"Kenapa, Om, kok kaget banget kayaknya?" tanyaku yang keheranan melihatnya terus tersedak-sedak begitu. Aku gak merasa bicara hal yang gak masuk akal.
Aku berdiri lalu duduk di kursi sampingnya, tanganku mengusap-usap bahu suamiku perlahan."Kalau Om vasektomi, aku kan gak mungkin punya anak, Om. Seperti papa aku contohnya. Papa vasektomi karena mama terus keguguran tiap hamil adik-adikku, dan setelah papa vasektomi, Mama gak hamil. Jadi, Om aja yang vasektomi," kataku mencari jalan keluar.Angkat rahim? Hiii, aku gak maulah. Pertama, aku takut jarum suntik. Jarum suntik aja takut apalagi sampai operasi angkat rahim perut dibelek. Kedua, angkat rahim itu artinya menghilangkan ciptaan Allah dan aku pasti akan jadi mandul. Dan yang ketiga, belum tentu aku dan Om Angga jodoh sampai maut memisahkan. Memiliki suami ganteng dan tajir melintir sepertinya, aku sungguh was-was. Aku takut nanti seperti kisah bibi yang terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi berakhir perceraian.Tangan Om Angga menuding dadanya sendiri. "Kamu menyuruhku vasektomi, Din? Aku ... vasektomi?" tanyanya terlihat tak percaya.Ia menggeser piringnya menjauh lalu mencelupkan tangannya ke kobokan setelah itu mengelap tangannya dengan tisu. Sepertinya, ia sudah tak berselera makan. Kebalikannya dengannya, aku justru mencubit daging ayam lalu memasukkannya ke mulut, sungguh rasanya enak sekali. Daging ayamnya terasa lembut dengan rempah-rempah yang terasa."Iya." Aku menganggukkan kepala. Lagi-lagi menyuap.Om Angga kembali menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya seolah ucapanku hal yang ngawur."Apanya yang salah dari ucapanku, Om? Kan sama aja intinya. Seandainya aku angkat rahim, atau Om vasektomi, intinya sama, kita gak akan punya anak. Karena aku hanya melakukannya dengan Om," kataku memberinya penjelasan."Mana mungkin aku vasektomi, Din. Jika aku vasektomi ... begini, katanya, jika lelaki vasektomi, maka keinginannya untuk membahagiakan istri di tempat tidur akan berkurang. Temanku yang pernah vasektomi yang memberitahuku," jelasnya. Lalu ia menghela napas."Emangnya, angkat rahim gak ada dampaknya, Om? Pasti ada juga." Berkata begitu, aku berdiri. Aku masuk ke kamar lalu kembali lagi duduk di samping suamiku dengan membawa HP."Angkat rahim juga pasti ada dampaknya. Sebentar aku lihat g****e dulu," kataku sambil menyentuh benda yang kupegang hingga layarnya menyala terang. Aku mengetik di pencarian,Dampak Angkat Rahim.Banyak sekali artikel bermunculan dan aku menekan satu setelah itu, aku membacanya lalu menghadapkannya pada suamiku."Sama saja. Vasektomi membuat keinginan di ranjang menurun, begitu pun angkat rahim, Om. Jadi, aku gak mau angkat rahim," putusku.Dia menarik napas panjang. "Dinda, jangan jadi istri durhaka," katanya."Om baca sendiri kan dampaknya? Aku takut, Om. Kalau Om benar-benar gak ingin punya anak lagi, Om kan bisa pakai kond0m."Dia menarik napas. "Banyak yang kejadian, sudah pakai pengaman tapi istrinya tetap hamil.""Ya mungkin bocor," kataku yang membuatnya langsung tertawa kecil."Nah, itulah. Sangat mengerikan bukan jika aku pakai pengaman dan ternyata pengamannya bocor? Nanti bisa-bisa, kamu hamil, Din-daaa," ucapnya dengan suara ditekan."Ya hamil gak papa kan aku punya suami," balasku. Sepertinya ia takut sekali aku memiliki anak padahal kami kan sudah menikah, sah secara hukum juga agama.Kedua tangannya terangkat lalu masing-masing mendarat di pundakku, ia menatapku lekat. "Biar kujelaskan lagi siapa tahu kamu belum paham ucapanku semalam. Begini, Dinda. Aku tidak ingin punya anak lagi. Dua anak itu sangat merepotkan apalagi tiga. Jadi, aku tidak mau punya anak.""Sekarang, Om bilang begitu. Tapi siapa yang akan tahu jika 5 tahun lagi Om berubah pikiran?" Tatapku. Dia menggeleng tegas."Tidak, aku tidak akan berubah pikiran," katanya dengan wajah sungguh-sungguh, begitu meyakinkan."Tapi aku gak mau angkat rahim, Om. Tapi, aku bisa KB suntik atau KB lainnya. Pokoknya, aku gak mau angkat rahim.""Dinda," katanya. Dia menghela napas tampak mencoba sabar. "Banyak orang yang KB dan dia kebobolan. Seperti bundaku contohnya. Sebenarnya Bunda hanya ingin dua anak saja makanya KB suntik, tapi apa? Bunda kebobolan makanya Bunda akhirnya punya 3 anak.""Kan gak semua orang yang KB pasti kebobolan." Aku terus bersikukuh gak mau angkat rahim. Lalu lanjutku saat ia hendak kembali berkata,"Kalau Om benar-benar udah gak ingin punya anak lagi ya seperti yang aku bilang tadi, Om vasektomi saja."Dia menggeleng dengan wajah bergidik. "Tidak, Dinda. Tidak. Sudah kujelaskan kan, tadi, jika aku vasektomi maka dampaknya ....""Sayangnya, itu akan terjadi padaku jika aku angkat rahim!" Balasku dengan jengkel. Ia tidak mau vasektomi, tapi terus ngotot ingin aku angkat rahim. Itu artinya ingin menang sendiri kan, ya?"Jangan jadi istri durhaka, Din. Dulu kan kamu yang ngejar-ngejar aku. Jadi kalau kamu benar-benar mencintaiku, maka turuti kata-kataku, Din. Aku adalah suamimu."Dia memang suamiku, tapi aku bukan perempuan bodoh yang akan langsung menuruti perkataannya sekalipun aku sangat mencintainya. Aku tetap menggunakan logika. Bibi kujadikan contoh, terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi akhirnya bubar. Aku tak berharap hubunganku dan Om Angga akan begitu, tapi kan aku jaga-jaga. Karena takdir, maut, itu rahasia Allah. Manusia kan hanya menjalani saja. Kedepannya kita gak tahu apa yang akan terjadi."Dinda, kamu tahu aku mencintaimu, kan? Tapi secinta-cintanya aku pada istriku, kalau kamu tidak menuruti apa kataku, maaf saja aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sana menikah dengan orang lain saja."Aku ternganga tak percaya.DAAR!!Bagai disambar petir di siang bolong rasanya. Apa maksudnya barusan, menyuruhku menikah dengan orang lain? Aku benar-benar syok kaget sekaget-kagetnya. Aku memang sangat-sangat mencintainya. Tapi kalau sebelum menikah ia mengatakan tak ingin memiliki anak dari pernikahan kami, aku pasti akan pikirkan 100 ribu kali untuk menikah dengannya. Walau cinta, aku tetap berpikir logis. Tak masalah dia duda tiga kali, tak masalah ia memiliki dua anak, tak masalah ia dipandang jelek oleh Papa mama, aku tetap menerima dia apa adanya. Tapi mengiyakan permintaannya untuk angkat rahim ... aku menggeleng tegas, tidak sudi. Bodoh sekali jika aku mau."Ingat kamu sudah janji akan menjadi istri yang baik dan penurut, kamu juga berjanji akan fokus pada anak-anak, Din. Kalau kamu tidak mau angkat rahim, aku lepas tangan. Silakan cari lelaki lain saja yang mau memiliki anak. Aku hanya ingin memiliki istri yang penurut. Kalau kamu masih mau menjadi istriku, maka angkat rahim. Kalau tidak mau lagi menjadi istriku yang penurut, silakan pergi. Banyak perempuan yang mau denganku. Kamu tahu sendiri aku tidak jelek, kan?"Ucapannya bagai ribuan anak panah yang terus menerjang dadaku tiada ampun, sakit pedih perih rasanya tak berkesudahan. Aku yang tadinya begitu bahagia karena perhatian kecilnya, kini menangis tersedu-sedu mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan. Sangat sangat menyakitkan."Jadi, kamu mau angkat rahim atau tidak?""Gak!" Aku menjawab tegas diiringi isakan.Tangan Mas Angga bergerak mempersilakan. Sambil terisak, aku beranjak berdiri, lalu setengah berlari masuk ke dalam kamar. Ia menyusulku."Kamu mau apa ke kamar?" tanyanya keheranan.Oh iya, ya? Kenapa aku ke kamar bukannya lari keluar? Tidak ada pakaian atau benda yang kubawa dari rumah ke rumah ini. Semua baju cewek yang ada di sini, semua dipersiapkan oleh Mas Angga yang tentu saja menggunakan uangnya."Lupa!" jawabku jutek, lalu dengan hati pedih dan hancur berkeping-keping aku keluar kamar.Setelah malam pertama yang indah bagai dunia milik berdua, maka inilah yang terjadi. Biarlah aku hancur saat ini, tapi aku gak mau tambah hancur dengan angkat rahim yang akan menjadikanku perempuan rusak yang tidak akan bisa memiliki keturunan. Orang selagi bisa, maka dia harus memiliki keturunan.Aku berlari cepat ke jalanan. Langit yang begitu pucat menurunkan rinai-rinai kecil.Aku mengetik pesanMama jemput aku, Ma. Ma jemput aku, aku nyesel nikah dengan Om AnggaAku membaca ulang kalimat yang keketik lalu menepuk jidat. Bodohnyaaa. Mama pasti akan tertawa jika membaca pesanku karena aku dulu begitu ngeyel padanya.Dengan cepat, aku menghapusnya. Malulah pada Mama juga pada Papa jika aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Pasti mereka akan mengejekku. Lebih baik, aku naik angkot saja, bilang saja kangen pada mereka jadi ingin main. Tapi, aku gak memiliki uang untuk naik angkot, maka aku kembali ke rumah. Om Angga yang kulihat tengah termenung di kursi, langsung menatapku antusias saat melihatku mendekat ke arahnya."Kamu pasti berubah pikiran kan, Sayang?" tanyanya dengan senyum terkembang."Aku gak berubah pikiran, kok. Aku mau pulang ke rumah Mama tapi aku gak punya uang. Pinjam uang 10 ribu, besok uangnya aku ganti."Dia ternganga tak percaya. Aku nyengir. Kan gak mungkin aku ke Simpang Kampus ke rumah mama dengan jalan kaki."Ha ha ha, haa." Om Angga tiba-tiba tertawa. Pundaknya terus bergetar-getar oleh tawa padahal menurutku gak ada yang lucu tapi dia terus saja terpingkal-pingkal. Apaan sih, dia. Aneh tiba-tiba saja tertawa begitu. "Kenapa, sih? Aneh banget tertawa-tawa enggak jelas. Aku kan mau pinjam uang bukannya minta, Om," kataku jengkel. Aku sedikit mencebik padanya. "Oh jadi Adik Dinda mau pinjam uang, ya? Tidak malu? Ha, ha." Dia tertawa lagi. "Tadi marah-marah, sekarang mau pinjam uang," katanya dengan sorot geli. "Iya mau pinjam uang! Dengar, kan? Kenapa aku jarus malu? Kan aku mau pinjam uang bukannya minta, jadi kenapa musti malu? Nanti sampai rumah aku ganti!" Balasku yang lagi-lagi menatapnya jengkel. Aku itu bukannya gak punya uang. Aku punya, kok. Mahar dari dia 50 juta cas seratusan ribu. Itu dari dia. Murni dari dia aku gak minta sama sekali mahar sejumlah itu. Saat waktu itu dia tanya mau mas kawin berapa, aku bilang seperangkat alat salat saja sudah cukup, yang penting kami menik
Hu, hu, hu-uuu, bahkan sampai aku tiba di halaman rumahnya menuju ke jalan raya pun gak dipanggil juga. Apa yang harus kukatakan pada Mama nanti? Huaaaa. Sumpah aku rasanya ingin nangis karena bingung juga sedih tapi kutahan. "Din-daaa!" Itu suara Om Angga. Ya ampun dadaku langsung berdebar-debar. Aku tetap dalam posisi menghadap jalan raya, menunggu pangeran pujaanku itu datang ke sini menghampiri. Aku gak mau menoleh karena gengsi. Aaaaah pasti dia berubah pikiran, deh. Oh senangnya hatiku. "Dinda." Suaranya kembali terdengar kini semakin dekat. "Ya?" Aku berkata begitu tanpa menoleh, gengsi tingkat tinggi. Tapi aslinya, aku ingin sekali menghadapnya lalu mengalungkan tangan ke ke lehernya menatapnya penuh cinta. Sampai Om Angga berdiri di hadapanku, aku terus saja bersikap cuek. "Ada apa, Om? Apa Om berubah pikiran?" tanyaku menatapnya angkuh. Jawab iya, Om, maka sikap angkuhku ini akan mencair menjadi kelembutan. Aku menunggunya berkata dengan harap-harap cemas. "Hanya member
"He, he. Iya, Ma, dulu," kataku, senyum malu-malu saat bersitatap dengan Papa juga Mama. Jangan sampai deh ketahuan kalau kami ada konflik, malu lah, yaaa. Mama celingak-celinguk, lalu dia menatapku keheranan. "Kenapa, Ma?" tanya Papa. Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Mama malah memandangku. Jadi papa ikut-ikutan memandangku tapi sesekali Papa memperhatikan Mama. "Ada apa, Ma?" tanya Papa lagi tampak keheranan. "Dinda, kok datang sendirian? Mana suami kamu?" tanya Mama sambil beranjak berdiri. "Pasti Angga gak mau temui Mama ya, Din? Yaa walau Mama gak setuju kamu nikah sama dia, yaa mau gimana lagi. Dia sudah jadi menantu mama jadi tidak mungkinlah mama menunjukkan raut tak senang padanya seperti biasanya, Din." "Bener itu, Ma. Pasti Angga nyangka kita akan bersikap ketus lagi padanya, Ma," timpal Papa. Kedua orangtuaku itu lantas mengangguk-angguk seolah asumsi mereka benar. Jadi, selama ini papa sama Mama selalu menunjukkan ekspresi tak senang tiap Om Angga bertandang k
POV Angga Dimatikan terus. Asem! Sejak kapan dia jadi seperti ini? Biasanya dulu, dia yang terus menghubungiku. Baik itu pagi, siang, sore, selalu menelepon mengingatkan jangan telat makan, ya, Oooom, dengan logat manja tapi kini panggilanku malah dimatikan terus. Ada apa dengan dia sebenarnya? Dinda, arrrrgh. Aku mengepalkan tangan dengan gemas karena panggilanku terus dimatikan. Dengan jengkel, akhirnya aku mengirim pesan menggunakan huruf kapital besar-besar pertanda bahwa aku sedang marah. DINDA MAUMU SEBENARNYA APA? DITELPON TiDAK DIANGKAT JUGA. JANGAN BERANI MAIN-MAIN DI BELAKANGKU! NAMANYA ITU SELINGKUH KARENA KAMU MASIH ISTRIKU! Kirim. Dinda langsung membalas dengan emoticon tertawa 3 biji.??? Ada yang aneh tapi apa, ya??(Pesan dari Adinda Kemala Dewi kembali masuk. Aku mengembuskan napas. Aku aneh kenapa? Kamu jangan macam-macam ya. Balasku. Terlihat sedang mengetik di bawah foto profilnya. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pesannya tertera di layar HP. Ya M
POV DindaAku tersenyum senang melihat layar HP, Om Angga lagi-lagi menghubungi dan aku dengan cepat mematikannya. Begitu terus sampai akhirnya dia sepertinya lelah. Ting. Notif pesan dari sahabat dekatku, Dayana. Biasa aku memanggilnya Yana.Din, aku main tempatmu, ya? Kamu di mana nih sekarang, rumah Mamamu atau di rumah Om Angga, niiih?Aku dan Yana memang sering banget main ke rumah Om Angga, kadang pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, tapi malah main ke rumah Om Angga. Yana aslinya tidak mau tiap kuajak main, tapi aku selalu membujuknya dengan berbagai alasan. Aku di rumah, Yan. Aku tungguin, yaa?Aku biasa berkeluh kesah pada Yana. Dia tempatku curhat, juga sering memberi solusi dari masalah yang kuhadapi. Kemarin itu contohnya. Saat aku bilang padanya ingin nikah dengan Om Angga tapi Papa dan Mama tak merestui, dia menyarankan agar aku menuruti ucapan Papa dan Mama saja agar tak durhaka. Tapi aku bilang tidak bisa karena aku ingin menikah. Akhirnya, dia memberi ide, yaitu
"Dinda, ada apa ini?" tanya Papa dengan kening berkerut. Matanya yang serupa elang itu menatapku tajam bagai menembus jantung. Begitu pun Mama menatapku terlihat begitu penasaran sekali. Ia yang tengah menyuap sampai menghentikan suapannya. Bukan hanya Mama dan Papa, Yana juga bergantian memandang ke arahku dan Mas Angga "Emp, ja-di," kataku. "Jadi, Pa, saya sebenarnya hanya bilang begitu saja tidak benar-benar serius, Pa." Serobot Mas Angga. Aku yang membuka mulut hendak bicara Seketika mengurungkan niat saat tangan Papa terangkat di udara membuat gerakan stop yang artinya menyuruhku diam. Lalu Papa mengangguk pada Mas Angga. Mas Angga pun kembali berkata dengan kedua tangannya masih memeluk erat kedua kaki Papa. "Tolong maafkan Angga, Pa. Angga tahu baik Papa juga Mama tidak menyukai Angga, tidak setuju pada pernikahan kami, tapi tolong, beri Angga kesempatan. Angga ingin menjadi suami yang baik untuk Adinda. Jadi tolong Papa batalkan perjodohan Dinda dengan anak teman Papa. Tol
"Bohong?" tanyanya. Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "He he he. I-yaa. Udah tau nanya, Mas." Dia langsung menjitak kepalaku. Aku meringis. "Main jitak a-ja. Ini difitrahin, lho. Lagian aku bohong kan untuk kebaikan kita juga, Mas. Coba kalau aku gak bohong, pasti saat ini kita sedang diomelin Papa dan Mama," balasku. "Pakai acara bilang mau dijodohkan. Dinda Dinda." "Mas-Mas." Balasku. "kalau aku gak bilang gitu, pasti saat ini Mas gak ke sini. Iya, gak?" tanyaku sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda. Dia bersidekap, menatapku angkuh. "Walau aku ke sini, bukan berarti aku menuruti ucapanmu. Aku ke sini karena ... yaaa tidak suka saja kamu masih istriku tapi mau dijodohkan dengan lelaki lain. Itulah kenapa aku datang ke sini. Paham?" "A-laah bilang aja cemburu, Mas. Aku tau, kok, Mas cemburu." "Tidak sama sekali," jawabnya dengan tatapan angkuh. Papa dan Mama berjalan kemari sudah berganti baju. Papa memakai kemeja putih dengan bawahan celana pantalon biru dong
Aku harus bisa pergi dari sini secepatnya. Harus! Tapi, jangan sampai dia tahu bahwa aku sudah membaca pesannya dengan si dokter gila itu. Maka aku segera membungkuk lalu meraih HPnya. "Tadi ada telpon. Mas tiba-tiba keluar dari kamar mandi, jadi aku kaget, deh," kataku dengan jantung berdegup kencang. Tubuhku panas dingin dan dadaku berdebar hebat. Aku harus bisa melarikan diri. Jangan sampai dia membiusku lalu tahu-tahu begitu bangun, aku sudah tak memiliki rahim. Hiii, ngeri. "Siapa yang menelepon?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku menggeleng pelan sambil terus bersikap sesantai mungkin seolah tak tahu apa-apa. "Enggak tau. Oh ya, Mas mau teh? Apa ... ko-pi?" "Memang bisa buat teh?" "Bisa, lah. Masa buat teh aja gak bisa. Yaudah aku buatin dulu, ya. Ini, HPnya." Sambil aku meletakkannya ke ranjang agak ke tengah. Soalnya kalau langsung diberikan padanya, ia pasti akan segera mengecek siapa yang barusan menghubungi. Mas Angga mengangguk, dia melangkah pelan mendekat ke ar