"Kenapa, Om, kok kaget banget kayaknya?" tanyaku yang keheranan melihatnya terus tersedak-sedak begitu. Aku gak merasa bicara hal yang gak masuk akal.Aku berdiri lalu duduk di kursi sampingnya, tanganku mengusap-usap bahu suamiku perlahan."Kalau Om vasektomi, aku kan gak mungkin punya anak, Om. Seperti papa aku contohnya. Papa vasektomi karena mama terus keguguran tiap hamil adik-adikku, dan setelah papa vasektomi, Mama gak hamil. Jadi, Om aja yang vasektomi," kataku mencari jalan keluar.Angkat rahim? Hiii, aku gak maulah. Pertama, aku takut jarum suntik. Jarum suntik aja takut apalagi sampai operasi angkat rahim perut dibelek. Kedua, angkat rahim itu artinya menghilangkan ciptaan Allah dan aku pasti akan jadi mandul. Dan yang ketiga, belum tentu aku dan Om Angga jodoh sampai maut memisahkan. Memiliki suami ganteng dan tajir melintir sepertinya, aku sungguh was-was. Aku takut nanti seperti kisah bibi yang terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi berakhir perceraian.Tangan Om
"Ha ha ha, haa." Om Angga tiba-tiba tertawa. Pundaknya terus bergetar-getar oleh tawa padahal menurutku gak ada yang lucu tapi dia terus saja terpingkal-pingkal. Apaan sih, dia. Aneh tiba-tiba saja tertawa begitu. "Kenapa, sih? Aneh banget tertawa-tawa enggak jelas. Aku kan mau pinjam uang bukannya minta, Om," kataku jengkel. Aku sedikit mencebik padanya. "Oh jadi Adik Dinda mau pinjam uang, ya? Tidak malu? Ha, ha." Dia tertawa lagi. "Tadi marah-marah, sekarang mau pinjam uang," katanya dengan sorot geli. "Iya mau pinjam uang! Dengar, kan? Kenapa aku jarus malu? Kan aku mau pinjam uang bukannya minta, jadi kenapa musti malu? Nanti sampai rumah aku ganti!" Balasku yang lagi-lagi menatapnya jengkel. Aku itu bukannya gak punya uang. Aku punya, kok. Mahar dari dia 50 juta cas seratusan ribu. Itu dari dia. Murni dari dia aku gak minta sama sekali mahar sejumlah itu. Saat waktu itu dia tanya mau mas kawin berapa, aku bilang seperangkat alat salat saja sudah cukup, yang penting kami menik
Hu, hu, hu-uuu, bahkan sampai aku tiba di halaman rumahnya menuju ke jalan raya pun gak dipanggil juga. Apa yang harus kukatakan pada Mama nanti? Huaaaa. Sumpah aku rasanya ingin nangis karena bingung juga sedih tapi kutahan. "Din-daaa!" Itu suara Om Angga. Ya ampun dadaku langsung berdebar-debar. Aku tetap dalam posisi menghadap jalan raya, menunggu pangeran pujaanku itu datang ke sini menghampiri. Aku gak mau menoleh karena gengsi. Aaaaah pasti dia berubah pikiran, deh. Oh senangnya hatiku. "Dinda." Suaranya kembali terdengar kini semakin dekat. "Ya?" Aku berkata begitu tanpa menoleh, gengsi tingkat tinggi. Tapi aslinya, aku ingin sekali menghadapnya lalu mengalungkan tangan ke ke lehernya menatapnya penuh cinta. Sampai Om Angga berdiri di hadapanku, aku terus saja bersikap cuek. "Ada apa, Om? Apa Om berubah pikiran?" tanyaku menatapnya angkuh. Jawab iya, Om, maka sikap angkuhku ini akan mencair menjadi kelembutan. Aku menunggunya berkata dengan harap-harap cemas. "Hanya member
"He, he. Iya, Ma, dulu," kataku, senyum malu-malu saat bersitatap dengan Papa juga Mama. Jangan sampai deh ketahuan kalau kami ada konflik, malu lah, yaaa. Mama celingak-celinguk, lalu dia menatapku keheranan. "Kenapa, Ma?" tanya Papa. Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Mama malah memandangku. Jadi papa ikut-ikutan memandangku tapi sesekali Papa memperhatikan Mama. "Ada apa, Ma?" tanya Papa lagi tampak keheranan. "Dinda, kok datang sendirian? Mana suami kamu?" tanya Mama sambil beranjak berdiri. "Pasti Angga gak mau temui Mama ya, Din? Yaa walau Mama gak setuju kamu nikah sama dia, yaa mau gimana lagi. Dia sudah jadi menantu mama jadi tidak mungkinlah mama menunjukkan raut tak senang padanya seperti biasanya, Din." "Bener itu, Ma. Pasti Angga nyangka kita akan bersikap ketus lagi padanya, Ma," timpal Papa. Kedua orangtuaku itu lantas mengangguk-angguk seolah asumsi mereka benar. Jadi, selama ini papa sama Mama selalu menunjukkan ekspresi tak senang tiap Om Angga bertandang k
POV Angga Dimatikan terus. Asem! Sejak kapan dia jadi seperti ini? Biasanya dulu, dia yang terus menghubungiku. Baik itu pagi, siang, sore, selalu menelepon mengingatkan jangan telat makan, ya, Oooom, dengan logat manja tapi kini panggilanku malah dimatikan terus. Ada apa dengan dia sebenarnya? Dinda, arrrrgh. Aku mengepalkan tangan dengan gemas karena panggilanku terus dimatikan. Dengan jengkel, akhirnya aku mengirim pesan menggunakan huruf kapital besar-besar pertanda bahwa aku sedang marah. DINDA MAUMU SEBENARNYA APA? DITELPON TiDAK DIANGKAT JUGA. JANGAN BERANI MAIN-MAIN DI BELAKANGKU! NAMANYA ITU SELINGKUH KARENA KAMU MASIH ISTRIKU! Kirim. Dinda langsung membalas dengan emoticon tertawa 3 biji.??? Ada yang aneh tapi apa, ya??(Pesan dari Adinda Kemala Dewi kembali masuk. Aku mengembuskan napas. Aku aneh kenapa? Kamu jangan macam-macam ya. Balasku. Terlihat sedang mengetik di bawah foto profilnya. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pesannya tertera di layar HP. Ya M
POV DindaAku tersenyum senang melihat layar HP, Om Angga lagi-lagi menghubungi dan aku dengan cepat mematikannya. Begitu terus sampai akhirnya dia sepertinya lelah. Ting. Notif pesan dari sahabat dekatku, Dayana. Biasa aku memanggilnya Yana.Din, aku main tempatmu, ya? Kamu di mana nih sekarang, rumah Mamamu atau di rumah Om Angga, niiih?Aku dan Yana memang sering banget main ke rumah Om Angga, kadang pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, tapi malah main ke rumah Om Angga. Yana aslinya tidak mau tiap kuajak main, tapi aku selalu membujuknya dengan berbagai alasan. Aku di rumah, Yan. Aku tungguin, yaa?Aku biasa berkeluh kesah pada Yana. Dia tempatku curhat, juga sering memberi solusi dari masalah yang kuhadapi. Kemarin itu contohnya. Saat aku bilang padanya ingin nikah dengan Om Angga tapi Papa dan Mama tak merestui, dia menyarankan agar aku menuruti ucapan Papa dan Mama saja agar tak durhaka. Tapi aku bilang tidak bisa karena aku ingin menikah. Akhirnya, dia memberi ide, yaitu
"Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya. Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga "Emp, ja-di," kataku. "Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga. Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa. "Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tol
"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong