POV Dinda"Aah, ca-peknyaaaa," kataku sambil menjatuhkan tubuh di ranjang empuk. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, menatap langit-langit ruangan warna putih bersih.Sungguh rasanya, aku sangat lega karena sudah mengatakan semuanya pada Mama. Dan Mama pun percaya. Langkah selanjutnya adalah mengurus perceraian. Membayangkan tentang perceraian, tiba-tiba aku merasa sangat sedih. Aku dengan cepat menggeleng. Tidak! Tidak ada gunanya aku merasa sedih. Kenapa aku harus melow sementara Mas Angga saja tak punya perasaan padaku? Dia egoist hanya mementingkan diri sendiri. Jadi, aku tidak boleh sedih. Ini yang terbaik, tekanku dalam hati dan aku menarik napas panjang-panjang. Kurogoh saku celana lalu aku menelepon Yana. Langsung diangkat."Halo, Yan? Gimana? Apa kamu udah sampai rumah?" tanyaku."Aku udah sampai warung Padang, Din. Mau pulang bareng ayahku," sahutnya."Oh, gitu. Yaudah, aku hanya tanya aja.""Din, Din! Tunggu jangan dimatiin dulu!""Apa, Yan?" tanyaku, yang tadinya hendak
Begitu selesai makan, aku memberesi bekas bungkus-bungkus makanan lalu memasukkannya ke kotak sampah kecil di sudut teras yang penuh bunga-bunga. Kata Bu Delima pemilik kontrakan, tiap pagi akan ada tukang sampah yang akan mengambili sampah-sampah di sini. Juga akan ada Mbak-mbak yang membersihkan halaman. Mbak-mbak itu adalah asisten rumah tangganya. Jadi aku tidak perlu menyapu halaman, begitu katanya.Sebaiknya, aku segera beli gas di warung depan. Mumpung belum tutup. Aku pun menuju dapur, membungkuk depan gas, terdiam memandangi regulator. Nanti kalau dilepas, bakal meledak tidak, yaa? Kalau meledak, bisa mati, dong, a-kuuu. Membayangkannya aku bergidik sendiri. Aku belum siap mati. Juga kalau aku mati, pasti Papa dan Mama akan sedih sekali karena aku anak satu-satunya.Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, akhirnya aku memilih keluar kontrakan, berjalan pelan di halaman yang penuh dengan bunga warna-warni dan akhirnya aku mengetuk pintu rumah Bu Delima. Tak menunggu lam
"Karena, tidak ada yang betah. Itulah kenapa kontrakan ini kosong. Tiap malam, akan terdengar cekikikan dan tangis kuntilanak di sini. Mungkin saja itu tangisan mahasiswi itu.""Kamu pasti bohong. Sengaja ngerjain aku, kan?!" kataku sambil berkacak pinggang. Bisa-bisanya malam-malam bercerita mistis begini. ."Mau percaya sana, gak pun gak papa. Tunggu saja nanti, Din. Pukul 12 malam, teeeet!"Lalu dia membalikkan badan pergi. Sepeninggalnya aku bergidik sendiri. Aku ragu-ragu masuk ke dalam kontrakan, menuju dapur. Gas sudah dipasang. Syukurlah.Karena penasaran ucapan Andika, aku pun mengecek kolong kursi juga meja, akhirnya aku kembali lagi ke kamar, mencoba memejamkan mata namun tak bisa tidur lagi.Akhirnya aku meraih HP, tidak ada pesan dari siapapun. Aku membaca percakapan terakhirku dan Mas Angga, lalu menghela napas panjang.Kenapa Mas Angga gak mengirimiku pesan, ya? Jujur walau aku memutuskan ingin berpisah, namun aku merasa hampa.Jariku menari di atas keyboard HP lalu men
POV DindaMas Angga menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin aku bicara saat ada dia. Ini privasi, Din! Tentang kita! Jadi, dia tidak boleh dengar!" kata Mas Angga tegas. Aku tertawa kecil, menatap Mas Angga dengan pandangan mencemooh dan lagi-lagi aku tertawa.Mas Angga tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku, aku langsung menepisnya."Gak, ah. Kalau Mas mau bicara, ya bicara aja! Tapi yang jelas, aku gak mau pisah dari Yana!" Tekanku. Di sebelahku, Yana mengangguk-angguk."Bener tuh, Din, kamu memang gak boleh pisah dari aku. Nanti kalau pisah, bisa-bisa kami dibopong sama dia seperti kemarin," timpal Yana sambil menatapku.Aku mengangguk setuju. "Iya bener, tuuh," sahutku, membuat Mas Angga menggelengkan kepala. Ia menatap Yana dengan pandangan tak senang. Sementara Yana, dia bersidekap memasang wajah angkuh. Ah senang sekali rasanya dia begitu melindungiku.Mas Angga menarik napas panjang, menatap Yana dengan sinis lalu menatapku."Kok kamu jadi berubah gini sih Sayang, pada
Aku nyengir kecil saat bertemu tatap dengannya. Dia letakkan plastik-plastik putih di dekatku lalu menjatuhkan boneka ke kakiku lalu,TAK!"Auw, Ma-aas!" Aku memegangi kepala. Cukup sakit juga dia menjitakku. Aku menatapnya dengan bibir mengerucut. Sesekali aku meringis."Gak ikhlas banget sih Mas beliin aku boneka?" Aku menatapnya dengan wajah cemberut."Bukan tidak ikhlas. Tapi kalau kamu bilang bahwa kamu ada di taman, aku tidak perlu jalan kaki dari Chandra ke sini panas-panasan. Begitu anak ma-niiis," katanya sambil mengusap-usap kepalaku dengan gemas.Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku."I-iih. Kan jadi berantakan, kaaan, rambut a-kuuu.""Kamu, katanya mau kuliah di IAIN, kenapa jilbabnya di lepas?" Dia duduk di sampingku lalu dengan cepat menarik gelas es boba di tanganku. "Kehausan, ya?" tanyaku saat melihatnya menyeruput es bobaku dengan cepat sampai bulatan-bulatan kecokelatan itu pun habis di makannya. Pasti dia lelah aku kerjain. Satu gelas es boba dalam plastik tr
"Ke rumah kamu apa ke kontrakanku, Yan?" tanyaku sambil menoleh menatapnya sekilas."Ke kontrakan kamu lah, Din. Motor aku kan ada di sana.""Oh ya bener. Lapar nih belum makan siang. Kita mau makan di warung makan apa pesen gojek aja, Yan?""Terserah kamu, Din.""Pesen aja ya, Yan?"Dia mengangguk.Aku merogoh saku androk mengeluarkan HP lalu memberikannya pada Yana agar dia memesan. Baru saja Yana akan menerimanya, benda di tanganku tiba-tiba berdering. Di layar HP tertera, Mama.Papa selalu mewanti-wanti, saat mengemudi gak boleh ngangkat telpon. Jadi aku memilih meminggirkan mobil terlebih dulu barulah menggeser simbol telepon warna biru ke atas."Halo, Ma," kataku."Din, kamu ke sini sekarang, ya?""Sekarang, Ma?""Iya, sekarang. Ada Bunda di sini.""Baiklah, Ma. Aku segera ke situ. Ini aku lagi di jalan.""Ya sudah, hati-hati dan jangan ngebut. Mama tunggu. Ingat, hati-hati dan jangan ngebut, Dinda.""Iya, Ma. Siap," sahutku. Sambungan telepon pun dimatikan oleh Mama. Aku langsu
Bunda mengangguk setuju. "Benar yang dikatakan Mama mertuamu, Ga. Kalau tidak cocok juga sampai Dinda akhirnya hamil, Ian dan Deri kan bisa tinggal sama Bunda. Ian dan Deri nurut, kok, sama Bunda.""Tujuanku menikah lagi, agar anak-anak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, Bun. Kalau anak-anak sama Bunda, mereka tidak akan merasakan kasih sayang seorang ibu."Hu-uuh! Mama menyentak napas keras, tangannya bersidekap. Ia menatap Mas Angga dengan sorot mengejek."Itu artinya, kamu hanya mikirin diri sendiri. Mama ini sebenarnya gak masalah loh seandainya Dinda tinggal sama anak-anakmu, ikut ngurus anak-anakmu! Tapi, Mama sangat sangat keberatan kalau kamu tidak mau punya anak!"Mas Angga diam saja. Bunda beranjak berdiri lalu duduk di samping kanan Mama. Bunda merangkul pundak Mama."Mungkin maksud Angga, dia belum ingin punya anak lagi, Ma. Begitu kan, Ga?" tanya Bunda sambil menatap anaknya itu tanpa kedip. Mas Angga menatap Mama, lalu mengangguk kecil. "Sekarang! Kemarin, tidak b
POV Dinda"Siapa yang akan cerai, Ma?" tanya Papa lagi. Mama menggeleng kecil."Tidak ada yang akan cerai, Pa." Mama yang kini berdiri di hadapan Papa tersenyum pada suaminya itu.Papa menatap Mama dengan wajah ragu. "Tadi papa seperti dengar, mama sebut kata cerai," ucap Papa."Oh, itu. Tadi, Mama sama Dinda sedang bahas novel Dinda, Pa." Mama mengedipkan mata padaku, untung Papa gak melihat.Papa memandangku dan aku dengan cepat mengangguk."Iya, Pa. Ja-di, aku sama Mama lagi bahas cerita yang mau aku UP di platfrom online gitu, Pa. Jadi, aku itu cerita sama Mama, kalau aku buat cerita baru. Tokoh ceweknya itu namanya Puspita. Saat suaminya ulang tahun, Puspita beri kejutan sama suaminya dengan ngaku hamil, suaminya kaget, terkena serangan jantung dan langsung ninggal. Nah, beberapa bulan kemudian, ibu mertuanya Puspita sama Mama Puspita, mereka jodohin Puspita sama Rasya kakak iparnya si Puspita. Jelas keduanya kaget, lah. Puspita gak suka sama kakak iparnya yang galak juga dingin,