Nasi Berkat 27
Jantung Pak Kasno berdegub kencang, dahinya sudah basah oleh keringat dingin. Senter yang ia pegang di tangan kanannya sedikit bergetar. Perlahan ia arahkan sorot lampu senter kesekelilingnya.Dengan susah payah Pak Kasno menelan ludahnya. Mencoba menenangkan debaran jantungnya. Matanya mengerjab beberapa kali. Dalam keadaan gugup ia masih mencoba bepikir positif, barangkali hanya kelapa jatuh.Suasana pagi buta ditambah kabut yang lumayan tebal membuat jarak pandang terbatas. Pak Kasno hanya mengandalkan penerangan dari lampu senter yang ia bawa.Beberapa kali ia arahkan sorot lampu senternya disekitar pohon kelapa tapi ia tak melihat ada tanda-tanda benda jatuh."Gak ada apa-apa, apa aku salah dengar ya!" gumam Pak Kasno. Ia memegang tengkuknya yang mulai meremang."Jelas sekali tadi ada yang jatuh. Lah wong suaranya kenceng banget lho, jangan-jangan ...," Pak Kasno tak melanjutkanNasi Berkat 28"Jadi, tadi Bapak ketemu sama Pak Agus. Kemarin memang sempat ngobrol sebentar pas lewat depan rumah, trus mampir. Tadi ketemu di masjid, alhamdulillah masih rezeki, bejo mu Mak hehehe!" Pak Kasno terkekeh mengakhiri ceritanya.Melihat suaminya justru tertawa, Mak Siti makin mengerutkan kening. Apanya yang lucu coba, batinnya."Kok aku sing bejo, Pak?" tanya Mak Siti makin penasaran. Ia beringsut menghampiri sang suami dan duduk di sampingnya."Lho..., kurang bejo piye, kan ndak jadi nebang pohon bambu," ucap Pak Kasno sambil menoel hidung Mak Siti.Sontak saja hal itu membuat pipi Mak Siti merona merah, ia tersipu malu. Hal itu tak luput dari perhatian Erna yang sedang membereskan bambu, membuatnya melongo melihat tingkah kedua orang tuanya."Cieeee ... cieee ...., romantis!" goda Erna yang membuat Mak Siti tambah malu."Apaan sih, Nduk. Cah cilik tau tauan romantis sega
Nasi Berkat 29Pak Kasno berucap syukur sepanjang jalan pulang dari rumah Pak Rusdi. Senyum terus terukir dibibirnya. Seberapapun rezeki akan tetap ia syukuri, karena keluarganya pernah mengalami dititik lebih rendah dari ini, dan mereka bisa melaluinya.Rumah tangga Pak Kasno layaknya seperti yang lain. Pertengkaran itu selalu ada, karena tidak ada jalan yang selamanya mulus. Pernah jatuh, tersungkur, tersandung, mencoba berdiri tertatih. Itu semua bumbu dan hiasan dari rumah tangga.Ia selalu berprinsip untuk memaafkan dan meminta maaf. Pak Kasno bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, tapi ia tahu cara menyenangkan hati istri. Itulah kenapa rumah tangganya terlihat adem ayem.Mak Siti sama halnya seperti perempuan lainnya, yang terkadang ngambek atau merajuk. Pak Kasno tidak menanggapinya dengan amarah, tapi justru dengan candaan. Tidak akan habis jika meladeni perempuan yang merajuk, apapun itu akan dianggap salah, entah
Nasi Berkat 30"Mak, Mak tau gak ada yang meninggal. Tadi pas aku pulang udah ada bendera kuning diujung jalan," Erna berucap sambil tangannya sibuk memisahkan irisan cabai dengan pepaya muda yang dirajang kasar."Meninggal, siapa?" tanya Mak Siti sedikit kaget. Ia meletakkan pisau yang ia pegang dan menatap Erna serius.Erna hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Ia juga tidak menoleh sedikitpun, asik dengan tumis pepaya muda dipiringnya."Ck, ditanya kok malah koyo ngono to jawabane," sungut Mak Siti kesal."Tenanan iki, Nduk?" tanya Mak Siti lagi dengan sedikit menekan suaranya dan menatap putrinya itu tajam. Ia gregetan melihat Erna menanggapi ucapannya hanya dengan mengangkat bahu.Erna menaruh piringnya di amben, lalu menoleh menatap Maknya. "Yo tenan lo, Mak, masa ngapusi. Tadi aku buru-buru mau nanyain soal itu juga, tapi keburu Emak ngomel. Udah gitu perut laper," ucap Erna sambil nyengir dan
Nasi Berkat 31"Mak...," panggil Pak Kasno pelan.Mak Siti mengusap air matanya kasar, dan mendongak. Menatap wajah Pak Kasno dengan tatapan yang entah, sulit diartikan."Kenapa?" Pak Kasno bertanya sembari menggelar sajadahnya."Gak apa, Pak!" Mak Siti menjawab sambil menundukkan wajah, tak berani menatap wajah sang suami."Ora ilok ngapusi karo bojo!" Pak Kasno menatap lekat istrinya.Mak Siti mendongak, memberanikan diri menatap suaminya dengan senyum yang dipaksakan. "Salat dulu, Pak. Mak mau bangunin Erna, udah sore."Pak Kasno hanya menghembuskan nafas berat melihat sikap istrinya. Biarlah nanti malam tanya lagi. Berusaha khusuk dalam salat walaupun pikiran sebenarnya kemana-mana.***Semilir angin sore berhembus dari jendela kamar Erna yang masih terbuka. Membawa hawa dingin karena hari memang sudah senja. Ia meringkuk lebih dalam, memeluk guling usangnya dengan erat.Pekerjaan Mak Siti yang terpaksa ditinggalkan karena harus melayat kerumah Bu Jaya sudah rapi semua.Badan keci
Nasi Berkat 32"Mak, galah yang di samping gubuk, kamu yang benahi ya?" tanya Pak Kasno sesaat setelah masuk kamar dan mendapati sang istri sedang merapikan tempat tidur dengan sapu lidi kecil."Iya, Pak!" jawab Mak Siti singkat tanpa menoleh, masih mengibas-ibaskan sapu diatas kasur.Salah satu kebiasaan dan adab sebelum tidur yang selalu Mak Siti lakukan, selain wudhu dan dzikir serta doa sebelum tidur adalah membersihkan tempat tidur dengan sapu liidi kecil, khusus untuk tempat tidur. Hal itu juga ia ajarkan kepada Erna, dan hampir tiap hari selalu mengingatkan putrinya, takut lupa katanya.Pak Kasno mengelap wajahnya dengan handuk yang tersampir dibelakang pintu. Ia lalu mengambil kaos oblong dari lemari.Mak Siti yang baru saja usai membereskan tempat tidur dan duduk ditepi ranjang, menatap heran pada Pak Kasno. Pasalnya suaminya itu mengambil kaos yang sudah sangat lusuh. Bagaimana tidak, keteknya bolong, pu
Nasi Berkat 33"Nduk ...!"Mak Siti menghentikan langkah kakinya. Ia lantas menoleh kebelakang untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya. "Bude Lastri, tumben!" gumamnya lirih.Bude Lastri melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar Mak Siti mendekat. Mak Siti tersenyum tipis, lalu mengangguk. Perlahan menghampiri Bude Lastri yang berdiri di teras rumahnya."Injih, Bude, pripun (iya, Bude, gimana)?" Mak Siti bertanya sopan."Seko layat, to (dari ngelayat, ya)?" tanya balik Bude Lastri sambil menunjuk bakul kosong yang dibawa Mak Siti dengan dagunya.Bude Lastri orangnya memang sedikit ketus dan dingin. Namun sebenarnya orangnya baik. Dia tidak suka basa basi dan banyak omong."Iya, Bude. Bareng sama yang lainnya tadi," jawab Mak Siti."Tegalku panen telo jalar, mbok menowo koe meh ngasak. Wite yo hurung dijipuki, iso dijipuk gawe bibit, opo meh didol gawe sayur. Pinggir omahmu rung ditanduri to?" jelas Bude Lastri panjang lebar dan diakhiri sebuah pertanyaan."Alhamdulillah, ter
Nasi Berkat 34Mak Siti begitu semangat menggoes sepeda tuanya. Terik matahari seolah tak mempan dikulitnya. Walau keringat sudah bercucuran, tapi senyum diwajahnya tidak pernah pudar.Begitupun dengan Erna. Sepanjang jalan ia terus saja berceloteh. Apapun hasilnya nanti, yang penting mereka usaha dan optimis.Kebun Bude Lastri sudah dekat, terlihat dari adanya mobil pick up yang parkir di seberang kebun. Ya, jalan menuju kebun memang tergolong lebar. Cukup untuk mobil dan motor lewat. Walaupun akan menyulitkan jika hujan tiba, karena jalan jadi berlumpur."Udah deket, Mak?" tanya Erna dari boncengan belakang, kepalanya sambil melongok kedepan."Sebentar lagi, itu didepan yang ada mobil pick upnya!" jawab Mak Siti, dengan menunjuk mobil pick up dengan dagunya, yang tentu saja tidak bisa dilihat putrinya karena Erna duduk membelakanginya.Sedangkan Erna hanya manggut-manggut mendengar penuturan M
Nasi Berkat 35"Lihat itu," Mak Siti menunjuk sayuran liar di hadapannya."Wahh, ini namanya rejeki, Mak. Banyak banget lagi, enak ini kalau diurap, bisa dijual juga!" terang Erna dengan antusias. Membayangkan makan urap esok hari saja sudah membuat Erna meneguk liur."Iya, enak banget sintrong sama tempuh wiyung diurap, baunya seger banget!" ujar Mak Siti tak kalah semangat."Yowis, kamu bantu Mak petikin sintrongnya yang gampang, biar Mak yang nyabutin tempuh wiyungnya!" sambung Mak Siti."Tapi ... ngasaknya belum selesai, Mak!" protes Erna.Mak Siti menatap putrinya dengan senyum yang teduh. "Yang kita dapat udah cukup, Nduk. Barangkali besok yang kerja di Bude Lastri mau ngasak juga. Kalaupun gak ada yang ngasak besok kita bisa kesini lagi, ini udah mau sore kasian Bapak di rumah sendirian!" tutur Mak Siti bijak."Lihat, udah mendung juga, kalau hujan malah repot nanti pulangnya!"
NASI BERKAT 45"Apa ada yang berkata buruk sama kamu?" tanya Pak Kasno menatap lekat wajah istrinya.Mak Siti tersenyum menatap wajah suaminya. Menyembunyikan lara hati yang masih basah. "Nggak ada, Pak. Ayo, makan! Mak udah lapar. Setelah salat harus kesana lagi."Mak Siti memilih menutup topik pembicaraan agar tak merembet kemana-mana. Ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri karena Erna dan suaminya sudah lebih dulu makan sebelum ia pulang, tapi belum selesai.Usai salat dhuhur, Mak Siti segera ke rumah Bu Jaya kembali. Takut jika kelamaan jadi bahan gunjingan lagi. Serba salah jadi orang miskin, tapi Mak Siti tidak mau menyalahkan takdir, juga tidak mau meratapi nasibnya karena itu hanya akan membuat dirinya terpuruk."Kamu nggak ikut, Nduk?" tanya Pak Kasno saat Erna menatap kepergian Emaknya dari teras rumah."Enggak, ahh. Udah gede, malu. Mending di rumah bantuin Bapak," jawab Erna sambil mengayunkan kakinya masuk ke rumah.
NASI BERKAT 44Sinar matahari yang menerobos celah genteng membuat Mak Siti mengerjapkan mata. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Ia merasakan badannya lebih ringan. Pundaknya pun tidak sepegal tadi.Dengan perlahan Mak Siti duduk, lalu beringsut menurunkan kedua kakinya. Duduk di tepian ranjang dengan kaki menggantung. Dua tangannya membenahi rambut yang sedikit berantakan.Pandangannya beralih pada jam tua di dinding. Sedikit terkejut karena rupanya ia tertidur cukup lama. Suaminya bilang akan membangunkannya sebelum azan dhuhur, tapi sekarang sudah jam satu.Saat hendak memakai sendal, samar suara gelak tawa terdengar. Mak Siti mengerutkan kening."Kayak suaranya Erna," gumam lirih Mak Siti.Mak Siti melangkahkan kakinya ke depan. Penasaran dengan suara riuh yang dia dengar. Dari ambang pintu dia melihat suaminya, Erna, juga Tejo sedang asik menata irisan gendar di rigen.Dua sudut bibirnya melengkung, menerbitkan s
NASI BERKAT 43Mungkin orang menganggap Tejo bodoh, tapi sebenarnya tidak. Dia ingin seperti anak-anak yang lain, tapi seringnya dibuli membuat Tejo seperti berontak.Dan anehnya, Tejo sangat peka. Dia tau mana orang yang tulus dan yang tidak. Itu sebabnya dia tidak pernah berbuat usil dengan keluarga Pak Kasno. Kenakalannya dianggap hal lumrah. Dan sepasang suami istri itu akan mengingatkan dengan sabar setiap kesalahan Tejo.Dalam pelajaran mungkin Tejo payah. Namun dia sangat pintar menggambar. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Tejo bisa menggambar burung sesuai imajinasinya, dengan sangat detail. Ketrampilan inilah yang harusnya diasah. Lagi-lagi keterbatasan dana membuat bakatnya terpendam. Terlebih kemampuan yang dia miliki dianggap sepele dan tidak penting bagi sebagian orang. Tidak ada yang mengarahkan. Mbah Ratni hanya sekedar merawat. Perempuan sepuh itu mana mengerti akan hal seperti itu."Kamu ngapain di situ, Tajo?" tanya Pak Kasno menatap Tejo yang bengong di tengah
NASI BERKAT 42"Mak sakit?" Pak Kasno mengulurkan tangannya, menyentuh dahi istrinya. Tidak panas, tapi wajahnya sedikit pucat dan sayu. Terlihat jelas raut wajah cemas Pak Kasno.Mak Siti tersenyum, lalu menggeleng pelan untuk meyakinkan suaminya, bahwa ia baik-baik saja. "Mak gak apa-apa, Pak. Cuma sedikit capek. Badan kok tiba-tiba lemes banget abis numpuk gendar. Badan pegel, sakit semua. Rebahan sebentar nanti juga sembuh."Tiba-tiba mata Pak Kasno berkabut. Dengan cepat ia mengusap kasar matanya. Entah kenapa tiba-tiba takut kehilangan istrinya."Pak ... kenapa?" tanya Mak Siti lirih memegang lengan sang suami.Pak Kasno terkesiap, lalu menggeleng pelan. Berusaha mengubur pikiran buruknya."Bapak takut, Mak ninggalin bapak.""Astagfirullah. Gak boleh ngomong gitu, Pak" tegur Mak Siti pelan."Bukannya Bapak selalu mengingatkan, kalau kita akan kedatangan tamu yang tidak bisa dicegah kedatangannya. Rezeki, m
NASI BERKAT 41"Mak Siti mau ke mana?" tanya Tejo yang baru keluar dari kamarnya.Mak Siti yang hampir sampai pintu pun menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang lagi. Menatap Tejo yang kini sudah berpakaian lengkap dengan bau parfum yang sangat menyengat."Mak mau pulang, Tejo. Masih banyak kerjaan. Kasian Pak Kasno sendirian di rumah," jawab Mak Siti sembari menatap Tejo.Mbah Ratni berjalan pelan dari belakang. Setelah sampai di samping cucunya, ia langsung menepuk pundak Tejo."Kalau pakai parfum itu kira-kira. Jangan sebotol habis sekali pakai!" ujar Mbah Ratni menahan kesal, lalu menghela napas kasar.Mak Siti menahan tawa melihat Tejo cemberut karena dimarahi Mbah Ratni."Kan biar wangi, Mbah," protes Tejo sambil mengendus bajunya."Bukan wangi, tapi mual yang cium bau kamu," sungut Mbah Ratni.Mak Siti akhirnya mendekati mereka. "Parfumnya mana? Mak mau lihat, boleh?"Tejo langsung
NASI BERKAT 40"Mak, sarapan dulu!" tegur Pak Kasno saat melihat istrinya masih membereskan abu sisa kayu bakar."Jangan terlalu diforsir tenaganya. Dari sebelum subuh belum istirahat, lho." Pak Kasno melanjutkan ucapannya seraya menatap lekat istrinya.Mak Siti menoleh tersenyum. "Iya, Pak. Biar mak cuci tangan dulu." Mak Siti lalu menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan debu yang menempel lalu gegas ke kamar mandi mencuci tangan.Suami dan putrinya sudah menyuap sarapan saat Mak Siti menghampiri amben. Ia menarik dingklik dan duduk di sana, sedang suami dan putrinya duduk di atas amben.Pak Kasno menaruh piringnya, lalu mengambil piring kosong dan menyendokkan nasi untuk sang istri. Menambahkan tempe goreng dan urap di atasnya."Ish, kenapa jadi Bapak yang layani mak, sih," cetus Mak Siti tak enak hati.Pak Kasno tersenyum menyodorkan piring ke istrinya. "Sesekali nggak apa. Perempuan yang sudah pontang panting dar
NASI BERKAT 39"Assalamualaikum!" Mak siti mengucap salam seraya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah."Waalaikumsalam," sahut Erna dari dapur terdengar sayup-sayup.Ternyata Erna sedang memindahkan nasi aron ke dandang untuk dikukus. Gadis belia itu dengan cekatan melakukannya. Mak Siti memang mengajari putrinya untuk bisa apa saja sedari kecil. Agar kapan pun ia tidak ada Erna bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa merepotkan orang lain."Biar mak yang naruh di tungku, Nduk. Berat itu," ujar Mak Siti mengayunkan kakinya mendekati Erna lalu menaruh keranjang di lantai begitu saja."Lekas salat subuh, nanti gantian sama mak!" titah Mak Siti yang langsung diangguki Erna.Gegas Erna meninggalkan dingklik yang sedang ia duduki di depan tungku dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Mandinya nanti setelah selesai salat saja pikirnya, karena udara yang terasa sangat dingin menusuk tulang.Dengan cekatan Mak Siti mengangkat dandang dan menaruhnya di tungku paling depan. P
NASI BERKAT 38Sebelum subuh Mak Siti sudah bangun. Ia menoleh ke samping menatap sang suami yang masih pulas dalam alam mimpi. Berucap syukur sudah diberi tidur nyenyak dan umur panjang. Dengan perlahan menurunkan kakinya dan duduk di tepi pembaringan. Merapikan rambut dan menyanggulnya.Tempat pertama yang dituju tentu saja kamar mandi. Usai menuntaskan hajat dan mencuci muka, Mak Siti melangkahkan kakinya ke dekat sumur untuk melihat sayuran yang ia letakkan di bakul. Ia menyunggingkan senyum saat melihat sayuran itu masih nampak segar.Mak Siti mengambil bakul berisi sayur tempuh wiyung dan sintrong yang sudah ia pisahkan untuk dimasak sendiri. Menyiramnya dengan air agar bersih dan segar lalu mengambil baskom kecil untuk menampung air tirisan dari bakul agar tidak becek di mana-mana.Saat menaruh di amben dapur, matanya menatap kayu bakar yang ia letakkan di samping tungku. Ternyata sudah mau habis."Tinggal sedikit kayunya," ucapnya
NASI BERKAT 37"Nggak gerah Pak Kasno pakai baju tebal begitu?" tanya Pak Rusdi menatap Pak Kasno risih.Pak Kasno tersenyum lalu menggeleng pelan. "Enggak, Pak. Biasa aja."Bapak-bapak yang lain lantas menatap Pak Kasno lalu sibuk mengobrol kembali. Sebagian besar dari mereka sudah paham kalau tubuh Pak Kasno tak sekuat mereka. Kadang justru lebih banyak sakitnya dari pada sehatnya.Hal pertama yang tetangga Pak Kasno tanyakan ketika bertemu bukanlah pekerjaan, tapi kesehatannya. Tubuh sehat menjadi hal luar biasa bagi Pak Kasno. Namun tak semua tetangga seperti itu, karena sifat orang pasti berbeda-beda."Nggak pantes banget tahlilan kok pakai baju kayak gitu," cibir Pak Rusdi."Mbok yang umum kayak yang lainnya," tambahnya lagi."Yang pakai baju Pak Kasno kok situ yang gerah sih, Pak." Bapak-bapak yang duduk di samping Pak Kasno menimpali ucapan Pak Rusdi yang menurutnya tak etis.Pak Kasno menghela napas pel