"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de
"Ma, bagaimana tanggapan Mama tentang angkat rahim?"Uhuk! Uhuk! Suamiku tersedak. Aku meraih gelas di dekatnya lalu mengulurkan padanya.Mama memandangku penuh tanya. Aku melanjutkan ucapanku."Jadi, Ma, aku punya temen dia baru nikah semalam."Uhuk! Uhuk! Mas Angga kembali tersedak. Dia menghela napas, lalu mengelap hidungnya uang sedikit berair dengan tisu."Baru aja dia sama suaminya itu selesai malam pertama, temenku itu masih merasakan sakit setelah malam pertama, tiba-tiba suaminya itu bilang, adik, kamu besok angkat rahim, ya, karena Mas sudah punya anak. Mas tidak ingin memiliki anak lagi. Itu akan sangat merepotkan.""Itu egois sekali namanya." Celetuk bunda dengan wajah geram."Benar, itu sangat egois." Ayah mengangguk membenarkan."Dan, mana bisa main angkat rahim, gitu, Din? Dokter mana yang mau mengoperasinya?""Pasti dokter yang gila uang lah, Ma. Jadi Ma, Bun, bagaimana tanggapan Mama dan Bunda pada cerita temanku itu? Temanku belum punya anak, eeeh suaminya yang kejam
POV AnggaAku menyetir dengan perasaan campur-aduk. Aku sudah menyusuri jalanan yang sepi juga gang-gang ikut kususuri namun aku tak menemukan sosok istriku itu. Lari ke mana, dia? Mobil yang kukendarai akhirnya berhenti di depan rumah Adinda, gerbang rumah megah itu tertutup rapat. Aku menyandarkan tubuh ke jok, memutuskan menunggu Adinda siapa tahu dia masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun cukup lama menunggu, Dinda tak juga muncul. Apa jangan-jangan, dia ke rumah Yana? Iya, itu bisa jadi. Tapi mana mungkin dia ke Pekalongan larut malam begini? Aku menghela napas, merasa begitu cemas. Aku akhirnya melajukan mobil menuju pasar Metro, terus melaju di jalanan menuju Pekalongan namun sama sekali tak menemukan sosok Adinda. Sepertinya, Adinda tidak mungkin ke rumah Yana. Sunyi begini, juga jauh, jadi tidak mungkin.Aku mengembuskan napas berkali-kali, akhirnya memutuskan kembali ke rumah dengan pikiran campur aduk. Bagaimana jika nanti Dinda mengadu pada Mama? Pada Papa? Atau justru
Mama yang mendengar ucapan Dinda ternganga tak percaya."Kamu ini bicara apa sih, Din?" tanya Mama keheranan. "Bukannya itu cerita temen kamu, kan?" tanya Mama lagi, bergantian menatapku dan Dinda. Aku tersenyum kecil. Bergerak cepat ke arah Dinda lalu merangkul pundaknya. "Sudahlah Sayang, jangan membuat surprise-surprisan buat Mas. Toh, ulang tahun Mas masih lama," kataku sambil tersenyum, mencoba menutupi bahwa aku sebenarnya ketakutan.Mama menggelengkan kepala."Ma, aku itu serius. Sebenarnya, yang aku ceritain tadi bukan kisah temen aku, Ma, tapi kisah Dinda sendiri. Mas Angga setelah malam pertama, dia minta aku angkat rahim," kata Dinda dengan wajah sungguh-sungguh. Dia terus menatap Mama. Aku tentu saja menggelengkan kepala mencoba menyangkal."Itu tidak benar, Ma," kataku. "Sayang apa kamu sedang membuat novel? Apa ini akan kamu jadikan novel?" tanyaku saat teringat hobinya menulis novel. Dia sering mengunggahnya di platfrom online.Dinda menggeleng. "Mas pintar cari pemb
"Aku yakin dengan bukti itu Mama pasti akan percaya.""Ide bagus itu, Din.""Iya, nanti aku mau chat dia setelah dapat kontrakan.""Kenapa gak coba jelasin ke Mama sekarang, Din? Jadi seandainya mamamu percaya, kan, kamu gak perlu cari kontrakan." Yana menatapku lewat spions."Kan bilangnya sama Mama bukan sama Papa, Yan. Papa aku gak boleh tau dulu mengenai ini karena kondisi Papa sedang drop. Aku gak mau gara-gara ini nanti Papa tambah sakit, secara walau papa kalau udah marah itu galak banget kayak setan, tapi aku tetep sayang sama Papa, Yan. Aku gak mau sampai Papa kenapa-napa.""Jadi tetap akan mengontrak, nih?" Yana lagi-lagi menatapku lewat spions."Iya, laaah." Aku menganggukkan kepala. "Soalnya kalau aku tinggal di rumah Papa, Papa pasti akan curiga karena aku tinggal di sana sementara Mas Angga enggak.""I-ya sih, Din. Bener juga." Yana menganggukkan kepala. Kami berputar-putar masuk keluar gang mencari kontrakan dan akhirnya dapat di belakang kampus, persis depan lapangan
POV Dinda"Ini bawain HP aku, Yan," kataku sambil mengedip pada Yana. Setelah itu, aku melangkah mendekat ke arah penjual kebab. Dia tengah mengiris daging yang tengah dipanggang dengan pisau panjang."Bang, kebab 3, yaa? Yang pedes banget." "Iya, Neng."Aku tersenyum lalu menuju penjual es tebu."Mbak, es tebunya 3, ya? Minum sini, aku duduk di belakang situ," kataku sambil menunjuk bangku kayu panjang di belakang gerobak kebab. Di meja depan bangku panjang terdapat teko juga beberapa gelas. Pasti sengaja disiapkan buat yang ingin makan di tempat. Setelah memesan, aku melangkah mendekati bangku itu dan duduk di samping Yana yang baru saja duduk. Yana kini membuka HPnya. "Sini, duduk sini, Mas." Sambil aku menatap ke arah suamiku. Aku menepuk-nepuk samping kananku, tatapanku mengisyaratkan agar Mas Angga duduk. Dia meletakkan plastik yang ditentengnya ke bawah lalu duduk."Aku dari tadi di Candra mencarimu, tapi kamu tidak ada." Mas Angga menoleh menatapku."Tadi, ke warung Padang
"To-loong!" Yana ikut berteriak juga. Sahabatku mencoba melepaskan tanganku tapi cengkeraman tangan Mas Angga pada pergelangan tanganku begitu kuat sampai kulitku terasa pedih rasanya. Kalau begini terus, bisa-bisa, aku dipaksa naik ke dalam mobilnya lalu di bawa ke rumah. Hiiii aku takut jangan sampai hal itu terjadi. Rumah Mas Angga yang tadinya begitu aku impikan untuk kutinggali karena aku sangat ingin menjadi istri Mas Angga tercinta, sekarang diajak ke rumah itu, aku bagai mau diajak masuk ke neraka. Ogah! Aku gak mau angkat rahim karena aku pengen punya anak dan aku dengan Mas Angga belum tentu bakal jodoh sampai maut memisahkan."To-loong! Pak, tolong aku, aku mau dicu-lik!" Aku lagi-lagi berteriak tapi sepertinya orang-orang tak ada yang mempercayai ucapanku. Ya, mungkin, tadi mereka memperhatikan aku mengobrol lama dengan Mas Angga jadi tak ada yang percaya.Dua orang lelaki berbadan tegap memakai seragam keamanan yang dari tadi memperhatikanku di pintu masuk Chandra, kulih
Lalu Mama mendorong kuat suamiku, membuat Mas Angga yang tengah membungkuk tampak kesakitan kini terjengkang jatuh."Kamu kira, aku ini percaya padamu, apa?! Enak sekali kamu sudah memerawani anakku, dengan seenaknya memintanya angkat rahim! Dasar lelaki gila, kamu!" Mama kembali menendang selangkangan Mas Angga, membuat Mas Angga meringis tampak begitu kesakitan karena burungnya terus ditendang oleh Mama.Mama meraih selang dan menyalakannya, mengarahkannya ke tubuh Mas Angga sampai tubuh suamiku basah kuyup. Aku terdiam menatap Mama yang begitu marah pada Mas Angga, Mama terus mengarahkan selang ke tubuh Mas Angga. Mata Mama basah oleh air mata dan kini ia tersengal kecil. Akhirnya, mama menjatuhkan selangnya ke bawah. "Kamu! Mulai detik ini, aku tidak menganggapmu menantu lagi! Pergi dari sini per-giii!" Teriakan Mama melengking memecah malam. Mas Angga mendekat lalu bersimpuh di kaki Mama, namun Mama menendangnya. "Angga akan datang ke sini besok, Ma," kata Mas Angga."Pergii!"
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"