POV Angga "Lho, Ga, dari tadi kamu belum mandi?" tanya Bunda saat dia melongokkan kepala ke dalam kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan nanar. Bunda melangkah masuk, dia memandangiku dengan kernyit heran di keningnya.Tangan Bunda menyentuh bahuku dan dia menunduk menatapku. "Kamu kenapa tidak segera mandi?" tanyanya dengan suara lembut. Tatapannya tertuju ke wajahku.Aku menarik napas panjang, menyentuh HP hingga layarnya menyala kemudian menghadapkannya pada Bunda. Bunda menatap layar benda yang kupegang, mataku membulat dan dia menggelengkan kepala.Ditariknya napas panjang. "Dia sudah salah paham. Kamu segera mandi lalu salat, setelah itu kita ke rumah mertuamu. Cepat, Ga," kata Bunda tak sabar."Dinda bilang, dia tidak akan pernah mempercayaiku lagi. Apa pun yang akan kujelaskan padanya, dia tidak akan percaya, Bun. Dia sudah bilang begitu. Ini lihat, bunda baca sendiri." Kembali kuhadapkan layar HP pada Bunda. Aku menghela napas mencoba mengusir sesak di dada. Bar
Suara Bunda dan Mas Angga terdengar. Bunda menarik napas panjang begitu rekaman berhenti. Aku duduk di sofa samping Mama."Aku gak salah paham!" kuucap kata itu dengan keras.Mas Angga memandangku. "Kamu salah paham, Din. Vidio yang kamu rekam itu, itu saat aku bilang pada Bunda bahwa aku ragu mau punya anak. Setelah itu, aku mengatakan pada Bunda bahwa aku mau punya anak," jelasnya yang kutanggapi dengan senyuman mencibir. Aku tidak mau percaya padanya lagi. Titik!"Benar yang dikatakan Angga, Din." Bunda memandangku. "Kamu hanya salah paham," lanjutnya dengan tatapan terus ke arahku.Aku menggeleng. "Aku gak percaya sama Mas Angga lagi, Bun," sahutku tanpa menatap Bunda. Yang kutatap justru Mas Angga. Mas Angga menghela napas, dia memijit-mijit keningnya.Mama memandang Bunda. "Bunda sudah mendengar sendiri jawaban Dinda, kan? Dinda tidak percaya lagi pada Angga. Jika Dinda tidak ingin kembali pada Angga, maka aku mendukung keputusannya.""Dinda." Suara Bunda terdengar lirih. "Tolon
POV Angga "Bunda benar-benar pusing," kata Bunda, ia mengemudi sambil sebentar-sebentar memijit keningnya. Wajah Bunda terlihat pucat. Matanya berkaca-kaca seperti akan menangis. "Jika Bunda pusing, biar Angga saja yang mengemudi," kataku.Bunda menoleh sekilas. "Bunda bukan pusing karena sakit kepala, tapi pusing memikirkan semua ini, Ga." Ditariknya napas panjang. "Apa yang harus Bunda katakan pada ayahmu jika resepsimu sampai batal, Ga? Ayahmu juga Bunda, pasti akan kehilangan muka. Banyak rekan bisnis ayahmu yang diundang, Ga."Bunda lagi-lagi menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Wajah Bunda terlihat amat ketakutan seolah sedang membayangkan sesuatu yang mengerikan. Bunda akhirnya menepikan mobil lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Aku mendekat dan merangkulnya."Belum-belum Bunda sudah merasa sangat malu, Ga. Orang-orang pasti akan berpikir bahwa kamu benar-benar payah, kawin cerai terus!" kata Bunda, terlihat kilat jengkel di manik matanya. Walau aku ing
"Kumakan, kan? Kalau itu kamu buang ...." Dia tuding piring yang kupegang. "Kamu keterlaluan." Dia membalikkan badan lalu keluar gerbang. Aku memandangi bakwan juga tempe di piring. Masa, aku makan makanan yang udah jatuh begini? Aku lalu menatap rerumputan. Bagaimana kalau ada kucing pipis di sini? Juga, rumput ini sudah puluhan kali diinjak injak sandal, hiiiMau kubuang di kotak sampah nanti ketahuan Andika, pasti dia akan ngoceh-ngoceh kalau tahu makanan buatan mamanya kubuang. Lebih baik kumasukkan ke dalam saja deh, buang besok saja di luar.Aku pun berjalan menuju kontrakan, meletakkan piring ke meja ruang tamu setelah itu sambil menghubungi Yana, aku mengunci kontrakan."Halo, Yan? Kok dimatikan?" "Kamu sepertinya lagi sibuk ngobrol, siapa cowok tadi?" tanyanya."Si Andika, anaknya ibu kos," sahutku, teringat si cowok tengil itu aku jengkel sekali. Masa aku disuruh makan makanan yang sudah jatuh? Benar-benar si Andika itu, tidak beres otaknya."Oh anaknya ibu pemilik kontraka
POV AnggaAku menjambak rambut frustrasi melihat mobil Dinda yang semakin menjauh. Dia salah paham. Dan sama sekali tidak mau mendengar ucapanku sama sekali. Percuma saja jika sekarang aku mengejarnya, dia pasti akan kembali menghindar.Apa yang harus kukatakan pada Bunda? Bunda sangat berharap aku pulang membawa Dinda, Bunda pasti kecewa jika aku pulang dengan tangan kosong.Aku kembali menjambak rambut. Dengan langkah lunglai, aku berjalan menuju mobil. Baru saja masuk, HP yang kuletakkan di dasboard berdering. Kuraih, lalu melihat layarnya. Panggilan dari Sisil.Sentuh."Halo, Sil? Ada apa?" tanyaku."Mas, Bunda masuk rumah sakit. Barusan aja dibawa ke rumah sakit.""Apa, Sil?! tanyaku kaget, jantungku seperti diremas kuat saat mendengarnya."Mas buruan ke sini." Suara Sisil terdengar sedih."Iya. Iya, ini mau ke situ. Di rumah sakit mana, Sil?""Muhammadiyah, Mas.""Ya. Ya. Mas ke situ sekarang," kataku dengan panik. Tanpa menunggu lebih lama lagi segera kukendarai mobil menuju ta
"Sil, Ardy sudah kamu hubungi?" tanya Ayah tiba-tiba. "Bilang ada Ardy, Bunda sakit.""Sudah tadi, Yah. Tapi WA-ku gak dibalas. Mungkin jam segini dia lagi ngajar.""Bukannya kampus libur setengah bulan? Kemarin waktu ayah ke rumah Ardy karena kangen dengan Shelin, dia di rumah. Ayah tanya apa dia tidak ke kampus, katanya kampus libur setengah bulan. Jangan di WA tapi ditelpon," ucap Ayah dengan sedikit mendelik pada Sisil.Adik keduaku, Ardy, dia mengajar di IAIN. Sudah hampir 2 tahun dia menjadi dosen di IAIN. Dua warung makannya dia pasrahkan pada orang kepercayaan, itu yang dikatakan Ayah padaku. Selain warung makan, dia juga bisnis kontrakan. Dia memiliki 10 kontrakan di dekat kampus IAIN juga UM, itu juga aku tahu dari ayah. Aku nyaris tidak pernah komunikasi dengan Ardy. Dia menjaga jarak. Hanya lebaran saja kami bertemu, itu pun tidak kurang dari 30 menit. Tiga puluh menit itu, biasanya Ardy berbincang dengan ayah dan Bunda. Sementara padaku, ia hanya mengajak berjabat tangan
POV Dinda"Angga, jelaskan pada Ayah apa maksud ucapan Dinda barusan?" tanya Ayah, dia memandang Mas Angga lalu ganti menatapku. Sama seperti ayah, papa juga menatap kami bergantian dengan pandangan menyelidik sedikit jengkel.Mas Angga terus menunduk diam, sama sekali tak menjawab ucapan Ayah. Karena terus dipandangi oleh Ayah juga Papa, akhirnya aku menuding ke arah Mas Angga. Lalu sambil terisak karena terbawa perasaan yang menyedihkan, aku memandang Ayah, kemudian berganti menatap Papa. Mereka sudah dengar. Jadi, kujelaskan saja sekalian agar semuanya menjadi jelas."Mas Angga nyuruh aku angkat rahim, Pa, Yah. Sebenarnya, ceritaku waktu itu saat kita makan bersama bukan temenku yang disuruh angkat rahim oleh suaminya, itu sebenarnya itu adalah aku. Mas Angga bilang ...." Aku memandang Mas Angga. Lalu lanjutku, "Mas Angga, dia gak ingin punya anak dariku. Kemarin-kemarin, dia terus membujuk agar aku mau angkat rahim, tujuannya agar gak punya anak dariku. Mas Angga bilang, anak-anak
"Yang barusan kukatakan adalah benar. Tidak mengada-ada. Dinda yang salah paham." Bunda menatapku. Entah kenapa aku sama sekali tidak percaya perkataan Bunda. Begitu pun Papa juga Mama, terlihat sangsi. Apa pun yang keluar dari bibir Mas Angga juga Bunda kuanggap hanya alasan agar aku mengurungkan niat pisah."Aku heran, kenapa menikahi Dinda tapi tidak mau punya anak darinya." Mama menatap Bunda penuh ejekan. "Masa anakku hanya akan dijadikan pengasuh anak-anak juga pemuas di tempat tidur saja. Alangkah malang nasibmu, Nak. Sudah, lebih baik cerai saja," kata Mama, dia kini memandang Mas Angga dengan pandangan tak senang."Aku tidak ada niatan begitu, Ma." Suara Mas Angga lirih."Halah, kamu kira aku percaya, apa?""Sekarang, aku mau punya anak, Ma," ucap Mas Angga lagi. Mama tertawa mengejek. "Siapa yang akan tahu jika nanti kamu diam-diam vasektomi?" Tatapan Mama tajam. Begitu pun Papa, dari tadi terus memperhatikan suamiku dengan pandangan tak senang."Tidak, akan, Ma. Aku bisa j