POV Dinda"Ini bawain HP aku, Yan," kataku sambil mengedip pada Yana. Setelah itu, aku melangkah mendekat ke arah penjual kebab. Dia tengah mengiris daging yang tengah dipanggang dengan pisau panjang."Bang, kebab 3, yaa? Yang pedes banget." "Iya, Neng."Aku tersenyum lalu menuju penjual es tebu."Mbak, es tebunya 3, ya? Minum sini, aku duduk di belakang situ," kataku sambil menunjuk bangku kayu panjang di belakang gerobak kebab. Di meja depan bangku panjang terdapat teko juga beberapa gelas. Pasti sengaja disiapkan buat yang ingin makan di tempat. Setelah memesan, aku melangkah mendekati bangku itu dan duduk di samping Yana yang baru saja duduk. Yana kini membuka HPnya. "Sini, duduk sini, Mas." Sambil aku menatap ke arah suamiku. Aku menepuk-nepuk samping kananku, tatapanku mengisyaratkan agar Mas Angga duduk. Dia meletakkan plastik yang ditentengnya ke bawah lalu duduk."Aku dari tadi di Candra mencarimu, tapi kamu tidak ada." Mas Angga menoleh menatapku."Tadi, ke warung Padang
"To-loong!" Yana ikut berteriak juga. Sahabatku mencoba melepaskan tanganku tapi cengkeraman tangan Mas Angga pada pergelangan tanganku begitu kuat sampai kulitku terasa pedih rasanya. Kalau begini terus, bisa-bisa, aku dipaksa naik ke dalam mobilnya lalu di bawa ke rumah. Hiiii aku takut jangan sampai hal itu terjadi. Rumah Mas Angga yang tadinya begitu aku impikan untuk kutinggali karena aku sangat ingin menjadi istri Mas Angga tercinta, sekarang diajak ke rumah itu, aku bagai mau diajak masuk ke neraka. Ogah! Aku gak mau angkat rahim karena aku pengen punya anak dan aku dengan Mas Angga belum tentu bakal jodoh sampai maut memisahkan."To-loong! Pak, tolong aku, aku mau dicu-lik!" Aku lagi-lagi berteriak tapi sepertinya orang-orang tak ada yang mempercayai ucapanku. Ya, mungkin, tadi mereka memperhatikan aku mengobrol lama dengan Mas Angga jadi tak ada yang percaya.Dua orang lelaki berbadan tegap memakai seragam keamanan yang dari tadi memperhatikanku di pintu masuk Chandra, kulih
Lalu Mama mendorong kuat suamiku, membuat Mas Angga yang tengah membungkuk tampak kesakitan kini terjengkang jatuh."Kamu kira, aku ini percaya padamu, apa?! Enak sekali kamu sudah memerawani anakku, dengan seenaknya memintanya angkat rahim! Dasar lelaki gila, kamu!" Mama kembali menendang selangkangan Mas Angga, membuat Mas Angga meringis tampak begitu kesakitan karena burungnya terus ditendang oleh Mama.Mama meraih selang dan menyalakannya, mengarahkannya ke tubuh Mas Angga sampai tubuh suamiku basah kuyup. Aku terdiam menatap Mama yang begitu marah pada Mas Angga, Mama terus mengarahkan selang ke tubuh Mas Angga. Mata Mama basah oleh air mata dan kini ia tersengal kecil. Akhirnya, mama menjatuhkan selangnya ke bawah. "Kamu! Mulai detik ini, aku tidak menganggapmu menantu lagi! Pergi dari sini per-giii!" Teriakan Mama melengking memecah malam. Mas Angga mendekat lalu bersimpuh di kaki Mama, namun Mama menendangnya. "Angga akan datang ke sini besok, Ma," kata Mas Angga."Pergii!"
Cerai? Aku merinding mendengar kata itu. Masa baru nikah mau bercerai? Tapi jujur saja, aku saat ini takut banget dengan suamiku itu. "Aku takut jika kembali dengan Mas Angga, nanti saat aku tidur di dekatnya, nanti aku dibius lalu rahimku diangkat, Ma. Aku gak mau hal itu terjadi. Karena kan aku gak tau, kami akan jodoh sampai mati apa gak. Aku gak mau kembali nyesel, jadi aku mau milih jalan aman aja. Mungkin, lebih baik cerai aja, Ma."Mama terlihat sedih saat berkata. "Mama sebenarnya tidak suka pada perceraian, Din. Tapi, Angga menurut Mama, dia sangat tidak masuk akal. Buat apa menikah kalau tidak mau punya anak? Heran, Mama, dengan jalan pikirannya.""Mas Angga bilang, katanya anak-anak sangat merepotkan, Ma. Makanya Mas Angga gak mau punya anak lagi. Katanya dua anak aja cukup," jelasku menirukan ucapan Mas Angga.Mama menyentak napas keras. "Enak, sa-ja! Ya dia enak sudah punya anak. Sementara kamu?! Lihat saja kalau bertemu dengannya lagi, Mama pastikan tendang burungnya sa
POV Angga"Tidak papa, Bun." Kugelengkan kepala. Bunda menatapku dengan pandangan tak percaya. Begitu pun Sisil yang duduk di sebelahnya, menatapku dengan sebelah mata memicing."Gak papa kok basah gitu, Mas? Jalannya kayak kesakitan, kayak habis disunat." Tatapan Sisil tertuju ke wajahku lalu turun ke bawah, berlama-lama pada bagian bawah pusarku.Aku mendelik padanya. "Melihat apa, kamu?!" tanyaku yang merasa risih dengan tatapannya."Liatin Mas, lah. Masa liatin batu. Kan yang berdiri di depan aku adalah Mas bukannya batu," sahutnya cepat. Tanganku langsung nengibas-ngibas di depan wajahnya karena tatapannya tetap di bawah pusarku. "Pasti, deh, abis berantem dan 'itunya kena tendang, tuh, pasti. Ha, ha. Gimana? Enak, Mas, rasanya? Makanya jangan suka berantem," katanya sambil geleng-geleng. Bunda mendelik pada Sisil."Sisil, masnya sakit malah diketawain, sih, kamu ini. Ga, Dinda mana?" tanya Bunda sambil celingak-celinguk, lalu tatapannya berlama-lama ke arah mobilku."Dinda tida
"Tapi bunda suka, Ga!" Suara keras bunda membuatku tersentak dari lamunan. "Kamu ini, daritadi bunda perhatiin, kamu terlihat keberatan terus. Padahal kemarin sebelum kamu nikah dengan Dinda, katanya masalah resepsi terserah Bunda aja. Nah sekarang, sudah bunda urus semuanya, jadi tidak bisa dibatalkan begitu saja, Ga. Kalau dibatalkan, uang bunda akan hilang percuma, juga malu pada teman Bunda yang sudah terlanjur dikasih undangan. Kamu ini gimana sih, Ga! Jangan buat bunda pusing." Tangan Bunda mengibas-ngibas di depan wajahku lalu ia memijit-mijit keningnya.Sisil mencebik padaku. "Iya nih, Mas Angga. Seenak sendiri mau batalin! Gak tau, apa, bunda ke sana kemari buat urus semuanya?" Adik bungsuku itu menatapku dengan jengkel.Aku menghela napas. "Mas tidak bilang suruh batalin. Mas hanya bilang, tidak suka resepsi, itu saja. Lagian, ini bukan pernikahan pertama Angga, Bun, apa kata orang-orang nanti, Bun?" Dan juga, apa Mama Farida akan mengijinkan Dinda ikut denganku? Tatapan M
POV Dinda"Aah, ca-peknyaaaa," kataku sambil menjatuhkan tubuh di ranjang empuk. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, menatap langit-langit ruangan warna putih bersih.Sungguh rasanya, aku sangat lega karena sudah mengatakan semuanya pada Mama. Dan Mama pun percaya. Langkah selanjutnya adalah mengurus perceraian. Membayangkan tentang perceraian, tiba-tiba aku merasa sangat sedih. Aku dengan cepat menggeleng. Tidak! Tidak ada gunanya aku merasa sedih. Kenapa aku harus melow sementara Mas Angga saja tak punya perasaan padaku? Dia egoist hanya mementingkan diri sendiri. Jadi, aku tidak boleh sedih. Ini yang terbaik, tekanku dalam hati dan aku menarik napas panjang-panjang. Kurogoh saku celana lalu aku menelepon Yana. Langsung diangkat."Halo, Yan? Gimana? Apa kamu udah sampai rumah?" tanyaku."Aku udah sampai warung Padang, Din. Mau pulang bareng ayahku," sahutnya."Oh, gitu. Yaudah, aku hanya tanya aja.""Din, Din! Tunggu jangan dimatiin dulu!""Apa, Yan?" tanyaku, yang tadinya hendak
Begitu selesai makan, aku memberesi bekas bungkus-bungkus makanan lalu memasukkannya ke kotak sampah kecil di sudut teras yang penuh bunga-bunga. Kata Bu Delima pemilik kontrakan, tiap pagi akan ada tukang sampah yang akan mengambili sampah-sampah di sini. Juga akan ada Mbak-mbak yang membersihkan halaman. Mbak-mbak itu adalah asisten rumah tangganya. Jadi aku tidak perlu menyapu halaman, begitu katanya.Sebaiknya, aku segera beli gas di warung depan. Mumpung belum tutup. Aku pun menuju dapur, membungkuk depan gas, terdiam memandangi regulator. Nanti kalau dilepas, bakal meledak tidak, yaa? Kalau meledak, bisa mati, dong, a-kuuu. Membayangkannya aku bergidik sendiri. Aku belum siap mati. Juga kalau aku mati, pasti Papa dan Mama akan sedih sekali karena aku anak satu-satunya.Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, akhirnya aku memilih keluar kontrakan, berjalan pelan di halaman yang penuh dengan bunga warna-warni dan akhirnya aku mengetuk pintu rumah Bu Delima. Tak menunggu lam