Nasi Berkat 20
"Heii, sedang apa disini?""Astagfirullah," Erna sampai terlonjak saking kagetnya."Eh, ini Pak, mmm gimana ya, anu itu." Erna yang masih kaget bingung ingin menjelaskan, alhasil hanya kata-kata tak jelas yang bisa ia ucapkan. Akhirnya dia hanya nyengir sambil garuk kepala yang tak gatal.Bapak-bapak berseragam oren itu mengernyitkan dahi heran. Alis hitamnya yang tebal sampai hampir menyatu.Erna memperhatikan Bapak itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saat melihat Bapak itu menggunakan sepatu boot dan sarung tangan plastik tebal, seketika sebuah ide muncul dibenaknya."Emmm, Pak, maaf, boleh minta tolong?" tanyanya pelan."Minta tolong apa, dek?""Boleh saya minta tolong ambilin sendal yang ada di tengah tempat sampah itu, Pak!" kata Erna pelan, tangannya menunjuk sepasang sendal yang tergeletak di tengah tempat sampah itu.Bapak berseragNasi Berkat 21"Permisi, Mbak!"Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan yang sedang berkutat di depan komputer mendongak karena mendengar ada yang memanggil. Ia lalu tersenyum manis dan menghampiri Mak Siti."Iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya."Mau beli obat, ini resepnya, Mbak!" ucap Mak Siti seraya menyerahkan selembar kertas berisi resep dari dokter. Kertasnya sudah lusuh karena sudah berkali-kali ia gunakan untuk menebus obat."Sebentar ya, Bu!" ucapnya dengan senyum yang menghiasi bibir, lalu meninggalkan Mak Siti untuk mengambil obat yang dimaksud.Mak Siti menanggapi dengan tersenyum mengangguk. Ia lalu duduk di kursi panjang disudut apotik untuk menunggu obatnya."Bu ..., ini obatnya!" seru gadis penjaga apotik itu."Iya, Mbak!" jawab Mak Siti. Ia buru-buru menghampiri gadis itu."Jadi berapa, Mbak?" lanjutnya lagi."Tuju
Nasi Berkat 22"Lagi banyak pesenan, Pak?" Tanya Pak Rusdi.Pak Kasno yang sedang membuat iratan bambu untuk besek menghentikan aktifitasnya, menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara."Pak Rusdi, mampir sini Pak!" jawab Pak Kasno, tak lupa ia menyunggingkan seulas senyum.Pak Rusdi mengangguk lalu ikut duduk di amben samping Pak Kasno. Pak Kasno merapikan bilah-bilah bambu agar Pak Rusdi lebih nyaman."Dari mana Pak?" Pak Kasno memulai obrolan."Dari rumah, Pak. Pengen jalan aja keliling kampung, bosan di rumah terus!" jawab Pak Rusdi."Oww. Maaf ya, Pak, ini ngobrolnya saya sambi bikin iratan," tutur Pak Kasno sedikit sungkan."Ehh, gak apa, Pak. Silahkan, saya temani boleh kan?" tanya Pak Rusdi."Boleh, Pak. Saya malah senang ada temannya. Kebetulan istri dan anak saya lagi ke pasar belum pulang."Obrolan mengalir begitu saja. Apap
Nasi Berkat 23"Sendal Erna putus, Pak. Tadi aku nemu di tempat sampah, jadi Erna ambil saja buat dipakai. Nanti tolong benerin ya, Pak!" pinta Erna antusias. Ada binar harapan di matanya.DegTempat sampah. Tambah terkejut Pak Kasno mendengar penuturan putrinya itu.Sejenak memejamkan mata, sebelum akhirnya menarik nafas panjang. Sempat terpercik sedikit api amarah, tapi Pak Kasno segera meredamnya. Bukan sepenuhnya salah Mak Siti, dirinya kepala keluarga. Sudah sepatutnya ia yang disalahkan atas segala keterbatasan yang dialami keluarganya.Perlahan Pak Kasno berjalan mendekati Erna yang duduk di bibir amben. Dan, berjongkok di depannya."Coba Bapak lihat sendalnya!" ucap Pak Kasno.Erna mengambil sendalnya yang putus yang ia simpan di plastik. Lalu menyodorkan ke Bapaknya.Hati Pak Kasno seperti diremas melihat dari dekat sendal yang setiap hari menemani langkah putriny
Nasi Berkat 24"Apa sebaiknya Bapak terima saja tawaran Pak Rusdi ya, Mak?" tanya Pak Kasno malam itu saat duduk di dingklik depan tungku sambil membakar ubi jalar.Tangannya sibuk mengorek-ngorek bara api untuk menimbun ubi. Mulutnya sesekali meniup bara api agar tak padam."Gak usah, Pak. Lihat kondisi Bapak, baru juga sembuh. Kalau memang berniat memberi pekerjaan bukan begitu caranya. Bahkan dia tidak lupa dengan upah Bapak yang belum ia bayar. Seperti sengaja agar kita seolah-olah mengemis sama mereka," cerocos Mak Siti.Ia duduk di bibir amben dengan memangku tampah. Matanya lekat mengamati beras di depannya dengan tangan sibuk membolak-balik beras mencari sisa rambut gabah yang tertinggal."Mak bukannya gak ikhlas dengan yang sudah terjadi. Tapi, kita harus belajar dari yang sudah-sudah. Bukan sekali dua kali Pak Rusdi berbuat demikian kan!" ucapnya lagi."Ya, Bapak cuma gak enak saja, Mak. Dikiranya kita sombong atau gimana, karena nolak kerjaan. Sedangkan Bapak kadang nyari k
Nasi Berkat 25"Bagaimana dengan tawaran Pak Rusdi esok, Mak?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Pak Kasno kala Mak Siti sedang melipat mukena usai menunaikan salat isya. Menelan saliva dengan kasar, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya.Ia duduk selonjor dengan bersandar di kepala ranjang. Matanya awas mengamati setiap pergerakan sang istri, seolah takut sedetik saja ia mengalihkan pandang, maka istrinya hilang dari pandangan.Tangan Mak Siti menggantung di udara. Ia memejam, lalu mendesah pelan. Ada sedikit sesak di dada yang menghimpitnya. Melanjutkan melipat mukena lalu mendongak, menatap lekat wajah sang suami. Tak beranjak dari tempatnya duduk, dengan mukena yang sudah rapi dipangkuan.Menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi resah di hati sebelum menjawab pertanyaan suami. "Bagaimana menurut, Bapak?"Pak Kasno menyipit mendengar istrinya justru bertanya balik. Ia menat
Nasi Berkat 26Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika bisa saling mengerti. Apapun itu, karena terkadang hanya egolah yang sebenarnya bertahta atas segala kilah yang lidah lakukan.Keikhlasan yang begitu banyak orang gaungkan, nyatanya tidak sepenuhnya bisa didapat. Karena bukan hanya dengan kesabaran saja semua bisa selesai. Masalah yang utama sebenarnya adalah bagaimana bisa mengalahkan ego itu sendiri yang sudah merajai hati.Ya, ego tidak pernah jauh dari lelaki. Ibaratnya seperti kopi, seberapapun banyaknya gula, kopi tetap mendominasi. Gula akan larut, tapi pekatnya kopi tidak akan bisa hilang, begitulah ego.Rasa syukur itulah yang membuat orang bisa menikmati kopi. Ketika orang lain hanya bisa memandang kopi dengan segala prediksi. Maka sejatinya orang yang meminum kopilah yang benar-benar tau rasa kopi itu sendiri.Ketika rasa syukur itu hanya ucapan, bisa dipastikan sesuatu yang larut dalam kopil
Nasi Berkat 27Jantung Pak Kasno berdegub kencang, dahinya sudah basah oleh keringat dingin. Senter yang ia pegang di tangan kanannya sedikit bergetar. Perlahan ia arahkan sorot lampu senter kesekelilingnya.Dengan susah payah Pak Kasno menelan ludahnya. Mencoba menenangkan debaran jantungnya. Matanya mengerjab beberapa kali. Dalam keadaan gugup ia masih mencoba bepikir positif, barangkali hanya kelapa jatuh.Suasana pagi buta ditambah kabut yang lumayan tebal membuat jarak pandang terbatas. Pak Kasno hanya mengandalkan penerangan dari lampu senter yang ia bawa. Beberapa kali ia arahkan sorot lampu senternya disekitar pohon kelapa tapi ia tak melihat ada tanda-tanda benda jatuh."Gak ada apa-apa, apa aku salah dengar ya!" gumam Pak Kasno. Ia memegang tengkuknya yang mulai meremang."Jelas sekali tadi ada yang jatuh. Lah wong suaranya kenceng banget lho, jangan-jangan ...," Pak Kasno tak melanjutkan
Nasi Berkat 28"Jadi, tadi Bapak ketemu sama Pak Agus. Kemarin memang sempat ngobrol sebentar pas lewat depan rumah, trus mampir. Tadi ketemu di masjid, alhamdulillah masih rezeki, bejo mu Mak hehehe!" Pak Kasno terkekeh mengakhiri ceritanya.Melihat suaminya justru tertawa, Mak Siti makin mengerutkan kening. Apanya yang lucu coba, batinnya."Kok aku sing bejo, Pak?" tanya Mak Siti makin penasaran. Ia beringsut menghampiri sang suami dan duduk di sampingnya."Lho..., kurang bejo piye, kan ndak jadi nebang pohon bambu," ucap Pak Kasno sambil menoel hidung Mak Siti.Sontak saja hal itu membuat pipi Mak Siti merona merah, ia tersipu malu. Hal itu tak luput dari perhatian Erna yang sedang membereskan bambu, membuatnya melongo melihat tingkah kedua orang tuanya."Cieeee ... cieee ...., romantis!" goda Erna yang membuat Mak Siti tambah malu."Apaan sih, Nduk. Cah cilik tau tauan romantis sega
NASI BERKAT 45"Apa ada yang berkata buruk sama kamu?" tanya Pak Kasno menatap lekat wajah istrinya.Mak Siti tersenyum menatap wajah suaminya. Menyembunyikan lara hati yang masih basah. "Nggak ada, Pak. Ayo, makan! Mak udah lapar. Setelah salat harus kesana lagi."Mak Siti memilih menutup topik pembicaraan agar tak merembet kemana-mana. Ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri karena Erna dan suaminya sudah lebih dulu makan sebelum ia pulang, tapi belum selesai.Usai salat dhuhur, Mak Siti segera ke rumah Bu Jaya kembali. Takut jika kelamaan jadi bahan gunjingan lagi. Serba salah jadi orang miskin, tapi Mak Siti tidak mau menyalahkan takdir, juga tidak mau meratapi nasibnya karena itu hanya akan membuat dirinya terpuruk."Kamu nggak ikut, Nduk?" tanya Pak Kasno saat Erna menatap kepergian Emaknya dari teras rumah."Enggak, ahh. Udah gede, malu. Mending di rumah bantuin Bapak," jawab Erna sambil mengayunkan kakinya masuk ke rumah.
NASI BERKAT 44Sinar matahari yang menerobos celah genteng membuat Mak Siti mengerjapkan mata. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Ia merasakan badannya lebih ringan. Pundaknya pun tidak sepegal tadi.Dengan perlahan Mak Siti duduk, lalu beringsut menurunkan kedua kakinya. Duduk di tepian ranjang dengan kaki menggantung. Dua tangannya membenahi rambut yang sedikit berantakan.Pandangannya beralih pada jam tua di dinding. Sedikit terkejut karena rupanya ia tertidur cukup lama. Suaminya bilang akan membangunkannya sebelum azan dhuhur, tapi sekarang sudah jam satu.Saat hendak memakai sendal, samar suara gelak tawa terdengar. Mak Siti mengerutkan kening."Kayak suaranya Erna," gumam lirih Mak Siti.Mak Siti melangkahkan kakinya ke depan. Penasaran dengan suara riuh yang dia dengar. Dari ambang pintu dia melihat suaminya, Erna, juga Tejo sedang asik menata irisan gendar di rigen.Dua sudut bibirnya melengkung, menerbitkan s
NASI BERKAT 43Mungkin orang menganggap Tejo bodoh, tapi sebenarnya tidak. Dia ingin seperti anak-anak yang lain, tapi seringnya dibuli membuat Tejo seperti berontak.Dan anehnya, Tejo sangat peka. Dia tau mana orang yang tulus dan yang tidak. Itu sebabnya dia tidak pernah berbuat usil dengan keluarga Pak Kasno. Kenakalannya dianggap hal lumrah. Dan sepasang suami istri itu akan mengingatkan dengan sabar setiap kesalahan Tejo.Dalam pelajaran mungkin Tejo payah. Namun dia sangat pintar menggambar. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Tejo bisa menggambar burung sesuai imajinasinya, dengan sangat detail. Ketrampilan inilah yang harusnya diasah. Lagi-lagi keterbatasan dana membuat bakatnya terpendam. Terlebih kemampuan yang dia miliki dianggap sepele dan tidak penting bagi sebagian orang. Tidak ada yang mengarahkan. Mbah Ratni hanya sekedar merawat. Perempuan sepuh itu mana mengerti akan hal seperti itu."Kamu ngapain di situ, Tajo?" tanya Pak Kasno menatap Tejo yang bengong di tengah
NASI BERKAT 42"Mak sakit?" Pak Kasno mengulurkan tangannya, menyentuh dahi istrinya. Tidak panas, tapi wajahnya sedikit pucat dan sayu. Terlihat jelas raut wajah cemas Pak Kasno.Mak Siti tersenyum, lalu menggeleng pelan untuk meyakinkan suaminya, bahwa ia baik-baik saja. "Mak gak apa-apa, Pak. Cuma sedikit capek. Badan kok tiba-tiba lemes banget abis numpuk gendar. Badan pegel, sakit semua. Rebahan sebentar nanti juga sembuh."Tiba-tiba mata Pak Kasno berkabut. Dengan cepat ia mengusap kasar matanya. Entah kenapa tiba-tiba takut kehilangan istrinya."Pak ... kenapa?" tanya Mak Siti lirih memegang lengan sang suami.Pak Kasno terkesiap, lalu menggeleng pelan. Berusaha mengubur pikiran buruknya."Bapak takut, Mak ninggalin bapak.""Astagfirullah. Gak boleh ngomong gitu, Pak" tegur Mak Siti pelan."Bukannya Bapak selalu mengingatkan, kalau kita akan kedatangan tamu yang tidak bisa dicegah kedatangannya. Rezeki, m
NASI BERKAT 41"Mak Siti mau ke mana?" tanya Tejo yang baru keluar dari kamarnya.Mak Siti yang hampir sampai pintu pun menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang lagi. Menatap Tejo yang kini sudah berpakaian lengkap dengan bau parfum yang sangat menyengat."Mak mau pulang, Tejo. Masih banyak kerjaan. Kasian Pak Kasno sendirian di rumah," jawab Mak Siti sembari menatap Tejo.Mbah Ratni berjalan pelan dari belakang. Setelah sampai di samping cucunya, ia langsung menepuk pundak Tejo."Kalau pakai parfum itu kira-kira. Jangan sebotol habis sekali pakai!" ujar Mbah Ratni menahan kesal, lalu menghela napas kasar.Mak Siti menahan tawa melihat Tejo cemberut karena dimarahi Mbah Ratni."Kan biar wangi, Mbah," protes Tejo sambil mengendus bajunya."Bukan wangi, tapi mual yang cium bau kamu," sungut Mbah Ratni.Mak Siti akhirnya mendekati mereka. "Parfumnya mana? Mak mau lihat, boleh?"Tejo langsung
NASI BERKAT 40"Mak, sarapan dulu!" tegur Pak Kasno saat melihat istrinya masih membereskan abu sisa kayu bakar."Jangan terlalu diforsir tenaganya. Dari sebelum subuh belum istirahat, lho." Pak Kasno melanjutkan ucapannya seraya menatap lekat istrinya.Mak Siti menoleh tersenyum. "Iya, Pak. Biar mak cuci tangan dulu." Mak Siti lalu menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan debu yang menempel lalu gegas ke kamar mandi mencuci tangan.Suami dan putrinya sudah menyuap sarapan saat Mak Siti menghampiri amben. Ia menarik dingklik dan duduk di sana, sedang suami dan putrinya duduk di atas amben.Pak Kasno menaruh piringnya, lalu mengambil piring kosong dan menyendokkan nasi untuk sang istri. Menambahkan tempe goreng dan urap di atasnya."Ish, kenapa jadi Bapak yang layani mak, sih," cetus Mak Siti tak enak hati.Pak Kasno tersenyum menyodorkan piring ke istrinya. "Sesekali nggak apa. Perempuan yang sudah pontang panting dar
NASI BERKAT 39"Assalamualaikum!" Mak siti mengucap salam seraya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah."Waalaikumsalam," sahut Erna dari dapur terdengar sayup-sayup.Ternyata Erna sedang memindahkan nasi aron ke dandang untuk dikukus. Gadis belia itu dengan cekatan melakukannya. Mak Siti memang mengajari putrinya untuk bisa apa saja sedari kecil. Agar kapan pun ia tidak ada Erna bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa merepotkan orang lain."Biar mak yang naruh di tungku, Nduk. Berat itu," ujar Mak Siti mengayunkan kakinya mendekati Erna lalu menaruh keranjang di lantai begitu saja."Lekas salat subuh, nanti gantian sama mak!" titah Mak Siti yang langsung diangguki Erna.Gegas Erna meninggalkan dingklik yang sedang ia duduki di depan tungku dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Mandinya nanti setelah selesai salat saja pikirnya, karena udara yang terasa sangat dingin menusuk tulang.Dengan cekatan Mak Siti mengangkat dandang dan menaruhnya di tungku paling depan. P
NASI BERKAT 38Sebelum subuh Mak Siti sudah bangun. Ia menoleh ke samping menatap sang suami yang masih pulas dalam alam mimpi. Berucap syukur sudah diberi tidur nyenyak dan umur panjang. Dengan perlahan menurunkan kakinya dan duduk di tepi pembaringan. Merapikan rambut dan menyanggulnya.Tempat pertama yang dituju tentu saja kamar mandi. Usai menuntaskan hajat dan mencuci muka, Mak Siti melangkahkan kakinya ke dekat sumur untuk melihat sayuran yang ia letakkan di bakul. Ia menyunggingkan senyum saat melihat sayuran itu masih nampak segar.Mak Siti mengambil bakul berisi sayur tempuh wiyung dan sintrong yang sudah ia pisahkan untuk dimasak sendiri. Menyiramnya dengan air agar bersih dan segar lalu mengambil baskom kecil untuk menampung air tirisan dari bakul agar tidak becek di mana-mana.Saat menaruh di amben dapur, matanya menatap kayu bakar yang ia letakkan di samping tungku. Ternyata sudah mau habis."Tinggal sedikit kayunya," ucapnya
NASI BERKAT 37"Nggak gerah Pak Kasno pakai baju tebal begitu?" tanya Pak Rusdi menatap Pak Kasno risih.Pak Kasno tersenyum lalu menggeleng pelan. "Enggak, Pak. Biasa aja."Bapak-bapak yang lain lantas menatap Pak Kasno lalu sibuk mengobrol kembali. Sebagian besar dari mereka sudah paham kalau tubuh Pak Kasno tak sekuat mereka. Kadang justru lebih banyak sakitnya dari pada sehatnya.Hal pertama yang tetangga Pak Kasno tanyakan ketika bertemu bukanlah pekerjaan, tapi kesehatannya. Tubuh sehat menjadi hal luar biasa bagi Pak Kasno. Namun tak semua tetangga seperti itu, karena sifat orang pasti berbeda-beda."Nggak pantes banget tahlilan kok pakai baju kayak gitu," cibir Pak Rusdi."Mbok yang umum kayak yang lainnya," tambahnya lagi."Yang pakai baju Pak Kasno kok situ yang gerah sih, Pak." Bapak-bapak yang duduk di samping Pak Kasno menimpali ucapan Pak Rusdi yang menurutnya tak etis.Pak Kasno menghela napas pel