NASI BERKAT 44Sinar matahari yang menerobos celah genteng membuat Mak Siti mengerjapkan mata. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Ia merasakan badannya lebih ringan. Pundaknya pun tidak sepegal tadi.Dengan perlahan Mak Siti duduk, lalu beringsut menurunkan kedua kakinya. Duduk di tepian ranjang dengan kaki menggantung. Dua tangannya membenahi rambut yang sedikit berantakan.Pandangannya beralih pada jam tua di dinding. Sedikit terkejut karena rupanya ia tertidur cukup lama. Suaminya bilang akan membangunkannya sebelum azan dhuhur, tapi sekarang sudah jam satu.Saat hendak memakai sendal, samar suara gelak tawa terdengar. Mak Siti mengerutkan kening."Kayak suaranya Erna," gumam lirih Mak Siti.Mak Siti melangkahkan kakinya ke depan. Penasaran dengan suara riuh yang dia dengar. Dari ambang pintu dia melihat suaminya, Erna, juga Tejo sedang asik menata irisan gendar di rigen.Dua sudut bibirnya melengkung, menerbitkan s
NASI BERKAT 45"Apa ada yang berkata buruk sama kamu?" tanya Pak Kasno menatap lekat wajah istrinya.Mak Siti tersenyum menatap wajah suaminya. Menyembunyikan lara hati yang masih basah. "Nggak ada, Pak. Ayo, makan! Mak udah lapar. Setelah salat harus kesana lagi."Mak Siti memilih menutup topik pembicaraan agar tak merembet kemana-mana. Ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri karena Erna dan suaminya sudah lebih dulu makan sebelum ia pulang, tapi belum selesai.Usai salat dhuhur, Mak Siti segera ke rumah Bu Jaya kembali. Takut jika kelamaan jadi bahan gunjingan lagi. Serba salah jadi orang miskin, tapi Mak Siti tidak mau menyalahkan takdir, juga tidak mau meratapi nasibnya karena itu hanya akan membuat dirinya terpuruk."Kamu nggak ikut, Nduk?" tanya Pak Kasno saat Erna menatap kepergian Emaknya dari teras rumah."Enggak, ahh. Udah gede, malu. Mending di rumah bantuin Bapak," jawab Erna sambil mengayunkan kakinya masuk ke rumah.
Suara derit pintu yang dibuka mengalihkan pandang perempuan yang sedang duduk di kursi reot yang penuh tambalan sana sini. Senyumnya mengembang saat tau siapa yang pulang."Assalamualaikum,""Wallaikumsalam. Udah pulang, Nduk?" jawab dan tanya Mak Siti, Erna meraih tangan kanan emaknya lalu menciumnya takzim."Pak Udin ada acara nanti jam tujuh, jadi ngajinya cuma dikit." Erna menjawab sambil menghenyakkan diri di kursi. Mengambil toples plastik berisi krupuk gendar, cemilan kesukaanya.Sambil mengunyah matanya mengamati sekeliling ruang tamu yang sekaligus jadi ruang makan. Hanya ada meja kayu yang sudah mulai lapuk, dengan 4 kursi kayu yang juga ditambal sana sini dengan bambu yang diikat kawat agar tetap kuat menopang tubuh yang duduk di atasnya. Di sudut sebelah kanan ada beberapa karung gabah hasil dari derep sawah. Ya, Mak Siti tak akan pernah melewatkan setiap panen padi. Saat itulah yang selalu ditunggu, karena dengan derep itu artinya dapur masih bisa mengebul.Erna anak sema
NASI BERKAT 2Mak Siti membuka ceting bambu, menyendok nasi lalu menyodorkan ke suaminya. Saat ingin menyendokkan nasi untuk Erna, tangannya ditahan putrinya."Aku bisa sendiri, Mak. Mak duduk saja, ya! Mak cukup layani Bapak saja, Erna udah gede malu diambilin mulu." Erna berucap sambil nyengir dan mengambil sendok nasi dari tangan Mak Siti.Mak Siti tersenyum, baginya Erna tetaplah putri kecilnya. Tapi tak dipungkiri dirinya bangga putrinya sudah bisa mandiri di usia belia.Jangan tanya macigcom atau perabot listrik yang lainnya, masak pun masih menggunakan tungku kayu. Tetangganya berbaik hati menyalurkan listrik ke rumah, oleh sebab itu keluarga Pak Kasno merasa sungkan kalau harus memakai listrik berlebihan. Terlebih mereka hanya bayar semampunya. Dua buah bohlam 15 watt untuk menerangi ruang tamu dan dapur, serta kamar mandi. Tiga bohlam 5 watt untuk dua kamar dan teras, bagi Pak Kasno sudah cukup. Yang penting malam gak gelap, putrinya bisa belajar dengan nyaman, dirinya dan
Nasi Berkat 3Amben berukuran 2x1 meter di bawah pohon rambutan, jadi tempat favorit Pak Kasno untuk membuat besek bambu. Karena penyakitnya tak memperbolehkan terlalu capek, hanya dengan cara ini lah beliau mendapatkan uang untuk menafkahi keluarganya.Keahliannya didapat turun temurun dari orangtuanya yang telah lama meninggal. Terkadang kalau ada pelepah kelapa yang tua, Pak Kasno membuat sapu lidi. Sedangkan blarak kelapa atau daun kelapa yang kering, digunakan untuk tambahan kayu bakar.Mak Siti menghampiri suaminya, dengan tangan kanan memegang teko berisi teh, dan tangan kiri memegang piring berisi cemilan. Terlihat asap masih mengepul di atas piring, pertanda makanan itu baru saja matang. Dari baunya saja sudah bisa ditebak, pasti enak, walau dibuat dari bahan sederhana."Pak, tehnya!" ucapak Siti sambil meletakkan teko dan piring di samping kanan suaminya."Trimakasih Mak, wahhh kayaknya enak nih rolade anget-anget," jawab Pak Kasno."Maaf ya Pak, hanya teh tawar, gula habis,
Nasi Berkat 4Selepas salat asar, Mak Siti mulai menggoreng krupuk gendar. Sebelum salat tadi, Mak Siti lebih dulu menyiapkan kayu bakar dan blarak, yang diambil dari gubug kecil samping rumah, yang dibuat khusus untuk menyimpan kayu bakar. Tak lupa, sebakul krupuk gendar mentah, dan setengah liter minyak goreng."Alhamdulillah, masih ada setengah liter. Mudah-mudahan cukup," ucapnya dalam hati.Mak Siti tersenyum senang, sambil menepukkan kedua tangan. Setelah dirasa semua komplit, barulah Mak Siti ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Menunaikan empat rakaat salat dengan khusuk, berdoa, meminta kepada-Nya. Setelah minyak dirasa panas, satu persatu krupuk gendar mentah dimasukkan ke penggorengan. Tak perlu menunggu lama, tak sampai dua menit, krupuk pun matang.Digoreng di tungku, dengan bahan bakar kayu dan blarak, membuat krupuk gendar beraroma khas. Digorengnya juga sedikit lebih lama. Kalau cukup matang saja warnanya kuning keemasan, tapi kalau digoreng agak lama warna agak keco
Nasi Berkat 5Pukul dua dini hari, Pak Kasno sudah selesai ronda. Setelah pamit dengan Pak Sidik, Pak Kasno langsung bergegas pulang.Merogoh saku jaket lusuhnya, mengeluarkan kunci rumah yang ia simpan di sana.Klek klekTanda kunci terbuka. Pak Kasno membuka pintu sepelan mungkin, agar tak mengganggu anak istrinya yang masih tertidur pulas.Tempat yang dituju pertama adalah kamar mandi. Setelah melepas jaket, dan menaruh begitu saja di atas amben dapur, lalu melangkah ke kamar mandi. Mecuci kaki dan tangan, kemudian membasuh wajah agar lebih segar.Saat hendak meraih gagang pintu kamar, Pak Kasno menoleh kearah amben. Tangan yang sudah terulur untuk membuka pintu ditariknya kembali. Berbalik, mengambil jaket, dan menyampirkan di pundaknya.Membuka pintu kamar dengan sangat pelan, agar tak menimbulkan bunyi. Setelahnya menggantungkan jaket dibelakang pintu, barulah beranjak menghampiri istrinya di peraduan.Walau sudah berusaha sepelan mungkin menjatuhkan bobot tubuhnya di samping is
Nasi Berkat 6Mak Siti duduk di bibir ranjang, merapikan rabut putrinya yang menutupi sebagian wajah. Menggoyang lengannya pelan, untuk membangunkannya."Udah pagi, Nduk, bangun nanti subuhnya keburu habis!"Erna menggeliat, perlahan membuka netranya. "Iya, Mak!" sahut Erna.Setelah memastikan putrinya terbangun, mengelus pipinya penuh sayang dengan senyum tulus seorang ibu. "Anak pintar, lekas bangun mak bikinin sarapan!" Mak Siti segera beranjak untuk membuat sarapan.Erna menyingkap selimut, duduk lalu melipat selimut dan menaruhnya di atas bantal, menepuk-nepuk bekasnya tidur. Setelahnya menengadahkan kedua tangan, mengucap hamdallah kepada Rabb nya, yang telah memberinya nikmat tidur dengan nyenyak dan masih diberi kesempatan umur panjang dan kesehatan.Turun dari ranjang, berjalan kearah jendela kamarnya. Membuka hordeng, perlahan membuka jendela lebar-lebar. Menghirup udara pagi pedesaan yang masih sangat segar dengan bau khasnya, dengan mata terpejam. Hal itu jadi kebiasaany