NASI BERKAT 2
Mak Siti membuka ceting bambu, menyendok nasi lalu menyodorkan ke suaminya. Saat ingin menyendokkan nasi untuk Erna, tangannya ditahan putrinya."Aku bisa sendiri, Mak. Mak duduk saja, ya! Mak cukup layani Bapak saja, Erna udah gede malu diambilin mulu." Erna berucap sambil nyengir dan mengambil sendok nasi dari tangan Mak Siti.Mak Siti tersenyum, baginya Erna tetaplah putri kecilnya. Tapi tak dipungkiri dirinya bangga putrinya sudah bisa mandiri di usia belia.Jangan tanya macigcom atau perabot listrik yang lainnya, masak pun masih menggunakan tungku kayu. Tetangganya berbaik hati menyalurkan listrik ke rumah, oleh sebab itu keluarga Pak Kasno merasa sungkan kalau harus memakai listrik berlebihan. Terlebih mereka hanya bayar semampunya. Dua buah bohlam 15 watt untuk menerangi ruang tamu dan dapur, serta kamar mandi. Tiga bohlam 5 watt untuk dua kamar dan teras, bagi Pak Kasno sudah cukup. Yang penting malam gak gelap, putrinya bisa belajar dengan nyaman, dirinya dan sang istri bisa leluasa membaca Alquran sehabis salat. Pernah suatu hari bohlam lampu teras putus. Karena tak punya uang Pak Kasno menggunakan lampu di kamarnya, sontak istri dan putrinya heran."Nanti tidur pake sentir dulu Mak, kasian kalo ada orang lewat depan rumah gelap. Jalanannya kan rusak, kalau gelap gak keliatan takut ada orang jatuh karena gak lihat. Kita memang tak punya banyak harta untuk bersedekah, tapi dengan kita memudahkan urusan orang mudah-mudahan bisa jadi ladang pahala untuk kita. Yah ... walaupun lampunya gak gitu terang, setidaknya jalanan gak gelap gulita." Istri dan putrinya hanya mengangguk tanda setuju mendengar penjelasan Pak Kasno.Mereka bertiga makan dengan penuh rasa syukur. Walau hanya lauk krupuk gendar. Kebiasaan saat makan mereka makan dalam diam, dan menggunakan tangan. Kecuali kalau sayur ada kuahnya baru pakai sendok. Lebih nikmat katanya.Setelah selesai makan Erna membereskan piring, membawanya kekamar mandi. Besok pagi, baru ia cuci sekalian dengan perabot lainnya.Mendengarkan radio jadi hiburan setelah seharian penat dengan pekerjaan. Bercengkrama hangat, bercerita apa saja. Tertawa bersama, begini saja mereka begitu bahagia.****"Mak.""Hmm.""Udah jam enam, lho!""Iya, kenapa?" Mak Siti meletakkan bambu sebesar paralon kecil dengan panjang sekitar 30cm, bambu itu digunakan untuk meniup tungku saat apinya dirasa mengecil. Kalau salah tiup bukan api yang bener, tapi muka yang kena langes alias jelaga hitam.Menghampiri Erna yang duduk di amben dapur. Lalu duduk di sebelahnya, sambil menyiangi daun singkong."Bapak, dari subuh belum pulang dari masjid, kemana Mak?" Erna bertanya sambil sarapan singkong rebus dicocol garam."Gak tau, tadi gak bilang apa-apa sama mak," jawab Mak Siti."Kalo udah selesai sarapan, langsung berangkat aja!" sambung Mak Siti."Yaudah kalo gitu, nanti tolong pamitin ke bapak, ya Mak.""Iya, nanti mak bilangin Bapak," ucap Mak Siti sambil tersenyum menatap lekat putrinya."Mak, emmm ... Erna mau ngomong boleh?" Erna berucap sedikit gusar. Ingin meminta uang untuk beli buku, tapi dia tidak tega, pasti orang tuanya tidak punya uang. Semalam, setelah makan malam terus ngobrol sebentar, Erna pamit masuk kamar karna sudah ngantuk. Tak sengaja mendengar obrolan orangtuanya."Pak, aku udah gak ad uang buat besok, gimana ini, tinggal dua ribu buat sangu Erna sekolah.""Insyaallah, besok ada rejeki Mak, gak usah khawatir. Kita punya Allah yang maha kaya. Ayo tidur, udah malem, gak usah dipikirin yang penting doa dan ikhtiar."Mengingat obrolan orang tuanya semalam, Erna mengurungkan niatnya. Dia akan mencari cara lain tanpa harus membebani orang tuanya. Rezeki bisa dari mana saja, pasti ada jalan.Melihat putrinya hanya bengong, Mak Siti pun menegurnya."Nduk, ada apa to? Kok malah bengong!" tegur Mak Siti.Seketika Erna tersadar dari lamunannya. "Eh, eng ... ini Mak, anu ... gak jadi deh, besok aja." Erna menjawab sekenanya seraya terkekeh pelan, lalu berdiri dan menyambar tas yang dia letakkan di amben."Erna pamit, Mak, udah siang. Assalamualaikum!" pamitnya sambil mencium tangan emaknya.Mak Siti tersenyum, membelai kepala Erna yang tertutup kerudung. Bahkan warna kerudungnya sudah mulai pudar karna hampir tiap hari dipakai, dan gak ada gantinya."Wallaikumsalam, hati-hati dijalan ya Nduk, belajar yang rajin! Ini uang dua ribu buat sangu."Erna mengambil uang dua ribu dari tangan emaknya, lalu memasukkan kedalam tas."Biar aman." Erna berkata sambil nyengir.Erna melambaikan tangan, setelah keluar dari pintu dapur. Emak tersenyum melihat putrinya."Maafkan mak, Nak, belum bisa mencukupi semua kebutuhanmu" gumam Mak Siti dalam hati.Tak terasa, air mata menetes dari sudut matanya. Mengingat kehidupannya yang serba terbatas, belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak semata wayangnya.****Mak Siti merebus daun singkong yang sudah disiangi. Selanjutnya mengupas bumbu, hari ini akan masak gulai daun singkong. Bersyukur di samping rumah masih ada tanah kosong, Mak Siti memanfaatkan lahan kosong miliknya untuk menanam beberapa sayuran.Paling pinggir ditanami singkong, bukan tanpa alasan Mak Siti menanam singkong paling pinggir. Sekalian buat pembatas tanah katanya. Pohon singkong yang ditanam di pinggir hanya dimanfaatkan daunnya. Pohon singkong yang ditanam di tengah lahanlah yg akan dipanen singkongnya. Ada juga bayam liar, tomat, cabai.Ada juga pohon kelapa dan pepaya. Di depan rumah, tumbuh subur pohon rambutan. Setidaknya dirinya tak perlu pusing mencari sayur kalau tak ada uang. Kalau ada yang meminta sayur pun dengan senang hati diberi.Sedang asyik mengulek bumbu, suaminya datang dari pintu belakang. Wajahnya tampak lesu."Bapak kenapa? Datang gak uluk salam, muka ditekuk gitu." Diletakkan ulegan yang sedari tadi dipegang, lantas menghampiri suaminya."Tadi, bapak abis subuh ke rumah Pak Rusdi, disuruh bersihin kandang kambing. Bapak semangat sekali, alhamdulillah ada rejeki."Belum sempat selesai cerita, Mak Siti sudah menyela, " gak usah dilanjutin Pak, mak udah paham. Anggap saja Bapak lagi sedekah sama Pak Rusdi!"Menggenggam tangan suaminya dengan hangat, lalu melanjutkan ucapannya dengan senyum tulus."Insyaallah, rejeki kita berkali-kali lipat. Gak usah sedih, hari ini mak masak gulai daun singkong kesukaan Bapak dan Erna."Mak Siti lantas berdiri, menepuk bahu Pak Kasno pelan, menguatkannya. Lalu melanjutkan acara masak-masak pagi itu.Nasi Berkat 3Amben berukuran 2x1 meter di bawah pohon rambutan, jadi tempat favorit Pak Kasno untuk membuat besek bambu. Karena penyakitnya tak memperbolehkan terlalu capek, hanya dengan cara ini lah beliau mendapatkan uang untuk menafkahi keluarganya.Keahliannya didapat turun temurun dari orangtuanya yang telah lama meninggal. Terkadang kalau ada pelepah kelapa yang tua, Pak Kasno membuat sapu lidi. Sedangkan blarak kelapa atau daun kelapa yang kering, digunakan untuk tambahan kayu bakar.Mak Siti menghampiri suaminya, dengan tangan kanan memegang teko berisi teh, dan tangan kiri memegang piring berisi cemilan. Terlihat asap masih mengepul di atas piring, pertanda makanan itu baru saja matang. Dari baunya saja sudah bisa ditebak, pasti enak, walau dibuat dari bahan sederhana."Pak, tehnya!" ucapak Siti sambil meletakkan teko dan piring di samping kanan suaminya."Trimakasih Mak, wahhh kayaknya enak nih rolade anget-anget," jawab Pak Kasno."Maaf ya Pak, hanya teh tawar, gula habis,
Nasi Berkat 4Selepas salat asar, Mak Siti mulai menggoreng krupuk gendar. Sebelum salat tadi, Mak Siti lebih dulu menyiapkan kayu bakar dan blarak, yang diambil dari gubug kecil samping rumah, yang dibuat khusus untuk menyimpan kayu bakar. Tak lupa, sebakul krupuk gendar mentah, dan setengah liter minyak goreng."Alhamdulillah, masih ada setengah liter. Mudah-mudahan cukup," ucapnya dalam hati.Mak Siti tersenyum senang, sambil menepukkan kedua tangan. Setelah dirasa semua komplit, barulah Mak Siti ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Menunaikan empat rakaat salat dengan khusuk, berdoa, meminta kepada-Nya. Setelah minyak dirasa panas, satu persatu krupuk gendar mentah dimasukkan ke penggorengan. Tak perlu menunggu lama, tak sampai dua menit, krupuk pun matang.Digoreng di tungku, dengan bahan bakar kayu dan blarak, membuat krupuk gendar beraroma khas. Digorengnya juga sedikit lebih lama. Kalau cukup matang saja warnanya kuning keemasan, tapi kalau digoreng agak lama warna agak keco
Nasi Berkat 5Pukul dua dini hari, Pak Kasno sudah selesai ronda. Setelah pamit dengan Pak Sidik, Pak Kasno langsung bergegas pulang.Merogoh saku jaket lusuhnya, mengeluarkan kunci rumah yang ia simpan di sana.Klek klekTanda kunci terbuka. Pak Kasno membuka pintu sepelan mungkin, agar tak mengganggu anak istrinya yang masih tertidur pulas.Tempat yang dituju pertama adalah kamar mandi. Setelah melepas jaket, dan menaruh begitu saja di atas amben dapur, lalu melangkah ke kamar mandi. Mecuci kaki dan tangan, kemudian membasuh wajah agar lebih segar.Saat hendak meraih gagang pintu kamar, Pak Kasno menoleh kearah amben. Tangan yang sudah terulur untuk membuka pintu ditariknya kembali. Berbalik, mengambil jaket, dan menyampirkan di pundaknya.Membuka pintu kamar dengan sangat pelan, agar tak menimbulkan bunyi. Setelahnya menggantungkan jaket dibelakang pintu, barulah beranjak menghampiri istrinya di peraduan.Walau sudah berusaha sepelan mungkin menjatuhkan bobot tubuhnya di samping is
Nasi Berkat 6Mak Siti duduk di bibir ranjang, merapikan rabut putrinya yang menutupi sebagian wajah. Menggoyang lengannya pelan, untuk membangunkannya."Udah pagi, Nduk, bangun nanti subuhnya keburu habis!"Erna menggeliat, perlahan membuka netranya. "Iya, Mak!" sahut Erna.Setelah memastikan putrinya terbangun, mengelus pipinya penuh sayang dengan senyum tulus seorang ibu. "Anak pintar, lekas bangun mak bikinin sarapan!" Mak Siti segera beranjak untuk membuat sarapan.Erna menyingkap selimut, duduk lalu melipat selimut dan menaruhnya di atas bantal, menepuk-nepuk bekasnya tidur. Setelahnya menengadahkan kedua tangan, mengucap hamdallah kepada Rabb nya, yang telah memberinya nikmat tidur dengan nyenyak dan masih diberi kesempatan umur panjang dan kesehatan.Turun dari ranjang, berjalan kearah jendela kamarnya. Membuka hordeng, perlahan membuka jendela lebar-lebar. Menghirup udara pagi pedesaan yang masih sangat segar dengan bau khasnya, dengan mata terpejam. Hal itu jadi kebiasaany
Nasi Berkat 7Pukul tujuh pagi, acara panen sayuran selesai. Mak Siti sengaja membawa semua hasil panen ke amben depan rumah, dengan harapan ada tetangga yang mampir dan sudi membeli sayurannya.Mak Siti duduk selonjoran, sambil mengikat sayuran dengan bambu muda yang dibelah tipis-tipis. Lentur, dan cukup kuat untuk mengikat sayuran.Tak berapa lama, Yu Jum istrinya Pak Rusdi lewat depan rumah, lalu berhenti untuk menyapa Mak Siti."Pagi-pagi udah panen sayur, Mak," ujar Yu Jum. Namanya Bu Jumiah, tapi Mak Siti biasa memanggilnya Yu Jum.Mak Siti mendongak untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara."Ehh, Yu Jum, dari mana Mbak Yu?""Biasa, jalan pagi, nyari udara segar. Sekalian olahraga," jawab Yu Jum lalu terkekeh."Sayurnya seger-seger banget, baru metik ya, Mak?" Mak Siti menjawab sambil menyunggingkan senyum. "Iya, Mbak Yu, udah waktunya dipetikin. Sayang kalau dibiarin, nanti mubazir."Sejenak terbersit dihatinya, berharap Yu Jum ingat tentang upah suaminya yang belum dibaya
Nasi Berkat 8Mak Siti melangkahkan kaki ke dalam rumah, menengok suaminya sudah membaik atau belum.Dengan sangat pelan membuka pintu kamar.Terlihat Pak Kasno masih lelap tertidur, jika pagi tadi masih tertidur dengan posisi duduk, maka kini beliau sudah bisa tidur berbaring.Walau masih terdengar suara napasnya yang agak tersengal, bisa tidur berbaring sudah alhamdulillah.Duduk di pinggir pembaringan, mengelus lengan suaminya pelan. Berusaha membangunkan dengan cara lembut, agar tak kaget."Pak, bangun dulu sebentar, yuk! Sarapan dulu, sedikit gak apa. Biar keisi perutnya."Pak Kasno terbangun, membuka matanya perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Cahaya matahari pagi menerobos dari celah genteng dan jendela kamar yang terbuka. Kamar yang tak pengap dengan sirkulasi udara baik, sangat membantu untuk kesembuhan Pak Kasno kala penyakitnya kambuh. Paru-parunya butuh oksigen yang bagus."Iya, Mak, sudah jam berapa ini? Bapak kelamaan tidurnya, ya?""Enggak, P
Nasi Berkat 9Mak Siti berjalan keliling kampung, menjajakan sayur dagangannya. Tiap orang yang ia jumpai di jalan, akan ditawarin sayuran hasil panennya sendiri.Ibu-ibu yang sedang menjemur baju, menyapu halaman rumah, dan yang sedang bercengkerama di depan rumahnya tak luput jadi sasaran Mak Siti.Namun hasilnya masih nihil.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang menyuapi anaknya di teras depan rumahnya. Mak Siti perlahan menghampiri. Sambil berjalan, tak lupa Mak Siti berdoa dalam hati semoga ibu itu mau membeli dagangannya."Lagi nyuapin, Bu?" tanya Mak Siti lembut.Ibu itu menoleh, lalu tersenyum menganggukkan kepala. "Iya, Bu, maunya makan di luar, gak mau kalau di dalam."Ibu itu mengamati Mak Siti lebih teliti. "Istrinya Pak Kasno kan, ya? Mak Siti?" Ibu itu bertanya untuk meyakinkan jika ia tak salah orang.Mak Siti tersenyum lembut. "Iya, Bu.""Pak Kasno kadang suka bersihin halaman belakang, suami saya kadang suka gak mau bersihin kalau udah capek pulang kerja. Libur mend
Nasi Berkat 10"Ehh, temen-temen, jangan ada yang mau beli krupuk Erna! Gak enak, kotor, jorok." Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, mencoba mengompori teman-temannya. Anak itu duduk di bangku kelas lima, itu artinya kakak kelas Erna.Erna yang sedang menawarkan krupuk dagangannya, seketika mematung.Anak-anak mulai berkerumun. Banyak yang berbisik-bisik, ada juga yang menatapnya tajam. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala.Entah punya masalah apa anak kelas lima itu dengan Erna. Tega sekali."Lihat, pakaiannya dekil, sepatunya kotor! Pasti krupuknya juga kotor."Merasa menjadi pusat perhatian, seketika hati Erna menciut. Dia menunduk, tak berani menatap teman-temannya.Setegar apapun, Erna tetap anak umur sepuluh tahun yang rapuh jika di bully.Air mata itu perlahan menetes, makin lama makin banyak. Tak hanya membasahi pipi, tapi juga seragam dan kerudung lusuhnya. Erna terisak. Berdiri dikelilingi teman-temannya, menangis sesenggukan. Tangan kanannya menggenggam erat pla