitu aku kabur saja dari rumah. Maka aku pun menginap satu mingguan di rumah saudara Yana. Sementara Yana di rumahnya. Jadi ketika Papa dan Mama waktu itu ke rumah Yana, sahabatku itu bilang tak tahu keberadaanku. Dan seperti yang terlihat, aku dan Om Angga pun direstui menikah. Ya walau terpaksa.Oke, otw aku segera ke sanaYup. Aku tunggu. Balasku. Setelah itu aku merapikan tempat tidur karena tadi sudah bilang pada Papa juga Mama bahwa aku ingin belajar mandiri. Malu, lah, kalau nanti Mama ke sini dan ternyata masih berantakan? Pasti Mama akan memandangku dengan senyum mengejek.Selesai membereskan kamar, aku rebahan, tanganku bergerak membuka F*. Menscrol ke bawah melihat-lihat status teman dunia maya. Akhirnya lama-lama aku bete. Aku membuka WA, tidak ada pesan apa pun dari Om Angga. Apa dia males menghubungiku lagi?H-uuh! Aku mengembuskan napas. Itu bisa jadi. Apa jangan-jangan, Om Angga udah gak mau peduli padaku? Masa gara-gara aku gak mau angkat rahim kami jadi begini? Padahal semalam barusan ehemp-ehemp, dia itu semalam terlihat begitu menginginkanku, terlihat sangat mencintaiku. Masa gara-gara aku gak mau angkat rahim hubungan kami harus berakhir? Itu kan gak lucu banget.Apa kamu sebenarnya gak cinta aku, Om? tanyaku dalam hati, merasa sesak karena dia bersikap seperti ini padaku. Andai dia hanya menyuruhku KB tentu saja aku gak mungkin nolak.Aku mengerjap dan tersenyum senang saat sebuah ide menyelinap masuk ke benakku. Aplikasikan, deh. Siapa tahu dia cemburu. Maka aku pun membuat vidio aku goyang kecil sambil menyanyi, setelah itu mengunggahnya di tiktok juga WA serta unstagram. Mari kita lihat, dia akan cemburu apa gak, yaa? Semoga saja dia cemburu. A-miiiiinTok tok tok. "Din, Dinda? Buka pintunya Mama mau bicara.""Iya, Ma," jawabku sambil melangkah menuju pintu, membukanya."Ada apa, Ma?" tanyaku."Ayo, ke depan. Papa sama Mama mau bicara serius," katanya."Bicara serius apa, Ma?" tanyaku yang tiba-tiba jadi was-was. Takut jika Om Angga mengirim pesan pada Mama atau Papa dan membicarakan tentang perpisahan kami. Jangan sampai."Ayo, ke depan. Sudah ditunggu sama Papa."Dengan benak penuh tanya aku pun mengikuti Mama menuju ruang tamu. Papa duduk di sofa, dia menunduk menatap HP di tangannya, sungguh membuatku luar biasa takut. Jangan-jangan Om Angga bilang, lagi, apa yang sebenarnya telah terjadi di antara kami pada Papa. Wajah Papa terlihat begitu serius. Begitu pun Mama."Emp, Papa mau bicara apa?" tanyaku sambil duduk. Mama juga ikut duduk di sampingku, menatapku amat serius. Tentu saja sikap orang tuaku ini membuatku takut."Dinda, kamu lihat ini." Papa berkata sambil mengulurkan HP-nya ke arahku, membuatku begitu was-was. Tapi setelah melihat layar HPnya, aku menghela napas."Sudah dibuka pendaftaran mahasiswa baru. Kamu kuliah, ya? Tidak papa kamu tidak kuliah di luar negri seperti keinginan Papa, tapi yang penting Papa ingin kamu kuliah. Kamu bisa kuliah di UM atau IAIN yang lebih dekat dari rumah, jadi kamu tidak harus berpisah dengan suamimu.""Benar yang dikatakan papamu, Din." Sama seperti Papa, Mama juga menatapku penuh harap. Aku menggaruk rambut sambil nyengir."A-duh, Paaa. Kenapa aku harus kuliah si, Pa? Aku kan udah nikah, Pa, Ma." Aku berharap mereka mau mengerti."Ya gak papa sudah nikah. Kan kamu kuliah bukan sekolah," jawab Mama cepat."Karena Papa sudah menuruti keinginanmu yaitu menikahkanmu dan Angga, kini gantian kamu menuruti keinginan Papa." Papa memandangku."Kamu itu satu-satunya anak Mama, Din. Nanti kamu jugalah yang bakal meneruskan perusahaan jika Papa dan Mamamu ini udah mati."Aku mencebik. "mama, kok, bicara tentang mati-matian, siiih. Ngeri, ta-uuu.""Karena semua orang pasti akan mati, Din," jawab Papa. Papa buru-buru berkata saat aku membuka mulut hendak menolak kuliah."Kamu itu pintar, dari dulu selalu masuk 10 besar, sayang jika tidak kuliah.""Belum tentu juga Mas Angga ijinin aku kuliah, Pa," kataku keberatan.Sebenarnya dari dulu aku memang gak ingin kuliah. Males aja, gitu. Masuk pagi pulang siang. Sama kayak sekolah. Aslinya kalau aku tidak diwajibkan sekolah sama Papa dan Mama, pasti aku malas sekolah. Tapi keduanya terus saja mengoceh tiap aku gak mau sekolah. Dan sekarang, malah aku disuruh kuliah. Na-sib-nasib jadi anak satu-satunya, apa-apa serba diatur. Enggak bebas banget rasanya, sumpah."Diijinkan," kata Mama yang membuatku langsung mencebik."Mama sok tau, deh.""Lho memang diijinkan kok, Din. Satu jam sebelum papa nikahkan kamu dengannya, Papamu bilang padanya bahwa Papamu ingin kamu kuliah, papamu juga tanya apa dia mengijinkanmu kuliah. Angga jawab mengijinkan."Duuuh. Kenapa, pula, Om Angga harus mengijinkan? Sumpah males banget kuliah."Kamu itu masih muda, Din. Kuliah juga untuk kebaikanmu nanti. Jadi, kamu ingin kuliah di mana? UM atau IAIN?""Tar aku tanya Yana, deh. Dia mau kuliah di mana. Kalau dia di UM aku ya ke UM, kalau dia di IAIN aku ya di IAIN. Kan enak kalau ada temennya."Papa dan Mama menggeleng-geleng."Orang kok tidak punya pendirian. Kamu itu inginnya kuliah di mana, kok malah melihat Yana dulu." Mama lagi-lagi menggeleng, ia menatapku dengan gemas. Begitu pun Papa. Memang selalu kompak mereka."Yang penting kan aku kuliah, Ma, Pa. Daripada gak, kaaan? Iya, gak? Iya-laaah, masa iya-iyalah.""Anak geblek!" kata Mama sambil menoyor kepalaku. Aku nyengir.Ting nungBel berbunyi. Aku dan Mama menatap ke arah pintu yang terbuka. Rupanya sahabatku datang dengan membawa plastik merah transparan berisi tiga kotak sterofoam. Pasti masakan Padang. Ayah sahabatku ini kan buka warung Padang di pasar Metro. Di warung Padang ayahnya lah pertama kali aku bicara pada Om Angga. Ingat, kan, aku udah pernah cerita itu"Yan, sini ma-suk!" kata Mama dengan antusias sambil melambaikan tangan ke arah Yana. Yana mengangguk sopan lalu melangkah mendekat"Kamu itu bawa apa?" tanya Mama saat Yana meletakkan bawaannya ke meja lalu dia duduk di sebelahku."Nasi Padang, Tan. Tante kan suka banget sama gulai kambing masakan Ayah.""Ya ampun, makasih, Yan." Mama tersenyum. Begitu pun Papa juga tersenyum kecil."Iya, Tan, sama-sama." Yana balas tersenyum."Kamu mau kuliah di mana nanti, Yan?" tanya Mama sambil meraih kotak putih di meja lalu memberikannya pada Papa. Mama meraih satu lagi dan membukanya, mengambil sendok palstik kecil di dalam strefoam lalu mulai menyuap."Selalu enak masakan ayahmu, Yan. Hari Minggu deh Tante sama Om ke sana.""Makasih, Tan.""Jadi kamu mau kuliah di mana niih?" tanya Papa sambil memandang sahabatku.Raut wajah Yana yang tadinya ceria kini berubah murung. "Sepertinya aku gak kuliah, Om.""Lho, kenapa? Kuliah dong, Yan, sayang sekali kalau gak kuliah. Kamu itu masih muda. Masa muda jangan disia-siakan begitu saja." Sambil Mama melirikku. Pasti sengaja deh Mama."Mau bantuin ayah jualan saja, Tan. Kuliah juga butuh uang untuk daftar ulang dan lainnya, jadi tahun ini belum kuliah. Mungkin tahun depan jika punya tabungan," jawab sahabatku dengan wajah sedih.Yana memang bukan dari keluarga berada. Warung padangnya pun tidak begitu ramai. Yana pernah cerita, walau dia sebenarnya sangat ingin kuliah, namun karena keadaan ya apa boleh buat. Katanya, dia ingin membantu ayahnya saja. Ya syukur-syukur dapat kerjaan."Tapi kamu ada keinginan untuk kuliah, kan?" tanya Papa dengan tatapan ke arah sahabatku itu. Yana mengangguk."Inginlah, Om. Aku kan ingin jadi guru, he he.""Ya kalau begitu kamu kuliah saja, Yan. Kalau masalah biaya, nanti Om bantu.""Bantu, Om? Maksudnya, Om mau bantu biaya kuliahku?" tanya Yana dengan pandangan tak yakin. Papa langsung mengangguk."Iya. Yang penting kamu ada keinginan untuk kuliah. Jadi mau kuliah?" tanya Papa memandang lekat sahabatku.Yana menatapku, aku tersenyum padanya."Udah terima aja tawaran papaku. Uang papaku itu buan-yaaaaaak banget," kataku yang membuat Papa langsung tertawa kecil."Duh aku jadi gak enak hati sama Om.""Tidak perlu tak enak hati," kata Mama yang lagi-lagi menguap makanannya dengan begitu menghayati."Kamu itu sudah berjasa sama Tante. Kamu kan yang sering bujukin Dinda tiap dia lagi kumat erornya tidak mau sekolah.""Bener, tuh," timpalku sambil setengah tertawa."Tuh, ngaku, di-aaa." Papa menudingku lalu dia ikut tertawa bersamaku."Assalamualaikum."Dadaku langsung berdebar-debar tak keruan saat mendengar suara barusan. Aku refleks menatap ke arah pintu di mana Mas Angga berdiri tegap. Suamiku itu lalu berjalan kemari, bukan menghampiriku melainkan bersimpuh di kaki Papa. Papa dan Mama langsung saling pandang dengan heran."Maafkan Angga, Pa. Tolong jangan jodohkan Dinda dengananak teman papa. Dinda adalah istriku, Pa."A-duuh.Papa kontan saja memandangku yang tengah menepuk jidat. Aduh pusing sungguh aku pusing."Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya. Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga "Emp, ja-di," kataku. "Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga. Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa. "Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tol
"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong
Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar
Dia tak menjawab hanya diam saja. Aku heran kenapa ada orang seperti ini. Karena dia terus diam, akhirnya aku membonceng di belakangnya. Motor pun melaju pelan membelah jalanan yang sepi. Dinginnya angin membuatku bersidekap. Sepanjang jalan hanya kehengingan. Baik aku juga lelaki asing di depanku sama-sama diam. Sungguh ini begitu menyiksa. Aku akhirnya bisa bernapas lega saat kami memasuki Pekalongan. "Rumah itu, Pak," kataku. Tanganku terjulur lurus ke depan pas di samping tubuhnya. Motor akhirnya berhenti. "Saya mengantarmu hitung-hitung membalas kebaikanmu tadi pagi. Ternyata tadi pagi saya lupa tidak bawa dompet." "Iya, Pak Terima ka--" Belum selesai aku bicara, dia sudah melajukan kendaraannya pergi menjauh. Aku menggelengkan kepala, merasa begitu heran. Kok ada orang seperti itu, ya? Ah masa bodoh bukan urusanku. Aku segera melangkah ke halaman rumah Yana lalu mengetuk pintunya. Tok tok tok "Assalamualaikum." Dua kali ketukan, pintu mengayun membuka. Ayah Yana yang menya
"Jangan ragu, Din. Aku yakin, kok, Papa dan Mamamu pasti akan mengerti. Lebih baik kamu katakan aja semuanya terus terang, pertama kamu akan merasa lega dan gak akan terbebani lagi. Juga jika kamu bilang pada mereka, pasti akan ada yang melindungimu. Aku yakin kalau sampai Papamu tahu mengenai ini, Papamu pasti akan marah pada Om Angga." Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin bisa mengatakan semua ini pada Papa. Tapi mungkin yang dikatakan Yana benar, jadi aku harus mencobanya. Apa pun reaksi Papa dan Mama nantinya, yang penting aku bilang dulu. Om Pras mandangku lalu dia berdiri, melangkah keluar dari dapur. Dari sini terlihat ia memetiki daun singkong yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Bukan hanya daun singkong saja yang tumbuh di belakang rumah, juga ada cabai dan kangkung juga bayam dalam kalibet, membuat pandangan jadi segar karena hijaunya dedaunan. Langit berangsur terang. Cericit burung prenjak di kanan kiri rumah mulai terdengar. Yana yang baru selesai masak kini se
"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de
"Ma, bagaimana tanggapan Mama tentang angkat rahim?"Uhuk! Uhuk! Suamiku tersedak. Aku meraih gelas di dekatnya lalu mengulurkan padanya.Mama memandangku penuh tanya. Aku melanjutkan ucapanku."Jadi, Ma, aku punya temen dia baru nikah semalam."Uhuk! Uhuk! Mas Angga kembali tersedak. Dia menghela napas, lalu mengelap hidungnya uang sedikit berair dengan tisu."Baru aja dia sama suaminya itu selesai malam pertama, temenku itu masih merasakan sakit setelah malam pertama, tiba-tiba suaminya itu bilang, adik, kamu besok angkat rahim, ya, karena Mas sudah punya anak. Mas tidak ingin memiliki anak lagi. Itu akan sangat merepotkan.""Itu egois sekali namanya." Celetuk bunda dengan wajah geram."Benar, itu sangat egois." Ayah mengangguk membenarkan."Dan, mana bisa main angkat rahim, gitu, Din? Dokter mana yang mau mengoperasinya?""Pasti dokter yang gila uang lah, Ma. Jadi Ma, Bun, bagaimana tanggapan Mama dan Bunda pada cerita temanku itu? Temanku belum punya anak, eeeh suaminya yang kejam
POV AnggaAku menyetir dengan perasaan campur-aduk. Aku sudah menyusuri jalanan yang sepi juga gang-gang ikut kususuri namun aku tak menemukan sosok istriku itu. Lari ke mana, dia? Mobil yang kukendarai akhirnya berhenti di depan rumah Adinda, gerbang rumah megah itu tertutup rapat. Aku menyandarkan tubuh ke jok, memutuskan menunggu Adinda siapa tahu dia masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun cukup lama menunggu, Dinda tak juga muncul. Apa jangan-jangan, dia ke rumah Yana? Iya, itu bisa jadi. Tapi mana mungkin dia ke Pekalongan larut malam begini? Aku menghela napas, merasa begitu cemas. Aku akhirnya melajukan mobil menuju pasar Metro, terus melaju di jalanan menuju Pekalongan namun sama sekali tak menemukan sosok Adinda. Sepertinya, Adinda tidak mungkin ke rumah Yana. Sunyi begini, juga jauh, jadi tidak mungkin.Aku mengembuskan napas berkali-kali, akhirnya memutuskan kembali ke rumah dengan pikiran campur aduk. Bagaimana jika nanti Dinda mengadu pada Mama? Pada Papa? Atau justru