"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat.
"He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas."Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis."Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku."Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda.""Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh."Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?""A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu.""Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh.Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dongker, sementara Mama mengenakan kebaya biru senada dengan jilbab yang dikenakannya."Din, mama berangkat dulu, ya? Mungkin Mama pulangnya malaman. Jadi kalau mau pulang tinggal pulang saja. Tidak perlu nunggu Mama pulang.""Mama ngusir niiih, ceritanya? Anak satu-satunya lagi main kok, diusir. Hu-aaa, aku jadi mau nangis, nih."Papa berjalan cepat mendekat lalu menjitak kepalaku. "Sudah punya suami masih kekanak-kanakan," katanya. "Kapan kamu dewasanya?" Papa menggelengkan kepala sementara aku mengerucutkan bibir."Nanti kapan-kapan," balasku dengan tatapan ke arah Papa. Lalu tatapanku berpindah pada Mama."Mama masa ngusir aku, Ma?"Mama menggeleng. "Siapa yang ngusir, Din? Mama gak ngusir kamu sama sekali. Memangnya kamu tidak ingin pulang? Kan kamu sudah menikah sekarang, Din?"Aku menggeleng cepat. "Aku gak pulang, Ma. Aku mau nginep di sini satu bulan."Ucapanku membuat wajah suamiku seketika menegang. Papa dan Mama berpandangan."Kamu dan Angga mau menginap di sini satu bulan, begitu?" tanya Mama dengan heran. "Ya tidak papa, mama justru senang." Bibir Mama merebak lebar. Mas Angga nenggeleng. Tangannya menyentuh tanganku, menggengamnya."Kan kamu sudah jadi istriku. Jadi ya tinggal di rumah kita, Sayang." Dia menatapku lembut. Pasti karena ada Papa dan Mama nih dia bersikap manis begini. Padahal tadi itu dia amat menjengkelkan."Gak, ah, aku pengen nginap di rumah Mama satu bulan," kataku dengan sengaja. Yaa kecuali kalau dia tidak akan memaksaku angkat rahim baru, deh, aku mau tinggal kembali di rumahnya.Papa dan Mama berpandangan lalu sama-sama menggelengkan kepala."Dinda," kata Papa dan Mama bersamaan. Kompak banget ya ampun orang tuaku ini."Namanya kamu sudah menikah dengan Angga, jadi kamu ya tinggal di rumah suamimu. Mama bukannya gak bolehin kamu nginap, tentu saja boleh, Nak." Sambil Mama berjalan mendekat lalu mengusap rambutku yang tergerai penuh sayang."Mama bolehin kamu nginap kalau suamimu bolehin kamu nginap. Lagian kan kamu sudah jadi istrinya Angga, jadi ya ikut suami kamu." Imbuh Mama.Tatapan suamiku terlihat penuh kemenangan. Pasti merasa di atas angin, dia, karena Papa juga Mama membelanya. Tapi aku tentu saja tidak mau bunuh diri dengan begitu saja mengiyakan ajakan Mas Angga kembali ke rumah. Nanti kalau dia menyuruhku angkat rahim lagi gimana, coba? Atau yang mengerikan nih, ya, aku dipaksa ke rumah sakit buat angkat rahim. Hiii, ngeri. Aku bergidik sendiri. Angkat rahim menurutku sama aja dengan bunuh diri. Karena dengan angkat rahim, aku jadi tidak akan pernah punya anak. Aku kan ya pengen punya anak yang keluar dari rahimku sendiri, bukan anak yang keluar dari rahim orang lain. Papa dan Mama juga pasti ingin memiliki cucu."Tapi kalau Angga mau menginap di sini, ya tentu saja Mama ijinkan kamu menginap," kata Mama sambil menatap Mas Angga yang perlahan menggeleng."Maaf, Ma, Angga tidak bisa menginap nanti malam."Mama mengangguk."Ya sudah kalau begitu. Din, Mama pergi dulu. Ayo, Pa." Mama menggandeng tangan Papa. Aku menatap keduanya yang berjalan keluar menuju halaman rumah dengan dongkol.Mentang-mentang udah nikah, gak boleh nginap kecuali bareng suami. Huah, ribet Mama, ni. Andai saja mereka tahu alasan dibalik aku ingin nginap satu bulan di sini, aku yakin banget Mama bukan hanya mengijinkanku menginap satu bulan, tapi pasti selama-lamanya boleh alias, baik Papa juga Mama ingin aku dan Mas Angga end. Namun aku masih berharap suamiku berubah pikiran. Gak lucu kalau baru nikah langsung udahan. Keenakan Mas Angga, dong, udah malam pertama mau pisah gitu aja. Tapi kalau dia gak mau berubah pikiran ya apa boleh buat, aku pasti akan milih selesai walau pasti akan sangat menyakitkan.Aku memandang suamiku yang tengah senyum-senyum sendiri. Kegantengan banget walau memang ganteng, siih."Apa?" tanyaku."Tidak papa," balasnya."Ayo, kita pulang sekarang." Ajaknya sambil beranjak berdiri lalu dia mengulurkan tangan. Aku membiarkan tangannya terus terulur di udara.Aku mendongak memandangnya. "Enggak mau. Kecuali kalau Mas gak akan maksa aku buat angkat rahim baru, deh, aku mau ikut pulang.""Jangan kekanak-kanakkan begini, Din. Kita pulang sekarang. Ayo." Dia kali ini menggenggam tanganku."Tapi janji dulu, Mas gak akan maksa aku buat angkat rahim. Janji?""Kita bicarakan itu nanti saja, nanti kita bicara dari hati ke hati.""Apa Mas gak akan maksa aku buat angkat rahim?" Tatapku."Nanti kita bicarakan dari hati ke hati," jawabnya. "Sekarang kita pulang lalu siap-siap.""Siap-siap ke mana?" tanyaku penasaran."Ke rumah bunda. Bunda tadi datang, katanya habis magrib kita di suruh ke sana karena pakde, saudara Mas yang dari Jakarta datang.""Oh, gitu.""Iya. Ayo, pulang.""Aku mau pulang kalau Mas gak akan maksa aku buat angkat rahim. Kalau Mas tetap maksa ya aku gak mau ikut Mas pulang," jawabku.Dia menghela napas. "Bunda menyuruh kita datang, Din, habis magrib. Bunda pasti akan mengomel jika kita tidak datang.""Iya, aku mau ikut ke rumah bunda kalau Mas mau janji padaku gak akan nyuruh aku angkat rahim lagi.""Nanti kita bicarakan setelah pulang dari rumah bunda.""Gak mau. Kalau Mas gak mau janji, aku gak mau ikut Mas.""Tadi dengar kan ucapan Mama, bahwa Mama tidak ijinkan kamu menginap di sini tanpa seijinku? Masih ingat, kan?" Tatapan Mas Angga yang penuh kemenangan membuatku jengkel."Inget, lah. Masih muda aku belum pikun.""Nah, kalau begitu ayo, pulang. Memangnya kamu tinggal di mana jika bukan ikut Mas?" Tatapnya angkuh.Aku tertawa kecil, bersidekap dan balas menatapnya angkuh. "Mas kira aku bodoh, ya? Aku mah gampang mau tinggal di mana aja. Di rumah Yana bisa, cari kontrakan juga bisa.""Dinda, jangan kekanak-kanakkan.""Mas juga jangan egois. Kalau Mas gak ingin punya anak, maka Mas aja yang steril, kalau gak mau steril yaudah. Udah ah aku mau bobok." Aku beranjak berdiri lalu melangkah cepat menuju kamar. Mas Angga mengejarku. Aku masuk, dia pun ikut masuk."Ayo, pulang. Nanti kita bicarakan.""Gak mau. Pasti Mas bakalan maksa aku buat angkat rahim.""Dinda, ingat siapa yang dulu nembak aku?"Tanganku menuding dadaku sendiri. "Aku.""Nah. Kenapa setelah menikah kamu jadi seperti ini? Dulu kamu tidak pernah melawan dan selalu menuruti ucapanku."Aku menatapnya, lalu mengembuskan napas pelan."Karena aku gak tau Mas bakal seperti ini. Kalau Mas tetep nyuruh aku angkat rahim, yaudah deh kita udahan aja.""Dinda, tidak semudah itu mau selesai.""Tadi pagi Mas bilang begitu, kan? Masa Mas lupa ucapan Mas sendiri, sih?" Tatapku.Dia menarik napas panjang. "Baiklah. Mas tidak akan memaksamu angkat rahim lagi. Sekarang, ayo kita pulang.""Janji?" Aku mengulurkan tangan. Dia memandangku, lalu perlahan menyambut uluran tangan istrinya ini."Ya." Dia mengangguk, tapi tatapannya terlihat tak yakin. Aku menatapnya menelisik. Kok aku gak yakin, ya?"Ayo, kita pulang sekarang. Habis magrib kita ke rumah Bunda.""Tapi beneran janji, kan, gak akan nyuruh aku angkat rahim lagi?""Iya."Walau ia sudah bilang iya, tapi tetap saja aku tak percaya"Ayo." Dia menggenggam tanganku, aku mengikutinya keluar kamar dengan perasaan was-was. Semoga ini hanya perasaanku saja. Ya semoga saja Mas Angga benar-benar menepati ucapannya.Aku membuka pintu mobil lalu masuk, Mas Angga pun menyusul masuk. Sepanjang jalan menuju rumah, kami diam-diaman. Sesekali aku menoleh memandangnya, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa yang yang sedang dipikirkannya, ya? Semoga saja bukan hal buruk.Mobil berhenti di halaman rumah. Mas Angga melepas sabuk pengamannya, begitu pun aku."Mas?""Ya?" Dia menoleh."Mas seperti sedang memikirkan sesuatu." Tetapi pertanyaan itu hanya tersangkut di tenggorokanku. Ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku pun menggeleng."Gak jadi.""Ya sudah. Kalau begitu, kita segera mandi lalu ke rumah bunda," katanya."Iya." Aku tersenyum lantas mengangguk. Membuka pintu mobil dan turun.***"Akhirnya menantu bunda datang ju-gaaa." Sambut bunda di ambang pintu. Dia menatapku dengan senyum terkembang. Aku mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangannya, begitupun Mas Angga."Ayo, masuk." Ajak bunda sambil menggandengku masuk ke dalam. Kami langsung diajak menuju ruang makan di mana ayah Mas Angga, seorang lelaki paruh baya dan perempuan berpakaian modis yang sepertinya istrinya sedang duduk di kursi."Dia adalah pakdenya Angga, Din. Masnya bunda," ucap bunda memperkenalkan. Tatapannya tertuju pada lelaki berperawakan tambun yang duduk persis di samping ayah. Aku pun mengulurkan tangan dan tersenyum ramah padanya. Setelah itu mencium tangan ayah."Mbak Din-daaa," ucap Sisil sambil melambaikan tangan. Dia langsung memelukku begitu dekat."Tadi aku ke rumah, mbak gak ada," kata Sisil sambil duduk. Aku dan Mas Angga menyusul duduk."Iya tadi, aku ke rumah Mama," jawabku menatapnya tak nyaman. Jujur saja aku risih dipanggil Mbak olehnya karena umurnya tua dia. Tapi karena aku menikah dengan kakaknya, jadi ya sudahlah."Ardy ke mana? Kok bunda tidak lihat dia dari tadi, Sil?" tanya Bunda sambil menyendok nasi di tengah meja, meletakkan ke piring setelah itu memberikan pada ayah."Gak tau, Bun. Mungkin keluyuran sama anaknya," jawab Sisil tak acuh sambil meraih salak di tengah meja. Dia mengulurkannya pada Mas Angga."Kupasin.""Dasar manja," kata Mas Angga sambil meraih salak yang diulurkan Sisil. Aku tersenyum melihatnya. Jadi ingat kelakuanku sendiri. Tapi kalau aku bukan minta dikupasin salak, melainkan minta dikupasin nanas."Ian dan Deri mana? Kok bunda juga gak lihat, Sil?" tanya Bunda lagi."Udah tidur, Bun, mereka. Sepertinya kelelahan habis jalan-jalan seharian."Bunda mengangguk. "Oh, gitu." Lalu bunda menatap kakaknya."Maaf ya, Mas, si Ardy pasti sedang jalan-jalan dengan anaknya. Sejak istrinya meninggal karena tenggelam, Ardy ya begitulah, dia sangat depresi," jelas Bunda."Iya tidak papa. Mas maklum," jawab pakde.Dari aku dekat dengan Mas Angga sampai kini menjadi istrinya, aku tidak pernah bertemu dengan adik Mas Angga yang bernama Ardy itu. Saat ijab kabul kemarin, hanya ayah, bunda, juga Sisil yang datang, sementara yang bernama Ardy aku tak melihat sama sekali. Di ruang keluarga juga di ruang tamu tak ada satu pun foto Ardy. Aku pernah menanyakan pada Mas Angga kenapa adik keduanya tak pernah ada di foto yang dipajang di ruang keluarga, bahkan di album pun tak ada. Katanya, adik keduanya itu tak pernah mau diajak foto. Apa mungkin gak akur atau gimana, entahlah."E-eeh, Dinda kok malah bengong. Ayo, makan," kata Bunda."Iya, Bun. Ini mau makan," jawabku sambil mengangguk.Kami makan sambil sesekali berbincang. Ayah mertuaku juga Pakde Mas Angga ternyata begitu humoris orangnya, membuatku yang sedikit tak nyaman jadi tak merasa tegang lagi. Akhirnya pukul sepuluh malam Mas Angga pun pamit."Tidak menginap di sini saja, Ga?" tanya Bunda. Bunda terlihat keberatan kami akan pulang."Tidak, Bun. Lain kali saja menginap," jawab Mas Angga."Kalau senggang main-main ke sini, Din." Bunda memandangku.Aku mengangguk. "Iya, Bun.""Aku pulang dulu, Bun. Assalamualaikum," ucap Mas Angga."Waalaikum salam," jawab bunda dan ayah. Aku dan Mas Angga pun melangkah menuju mobil. Tanpa membuang waktu, Mas Angga segera melajukan kendaraannya meninggalkan rumah bunda."Mas?""Iya?" jawab Mas Angga tanpa menoleh."Adik Mas yang namanya Ardy itu, aku penasaran, deh. Kenapa kok kayaknya, dia gak mau membaur sama kita, ya?""Yaa memang begitu, dia. Dari dulu selalu menyendiri," jawabnya. Dia terus menatap ke jalanan yang lengang."Emp, aku pun gak pernah ngeliat fotonya di ruang keluarga. Bahkan di album pun aku gak pernah ngeliat yang namanya Ardy," kataku."Kan Mas pernah bilang, dulu, dia tidak pernah mau difoto.""Mas gak punya fotonya sama sekali, gitu?" Aku pernah lihat-lihat galeri di HP-nya dan sama sekali tak ada fotonya dengan yang namanya Ardy. Galerinya penuh dengan fotonya dan kedua anaknya, juga ada foto bunda, Sisil dan mantan istri-istrinya tapi tak ada satupun foto Ardy. Menurutku, itu hal yang aneh."Tidak," jawabnya."Masa saudara kandung gak punya fotonya sama sekali, Mas?""Tidak," jawabnya. "Hanya ayah yang menyimpan fotonya.""Oh gitu," jawabku. Walau penasaran kenapa yang lain tak memiliki foto Ardy, baik itu Mas Angga, Sisil juga Bunda, namun aku hanya menyimpan tanyaku dalam hati. Tapi jujur saja aku merasa aneh."Ayo, turun. Melamun terus."Ucapan Mas Angga membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum lalu turun, mengikutinya menuju rumah. Dia membuka pintu, mendorong pintunya hingga membuka."Sana masuk dulu. Aku mau telpon teman," katanya. Aku mengangguk, dengan langkah perlahan menuju kamar. Tatapanku tertuju pada sprei putih bersih, tampak darah yang telah mengering di tengah ranjang, membuatku jadi ingat kejadian semalam yang begitu romantis di mana Mas Angga menatapku penuh cinta. Aku menuju lemari lalu mengambil seprei, segera menggantinya. Setelah itu aku ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saat aku keluar, Mas Angga ternyata sudah di kamar. Dia menatapku lama."Kenapa, Mas?""Tidak papa, Sayang."Tidak papa, tapi wajahnya seperti memikirkan sesuatu.Dia meletakkan HPnya di ranjang lalu melepas bajunya, menyisakan kaus dalam tipis warna cokelat susu. Tanpa mengatakan apa pun, dia masuk ke kamar mandi. Aku memutuskan merebah.Ting!Notif pesan bersumber dari HP Mas Angga.Ting!Pesan berikutnya masuk.Lalu terdengar dering HP. Aku beranjak duduk, tatapanku tertuju ke HP Mas Angga yang menyala terang. HP terus berdering. Aku akhirnya meraihnya, tapi dering HP berhenti. Di layar terlihat satu panggilan tak terjawab dari kontak bernama Dokter KandunganJantungku berdetak sangat kencang saat tiba-tiba saja ingat permintaan Mas Angga yang menyuruhku angkat rahim. Karena penasaran, aku membuka chat. Dua pesan dari kontak bernama Dokter kandungGimana bro sudah lo bius dia?Jantungku berdendam-dentam menyesakkan dada.Pesan selanjutnya.Bro buruan, gue mau cabutDengan jantung berdetak kencang dan tubuh panas dingin, aku menggulir ke atas. Tampak chat-an Mas Angga dengan temannya ini sekitar satu jam laluBro gimana, jadi angkat rahim istri lo?Balas Mas Angga. (Nanti Bro bujuk dulu, dianya belum mauKalau tidak mau gampang, tinggal lo bius saja beres lalu bawa ke sini. Gue kan sudah bilang sama lo tsdi pagi, beli obat bius saja. Gampang, kan?Gue sudah beli tadi siang Bro. Tapi gue mau bujuk dia dulu siapa tahu mauAh kelamaan bro. Gue mau cabut ke Jakarta, lama sekitar 2 bulan gue di sana. Lo bius saja mendinganOke lah gue bius. Bakal aman, kan tidak akan berurusan dengan polisi?Aman tenang saja deh lo. Uang sudah lo siapkan kan? Resikonya besar, uy, harus ada uangHa ha, tenang saja. Gue kasih tip kalau bini gue baik-baik sajaTubuhku semakin gemetaran membaca pesan demi pesan.Aku menggeleng cepat. Aku harus segera pergi dari sini sekarang. Takutnya nanti aku dibius, dipaksa untuk angkat rahim. Aku beranjak berdiri dengan cepat. Pintu tiba-tiba terbuka. Aku terlonjak kaget, refleks mejaituhkan benda yang kupegang menimbulkan bunyi bantingan keras.Tatapan Mas Angga langsung tertuju ke bawah, pada HP-nya. Lalu tatapannya tertuju padaku. Lalu dia melangkah cepat ke arahku yang gemetar ketakutan.Deg deg deg. Bunyi detak jantungku.Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar
Dia tak menjawab hanya diam saja. Aku heran kenapa ada orang seperti ini. Karena dia terus diam, akhirnya aku membonceng di belakangnya. Motor pun melaju pelan membelah jalanan yang sepi. Dinginnya angin membuatku bersidekap. Sepanjang jalan hanya kehengingan. Baik aku juga lelaki asing di depanku sama-sama diam. Sungguh ini begitu menyiksa. Aku akhirnya bisa bernapas lega saat kami memasuki Pekalongan. "Rumah itu, Pak," kataku. Tanganku terjulur lurus ke depan pas di samping tubuhnya. Motor akhirnya berhenti. "Saya mengantarmu hitung-hitung membalas kebaikanmu tadi pagi. Ternyata tadi pagi saya lupa tidak bawa dompet." "Iya, Pak Terima ka--" Belum selesai aku bicara, dia sudah melajukan kendaraannya pergi menjauh. Aku menggelengkan kepala, merasa begitu heran. Kok ada orang seperti itu, ya? Ah masa bodoh bukan urusanku. Aku segera melangkah ke halaman rumah Yana lalu mengetuk pintunya. Tok tok tok "Assalamualaikum." Dua kali ketukan, pintu mengayun membuka. Ayah Yana yang menya
"Jangan ragu, Din. Aku yakin, kok, Papa dan Mamamu pasti akan mengerti. Lebih baik kamu katakan aja semuanya terus terang, pertama kamu akan merasa lega dan gak akan terbebani lagi. Juga jika kamu bilang pada mereka, pasti akan ada yang melindungimu. Aku yakin kalau sampai Papamu tahu mengenai ini, Papamu pasti akan marah pada Om Angga." Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin bisa mengatakan semua ini pada Papa. Tapi mungkin yang dikatakan Yana benar, jadi aku harus mencobanya. Apa pun reaksi Papa dan Mama nantinya, yang penting aku bilang dulu. Om Pras mandangku lalu dia berdiri, melangkah keluar dari dapur. Dari sini terlihat ia memetiki daun singkong yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Bukan hanya daun singkong saja yang tumbuh di belakang rumah, juga ada cabai dan kangkung juga bayam dalam kalibet, membuat pandangan jadi segar karena hijaunya dedaunan. Langit berangsur terang. Cericit burung prenjak di kanan kiri rumah mulai terdengar. Yana yang baru selesai masak kini se
"Assalamualaikum, Pa. Assalamualaikum, Maaa," ucapku dengan riang. Aku sudah bertekad akan mengatakan ini. Bismillah. Bisa tidak bisa, harus bisa kukatakan karena baik sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya juga. Menunda-nunda hanya akan membuatku terus terbebani. Aku harus mengatakannya agar plong.Sampai di dalam, aku mengerutkan kening karena tak ada siapapun di ruang tamu. Harusnya kan ada Papa juga Mama karena Bunda main ke sini."Waalaikum salam." Terdengar suara Mama dan ayah mertuaku menjawab salam, sumbernya dari arah kamar Papa dan Mama. Tentu saja itu membuatku semakin heran saja, karena tak biasanya Papa dan Mama menerima tamu di kamarnya. Biasanya, pasti akan mengobrol di ruang tamu bukannya di dalam kamar seperti sekarang. Ada apa, ya?Yana juga sepertinya heran, dia menoleh memandangku. Dengan benak penuh tanya, aku pun berjalan menuju kamar Papa yang diikuti oleh sahabatku. Aku menyibak tirai kamar lalu melangkah masuk."Pa-pa?! Papa kenapa, Pa?!" tanyaku de
"Ma, bagaimana tanggapan Mama tentang angkat rahim?"Uhuk! Uhuk! Suamiku tersedak. Aku meraih gelas di dekatnya lalu mengulurkan padanya.Mama memandangku penuh tanya. Aku melanjutkan ucapanku."Jadi, Ma, aku punya temen dia baru nikah semalam."Uhuk! Uhuk! Mas Angga kembali tersedak. Dia menghela napas, lalu mengelap hidungnya uang sedikit berair dengan tisu."Baru aja dia sama suaminya itu selesai malam pertama, temenku itu masih merasakan sakit setelah malam pertama, tiba-tiba suaminya itu bilang, adik, kamu besok angkat rahim, ya, karena Mas sudah punya anak. Mas tidak ingin memiliki anak lagi. Itu akan sangat merepotkan.""Itu egois sekali namanya." Celetuk bunda dengan wajah geram."Benar, itu sangat egois." Ayah mengangguk membenarkan."Dan, mana bisa main angkat rahim, gitu, Din? Dokter mana yang mau mengoperasinya?""Pasti dokter yang gila uang lah, Ma. Jadi Ma, Bun, bagaimana tanggapan Mama dan Bunda pada cerita temanku itu? Temanku belum punya anak, eeeh suaminya yang kejam
POV AnggaAku menyetir dengan perasaan campur-aduk. Aku sudah menyusuri jalanan yang sepi juga gang-gang ikut kususuri namun aku tak menemukan sosok istriku itu. Lari ke mana, dia? Mobil yang kukendarai akhirnya berhenti di depan rumah Adinda, gerbang rumah megah itu tertutup rapat. Aku menyandarkan tubuh ke jok, memutuskan menunggu Adinda siapa tahu dia masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun cukup lama menunggu, Dinda tak juga muncul. Apa jangan-jangan, dia ke rumah Yana? Iya, itu bisa jadi. Tapi mana mungkin dia ke Pekalongan larut malam begini? Aku menghela napas, merasa begitu cemas. Aku akhirnya melajukan mobil menuju pasar Metro, terus melaju di jalanan menuju Pekalongan namun sama sekali tak menemukan sosok Adinda. Sepertinya, Adinda tidak mungkin ke rumah Yana. Sunyi begini, juga jauh, jadi tidak mungkin.Aku mengembuskan napas berkali-kali, akhirnya memutuskan kembali ke rumah dengan pikiran campur aduk. Bagaimana jika nanti Dinda mengadu pada Mama? Pada Papa? Atau justru
Mama yang mendengar ucapan Dinda ternganga tak percaya."Kamu ini bicara apa sih, Din?" tanya Mama keheranan. "Bukannya itu cerita temen kamu, kan?" tanya Mama lagi, bergantian menatapku dan Dinda. Aku tersenyum kecil. Bergerak cepat ke arah Dinda lalu merangkul pundaknya. "Sudahlah Sayang, jangan membuat surprise-surprisan buat Mas. Toh, ulang tahun Mas masih lama," kataku sambil tersenyum, mencoba menutupi bahwa aku sebenarnya ketakutan.Mama menggelengkan kepala."Ma, aku itu serius. Sebenarnya, yang aku ceritain tadi bukan kisah temen aku, Ma, tapi kisah Dinda sendiri. Mas Angga setelah malam pertama, dia minta aku angkat rahim," kata Dinda dengan wajah sungguh-sungguh. Dia terus menatap Mama. Aku tentu saja menggelengkan kepala mencoba menyangkal."Itu tidak benar, Ma," kataku. "Sayang apa kamu sedang membuat novel? Apa ini akan kamu jadikan novel?" tanyaku saat teringat hobinya menulis novel. Dia sering mengunggahnya di platfrom online.Dinda menggeleng. "Mas pintar cari pemb
"Aku yakin dengan bukti itu Mama pasti akan percaya.""Ide bagus itu, Din.""Iya, nanti aku mau chat dia setelah dapat kontrakan.""Kenapa gak coba jelasin ke Mama sekarang, Din? Jadi seandainya mamamu percaya, kan, kamu gak perlu cari kontrakan." Yana menatapku lewat spions."Kan bilangnya sama Mama bukan sama Papa, Yan. Papa aku gak boleh tau dulu mengenai ini karena kondisi Papa sedang drop. Aku gak mau gara-gara ini nanti Papa tambah sakit, secara walau papa kalau udah marah itu galak banget kayak setan, tapi aku tetep sayang sama Papa, Yan. Aku gak mau sampai Papa kenapa-napa.""Jadi tetap akan mengontrak, nih?" Yana lagi-lagi menatapku lewat spions."Iya, laaah." Aku menganggukkan kepala. "Soalnya kalau aku tinggal di rumah Papa, Papa pasti akan curiga karena aku tinggal di sana sementara Mas Angga enggak.""I-ya sih, Din. Bener juga." Yana menganggukkan kepala. Kami berputar-putar masuk keluar gang mencari kontrakan dan akhirnya dapat di belakang kampus, persis depan lapangan