"Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya.
Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga"Emp, ja-di," kataku."Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga.Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa."Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tolong, Pa. Dinda adalah istri Angga sekarang. Dinda istri Angga jadi Papa tidak berhak main menjodohkan Adinda."Kening Papa semakin berkerut-kerut mendengar penuturan suamiku barusan. Sementara Mama melongo heran. Mampus deh, aku. Semua perhatian tertuju padaku sekarang yang saat ini hanya nyengir. Sesekali tanganku menggaruk-garuk rambut yang tak gatal."Sudah, sudah," kata Papa. "Jangan begini papa jadi risih. Duduk kamu di sana." Papa menunjuk ke arahku.Mas Angga menatap Papa dengan raut terlihat kecewa lalu ia beranjak berdiri, duduk di sebelahku."Coba sekarang jelaskan ada apa sebenarnya. Papa tidak mengerti ucapanmu sama sekali," kata Papa sambil memandang Mas Angga. Di sebelahnya, Mama mengangguk, ia kembali menyuap makanannya. Sementara Papa, dia meletakkan sterofoam di pangkuannya ke meja, pasti mengurungkan niat makan karena ucapan Om Angga membuatnya penasaran."Pa sudahlah, bukan hal yang penting jadi gak perlu dibahas lagi. Mas Angga, udah gak usah dijawab pertanyaan Papa," kataku yang takut ketahuan.Kalau ketahuan aku bohong, niiih, aku pasti diomelin Papa juga Mama. Dan Mas Angga pasti ya gak jadi cemburu."Oh, ya, Papa serius mau kuliahin Yana kan, Pa? Aku janji deh kalau Papa beneran kuliahin Yana sampai lulus, aku akan belajar yang bener. Aku usahain deh bisa masuk 10 besar di kelas atau bahkan lima besar," tuturku mencoba mengalihkan perhatian.Aku memang malas banget yang namanya sekolah, tapi kalau mau belajar pas jelang ulangan, aku selalu masuk 10 besar. Kuberi tahu, saat ujian kemarin, aku hanya belajar 5 hari saja, hasilnya ya masuk 10 besar walau belajarnya dadakan. Aku cepat memahami teori juga dengan mudah menghafal rumus-rumus. Tiap sekolah aku mendengarkan guru bicara dengan setengah hati karena aku sambil coret-coret buku gambar kartun, tapi aku tetap ingat penjelasan guru. Jadi kalau aku bilang bisa masuk 5 besar pada Papa, kalau aku mau berusaha pasti bisa. Orang belajar gak serius aja bisa masuk 10 besar."Yang benar kamu, Din?" tanya Mama dengan antusias. Matanya terlihat berbinar. Aku mengangguk dengan meyakinkan."Iya be-neeer. Yang penting 2 papa beneran janji mau kuliahin Yana sampai lulus, ya? Ya, ya?" Pintaku membujuk dan Papa pun mengangguk diiringi senyuman."Iya Papa janji, Dinda. Kamu tidak perlu janji pada Papa bisa masuk lima besar, yang penting kamu sudah mau kuliah saja Papa sudah senang," jawabnya."Makasih, Pa," ucapku sambil tersenyum. Akhirnya aku bisa mengalihkan perbicaraan yang membuat spot jantung. Selamat-selamat. Telapak tanganku bergerak turun naik di dada dan aku mengembuskan napas lega.Papa yang tadi menatapku, kini kembali memandang Mas Angga dengan raut penasaran."Jelaskan maksud ucapanmu tadi."Huuh. Aku mengembuskan napas. Gak jadi le-ga, deh. Aku memandang Mas Angga, tapi dia menatap Papa. Akhirnya aku menginjak kakinya membuatnya langsung menoleh menatapku."Ada apa?" tanyanya. Aku mengedip padanya, Mama memandangku dengan heran."Mau bicara apa?" tanya Mas Angga lagi. Sepertinya dia begitu jengkel padaku karena status WA yang dibacanya.Papa dan Mama mengernyit semakin heran."Angga, ayo katakan maksud ucapanmu tadi. Kalau tidak dikatakan, maka Papa tidak akan menerimamu sebagai menantu." Ucapan Papa ditujukan pada Mas Angga tapi tatapan Papa tertuju ke wajahku yang menghangat. Aku yakin nih wajahku pasti saat ini terlihat pucat sampai Papa juga Mama menatapku dengan ekspresi curiga begitu."Dinda bilang padaku ka-- ada apa?" Mas Angga langsung menoleh ke arahku yang barusan menginjak kakinya."Angga, ada apa? Apa yang Dinda katakan padamu sampai kamu bersikap aneh begini." Mama menelisik wajah Mas Angga.Mas Angga mengangguk. "Jadi, Dinda bilang pada Angga katanya--"Kuinjak lagi kaki suamiku membuatnya lagi-lagi menoleh memandangku."Ada apa, Angg?" tanya Mama tak sabar."Dinda injak-injak kaki Angga, Ma. Pa. Sepertinya Dinda tidak ingin Angga bicara."H-uuh! Aku mengembuskan napas, lalu menatapnya dengan bibir mengerucut. Yakin banget setelah dia bicara, aku pasti bakal diomeli Papa juga Mama."Lanjutkan!" Perintah Papa."Dinda, tidak boleh injak-injak kaki Angga!" Mama menatapku tajam. Aku menatap suamiku, dia balas menatapku. Aku mengerlingkan mata, isyarat supaya dia mengarang cerita saja. Karena kalau dia membicarakan kebohonganku, ya kami akan dimarah habis-habisan. Tapi sepertinya dia gak mudeng isyaratku. Kini dia sudah membuka mulut."Ya-na! Pinjam HP! Penting!" kataku membuat Mas Angga tak jadi berucap, ia memandangku.Dengan heran Yana memberikan HP-nya. HPku ada di kamar jadi kalau aku mengambilnya sekarang, pasti begitu kembali ,ke sini, Mas Angga sudah membicarakan semuanya.Aku dengan cepat mengetik pesan, dan tak lama kemudian terdengar notif pesan dari HP di saku celana Mas Angga. Dia merogoh saku celananya, menunduk membacanya.Jangan bilang hal ini pada Papa. Karang cerita lain saja nanti aku jelasin.Dia memandangku, aku nyengir saat Papa ikut memandangku.Aku tidak pintar mengarang. Dan aku juga mau menyadarkan papa dan Mama bahwa tindakannya menjodohkan adik adalah suatu kekeliruanPokoknya karang cerita nanti kujelaskan. Bilang saja Mas barusan bicara begitu karena sedang latihan apa, gituAku tidak pintar mengarang. Dan juga papa harus disadarkan jika kita sudah menikah bukan masih pacaran. Enak sekali main menjodohkanPapa menyipitkan mata bergantian menatapku dan Mas Angga."Apa yang kamu coba sembunyikan pada Papa, Din? Kamu juga, Angga. Kalau kamu tidak mau bicara, sekarang juga kamu Papa pecat jadi menantu Papa."Mama yang tengah mengunyah langsung tersedak-sedak. Papa memberi Mama air lalu mengerling pada Mama. Itu membuatku yakin Papa gak serius dengan ucapannya, sayang sekali Mas Angga tak melihat kedipan Papa barusan."Jadi, Pa, Dinda bilang pada Angga katanya, Papa sedang menjodohkannya dengan anak teman Papa. Jadi Angga mohon, Papa jangan teruskan perjodohan itu. Angga salah, Angga minta maaf.""Kamu salah apa?" tanya Papa dengan tatapan menyelidik.Aku mengeleng-geleng dengan tangan mengibas-ngibas cepat di udara. "Dia gak salah apa-apa, Pa. Gak salah sama sekali," ucapku cepat.Kalau sampai Papa tahu permintaan Mas Angga padaku, aku yakin banget banget, banget, Papa akan marah besar pada Mas Angga. Bisa-bisa, Papa akan membenci Mas Angga. Jujur saja walau permintaannya gak masuk akal bagiku, tapi aku cinta banget sama dia. Aku gak mau kehilangan dia pangeran hatiku. Aku akan sadarkan suamiku yang hati dan pikirannya sedang korslet. Jadi, aku gak ingin Papa sampai tahu."Jadi, Paaa," ucapku dengan buru-buru karena takut Mas Angga melanjutkan ucapannya. Andai dia pintar ngarang, aku pasti gak akan kelabakan begini."Jadi kan ini hari ulang tahun Mas Angga. Nah aku itu, mau kasih kejutan ke dia, gitu. Jadinya aku bohongin dia. Mengatakan kalau Papa mau jodohin aku dengan anak teman Papa. Gitu, Pa. Gi-tu, Ma. He, he." Aku nyengir saat secara tak sengaja beradu tatap dengan Mas Angga. Ketahuan bo-hong, deh, a-kuu. Tapi gak papalah, yang penting Papa dan Mama aman dulu. Masalah kami kan bisa diselesaikan nanti."Tapi bukannya Angga itu ulang tahun tanggal 30, ya? Mama baca kemarin aktanya tgl 30?" tanya Mama.A-duuh, bodohnya aku ngarang tanpa dipikir. Ya untunglah aku pintar ngarang, jadi masalah ini gampang."Ya kan aku sengaja kasih kejutan jauh-jauh hari, gitu, Ma. He, he. Jadi ketahuan deh, kejutanku. He he." Aku tersenyum walau gak lucu. Semoga saja aku tak terlihat gugup. Aku nyengir saat bersitatap dengan Mas Angga yang terlihat jengkel."Oh begitu rupanya. Papa kira ada apa." Papa menarik napas lega."Gak ada apa-apa, Pa," ucapku.Papa dan Mama mengangguk. "Mbok, simb-oook. Tolong buatkan Angga dan Yana teh."Tak lama, simbok datang menghampiri."Ya, Pak, ada apa?""Tolong buatkan Yana dan Angga teh. Yana mau teh apa susu?" tanya Papa sambil menatap sahabatku."Teh aja, Om.""Kamu, Ang?" Papa ganti menatap Mas Angga."Teh saja, Pa.""Teh, Mbok," kata Papa. Dia mengambil kotak sterefoamnya lalu meraih sendok kecil di dalamnya lalu mulai menyuap. Aku mengambil kotak terakhir dan membukannya."Wah kesukaanku nih, Yan. Mas Angga mau?" tanyaku. "Kalau mau, adik Dinda suapin, deh. Mau, gak?" tanyaku.Mas Angga tersenyum, mungkin karena aku memanggil diriku sendiri dengan sebutan Adik Dinda. Bukan hanya Mas Angga saja, Mama dan Yana juga tersenyum. Sementara Papa hanya menggelengkan kepala. Ya maklum, lah, papa kan tadinya menentang rencana pernikahan kami habis-habisan, jadi aku gak bisa memaksanya untuk langsung menyukai suamiku seperti peri bilang, bim salabim! maka langsung suka. Semua butuh proses dan waktu. Pelan-pelan, Papa dan Mama pasti akan menyukai Mas Angga sebagai menantunya.Simbok datang membawa nampan berisi dua gelas teh yang mengepulkan uap tipis ke udara juga dua toples kacang bawang, dia letakkan di meja lalu tangannya bergerak mempersilakan. Setelah itu, simbok pamit undur diri.Papa menyuap dan mengangguk-angguk. "Enak sekali masakan ayahmu, Yan.""Besok kita ke sana ya, Pa?" Mama memandang Papa. Papa mengangguk-angguk."Iya, Ma. Iya."Yana tersenyum. Wajahnya terlihat berseri. Mungkin karena Papa memuji masakan ayahnya juga mau menguliahkannya."Aku juga besok ke sana juga, Yan." Aku menimpali. "Mas Angga juga mau ikut?" tanyaku sambil mengunyah membuat suaraku tak begitu jelas. Tapi untunglah dia menangkap perkataanku."Iya, boleh," sahutnya sambil menganggukkan kepala."Acara ulang tahunnya sudah selesai?" tanya Papa tiba-tiba.Uhuk-uhuk! Aku tersedak-sedak sampai pundakku berguncang-guncang. Rasa panas terasa di tenggorokan dan hidungku sedikit berair. Ya, am-puuun, apalagi ini. Perasaan hari ini gak tenang banget, deh."Apa, Pa?" tanya Mas Angga seolah salah dengar."Ulang tahun. Kamu kan menghadiri ulang tahun di warung makanmu sampai biarkan Dinda ke sini sendiri. Padahal baru kemarin nikah. Bukannya pergi bulan madu malah sudah sibuk kerja. Benar-benar tidak romantis," kata Mama, ia menatap jengkel Mas Angga. Aku nyengir saat bertemu tatap dengan suamiku."Jangan dimarah, Ma. Aku gak masalah, kok. Kita memang mau pergi bulan madu, kok. Ya gak, Mas Angga?" tanyaku memandangnya."Iya."Yana menatap jam di pergelangan tangannya, lalu dia memandangku."Gak kerasa udah siang aja. Aku pulang dulu ya, Din?""Duuuh, kok udah mau pulang aja, Yan?" Aku menatapnya keberatan."Padahal baru aja datang." Lanjutku."Udah dari tadi kali, Din. U-daaah, nanti kita lanjut WA-an. Jam 2 nanti aku mau bantuin ayah karena ada pesanan nasi 70 kotak, Din.""Oh, gitu. Baiklah." Aku mengangguk mengerti. Yana menyalami Papa dan Mama lalu melambaikan tangan padaku. Setelah itu dia melangkah keluar rumah."Papa dan Mama ada acara jam 1 nanti, karena acaranya di Tanggerang jadi harus berangkat sekarang. Mama tinggal ya, Din? Tidak papa, kan?" tanya Mama sambil beranjak berdiri."Iya, Ma. Gak papa, kok.""Ayo, Pa." Ajak Mama. Papa menutup kotak sterofoamnya yang isinya baru habis dan berdiri. Keduanya masuk ke dalam mungkin hendak berganti baju, meninggalkanku dan Mas Angga yang kini pandang-pandangan."He he, kenapa, Mas?" Aku nyengir kecil karena dia terus memperhatikanku. Sebegitunya. Padahal kan aku hanya bohong kecil saja. Sementara permintaannya padaku itu, hu-aah, besar banget. Ini adalah PR-ku menyadarkannya hati dan pikirannya yang korslet. Tapi bisa gak, yaa?"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong
Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar
Dia tak menjawab hanya diam saja. Aku heran kenapa ada orang seperti ini. Karena dia terus diam, akhirnya aku membonceng di belakangnya. Motor pun melaju pelan membelah jalanan yang sepi. Dinginnya angin membuatku bersidekap. Sepanjang jalan hanya kehengingan. Baik aku juga lelaki asing di depanku sama-sama diam. Sungguh ini begitu menyiksa. Aku akhirnya bisa bernapas lega saat kami memasuki Pekalongan. "Rumah itu, Pak," kataku. Tanganku terjulur lurus ke depan pas di samping tubuhnya. Motor akhirnya berhenti. "Saya mengantarmu hitung-hitung membalas kebaikanmu tadi pagi. Ternyata tadi pagi saya lupa tidak bawa dompet." "Iya, Pak Terima ka--" Belum selesai aku bicara, dia sudah melajukan kendaraannya pergi menjauh. Aku menggelengkan kepala, merasa begitu heran. Kok ada orang seperti itu, ya? Ah masa bodoh bukan urusanku. Aku segera melangkah ke halaman rumah Yana lalu mengetuk pintunya. Tok tok tok "Assalamualaikum." Dua kali ketukan, pintu mengayun membuka. Ayah Yana yang menya
"Jangan ragu, Din. Aku yakin, kok, Papa dan Mamamu pasti akan mengerti. Lebih baik kamu katakan aja semuanya terus terang, pertama kamu akan merasa lega dan gak akan terbebani lagi. Juga jika kamu bilang pada mereka, pasti akan ada yang melindungimu. Aku yakin kalau sampai Papamu tahu mengenai ini, Papamu pasti akan marah pada Om Angga." Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin bisa mengatakan semua ini pada Papa. Tapi mungkin yang dikatakan Yana benar, jadi aku harus mencobanya. Apa pun reaksi Papa dan Mama nantinya, yang penting aku bilang dulu. Om Pras mandangku lalu dia berdiri, melangkah keluar dari dapur. Dari sini terlihat ia memetiki daun singkong yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Bukan hanya daun singkong saja yang tumbuh di belakang rumah, juga ada cabai dan kangkung juga bayam dalam kalibet, membuat pandangan jadi segar karena hijaunya dedaunan. Langit berangsur terang. Cericit burung prenjak di kanan kiri rumah mulai terdengar. Yana yang baru selesai masak kini se
"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de
"Ma, bagaimana tanggapan Mama tentang angkat rahim?"Uhuk! Uhuk! Suamiku tersedak. Aku meraih gelas di dekatnya lalu mengulurkan padanya.Mama memandangku penuh tanya. Aku melanjutkan ucapanku."Jadi, Ma, aku punya temen dia baru nikah semalam."Uhuk! Uhuk! Mas Angga kembali tersedak. Dia menghela napas, lalu mengelap hidungnya uang sedikit berair dengan tisu."Baru aja dia sama suaminya itu selesai malam pertama, temenku itu masih merasakan sakit setelah malam pertama, tiba-tiba suaminya itu bilang, adik, kamu besok angkat rahim, ya, karena Mas sudah punya anak. Mas tidak ingin memiliki anak lagi. Itu akan sangat merepotkan.""Itu egois sekali namanya." Celetuk bunda dengan wajah geram."Benar, itu sangat egois." Ayah mengangguk membenarkan."Dan, mana bisa main angkat rahim, gitu, Din? Dokter mana yang mau mengoperasinya?""Pasti dokter yang gila uang lah, Ma. Jadi Ma, Bun, bagaimana tanggapan Mama dan Bunda pada cerita temanku itu? Temanku belum punya anak, eeeh suaminya yang kejam
POV AnggaAku menyetir dengan perasaan campur-aduk. Aku sudah menyusuri jalanan yang sepi juga gang-gang ikut kususuri namun aku tak menemukan sosok istriku itu. Lari ke mana, dia? Mobil yang kukendarai akhirnya berhenti di depan rumah Adinda, gerbang rumah megah itu tertutup rapat. Aku menyandarkan tubuh ke jok, memutuskan menunggu Adinda siapa tahu dia masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun cukup lama menunggu, Dinda tak juga muncul. Apa jangan-jangan, dia ke rumah Yana? Iya, itu bisa jadi. Tapi mana mungkin dia ke Pekalongan larut malam begini? Aku menghela napas, merasa begitu cemas. Aku akhirnya melajukan mobil menuju pasar Metro, terus melaju di jalanan menuju Pekalongan namun sama sekali tak menemukan sosok Adinda. Sepertinya, Adinda tidak mungkin ke rumah Yana. Sunyi begini, juga jauh, jadi tidak mungkin.Aku mengembuskan napas berkali-kali, akhirnya memutuskan kembali ke rumah dengan pikiran campur aduk. Bagaimana jika nanti Dinda mengadu pada Mama? Pada Papa? Atau justru
Mama yang mendengar ucapan Dinda ternganga tak percaya."Kamu ini bicara apa sih, Din?" tanya Mama keheranan. "Bukannya itu cerita temen kamu, kan?" tanya Mama lagi, bergantian menatapku dan Dinda. Aku tersenyum kecil. Bergerak cepat ke arah Dinda lalu merangkul pundaknya. "Sudahlah Sayang, jangan membuat surprise-surprisan buat Mas. Toh, ulang tahun Mas masih lama," kataku sambil tersenyum, mencoba menutupi bahwa aku sebenarnya ketakutan.Mama menggelengkan kepala."Ma, aku itu serius. Sebenarnya, yang aku ceritain tadi bukan kisah temen aku, Ma, tapi kisah Dinda sendiri. Mas Angga setelah malam pertama, dia minta aku angkat rahim," kata Dinda dengan wajah sungguh-sungguh. Dia terus menatap Mama. Aku tentu saja menggelengkan kepala mencoba menyangkal."Itu tidak benar, Ma," kataku. "Sayang apa kamu sedang membuat novel? Apa ini akan kamu jadikan novel?" tanyaku saat teringat hobinya menulis novel. Dia sering mengunggahnya di platfrom online.Dinda menggeleng. "Mas pintar cari pemb