Share

4. Kerupuk gendar

Nasi Berkat 4

Selepas salat asar, Mak Siti mulai menggoreng krupuk gendar. Sebelum salat tadi, Mak Siti lebih dulu menyiapkan kayu bakar dan blarak, yang diambil dari gubug kecil samping rumah, yang dibuat khusus untuk menyimpan kayu bakar. Tak lupa, sebakul krupuk gendar mentah, dan setengah liter minyak goreng.

"Alhamdulillah, masih ada setengah liter. Mudah-mudahan cukup," ucapnya dalam hati.

Mak Siti tersenyum senang, sambil menepukkan kedua tangan. Setelah dirasa semua komplit, barulah Mak Siti ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Menunaikan empat rakaat salat dengan khusuk, berdoa, meminta kepada-Nya.

 Setelah minyak dirasa panas, satu persatu krupuk gendar mentah dimasukkan ke penggorengan. Tak perlu menunggu lama, tak sampai dua menit, krupuk pun matang.

Digoreng di tungku, dengan bahan bakar kayu dan blarak, membuat krupuk gendar beraroma khas. Digorengnya juga sedikit lebih lama. Kalau cukup matang saja warnanya kuning keemasan, tapi kalau digoreng agak lama warna agak kecoklatan. Suami dan putrinya sangat suka, lebih enak katanya, dan aromanya khas.

Krupuk yang sudah matang disimpan di toples. Nanti sepulang anaknya mengaji baru dibungkus bersama-sama.

***

Jam setengah tujuh malam, Erna sudah pulang mengaji. Rumah Pak Udin, ustadz di kampungnya memang tak jauh dari rumah, hanya berjarak 300meter dari rumah. Rumahnya tepat di samping masjid, jadi setiap magrib Erna ikut jamaah salat magrib di masjid, setelahnya mengaji di rumah Pak Udin.

"Nduk, tolong ambil tikar mendong di kamar mak!"

"Iya, Mak!" sahut Erna, lalu berjalan ke kamar emaknya yang bersebelahan dengan kamarnya.

"Mau digelar di mana, Mak?" tanya Erna.

"Gelar di sana, ya, biar gak ngalangin jalan," perintah Mak Siti sambil menunjuk ruang kosong dekat karung gabah.

Pintu rumah memang tepat di tengah-tengah, ruangan berukuran 3x6 meter itu, sebelah kiri ada meja kursi dan sebelah kanan dibiarkan kosong, biasa digunakan menaruh gabah hasil derep dan sepeda tua Pak Kasno.

Pintu menuju ruang dalam berada di pojok kiri, bersisian dengan meja. Dua kamar bersebelahan, sebelah kiri kamar Erna dan kanan kamar orangtuanya. Depan kamar digunakan untuk dapur, ada amben untuk duduk-duduk dan meletakkan sayuran. Paling pojok sebelah kiri, sumur timba dan kamar mandi. Pintu samping rumah ada disebelah kamar Mak Siti, sengaja disisakan 1meter untuk jalan dari pintu samping, biasanya juga digunakan untuk menaruh arit, caping, dan ember.

Lantai rumah masih tanah, tapi karna Mak Siti rajin, biar pun tanah tapi terlihat bersih dan rapi. Didingnya juga separuh bata separuh papan. Rumah yang sangat sederhana, tapi begitu nyaman bagi penghuninya.

"Isi lima krupuk, Nduk!" Printah Mak Siti, sedang tangannya sibuk memasukkan krupuk kedalam plastik ukuran sekilo.

"Emang ga kebanyakan, mak? Krupuknya kan gede-gede?" tanya Erna.

Mak Siti mengulas senyum tipis sebelum menjawab pertanyaan putrinya. "Ndak apa, sekalian promosi. Lagi pula, untungnya sudah lumayan kok."

Erna tersenyum, menganggukkan kepala menyetujui ucapan emaknya.

Mak Siti merekatkan ujung plastik dengan sentir minyak.

"Biar mak yang beresin, Nduk. Kamu istirahatlah, sudah malam."

"Iya, mak!"

"Jangan lupa, salat isya dulu sebelum tidur. Buku pelajaran disiapin, biar gak buru-buru besok pagi."

"Gak usah nungguin Bapak, malam ini Bapakmu jatah ronda," sambung Mak Siti. Melihat putrinya clingukan, sudah bisa ditebak apa yang dicari.

Erna nyengir, menggaruk kelapanya yang tak gatal.

"Tau aja Mak yang Erna cari. Yaudah aku ke kamar dulu Mak, mau siapin buku buat besok."

"Iya."

Setelah semua selesai, Mak Siti memeriksa satu persatu plastik yang sudah berisi krupuk gendar, takut ada yang bolong yang bisa membuat krupuk mlempem.

Menghitungnya, dan memasukkan kedalam kantong kresek hitam. Menyimpannya di atas meja.

"Ada 30 bungkus. Semoga besok laku semua. Mudahkan segala usahaku ya Allah, berkahi rezeki keluargaku." 

Mak Siti segera beranjak untuk mengambil air wudhu, lalu menunaikan empat rakaat salat isya.

Setelahnya menengok kamar putrinya. Memastikan jika putrinya sudah terbuai di alam mimpi. Mengecup pucuk kepala putrinya dan membenahi selimut tipis, menutupi tubuh gadis manis itu sampai batas dada.

Memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sebelum beranjak keperaduan. Pintu depan sengaja dikunci tanpa di selop karna suaminya ronda. Pak Kasno selalu membawa kunci cadangan jika dapat jatah ronda, agar tak perlu membangunkan orang rumah jika sudah pulang ronda.

Memejampak mata, mengistirahatkan raga yang sedari pagi terus berkutat dengan pekerjaan. Berharap pagi datang dengan semangat dan tenaga baru, guna mengais ridho, rezeki, dan berkah-Nya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimi Fatma
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status