Nasi Berkat 11Sepulang sekolah Erna tak langsung pulang. Duduk termenung di bangku panjang depan kelasnya. Sesekali membalas sapaan temannya."Na, ayo pulang! Ngapain malah ngelamun di sini, pamali, udah sepi nanti kesambet," tegur Hesti teman sebangku Erna. Hesti lalu ikut duduk di samping Erna."Kamu sendiri ngapain malah ikut duduk? Bukannya pulang sana, nanti dicariin pak ustad lho, anak gadisnya belum pulang," goda Erna sambil terkekeh. Hesti teman sebangku sekaligus sahabatnya. Anak bungsu Pak Udin, guru ngaji Erna.Hesti yang sedang mengikat tali sepatunya lantas berhenti, duduk tegak dengan menyilangkan tangan di dada. Dengan wajah kesal, menyipitkan mata, menatap tajam Erna. Seolah berkata 'aku tidak suka'.Erna yang ditatap dengan tatapan mengintimidasi, bukannya takut malah terbahak-bahak melihat wajah sahabatnya itu yang terlihat menggemaskan itu menurut dirinya. Erna tertawa terbahak. "Kamu tuh ga pantes kalau marah, ga usah sok menggertak gitu deh!"Hesti mendengus kes
Nasi Berkat 12Mak Siti berjalan tergesa-gesa, merasa bersalah karena meninggalkan suaminya yang sedang sakit terlalu lama. Biasanya walau dalam keadaan sangat kekurangan pun Mak Siti tak akan tega meninggalkan suaminya sendirian dalam keadaan sakit. Merawat dan melayani sebaik mungkin. Pasrah kepada-Nya, karena yakin rezeki tidak akan tertukar, bisa datang dari pintu manapun.Entah apa yang ada di benaknya, begitu banyak kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi, membuat dirinya sejenak terobsesi untuk terus mengejar lembaran rupiah. Memang betul manusia hidup butuh uang, namun nyatanya ketika hanya dunia saja yang difikirkan, berapapun rezeki akan terasa kurang. Sedangkan ketika mengejar akhirat dengan sendirinya dunia juga akan mengikuti. Karena kuncinya adalah bersyukur, sekecil apapun rezeki akan terasa lapang jika disyukuri dengan penuh ikhlas."Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah," ucap lirih Mak Siti.Mak Siti berjalan dengan terus beristigfar dalam hati."Mak, Mak Siti!
Nasi Berkat 13Erna berhenti di samping amben yang terletak di bawah pohon rambutan depan rumahnya. Keadaan amben berantakan, sisa sayur yang di ikat Mak Siti belum dibereskan. Ada beberapa tali dari bambu juga.Menoleh ke samping rumah, pelepah dan daun kelapa berserakan. Keranjang yang ia gunakan untuk memanen sayuran tadi pagi juga tergeletak begitu saja.Pintu depan tertutup rapat, pun dengan rumah yang sepi membuat Erna heran. Tak biasanya seperti ini.Erna lalu berjalan ke samping rumah, mengambil keranjang yang tergeletak begitu saja di tanah."Tumben, rumah berantakan. Apa Bapak belum sembuh, ya? Ahh tapi tadi pagi udah mendingan kok," gumamnya sendiri.Mendekati pintu samping rumah, mulai terdengar suara orang tuanya, diselingi gelak tawa."Bapak sama Mak di rumah, sepertinya Bapak juga sudah sehat tapi kenapa rumah berantakan sekali," ucap Erna dalam hati.Erna lalu membuka pintu perlahan."Assalamualaikum," Erna mengucap salam. Meletakkan keranjang didekat pintu, membiarkan
Nasi Berkat 14Erna terus berlari, bukan rumah tujuan meluapkan lara hati. Tak ingin membebani orang tuanya lagi. Sudah cukup beban yang harus ditanggung Mak dan Bapaknya. Namun dia juga tidak bisa terus menerus menyembunyikan duka yang dirasa.Dengan nafas ngos-ngosan, Erna berhenti di pinggir pematang sawah. Dadanya terasa sesak karena terus berlari dengan derai air mata yang seakan enggan berhenti. Jantungnya bergemuruh. Membungkuk, kedua tangan memegang lutut dan mata terpejam rapat.Setelah sedikit tenang, Erna berdiri tegak. Memandang sawah hijau di depannya. Ada gubug kecil di pinggir sawah, dengan batu berbentuk persegi panjang di tengah gubug. Biasanya digunakan orang-orang untuk rehat santap siang dan berlindung dari sengatan matahari. Atau hanya melepas penat sebelum pulang ke rumah setelah seharian merjibaku dengan lumpur dan cangkul."Aarrrggghhhhhhhh ...." Erna berteriak kencang, berharap sesak didadanya lenyap. Air mata keluar begitu deras. Isak tangisnya sangat menyay
Nasi Berkat 15"Erna!" teriak Hesti panik.Dari kejauhan Hesti sudah bisa melihat Erna. Kaget melihat kondisi sahabatnya itu, Hesti berlari agar segera sampai. Tak dipedulikan kakinya yang tersandung batu dan berdarah.Erna duduk ditanah dan menangis meraung-raung. Tangan menggenggam rumput di kanan kiri tubuhnya dengan sangat kuat. Wajah dan rambutnya berantakan. Air mata seolah enggan untuk berhenti. Matanya sampai bengkak karena terlalu lama menangis.Hesti mendekap sahabatnya itu dari belakang. Ia ikut menangis, prihatin melihat kondisi Erna."Nyebut, Na. Kamu gak boleh kayak gini! Cerita sama aku, ada apa sebenarnya? Kenapa jadi kayak gini, Na?" cecar Hesti.Perlahan Erna mulai sedikit tenang, sudah tak menangis meraung-raung lagi. Namun sedu sedannya masih kentara sekali."Istigfar, Na. Kalau kamu kayak gini malah bikin orang khawatir," ucap Hesti lalu melepas dekapannya. Duduk di samping Erna. Sahabatnya itu masih diam membisu. Hesti tau, tak ada gunanya memaksa Erna berbicara.
Nasi Berkat 16"Assalamualaikum." Erna dan Hesti mengucap salam bersamaan.Mak Siti tergopoh-gopoh menghampiri mereka."Wallaikumsalam, ya Allah Nduk..., kamu dari mana saja, Mak Bapak khawatir!"Mak Siti memeluk erat putrinya, mengamati badan Erna dari atas ke bawah. Meraba seluruh badan takut jika ada yang sakit atau luka. Bahkan sampai menyuruh berputar kanan kiri seolah enggan terlewat barang sedikitpun badan Erna dari pengamatannya.Erna hanya terkekeh menuruti perintah Maknya. Sedang Hesti yang merasa geli, membekap mulutnya takut kelepasan tertawa. Bu Ida dan Pak Kasno tersenyum melihat tingkah Mak Siti."Erna, gak apa-apa, Mak. Gak ada yang hilang dari Erna!"Setelah berkata demikian, akhirnya Mak Siti berhenti memeriksa badan Erna. Memegang kedua pundak Erna erat, lalu menatap lekat."Beneran?""Hu'um," jawab Erna dengan mengangguk mantap."Yaudah, ayo masuk! Cerita semua sama Mak, jangan ada yang ditutupi apalagi sampai berbohong, Mak gak suka itu.""Iya, Mak!" Mak Siti men
Nasi Berkat 17Bukan hidupnya gampang, namun hatinyalah yang lapang karena selalu bersyukur. Tuhan lah tempatnya bersandar dari hiruk pikuk dunia yang melenakan. Saling menguatkan satu sama lain agar tetap kuat. Berpasrah kepada-Nya setelah ikhtiar panjang yang dilakukan.Setelah memastikan semua pintu telah tertutup, dan mengecek kamar Erna. Membenahi selimut tipis yang menutupi tubuh putrinya untuk melindungi dari dinginnya malam. Mak Siti lalu bergegas menyusul suaminya yang lebih dulu masuk kamar.Duduk di tepi petiduran, dengan memangku bekas kaleng biskuit yang biasa ia gunakan untuk menaruh uang. Menghitung lembaran demi lembaran lusuh yang sangat berharga bagi keluarganya. Ada uang lima puluh satu ribu yang bisa ia kumpulkan hari ini. Mak Siti lalu merogoh bawah kasur untuk mengambil uang yang ia simpan disana.Pengalaman pahit yang keluarganya rasakan membuat Mak Siti bertekad menyisihkan uang walau hanya seribu rupia
Nasi Berkat 18Pak Kasno masuk ke dalam rumah, setelah punggung istri dan putrinya tak lagi terlihat dipandangan di ujung jalan.Duduk di kursi ruang tamu dengan segelas besar teh tawar hangat sebagai teman, yang sengaja disiapkan istrinya sebelum berangkat tadi. Menyalakan radio tuanya sekedar untuk menghilangkan keheningan pagi itu.Matanya menerawang jauh, mengingat kembali kehidupan rumah tangganya. Asam garam kehidupan telah ia rasakan. Begitu banyak ujian kesabaran dari segala penjuru arah. Bagai kapal kecil yang terombang-ambing ditengah badai lautan.Pak Kasno pernah ingin menyerah akan kerasnya kehidupan, tapi Mak Siti istrinya begitu sabar dan selalu menguatkan. Sebagai manusia biasa, Mak Siti pun merasakan lelahnya kehidupan yang ia jalani. Hidup ditengah keterbatasan dan kekurangan, tapi lelah dan keluhannya tak pernah ia tampakkan.Mak Siti juga tak menampik, dirinya tak luput dari salah dan dosa. Ada kala