"Sudah makan?" tanya Bunda. Dia terus mengamati wajahku. Ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa semalam."Udah, Bun." Suaraku terdengar lirih."Tapi wajahmu pucat. Ayo, makan. Bunda baru saja beli pecal. Ayo." Ajaknya, dia menggenggam tanganku. Aku menatap ke arah Mas Angga dan dia mengangguk, lalu ia membuntut di belakangku.Kini, aku duduk di kursi menghadap meja panjang yang ada di belakang butik. Bunda membuka plastik berisi beberapa bungkus pecal, meraih satu kemudian meletakkannya di hadapanku. Diraihnya satu lagi dan diletakkan di depan Mas Angga duduk. Kemudian, Bunda kembali meraih satu untuknya sendiri. "Itu yang kamu dan Angga makan sebenarnya untuk karyawan Bunda, tapi gak papa, nanti bunda suruh beli lagi," kata Bunda sambil menyuap, tatapannya tertuju ke wajahku. Aku menyendok perlahan, sambal pecalnya begitu pedas, tapi terasa enak di perut, itu membuatku menyuap lagi dan lagi. Kalau tadi aku makan rasanya gak enak, kini terasa enak. Mas Angga tersenyum melihat
POV Dinda"Maa," kata Papa. Tapi Mama mengabaikannya. Mama memandangku sekilas dan kembali bicara. Aku yakin sekali setelah Mama selesai bicara, aku pasti bakal diomelin karena bohongi Mama. Mama pasti akan bertanya pada Simbok aku keluar rumah dari tadi apa gak."Halo, Mbok? Tolong masak kan buat Bapak ya, Mbok. Nanti sore kami pulang," ucap Mama yang membuatku begitu lega. Aku menghela napas. Syukurlah.Setelah berkata begitu, Mama mematikan sambungan teleponnya, lalu dia memandangku."Kenapa wajahmu ketakutan begitu?" tanya Mama dengan sebelah mata menyipit. Aku menggeleng cepat."Ih, Ma-maa. Si-a-paaa, ju-ga, yang ketakutan? Alhamdulillah ya, Pa, Papa nanti sore udah boleh pulang," kataku. Ucapan Mama pada simbok tadi sudah menjelaskan semuanya bahwa dokter mengijinkan Papa pulang. Papa mengangguk diiringi senyuman."Alhamdulillah. Papa tidak suka di rumah sakit, Din. Lebih baik Papa di rumah, ada kamu sama Mamamu." Aku memeluk lengan Papa dan tersenyum. "Iya, Pa." Aku menganggu
POV Angga + Dinda"Assalamu'alaikum," ucapku setibanya di depan kamar Bunda yang sedikit membuka. Aku mendorong pintunya lalu melangkah masuk. "Waalaikum salam," sahut Ayah, Bunda juga Sisil berbarengan. Adikku yang tengah makan itu mendongak."Makan, Mas. Aku beliin makanan buat Mas, nih." Diraihnya kotak strrefoam di hadapannya kemudian mengulurkan padaku. Aku menerimanya."Untung saja kamu beliin Mas makanan. Mas belum makan siang," sahutku sambil meletakkan plastik yang kutenteng ke atas meja. Kotak sterefoam dari Sisil juga kuletakkan di meja. Aku meraih sebutir apel, setelah mengupasnya segera kuulurkan pada Ayah. Aku mengupas sebutir lagi dan mengulurkannya pada Bunda. Setelah itu, aku mengambil kotak sterefoam, duduk lesehan di samping Sisil dan mulai makan."Memangnya tadi belum makan siang, Ga?" tanya Bunda saat aku menggigit paha ayam goreng kemudian memuluk nasi juga sambal tomat."Belum, Bun. Dari pagi aku hanya sarapan pecal dari Bunda saja, makanya aku begini lapar," j
Aku mengernyit mengingat-ingat pertemuanku dan si Bapak barusan. Pertama bertemu dengannya itu di angkot. Saat itu, aku menangis karena sedih. Saat itu aku, bilang padanya, ngapain lihat-lihat aku yang sedang menangis? Apa karena itu, dia jadi membenciku? Tapi menurutku, gak salah ucapanku waktu itu. Jelas lah waktu itu aku kesal padanya, orang sedang nangis masa dilihatin terus. Mungkin, dia gak menyukaiku karena dipertemuan kedua kami, aku nyelonong masuk ke rumahnya. Nah kalau alasan yang itu, sepertinya lebih masuk akal. Tapi kan waktu itu, aku sudah menjelaskan alasanku kenapa bisa masuk ke rumahnya. Dia bahkan mengantarku ke Pekalongan. Aku menggeleng sebal. Ah sudahlah, ngapain juga aku pikirin. Gak penting banget.Aku mampir ke pasar untuk membeli es cendol pesanan Mama, lalu saat akhirnya mobil berhenti di parkiran rumah sakit, aku lekas turun. Aku menjulurkan tangan meraih buruanku lalu dengan menenteng plastik-plastik berisi makanan aku menuju kamar Papa dirawat. Senyumku m
POV Dinda"Halo, Yan, udah sampai mana?" tanyaku. Aku sudah mengenakan gaun pengantin dan merias wajah dengan make up tipis. Nanti akan dimake up, begitu yang dikatakan Mas Angga saat dia menelepon 2 menit lalu, bertanya aku sudah siap apa belum. Jika sudah siap, dia akan datang menjemput. Acara dimulai pukul 10. Kata Mas Angga, nanti kami akan ijab kabul lagi karena saudara-saudara ayah juga bunda yang dari jauh belum ada yang tahu bahwa kamu sudah menikah, jadi, kami akan kembali ijab kabul. Menurutku itu aneh, kan tinggal bilang saja bahwa kami sudah ijab kabul, tapi aku tak mengatakan apa pun pada Mas Angga. Aku setuju saja.Aku menatap jam di dinding lalu berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pukul 8, tapi Yana belum juga datang. Aku ingin dia menemaniku saat aku ijab kabul nanti, tentu saja gak enak jika aku datang ke resepsi sendiri tanpa Papa dan Mama juga tanpa teman. Karena Yana tak juga datang, aku kembali meneleponnya."Halo, Yan, udah sampai mana?" "Ini udah sampai Sim
POV AnggaSenyumku merekah saat melihat mobil Dinda berhenti di bibir jalan. Lalu tak lama, pintu mobil itu terbuka dan Dinda turun. Aku mengernyit melihatnya tidak memakai gaun pengantin. Apa belum dia pakai karena tidak ingin ketahuan oleh Papa dan Mama? Sepertinya begitu, pasti dia takut ketahuan oleh Papa dan Mama. Tapi tidak masalah, toh ijab kabul dimulai dua jam lagi, masih banyak waktu untuknya mengenakan gaun pengantin juga merias wajah. Dinda mendekat ke arahku dengan wajah ... aku memperhatikannya dalam, matanya tanpak sembab dan sepertinya habis menangis. Dia bahkan tersengal setibanya di hadapanku."Kamu kenapa?" Kusentuh pipinya yang banjir oleh air mata."Mas, aku minta maaf," ucapnya di antara isak tangis."Minta maaf kenapa?" tanyaku dengan pikiran campur aduk. Aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Kenapa dia minta maaf? Bukannya dia ke sini karena akan membantuku?"Maaf," ucapnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Aku memperhatikannya dalam diam dengan be
"Hallo assalamualaikum, Pak Pras.""Waalaikum salam, Bunda." Terdengar sahutan dari dalam HP bunda. Aku hafal benar suara berat lelaki yang terdengar di HP bunda, ayah Yana."Jadi, Pak, aku menelepon Bapak karena ada hal sangat penting yang harus kusampaikan pada Bapak. Jadi, Pak, Yana dan Angga anak nomer satu saya akan menikah, ja--""Apa?! Menikah?!" "Iya, bapak harus datang untuk jadi wali Yana. Saat ini saya di salon Kartika. Segera datang ya, Pak. Assalamualaikum." Bunda lalu menyentuh simbol telepon warna merah dan ia menarik napas panjang-panjang."Bunda kenal dengan ayah Yana?" tanyaku menyelidik."Tentu saja Bunda kenal. Dia adalah teman Bunda saat SMA. Bunda sering melihat status FB-nya, isinya kebanyakan foto-fotonya dan Yana."Tak lama, terdengar suara salam. Bunda berdiri lalu menjawab, waalaikum salam. Seorang lelaki berperawakan tambun mendekat ke arah Bunda, aku sering bertemu dengannya karena sering makan di warungnya. Dia menatapku menyelidik."Ini, maksudnya apa?"
POV DindaAku tersengal-sengal memandang mobil suamiku yang semakin menjauh. Maafkan aku, Mas. Aku sungguh ingin membantu, tapi Mama dan Papa gak mengijinkan. Semoga, acaranya berjalan lancar. A-miin, doaku dengan perasaan yang sedih sekali. Dari dulu, aku sangat menginginkan bersanding di pelaminan dengan Mas Angga. Lalu saat hari ini datang, aku gak bisa mewujudkan keinginanku itu. Yang kulakukan hanyalah, menangis tak berguna, yang walau aku menangis darah sekalipun gak akan mengubah keadaan.Aku masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi dan kembali terisak. Setelah cukup lama menumpahkan pedih yang kurasa dalam tangisan, akhirnya aku mengendarai mobil sangat pelan menuju kontrakan. Tapi, sudah tak terlihat mobil Papa di halaman kontrakanku, jadi pasti Papa dan Mama saat ini ada di rumah. Aku pun melajukan mobil menuju rumah, benar saja mereka duduk di teras. Tampak Mama sedang menangis dan Papa tengah mencoba menenangkannya. Sesekali, tangan Papa bergerak mengusap pipi Mama yang b
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"