POV Dinda"Angga, jelaskan pada Ayah apa maksud ucapan Dinda barusan?" tanya Ayah, dia memandang Mas Angga lalu ganti menatapku. Sama seperti ayah, papa juga menatap kami bergantian dengan pandangan menyelidik sedikit jengkel.Mas Angga terus menunduk diam, sama sekali tak menjawab ucapan Ayah. Karena terus dipandangi oleh Ayah juga Papa, akhirnya aku menuding ke arah Mas Angga. Lalu sambil terisak karena terbawa perasaan yang menyedihkan, aku memandang Ayah, kemudian berganti menatap Papa. Mereka sudah dengar. Jadi, kujelaskan saja sekalian agar semuanya menjadi jelas."Mas Angga nyuruh aku angkat rahim, Pa, Yah. Sebenarnya, ceritaku waktu itu saat kita makan bersama bukan temenku yang disuruh angkat rahim oleh suaminya, itu sebenarnya itu adalah aku. Mas Angga bilang ...." Aku memandang Mas Angga. Lalu lanjutku, "Mas Angga, dia gak ingin punya anak dariku. Kemarin-kemarin, dia terus membujuk agar aku mau angkat rahim, tujuannya agar gak punya anak dariku. Mas Angga bilang, anak-anak
"Yang barusan kukatakan adalah benar. Tidak mengada-ada. Dinda yang salah paham." Bunda menatapku. Entah kenapa aku sama sekali tidak percaya perkataan Bunda. Begitu pun Papa juga Mama, terlihat sangsi. Apa pun yang keluar dari bibir Mas Angga juga Bunda kuanggap hanya alasan agar aku mengurungkan niat pisah."Aku heran, kenapa menikahi Dinda tapi tidak mau punya anak darinya." Mama menatap Bunda penuh ejekan. "Masa anakku hanya akan dijadikan pengasuh anak-anak juga pemuas di tempat tidur saja. Alangkah malang nasibmu, Nak. Sudah, lebih baik cerai saja," kata Mama, dia kini memandang Mas Angga dengan pandangan tak senang."Aku tidak ada niatan begitu, Ma." Suara Mas Angga lirih."Halah, kamu kira aku percaya, apa?""Sekarang, aku mau punya anak, Ma," ucap Mas Angga lagi. Mama tertawa mengejek. "Siapa yang akan tahu jika nanti kamu diam-diam vasektomi?" Tatapan Mama tajam. Begitu pun Papa, dari tadi terus memperhatikan suamiku dengan pandangan tak senang."Tidak, akan, Ma. Aku bisa j
POV DindaBeberapa perawat menaikkan Papa ke brankar lalu mendorongnya dengan langkah cepat setengah berlari, aku dan Mama mengikuti di belakang para perawat dengan tangis berderai.Papa pun dibawa masuk ke IGD. Mama duduk di kursi besi panjang dan terisak-isak."Ma, tenang ya, Ma," kataku pada Mama yang terus terisak kecil. Aku juga terisak, benakku tak henti berpraduga hal-hal yang mengerikan tentang Papa semisal, Papa terkena serangan jantung, atau yang lebih mengerikan dari itu, Papa pergi untuk selama-lamanya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi pada Papa.Aku menoleh memandang Mama, lalu tanganku bergerak mengusap bahu Mama yang bergetar kuat oleh tangis yang hebat. Yana yang duduk persis di samping Mama hanya terdiam bisu, wajah sahabatku itu terlihat risau. Sesekali, Yana menatap benda bulat yang melingkar di tangannya. Lalu ia menarik napas panjang."Ma, tenang ya, Ma? Kita berdoa aja moga Papa gak kenapa-kenapa," kataku sambil satu tan
POV Dinda"A-ada apa, Mas?" kataku dengan tergagap saat tiba-tiba saja dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang kokoh. Dadaku berdebar keras dan jantungku berdetak sangat kencang sekali saat merasakan embusan napasnya di wajahku."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi, suaraku terdengar bergetar. Mungkin aku terlalu gugup karena begitu dekat dengannya."Mas tidak ingin kita pisah," katanya, ia kembali memajukan wajahnya ke wajahku. Saat bibirnya sudah hampir menyentuh bibirku, dengan cepat kedua tanganku mendorong dadanya, ia terdorong mundur. Tatapan suamiku terlihat kecewa. Kutekankan pada diriku bahwa aku gak akan tergoda lagi padanya. Cukup sudah beberapa kali aku menjadi bodoh. Aku terlalu bucin, makanya aku terus dibodohi olehnya."Mas mau bicara sesuatu padaku, atau mau menggodaku?" tanyaku dengan pandangan mencemooh tapi sebenarnya, aku begitu gugup. Di dalam sini, jantungku terus berdetak kuat. "Jika Mas begini, lebih baik aku turun saja," kataku sambil membuka pintu mobil da
"Ingat tidak, saat kamu mengirimiku surat cinta? Aku tersenyum membacanya. Lalu, aku diam-diam mengikutimu. Aku sangat senang. Aku suka kamu yang selalu ceria, jadi aku sangat senang kamu mengirimiku surat cinta." Mas Angga tersenyum seolah sedang mengenang saat itu.Aku mengangguk. "Ingat. Dan saat aku menyatakan cintaku pada Mas secara langsung, Mas nyuruh aku agar fokus ujian daripada mikirin pacaran. Bener, kan?" tanyaku balik, balas tersenyum."Iya. Karena aku tidak yakin kamu benar-benar serius dengan ucapanmu. Makanya aku bilang, kan, padamu, jika benar-benar menyukaiku maka lebih baik kita segera menikah. Ingat?" "Iya, ingat." Kuanggukkan kepala."Dan sekarang kita sudah menikah." Diciumnya tanganku. "Sayang, kita sudah menikah. Menikah, dulu adalah impian yang ingin kuwujudkan denganmu. Dan sekarang, kita sudah menikah. Sudah menikah, Sayang. Kita sudah jadi suami istri. Lalu kenapa harus berpisah?""Mas sudah tau jawabanku."Pak Salim mendekat membawa nampan besar. Dia leta
POV AnggaAku mengurangi laju kecepatan saat mobil yang kukendarai melewati Simpang Kampus. Berat sekali rasanya akan berpisah dengan Dinda. Dinda sesekali menatapku, sebentar-sebentar ia menatap ke luar jendela mobil yang terbuka, membuat angin malam yang dingin berembus masuk. Sikapnya yang terus mengalihkan pandang dariku sungguh menyakiti hati juga perasaanku. Dia berbeda dari yang dulu. Biasanya, ia akan mengobrol panjang lebar, apa saja dibicarakan saat berada dalam perjalanan begini, Dinda begitu cerewet sampai terkadang, aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran ada saja yang dia bicarakan. Dia tidak pernah kehilangan obrolan.Tapi sekarang, Dinda terlihat begitu risau. Apa dia benar-benar sudah tak ingin lagi hidup bersamaku? Apa cintanya padaku sudah hilang? Aku menoleh menatapnya. Dia ternyata tengah menatapku, Dinda langsung saja berpaling saat secara tak sengaja kami beradu tatap.Kutarik napas panjang lalu membuangnya pelan, berharap dengan begitu, rasa sesak di dadak
POV Dinda"Dari mana saja kamu?" tanya Mama saat aku membuka pintu kamar Papa dirawat. Aku menunduk menatap plastik yang kupegang lalu berjalan masuk."Habis cari angin di luar, Ma. Tadi liat penjual seblak, akhirnya aku beli, deh," kataku, menatap Mama dengan tak nyaman. Mama menelisik wajahku."Ini aku beli seblak, Ma." Aku kembali menunduk menatap plastik berisi seblak yang kupegang berharap Mama tak mencurigaiku.Mama menarik napas panjang. "Mama kira, kamu pergi sama Angga." Tatapnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, Ma. Ngapain aku pergi sama Mas Angga? Enggak, kok." Dustaku. Mama terlihat curiga, ia terus mengamati wajahku terlihat sangsi. "Semoga yang kamu ucapkan benar. Mama gak ingin, ya, kamu berhubungan lagi dengan lelaki itu. Dia benar-benar bukan suami yang baik. Mama nyesel kamu nikah sama dia. Lihat tuh papamu, gara-gara ulahmu papamu sampai drop. Mama gak ingin papamu tambah stres gara-gara kamu berhubungan lagi sama Angga."Aku memandang ke arah Papa. "Iya, Ma."
Aku ingin muntah, tapi gak bisa muntah.Mungkin aku masuk angin. Lebih baik aku segera pulang agar bisa segera pakai pembalut. Walau di hari pertama datang bulan hanya sedikit darah yang keluar, tapi aku risih kalau gak pakai pembalut. Aku membasuh wajah lalu keluar dari kamar mandi. Ternyata Mama sudah ada di dalam, ia sedang memandang Papa. Papa sudah bangun rupanya."Pagi, Sayang?" Sapa Papa.Aku tersenyum kecil. Walau aku gak sedang baik-baik saja hendak menghadapi perceraian dengan Mas Angga, namun aku menunjukkan wajah bahagia pada Papa. Aku ingin Papa gak kepikiran lagi."Pagi juga, Pa-paaa," sahutku. Mendekat ke arahnya lalu mencium keningnya."Gimana yang Papa rasain? Apa di sini masih sakit?" Tanganku menyentuh dada Papa. Papa menyentuh tanganku di dadanya lalu menggeleng diiringi senyuman."Tidak. Papa tidak sakit. Nanti sore Papa sudah boleh pulang," ucap Papa yang membuat Mama langsung mendelik."Papa ini sok tahu. Kalau dokter gak ijinkan Papa pulang, maka Mama pun gak i