POV AnggaAku menjambak rambut frustrasi melihat mobil Dinda yang semakin menjauh. Dia salah paham. Dan sama sekali tidak mau mendengar ucapanku sama sekali. Percuma saja jika sekarang aku mengejarnya, dia pasti akan kembali menghindar.Apa yang harus kukatakan pada Bunda? Bunda sangat berharap aku pulang membawa Dinda, Bunda pasti kecewa jika aku pulang dengan tangan kosong.Aku kembali menjambak rambut. Dengan langkah lunglai, aku berjalan menuju mobil. Baru saja masuk, HP yang kuletakkan di dasboard berdering. Kuraih, lalu melihat layarnya. Panggilan dari Sisil.Sentuh."Halo, Sil? Ada apa?" tanyaku."Mas, Bunda masuk rumah sakit. Barusan aja dibawa ke rumah sakit.""Apa, Sil?! tanyaku kaget, jantungku seperti diremas kuat saat mendengarnya."Mas buruan ke sini." Suara Sisil terdengar sedih."Iya. Iya, ini mau ke situ. Di rumah sakit mana, Sil?""Muhammadiyah, Mas.""Ya. Ya. Mas ke situ sekarang," kataku dengan panik. Tanpa menunggu lebih lama lagi segera kukendarai mobil menuju ta
"Sil, Ardy sudah kamu hubungi?" tanya Ayah tiba-tiba. "Bilang ada Ardy, Bunda sakit.""Sudah tadi, Yah. Tapi WA-ku gak dibalas. Mungkin jam segini dia lagi ngajar.""Bukannya kampus libur setengah bulan? Kemarin waktu ayah ke rumah Ardy karena kangen dengan Shelin, dia di rumah. Ayah tanya apa dia tidak ke kampus, katanya kampus libur setengah bulan. Jangan di WA tapi ditelpon," ucap Ayah dengan sedikit mendelik pada Sisil.Adik keduaku, Ardy, dia mengajar di IAIN. Sudah hampir 2 tahun dia menjadi dosen di IAIN. Dua warung makannya dia pasrahkan pada orang kepercayaan, itu yang dikatakan Ayah padaku. Selain warung makan, dia juga bisnis kontrakan. Dia memiliki 10 kontrakan di dekat kampus IAIN juga UM, itu juga aku tahu dari ayah. Aku nyaris tidak pernah komunikasi dengan Ardy. Dia menjaga jarak. Hanya lebaran saja kami bertemu, itu pun tidak kurang dari 30 menit. Tiga puluh menit itu, biasanya Ardy berbincang dengan ayah dan Bunda. Sementara padaku, ia hanya mengajak berjabat tangan
POV Dinda"Angga, jelaskan pada Ayah apa maksud ucapan Dinda barusan?" tanya Ayah, dia memandang Mas Angga lalu ganti menatapku. Sama seperti ayah, papa juga menatap kami bergantian dengan pandangan menyelidik sedikit jengkel.Mas Angga terus menunduk diam, sama sekali tak menjawab ucapan Ayah. Karena terus dipandangi oleh Ayah juga Papa, akhirnya aku menuding ke arah Mas Angga. Lalu sambil terisak karena terbawa perasaan yang menyedihkan, aku memandang Ayah, kemudian berganti menatap Papa. Mereka sudah dengar. Jadi, kujelaskan saja sekalian agar semuanya menjadi jelas."Mas Angga nyuruh aku angkat rahim, Pa, Yah. Sebenarnya, ceritaku waktu itu saat kita makan bersama bukan temenku yang disuruh angkat rahim oleh suaminya, itu sebenarnya itu adalah aku. Mas Angga bilang ...." Aku memandang Mas Angga. Lalu lanjutku, "Mas Angga, dia gak ingin punya anak dariku. Kemarin-kemarin, dia terus membujuk agar aku mau angkat rahim, tujuannya agar gak punya anak dariku. Mas Angga bilang, anak-anak
"Yang barusan kukatakan adalah benar. Tidak mengada-ada. Dinda yang salah paham." Bunda menatapku. Entah kenapa aku sama sekali tidak percaya perkataan Bunda. Begitu pun Papa juga Mama, terlihat sangsi. Apa pun yang keluar dari bibir Mas Angga juga Bunda kuanggap hanya alasan agar aku mengurungkan niat pisah."Aku heran, kenapa menikahi Dinda tapi tidak mau punya anak darinya." Mama menatap Bunda penuh ejekan. "Masa anakku hanya akan dijadikan pengasuh anak-anak juga pemuas di tempat tidur saja. Alangkah malang nasibmu, Nak. Sudah, lebih baik cerai saja," kata Mama, dia kini memandang Mas Angga dengan pandangan tak senang."Aku tidak ada niatan begitu, Ma." Suara Mas Angga lirih."Halah, kamu kira aku percaya, apa?""Sekarang, aku mau punya anak, Ma," ucap Mas Angga lagi. Mama tertawa mengejek. "Siapa yang akan tahu jika nanti kamu diam-diam vasektomi?" Tatapan Mama tajam. Begitu pun Papa, dari tadi terus memperhatikan suamiku dengan pandangan tak senang."Tidak, akan, Ma. Aku bisa j
POV DindaBeberapa perawat menaikkan Papa ke brankar lalu mendorongnya dengan langkah cepat setengah berlari, aku dan Mama mengikuti di belakang para perawat dengan tangis berderai.Papa pun dibawa masuk ke IGD. Mama duduk di kursi besi panjang dan terisak-isak."Ma, tenang ya, Ma," kataku pada Mama yang terus terisak kecil. Aku juga terisak, benakku tak henti berpraduga hal-hal yang mengerikan tentang Papa semisal, Papa terkena serangan jantung, atau yang lebih mengerikan dari itu, Papa pergi untuk selama-lamanya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi pada Papa.Aku menoleh memandang Mama, lalu tanganku bergerak mengusap bahu Mama yang bergetar kuat oleh tangis yang hebat. Yana yang duduk persis di samping Mama hanya terdiam bisu, wajah sahabatku itu terlihat risau. Sesekali, Yana menatap benda bulat yang melingkar di tangannya. Lalu ia menarik napas panjang."Ma, tenang ya, Ma? Kita berdoa aja moga Papa gak kenapa-kenapa," kataku sambil satu tan
POV Dinda"A-ada apa, Mas?" kataku dengan tergagap saat tiba-tiba saja dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang kokoh. Dadaku berdebar keras dan jantungku berdetak sangat kencang sekali saat merasakan embusan napasnya di wajahku."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi, suaraku terdengar bergetar. Mungkin aku terlalu gugup karena begitu dekat dengannya."Mas tidak ingin kita pisah," katanya, ia kembali memajukan wajahnya ke wajahku. Saat bibirnya sudah hampir menyentuh bibirku, dengan cepat kedua tanganku mendorong dadanya, ia terdorong mundur. Tatapan suamiku terlihat kecewa. Kutekankan pada diriku bahwa aku gak akan tergoda lagi padanya. Cukup sudah beberapa kali aku menjadi bodoh. Aku terlalu bucin, makanya aku terus dibodohi olehnya."Mas mau bicara sesuatu padaku, atau mau menggodaku?" tanyaku dengan pandangan mencemooh tapi sebenarnya, aku begitu gugup. Di dalam sini, jantungku terus berdetak kuat. "Jika Mas begini, lebih baik aku turun saja," kataku sambil membuka pintu mobil da
"Ingat tidak, saat kamu mengirimiku surat cinta? Aku tersenyum membacanya. Lalu, aku diam-diam mengikutimu. Aku sangat senang. Aku suka kamu yang selalu ceria, jadi aku sangat senang kamu mengirimiku surat cinta." Mas Angga tersenyum seolah sedang mengenang saat itu.Aku mengangguk. "Ingat. Dan saat aku menyatakan cintaku pada Mas secara langsung, Mas nyuruh aku agar fokus ujian daripada mikirin pacaran. Bener, kan?" tanyaku balik, balas tersenyum."Iya. Karena aku tidak yakin kamu benar-benar serius dengan ucapanmu. Makanya aku bilang, kan, padamu, jika benar-benar menyukaiku maka lebih baik kita segera menikah. Ingat?" "Iya, ingat." Kuanggukkan kepala."Dan sekarang kita sudah menikah." Diciumnya tanganku. "Sayang, kita sudah menikah. Menikah, dulu adalah impian yang ingin kuwujudkan denganmu. Dan sekarang, kita sudah menikah. Sudah menikah, Sayang. Kita sudah jadi suami istri. Lalu kenapa harus berpisah?""Mas sudah tau jawabanku."Pak Salim mendekat membawa nampan besar. Dia leta
POV AnggaAku mengurangi laju kecepatan saat mobil yang kukendarai melewati Simpang Kampus. Berat sekali rasanya akan berpisah dengan Dinda. Dinda sesekali menatapku, sebentar-sebentar ia menatap ke luar jendela mobil yang terbuka, membuat angin malam yang dingin berembus masuk. Sikapnya yang terus mengalihkan pandang dariku sungguh menyakiti hati juga perasaanku. Dia berbeda dari yang dulu. Biasanya, ia akan mengobrol panjang lebar, apa saja dibicarakan saat berada dalam perjalanan begini, Dinda begitu cerewet sampai terkadang, aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran ada saja yang dia bicarakan. Dia tidak pernah kehilangan obrolan.Tapi sekarang, Dinda terlihat begitu risau. Apa dia benar-benar sudah tak ingin lagi hidup bersamaku? Apa cintanya padaku sudah hilang? Aku menoleh menatapnya. Dia ternyata tengah menatapku, Dinda langsung saja berpaling saat secara tak sengaja kami beradu tatap.Kutarik napas panjang lalu membuangnya pelan, berharap dengan begitu, rasa sesak di dadak
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"