Nasi Berkat 18
Pak Kasno masuk ke dalam rumah, setelah punggung istri dan putrinya tak lagi terlihat dipandangan di ujung jalan.Duduk di kursi ruang tamu dengan segelas besar teh tawar hangat sebagai teman, yang sengaja disiapkan istrinya sebelum berangkat tadi. Menyalakan radio tuanya sekedar untuk menghilangkan keheningan pagi itu.Matanya menerawang jauh, mengingat kembali kehidupan rumah tangganya. Asam garam kehidupan telah ia rasakan. Begitu banyak ujian kesabaran dari segala penjuru arah. Bagai kapal kecil yang terombang-ambing ditengah badai lautan.Pak Kasno pernah ingin menyerah akan kerasnya kehidupan, tapi Mak Siti istrinya begitu sabar dan selalu menguatkan. Sebagai manusia biasa, Mak Siti pun merasakan lelahnya kehidupan yang ia jalani. Hidup ditengah keterbatasan dan kekurangan, tapi lelah dan keluhannya tak pernah ia tampakkan.Mak Siti juga tak menampik, dirinya tak luput dari salah dan dosa. Ada kalaNasi Berkat 19Pasar masih lenggang saat Mak Siti dan Erna tiba. Bukan lapak di dalam pasar tempat Mak Siti menggelar dagangannya. Namun hanya mengemper di depan pasar. Harus membeli kios jika ingin berdagang di dalam pasar. Kalau tidak, minimal mengontrak selama setahun, dan itu butuh biaya yang sangat mahal.Mak Siti berhenti di samping pintu masuk pasar. Tempat itu dirasa cukup strategis untuk menjajakan dagangannya. Orang akan keluar masuk dari pintu itu. Beberapa orang juga sudah bersiap membuka lapaknya tak jauh dari tempat Mak Siti.Erna dengan cekatan membantu membuka ikatan tali pada sepeda. Saat menurunkan dagangannya tak sengaja Mak Siti melihat kaki putrinya yang telanjang."Sendal kamu kemana, Nduk?" tanya Mak Siti heran. Seingatnya tadi dari rumah masih pakai sendal lengkap. Saat istirahatpun ia masih melihat menggunakan sendal, tapi sekarang cuma pakai sebelah saja.Erna hanya nyengir saat Maknya me
Nasi Berkat 20"Heii, sedang apa disini?""Astagfirullah," Erna sampai terlonjak saking kagetnya."Eh, ini Pak, mmm gimana ya, anu itu." Erna yang masih kaget bingung ingin menjelaskan, alhasil hanya kata-kata tak jelas yang bisa ia ucapkan. Akhirnya dia hanya nyengir sambil garuk kepala yang tak gatal.Bapak-bapak berseragam oren itu mengernyitkan dahi heran. Alis hitamnya yang tebal sampai hampir menyatu.Erna memperhatikan Bapak itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saat melihat Bapak itu menggunakan sepatu boot dan sarung tangan plastik tebal, seketika sebuah ide muncul dibenaknya."Emmm, Pak, maaf, boleh minta tolong?" tanyanya pelan."Minta tolong apa, dek?""Boleh saya minta tolong ambilin sendal yang ada di tengah tempat sampah itu, Pak!" kata Erna pelan, tangannya menunjuk sepasang sendal yang tergeletak di tengah tempat sampah itu.Bapak berserag
Nasi Berkat 21"Permisi, Mbak!"Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan yang sedang berkutat di depan komputer mendongak karena mendengar ada yang memanggil. Ia lalu tersenyum manis dan menghampiri Mak Siti."Iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya."Mau beli obat, ini resepnya, Mbak!" ucap Mak Siti seraya menyerahkan selembar kertas berisi resep dari dokter. Kertasnya sudah lusuh karena sudah berkali-kali ia gunakan untuk menebus obat."Sebentar ya, Bu!" ucapnya dengan senyum yang menghiasi bibir, lalu meninggalkan Mak Siti untuk mengambil obat yang dimaksud.Mak Siti menanggapi dengan tersenyum mengangguk. Ia lalu duduk di kursi panjang disudut apotik untuk menunggu obatnya."Bu ..., ini obatnya!" seru gadis penjaga apotik itu."Iya, Mbak!" jawab Mak Siti. Ia buru-buru menghampiri gadis itu."Jadi berapa, Mbak?" lanjutnya lagi."Tuju
Nasi Berkat 22"Lagi banyak pesenan, Pak?" Tanya Pak Rusdi.Pak Kasno yang sedang membuat iratan bambu untuk besek menghentikan aktifitasnya, menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara."Pak Rusdi, mampir sini Pak!" jawab Pak Kasno, tak lupa ia menyunggingkan seulas senyum.Pak Rusdi mengangguk lalu ikut duduk di amben samping Pak Kasno. Pak Kasno merapikan bilah-bilah bambu agar Pak Rusdi lebih nyaman."Dari mana Pak?" Pak Kasno memulai obrolan."Dari rumah, Pak. Pengen jalan aja keliling kampung, bosan di rumah terus!" jawab Pak Rusdi."Oww. Maaf ya, Pak, ini ngobrolnya saya sambi bikin iratan," tutur Pak Kasno sedikit sungkan."Ehh, gak apa, Pak. Silahkan, saya temani boleh kan?" tanya Pak Rusdi."Boleh, Pak. Saya malah senang ada temannya. Kebetulan istri dan anak saya lagi ke pasar belum pulang."Obrolan mengalir begitu saja. Apap
Nasi Berkat 23"Sendal Erna putus, Pak. Tadi aku nemu di tempat sampah, jadi Erna ambil saja buat dipakai. Nanti tolong benerin ya, Pak!" pinta Erna antusias. Ada binar harapan di matanya.DegTempat sampah. Tambah terkejut Pak Kasno mendengar penuturan putrinya itu.Sejenak memejamkan mata, sebelum akhirnya menarik nafas panjang. Sempat terpercik sedikit api amarah, tapi Pak Kasno segera meredamnya. Bukan sepenuhnya salah Mak Siti, dirinya kepala keluarga. Sudah sepatutnya ia yang disalahkan atas segala keterbatasan yang dialami keluarganya.Perlahan Pak Kasno berjalan mendekati Erna yang duduk di bibir amben. Dan, berjongkok di depannya."Coba Bapak lihat sendalnya!" ucap Pak Kasno.Erna mengambil sendalnya yang putus yang ia simpan di plastik. Lalu menyodorkan ke Bapaknya.Hati Pak Kasno seperti diremas melihat dari dekat sendal yang setiap hari menemani langkah putriny
Nasi Berkat 24"Apa sebaiknya Bapak terima saja tawaran Pak Rusdi ya, Mak?" tanya Pak Kasno malam itu saat duduk di dingklik depan tungku sambil membakar ubi jalar.Tangannya sibuk mengorek-ngorek bara api untuk menimbun ubi. Mulutnya sesekali meniup bara api agar tak padam."Gak usah, Pak. Lihat kondisi Bapak, baru juga sembuh. Kalau memang berniat memberi pekerjaan bukan begitu caranya. Bahkan dia tidak lupa dengan upah Bapak yang belum ia bayar. Seperti sengaja agar kita seolah-olah mengemis sama mereka," cerocos Mak Siti.Ia duduk di bibir amben dengan memangku tampah. Matanya lekat mengamati beras di depannya dengan tangan sibuk membolak-balik beras mencari sisa rambut gabah yang tertinggal."Mak bukannya gak ikhlas dengan yang sudah terjadi. Tapi, kita harus belajar dari yang sudah-sudah. Bukan sekali dua kali Pak Rusdi berbuat demikian kan!" ucapnya lagi."Ya, Bapak cuma gak enak saja, Mak. Dikiranya kita sombong atau gimana, karena nolak kerjaan. Sedangkan Bapak kadang nyari k
Nasi Berkat 25"Bagaimana dengan tawaran Pak Rusdi esok, Mak?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Pak Kasno kala Mak Siti sedang melipat mukena usai menunaikan salat isya. Menelan saliva dengan kasar, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya.Ia duduk selonjor dengan bersandar di kepala ranjang. Matanya awas mengamati setiap pergerakan sang istri, seolah takut sedetik saja ia mengalihkan pandang, maka istrinya hilang dari pandangan.Tangan Mak Siti menggantung di udara. Ia memejam, lalu mendesah pelan. Ada sedikit sesak di dada yang menghimpitnya. Melanjutkan melipat mukena lalu mendongak, menatap lekat wajah sang suami. Tak beranjak dari tempatnya duduk, dengan mukena yang sudah rapi dipangkuan.Menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi resah di hati sebelum menjawab pertanyaan suami. "Bagaimana menurut, Bapak?"Pak Kasno menyipit mendengar istrinya justru bertanya balik. Ia menat
Nasi Berkat 26Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika bisa saling mengerti. Apapun itu, karena terkadang hanya egolah yang sebenarnya bertahta atas segala kilah yang lidah lakukan.Keikhlasan yang begitu banyak orang gaungkan, nyatanya tidak sepenuhnya bisa didapat. Karena bukan hanya dengan kesabaran saja semua bisa selesai. Masalah yang utama sebenarnya adalah bagaimana bisa mengalahkan ego itu sendiri yang sudah merajai hati.Ya, ego tidak pernah jauh dari lelaki. Ibaratnya seperti kopi, seberapapun banyaknya gula, kopi tetap mendominasi. Gula akan larut, tapi pekatnya kopi tidak akan bisa hilang, begitulah ego.Rasa syukur itulah yang membuat orang bisa menikmati kopi. Ketika orang lain hanya bisa memandang kopi dengan segala prediksi. Maka sejatinya orang yang meminum kopilah yang benar-benar tau rasa kopi itu sendiri.Ketika rasa syukur itu hanya ucapan, bisa dipastikan sesuatu yang larut dalam kopil