Aku nyengir kecil saat bertemu tatap dengannya. Dia letakkan plastik-plastik putih di dekatku lalu menjatuhkan boneka ke kakiku lalu,TAK!"Auw, Ma-aas!" Aku memegangi kepala. Cukup sakit juga dia menjitakku. Aku menatapnya dengan bibir mengerucut. Sesekali aku meringis."Gak ikhlas banget sih Mas beliin aku boneka?" Aku menatapnya dengan wajah cemberut."Bukan tidak ikhlas. Tapi kalau kamu bilang bahwa kamu ada di taman, aku tidak perlu jalan kaki dari Chandra ke sini panas-panasan. Begitu anak ma-niiis," katanya sambil mengusap-usap kepalaku dengan gemas.Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku."I-iih. Kan jadi berantakan, kaaan, rambut a-kuuu.""Kamu, katanya mau kuliah di IAIN, kenapa jilbabnya di lepas?" Dia duduk di sampingku lalu dengan cepat menarik gelas es boba di tanganku. "Kehausan, ya?" tanyaku saat melihatnya menyeruput es bobaku dengan cepat sampai bulatan-bulatan kecokelatan itu pun habis di makannya. Pasti dia lelah aku kerjain. Satu gelas es boba dalam plastik tr
"Ke rumah kamu apa ke kontrakanku, Yan?" tanyaku sambil menoleh menatapnya sekilas."Ke kontrakan kamu lah, Din. Motor aku kan ada di sana.""Oh ya bener. Lapar nih belum makan siang. Kita mau makan di warung makan apa pesen gojek aja, Yan?""Terserah kamu, Din.""Pesen aja ya, Yan?"Dia mengangguk.Aku merogoh saku androk mengeluarkan HP lalu memberikannya pada Yana agar dia memesan. Baru saja Yana akan menerimanya, benda di tanganku tiba-tiba berdering. Di layar HP tertera, Mama.Papa selalu mewanti-wanti, saat mengemudi gak boleh ngangkat telpon. Jadi aku memilih meminggirkan mobil terlebih dulu barulah menggeser simbol telepon warna biru ke atas."Halo, Ma," kataku."Din, kamu ke sini sekarang, ya?""Sekarang, Ma?""Iya, sekarang. Ada Bunda di sini.""Baiklah, Ma. Aku segera ke situ. Ini aku lagi di jalan.""Ya sudah, hati-hati dan jangan ngebut. Mama tunggu. Ingat, hati-hati dan jangan ngebut, Dinda.""Iya, Ma. Siap," sahutku. Sambungan telepon pun dimatikan oleh Mama. Aku langsu
Bunda mengangguk setuju. "Benar yang dikatakan Mama mertuamu, Ga. Kalau tidak cocok juga sampai Dinda akhirnya hamil, Ian dan Deri kan bisa tinggal sama Bunda. Ian dan Deri nurut, kok, sama Bunda.""Tujuanku menikah lagi, agar anak-anak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, Bun. Kalau anak-anak sama Bunda, mereka tidak akan merasakan kasih sayang seorang ibu."Hu-uuh! Mama menyentak napas keras, tangannya bersidekap. Ia menatap Mas Angga dengan sorot mengejek."Itu artinya, kamu hanya mikirin diri sendiri. Mama ini sebenarnya gak masalah loh seandainya Dinda tinggal sama anak-anakmu, ikut ngurus anak-anakmu! Tapi, Mama sangat sangat keberatan kalau kamu tidak mau punya anak!"Mas Angga diam saja. Bunda beranjak berdiri lalu duduk di samping kanan Mama. Bunda merangkul pundak Mama."Mungkin maksud Angga, dia belum ingin punya anak lagi, Ma. Begitu kan, Ga?" tanya Bunda sambil menatap anaknya itu tanpa kedip. Mas Angga menatap Mama, lalu mengangguk kecil. "Sekarang! Kemarin, tidak b
POV Dinda"Siapa yang akan cerai, Ma?" tanya Papa lagi. Mama menggeleng kecil."Tidak ada yang akan cerai, Pa." Mama yang kini berdiri di hadapan Papa tersenyum pada suaminya itu.Papa menatap Mama dengan wajah ragu. "Tadi papa seperti dengar, mama sebut kata cerai," ucap Papa."Oh, itu. Tadi, Mama sama Dinda sedang bahas novel Dinda, Pa." Mama mengedipkan mata padaku, untung Papa gak melihat.Papa memandangku dan aku dengan cepat mengangguk."Iya, Pa. Ja-di, aku sama Mama lagi bahas cerita yang mau aku UP di platfrom online gitu, Pa. Jadi, aku itu cerita sama Mama, kalau aku buat cerita baru. Tokoh ceweknya itu namanya Puspita. Saat suaminya ulang tahun, Puspita beri kejutan sama suaminya dengan ngaku hamil, suaminya kaget, terkena serangan jantung dan langsung ninggal. Nah, beberapa bulan kemudian, ibu mertuanya Puspita sama Mama Puspita, mereka jodohin Puspita sama Rasya kakak iparnya si Puspita. Jelas keduanya kaget, lah. Puspita gak suka sama kakak iparnya yang galak juga dingin,
Papa dan Mama saling pandang, lalu mata keduanya sama-sama melebar."Yang benar?!" tanya keduanya begitu antusias.Aku mengangguk cepat. "Iya bener, lah, masa boong. Tinggal nunggu tes. Aku udah daftar sama Yana, Pa. Ma."Papa beranjak berdiri, menggeser kursi di sampingku, mendudukinya, lalu ia merangkul pundakku dengan erat. Mama juga ikut berdiri ,melakukan hal yang sama dengan Papa. Keduanya merangkulku lalu mencium pipiku dengan lembut. Aku tersenyum karenanya. Aku senang melihat keduanya tampak bahagia setelah sebelumnya aku membuat mereka sakit hati karena ancamanku ingin bunuh diri jika gak dibolehin nikah dengan Om Angga. Ah kalau dipikir-pikir aku emang udah keterlaluan banget pada Papa sama Mama. Walau aku selalu saja membuat keduanya susah, tapi keduanya tetap saja menyayangiku tanpa pamrih. Aku bersyukur banget memiliki keduanya, papa dan Mama yang selalu menyayangiku."Ini baru anaknya Papa." Papa kembali menciumku. Mama juga."Berarti kalau aku gak daftar kuliah, aku b
"Emp ... kontrakan Yana, Pa. Jadi biar gak kejauhan, Yana mau ngontrak dekat kampus," ucapku akhirnya. Aku sedikit was-was karena takut ketahuan."Memangnya pasti keterima sudah cari kontrakan?" tanya Papa dengan kening berkerut."Papa kayak gak tau aja otak Yana itu pinter, dia kan selalu di atasku nilainya ya jadi pasti bakal keterima, laah. Kalau gak keterima ya ke UM."Papa mengangguk. "Oh, begitu. Berapa sebulannya? Nanti Papa langsung bayar setahun."Waah, bakal balik banyak nih uangku yang udah kupakai buat bayar kontrakan. Maka dengan antusias aku menjawab,"Dua juta satu bulannya, Pa. Ada kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi.""Ya, ya, nanti langsung Papa transfer sekalian sama uang buat beli baju dan lainnya."Aku tersenyum senang. "Ditunggu, Pa, transferan uangnya. Yaudah aku pulang dulu. Pokoknya Papa harus jaga kesehatan, gak boleh makan goreng-gorengan, gak boleh mam terlalu asin, gak boleh mam sate ayam apalagi maem sate kambing, harus banyakin mam buah-buahan dan sayur
POV DindaYana menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat aku menjatuhkan tubuh di ranjang dengan kuat. Aku mendesah jengkel membayangkan kelakuan Andika barusan."Kenapa, sih, cemberut gitu?" tanya Yana, lagi-lagi memandangku dengan bibir mengulas senyum. "Itu manusia, ngeselin banget, Yan. Pengen rasanya aku, hi-iiih!" Tanganku mengepal kuat di udara. "Tendang dia sekuat yang aku bisa!" Lanjutku dengan gemas. Gemas ingin tendang dia. Yana tertawa kecil. Dia memandangiku dengan sisa senyum di bibirnya."Tadi aku liat, kamu tendang dia. Emang kenapa, kok, kamu tau-tau tendang dia, Din?" tanyanya tampak penasaran.Aku meraih satu baju lalu menempelkan ke tubuh. "Aku tendang dia karena aku jengkel sama dia, Yan. Ditanya baik-baik eh jawabnya ngeselin banget. Katanya dia gini, kamu naenyaaa? Kamu bertanya tanya-ee?" Sambil aku mengikuti gerak bibir Andika yang menjengkelkan saat dia mengatakan itu.Yana tertawa kecil."Kesel banget aku dengernya sampai rasanya ingin kutsbok, tu, m
"Andika, tidak boleh begitu," tegur Bu Delima. Andika menudingku."Dia sebentar-sebentar natap aku, Bu. Seperti tidak pernah lihat cowok ganteng saja!" ketusnya.Aku nganga. Hah pede sekali dia? Aku balas menudingnya. "Asal kamu tau, ya, suami aku lebih ganteng banget dari kamu. Kamu gak ada apa-apanya dibandingkan suamiku!" Balasku tak kalah sinis."Kamu udah nikah?" Andini tampak tak percaya."Udah," balasku. "Tapi, aku lagi ada masalah sama dia makanya aku ngontrak.""Nak, kalau sedang ada masalah itu, sebaiknya masalahnya segera diselesaikan," tutur Bu Delima. "Iya, Bu," sahutku. Andika menghela napas. "Aku sudah kenyang, Bu. Mau main." Dia beranjak berdiri. "Iya, pulang jangan malam-malam.""Iya," sahutnya. Tangannya terulur ke arah Bu Delima. "Kunci mobil Andika mana?"Bu Delima menatap Andini. "Jangan kasih, Ma, nanti dia kebut-kebutan lagi sama temennya. Heran, aku, hanya gara-gara putus sama pacarnya sampai berbuat bahayain nyawa sendiri. Otaknya sedang pindah ke dengkul,
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"