Nasi Berkat 4
Selepas salat asar, Mak Siti mulai menggoreng krupuk gendar. Sebelum salat tadi, Mak Siti lebih dulu menyiapkan kayu bakar dan blarak, yang diambil dari gubug kecil samping rumah, yang dibuat khusus untuk menyimpan kayu bakar. Tak lupa, sebakul krupuk gendar mentah, dan setengah liter minyak goreng."Alhamdulillah, masih ada setengah liter. Mudah-mudahan cukup," ucapnya dalam hati.Mak Siti tersenyum senang, sambil menepukkan kedua tangan. Setelah dirasa semua komplit, barulah Mak Siti ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Menunaikan empat rakaat salat dengan khusuk, berdoa, meminta kepada-Nya. Setelah minyak dirasa panas, satu persatu krupuk gendar mentah dimasukkan ke penggorengan. Tak perlu menunggu lama, tak sampai dua menit, krupuk pun matang.Digoreng di tungku, dengan bahan bakar kayu dan blarak, membuat krupuk gendar beraroma khas. Digorengnya juga sedikit lebih lama. Kalau cukup matang saja warnanya kuning keemasan, tapi kalau digoreng agak lama warna agak kecoklatan. Suami dan putrinya sangat suka, lebih enak katanya, dan aromanya khas.Krupuk yang sudah matang disimpan di toples. Nanti sepulang anaknya mengaji baru dibungkus bersama-sama.***Jam setengah tujuh malam, Erna sudah pulang mengaji. Rumah Pak Udin, ustadz di kampungnya memang tak jauh dari rumah, hanya berjarak 300meter dari rumah. Rumahnya tepat di samping masjid, jadi setiap magrib Erna ikut jamaah salat magrib di masjid, setelahnya mengaji di rumah Pak Udin."Nduk, tolong ambil tikar mendong di kamar mak!""Iya, Mak!" sahut Erna, lalu berjalan ke kamar emaknya yang bersebelahan dengan kamarnya."Mau digelar di mana, Mak?" tanya Erna."Gelar di sana, ya, biar gak ngalangin jalan," perintah Mak Siti sambil menunjuk ruang kosong dekat karung gabah.Pintu rumah memang tepat di tengah-tengah, ruangan berukuran 3x6 meter itu, sebelah kiri ada meja kursi dan sebelah kanan dibiarkan kosong, biasa digunakan menaruh gabah hasil derep dan sepeda tua Pak Kasno.Pintu menuju ruang dalam berada di pojok kiri, bersisian dengan meja. Dua kamar bersebelahan, sebelah kiri kamar Erna dan kanan kamar orangtuanya. Depan kamar digunakan untuk dapur, ada amben untuk duduk-duduk dan meletakkan sayuran. Paling pojok sebelah kiri, sumur timba dan kamar mandi. Pintu samping rumah ada disebelah kamar Mak Siti, sengaja disisakan 1meter untuk jalan dari pintu samping, biasanya juga digunakan untuk menaruh arit, caping, dan ember.Lantai rumah masih tanah, tapi karna Mak Siti rajin, biar pun tanah tapi terlihat bersih dan rapi. Didingnya juga separuh bata separuh papan. Rumah yang sangat sederhana, tapi begitu nyaman bagi penghuninya."Isi lima krupuk, Nduk!" Printah Mak Siti, sedang tangannya sibuk memasukkan krupuk kedalam plastik ukuran sekilo."Emang ga kebanyakan, mak? Krupuknya kan gede-gede?" tanya Erna.Mak Siti mengulas senyum tipis sebelum menjawab pertanyaan putrinya. "Ndak apa, sekalian promosi. Lagi pula, untungnya sudah lumayan kok."Erna tersenyum, menganggukkan kepala menyetujui ucapan emaknya.Mak Siti merekatkan ujung plastik dengan sentir minyak."Biar mak yang beresin, Nduk. Kamu istirahatlah, sudah malam.""Iya, mak!""Jangan lupa, salat isya dulu sebelum tidur. Buku pelajaran disiapin, biar gak buru-buru besok pagi.""Gak usah nungguin Bapak, malam ini Bapakmu jatah ronda," sambung Mak Siti. Melihat putrinya clingukan, sudah bisa ditebak apa yang dicari.Erna nyengir, menggaruk kelapanya yang tak gatal."Tau aja Mak yang Erna cari. Yaudah aku ke kamar dulu Mak, mau siapin buku buat besok.""Iya."Setelah semua selesai, Mak Siti memeriksa satu persatu plastik yang sudah berisi krupuk gendar, takut ada yang bolong yang bisa membuat krupuk mlempem.Menghitungnya, dan memasukkan kedalam kantong kresek hitam. Menyimpannya di atas meja."Ada 30 bungkus. Semoga besok laku semua. Mudahkan segala usahaku ya Allah, berkahi rezeki keluargaku." Mak Siti segera beranjak untuk mengambil air wudhu, lalu menunaikan empat rakaat salat isya.Setelahnya menengok kamar putrinya. Memastikan jika putrinya sudah terbuai di alam mimpi. Mengecup pucuk kepala putrinya dan membenahi selimut tipis, menutupi tubuh gadis manis itu sampai batas dada.Memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sebelum beranjak keperaduan. Pintu depan sengaja dikunci tanpa di selop karna suaminya ronda. Pak Kasno selalu membawa kunci cadangan jika dapat jatah ronda, agar tak perlu membangunkan orang rumah jika sudah pulang ronda.Memejampak mata, mengistirahatkan raga yang sedari pagi terus berkutat dengan pekerjaan. Berharap pagi datang dengan semangat dan tenaga baru, guna mengais ridho, rezeki, dan berkah-Nya.Nasi Berkat 5Pukul dua dini hari, Pak Kasno sudah selesai ronda. Setelah pamit dengan Pak Sidik, Pak Kasno langsung bergegas pulang.Merogoh saku jaket lusuhnya, mengeluarkan kunci rumah yang ia simpan di sana.Klek klekTanda kunci terbuka. Pak Kasno membuka pintu sepelan mungkin, agar tak mengganggu anak istrinya yang masih tertidur pulas.Tempat yang dituju pertama adalah kamar mandi. Setelah melepas jaket, dan menaruh begitu saja di atas amben dapur, lalu melangkah ke kamar mandi. Mecuci kaki dan tangan, kemudian membasuh wajah agar lebih segar.Saat hendak meraih gagang pintu kamar, Pak Kasno menoleh kearah amben. Tangan yang sudah terulur untuk membuka pintu ditariknya kembali. Berbalik, mengambil jaket, dan menyampirkan di pundaknya.Membuka pintu kamar dengan sangat pelan, agar tak menimbulkan bunyi. Setelahnya menggantungkan jaket dibelakang pintu, barulah beranjak menghampiri istrinya di peraduan.Walau sudah berusaha sepelan mungkin menjatuhkan bobot tubuhnya di samping is
Nasi Berkat 6Mak Siti duduk di bibir ranjang, merapikan rabut putrinya yang menutupi sebagian wajah. Menggoyang lengannya pelan, untuk membangunkannya."Udah pagi, Nduk, bangun nanti subuhnya keburu habis!"Erna menggeliat, perlahan membuka netranya. "Iya, Mak!" sahut Erna.Setelah memastikan putrinya terbangun, mengelus pipinya penuh sayang dengan senyum tulus seorang ibu. "Anak pintar, lekas bangun mak bikinin sarapan!" Mak Siti segera beranjak untuk membuat sarapan.Erna menyingkap selimut, duduk lalu melipat selimut dan menaruhnya di atas bantal, menepuk-nepuk bekasnya tidur. Setelahnya menengadahkan kedua tangan, mengucap hamdallah kepada Rabb nya, yang telah memberinya nikmat tidur dengan nyenyak dan masih diberi kesempatan umur panjang dan kesehatan.Turun dari ranjang, berjalan kearah jendela kamarnya. Membuka hordeng, perlahan membuka jendela lebar-lebar. Menghirup udara pagi pedesaan yang masih sangat segar dengan bau khasnya, dengan mata terpejam. Hal itu jadi kebiasaany
Nasi Berkat 7Pukul tujuh pagi, acara panen sayuran selesai. Mak Siti sengaja membawa semua hasil panen ke amben depan rumah, dengan harapan ada tetangga yang mampir dan sudi membeli sayurannya.Mak Siti duduk selonjoran, sambil mengikat sayuran dengan bambu muda yang dibelah tipis-tipis. Lentur, dan cukup kuat untuk mengikat sayuran.Tak berapa lama, Yu Jum istrinya Pak Rusdi lewat depan rumah, lalu berhenti untuk menyapa Mak Siti."Pagi-pagi udah panen sayur, Mak," ujar Yu Jum. Namanya Bu Jumiah, tapi Mak Siti biasa memanggilnya Yu Jum.Mak Siti mendongak untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara."Ehh, Yu Jum, dari mana Mbak Yu?""Biasa, jalan pagi, nyari udara segar. Sekalian olahraga," jawab Yu Jum lalu terkekeh."Sayurnya seger-seger banget, baru metik ya, Mak?" Mak Siti menjawab sambil menyunggingkan senyum. "Iya, Mbak Yu, udah waktunya dipetikin. Sayang kalau dibiarin, nanti mubazir."Sejenak terbersit dihatinya, berharap Yu Jum ingat tentang upah suaminya yang belum dibaya
Nasi Berkat 8Mak Siti melangkahkan kaki ke dalam rumah, menengok suaminya sudah membaik atau belum.Dengan sangat pelan membuka pintu kamar.Terlihat Pak Kasno masih lelap tertidur, jika pagi tadi masih tertidur dengan posisi duduk, maka kini beliau sudah bisa tidur berbaring.Walau masih terdengar suara napasnya yang agak tersengal, bisa tidur berbaring sudah alhamdulillah.Duduk di pinggir pembaringan, mengelus lengan suaminya pelan. Berusaha membangunkan dengan cara lembut, agar tak kaget."Pak, bangun dulu sebentar, yuk! Sarapan dulu, sedikit gak apa. Biar keisi perutnya."Pak Kasno terbangun, membuka matanya perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Cahaya matahari pagi menerobos dari celah genteng dan jendela kamar yang terbuka. Kamar yang tak pengap dengan sirkulasi udara baik, sangat membantu untuk kesembuhan Pak Kasno kala penyakitnya kambuh. Paru-parunya butuh oksigen yang bagus."Iya, Mak, sudah jam berapa ini? Bapak kelamaan tidurnya, ya?""Enggak, P
Nasi Berkat 9Mak Siti berjalan keliling kampung, menjajakan sayur dagangannya. Tiap orang yang ia jumpai di jalan, akan ditawarin sayuran hasil panennya sendiri.Ibu-ibu yang sedang menjemur baju, menyapu halaman rumah, dan yang sedang bercengkerama di depan rumahnya tak luput jadi sasaran Mak Siti.Namun hasilnya masih nihil.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang menyuapi anaknya di teras depan rumahnya. Mak Siti perlahan menghampiri. Sambil berjalan, tak lupa Mak Siti berdoa dalam hati semoga ibu itu mau membeli dagangannya."Lagi nyuapin, Bu?" tanya Mak Siti lembut.Ibu itu menoleh, lalu tersenyum menganggukkan kepala. "Iya, Bu, maunya makan di luar, gak mau kalau di dalam."Ibu itu mengamati Mak Siti lebih teliti. "Istrinya Pak Kasno kan, ya? Mak Siti?" Ibu itu bertanya untuk meyakinkan jika ia tak salah orang.Mak Siti tersenyum lembut. "Iya, Bu.""Pak Kasno kadang suka bersihin halaman belakang, suami saya kadang suka gak mau bersihin kalau udah capek pulang kerja. Libur mend
Nasi Berkat 10"Ehh, temen-temen, jangan ada yang mau beli krupuk Erna! Gak enak, kotor, jorok." Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, mencoba mengompori teman-temannya. Anak itu duduk di bangku kelas lima, itu artinya kakak kelas Erna.Erna yang sedang menawarkan krupuk dagangannya, seketika mematung.Anak-anak mulai berkerumun. Banyak yang berbisik-bisik, ada juga yang menatapnya tajam. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala.Entah punya masalah apa anak kelas lima itu dengan Erna. Tega sekali."Lihat, pakaiannya dekil, sepatunya kotor! Pasti krupuknya juga kotor."Merasa menjadi pusat perhatian, seketika hati Erna menciut. Dia menunduk, tak berani menatap teman-temannya.Setegar apapun, Erna tetap anak umur sepuluh tahun yang rapuh jika di bully.Air mata itu perlahan menetes, makin lama makin banyak. Tak hanya membasahi pipi, tapi juga seragam dan kerudung lusuhnya. Erna terisak. Berdiri dikelilingi teman-temannya, menangis sesenggukan. Tangan kanannya menggenggam erat pla
Nasi Berkat 11Sepulang sekolah Erna tak langsung pulang. Duduk termenung di bangku panjang depan kelasnya. Sesekali membalas sapaan temannya."Na, ayo pulang! Ngapain malah ngelamun di sini, pamali, udah sepi nanti kesambet," tegur Hesti teman sebangku Erna. Hesti lalu ikut duduk di samping Erna."Kamu sendiri ngapain malah ikut duduk? Bukannya pulang sana, nanti dicariin pak ustad lho, anak gadisnya belum pulang," goda Erna sambil terkekeh. Hesti teman sebangku sekaligus sahabatnya. Anak bungsu Pak Udin, guru ngaji Erna.Hesti yang sedang mengikat tali sepatunya lantas berhenti, duduk tegak dengan menyilangkan tangan di dada. Dengan wajah kesal, menyipitkan mata, menatap tajam Erna. Seolah berkata 'aku tidak suka'.Erna yang ditatap dengan tatapan mengintimidasi, bukannya takut malah terbahak-bahak melihat wajah sahabatnya itu yang terlihat menggemaskan itu menurut dirinya. Erna tertawa terbahak. "Kamu tuh ga pantes kalau marah, ga usah sok menggertak gitu deh!"Hesti mendengus kes
Nasi Berkat 12Mak Siti berjalan tergesa-gesa, merasa bersalah karena meninggalkan suaminya yang sedang sakit terlalu lama. Biasanya walau dalam keadaan sangat kekurangan pun Mak Siti tak akan tega meninggalkan suaminya sendirian dalam keadaan sakit. Merawat dan melayani sebaik mungkin. Pasrah kepada-Nya, karena yakin rezeki tidak akan tertukar, bisa datang dari pintu manapun.Entah apa yang ada di benaknya, begitu banyak kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi, membuat dirinya sejenak terobsesi untuk terus mengejar lembaran rupiah. Memang betul manusia hidup butuh uang, namun nyatanya ketika hanya dunia saja yang difikirkan, berapapun rezeki akan terasa kurang. Sedangkan ketika mengejar akhirat dengan sendirinya dunia juga akan mengikuti. Karena kuncinya adalah bersyukur, sekecil apapun rezeki akan terasa lapang jika disyukuri dengan penuh ikhlas."Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah," ucap lirih Mak Siti.Mak Siti berjalan dengan terus beristigfar dalam hati."Mak, Mak Siti!
NASI BERKAT 45"Apa ada yang berkata buruk sama kamu?" tanya Pak Kasno menatap lekat wajah istrinya.Mak Siti tersenyum menatap wajah suaminya. Menyembunyikan lara hati yang masih basah. "Nggak ada, Pak. Ayo, makan! Mak udah lapar. Setelah salat harus kesana lagi."Mak Siti memilih menutup topik pembicaraan agar tak merembet kemana-mana. Ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri karena Erna dan suaminya sudah lebih dulu makan sebelum ia pulang, tapi belum selesai.Usai salat dhuhur, Mak Siti segera ke rumah Bu Jaya kembali. Takut jika kelamaan jadi bahan gunjingan lagi. Serba salah jadi orang miskin, tapi Mak Siti tidak mau menyalahkan takdir, juga tidak mau meratapi nasibnya karena itu hanya akan membuat dirinya terpuruk."Kamu nggak ikut, Nduk?" tanya Pak Kasno saat Erna menatap kepergian Emaknya dari teras rumah."Enggak, ahh. Udah gede, malu. Mending di rumah bantuin Bapak," jawab Erna sambil mengayunkan kakinya masuk ke rumah.
NASI BERKAT 44Sinar matahari yang menerobos celah genteng membuat Mak Siti mengerjapkan mata. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Ia merasakan badannya lebih ringan. Pundaknya pun tidak sepegal tadi.Dengan perlahan Mak Siti duduk, lalu beringsut menurunkan kedua kakinya. Duduk di tepian ranjang dengan kaki menggantung. Dua tangannya membenahi rambut yang sedikit berantakan.Pandangannya beralih pada jam tua di dinding. Sedikit terkejut karena rupanya ia tertidur cukup lama. Suaminya bilang akan membangunkannya sebelum azan dhuhur, tapi sekarang sudah jam satu.Saat hendak memakai sendal, samar suara gelak tawa terdengar. Mak Siti mengerutkan kening."Kayak suaranya Erna," gumam lirih Mak Siti.Mak Siti melangkahkan kakinya ke depan. Penasaran dengan suara riuh yang dia dengar. Dari ambang pintu dia melihat suaminya, Erna, juga Tejo sedang asik menata irisan gendar di rigen.Dua sudut bibirnya melengkung, menerbitkan s
NASI BERKAT 43Mungkin orang menganggap Tejo bodoh, tapi sebenarnya tidak. Dia ingin seperti anak-anak yang lain, tapi seringnya dibuli membuat Tejo seperti berontak.Dan anehnya, Tejo sangat peka. Dia tau mana orang yang tulus dan yang tidak. Itu sebabnya dia tidak pernah berbuat usil dengan keluarga Pak Kasno. Kenakalannya dianggap hal lumrah. Dan sepasang suami istri itu akan mengingatkan dengan sabar setiap kesalahan Tejo.Dalam pelajaran mungkin Tejo payah. Namun dia sangat pintar menggambar. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Tejo bisa menggambar burung sesuai imajinasinya, dengan sangat detail. Ketrampilan inilah yang harusnya diasah. Lagi-lagi keterbatasan dana membuat bakatnya terpendam. Terlebih kemampuan yang dia miliki dianggap sepele dan tidak penting bagi sebagian orang. Tidak ada yang mengarahkan. Mbah Ratni hanya sekedar merawat. Perempuan sepuh itu mana mengerti akan hal seperti itu."Kamu ngapain di situ, Tajo?" tanya Pak Kasno menatap Tejo yang bengong di tengah
NASI BERKAT 42"Mak sakit?" Pak Kasno mengulurkan tangannya, menyentuh dahi istrinya. Tidak panas, tapi wajahnya sedikit pucat dan sayu. Terlihat jelas raut wajah cemas Pak Kasno.Mak Siti tersenyum, lalu menggeleng pelan untuk meyakinkan suaminya, bahwa ia baik-baik saja. "Mak gak apa-apa, Pak. Cuma sedikit capek. Badan kok tiba-tiba lemes banget abis numpuk gendar. Badan pegel, sakit semua. Rebahan sebentar nanti juga sembuh."Tiba-tiba mata Pak Kasno berkabut. Dengan cepat ia mengusap kasar matanya. Entah kenapa tiba-tiba takut kehilangan istrinya."Pak ... kenapa?" tanya Mak Siti lirih memegang lengan sang suami.Pak Kasno terkesiap, lalu menggeleng pelan. Berusaha mengubur pikiran buruknya."Bapak takut, Mak ninggalin bapak.""Astagfirullah. Gak boleh ngomong gitu, Pak" tegur Mak Siti pelan."Bukannya Bapak selalu mengingatkan, kalau kita akan kedatangan tamu yang tidak bisa dicegah kedatangannya. Rezeki, m
NASI BERKAT 41"Mak Siti mau ke mana?" tanya Tejo yang baru keluar dari kamarnya.Mak Siti yang hampir sampai pintu pun menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang lagi. Menatap Tejo yang kini sudah berpakaian lengkap dengan bau parfum yang sangat menyengat."Mak mau pulang, Tejo. Masih banyak kerjaan. Kasian Pak Kasno sendirian di rumah," jawab Mak Siti sembari menatap Tejo.Mbah Ratni berjalan pelan dari belakang. Setelah sampai di samping cucunya, ia langsung menepuk pundak Tejo."Kalau pakai parfum itu kira-kira. Jangan sebotol habis sekali pakai!" ujar Mbah Ratni menahan kesal, lalu menghela napas kasar.Mak Siti menahan tawa melihat Tejo cemberut karena dimarahi Mbah Ratni."Kan biar wangi, Mbah," protes Tejo sambil mengendus bajunya."Bukan wangi, tapi mual yang cium bau kamu," sungut Mbah Ratni.Mak Siti akhirnya mendekati mereka. "Parfumnya mana? Mak mau lihat, boleh?"Tejo langsung
NASI BERKAT 40"Mak, sarapan dulu!" tegur Pak Kasno saat melihat istrinya masih membereskan abu sisa kayu bakar."Jangan terlalu diforsir tenaganya. Dari sebelum subuh belum istirahat, lho." Pak Kasno melanjutkan ucapannya seraya menatap lekat istrinya.Mak Siti menoleh tersenyum. "Iya, Pak. Biar mak cuci tangan dulu." Mak Siti lalu menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan debu yang menempel lalu gegas ke kamar mandi mencuci tangan.Suami dan putrinya sudah menyuap sarapan saat Mak Siti menghampiri amben. Ia menarik dingklik dan duduk di sana, sedang suami dan putrinya duduk di atas amben.Pak Kasno menaruh piringnya, lalu mengambil piring kosong dan menyendokkan nasi untuk sang istri. Menambahkan tempe goreng dan urap di atasnya."Ish, kenapa jadi Bapak yang layani mak, sih," cetus Mak Siti tak enak hati.Pak Kasno tersenyum menyodorkan piring ke istrinya. "Sesekali nggak apa. Perempuan yang sudah pontang panting dar
NASI BERKAT 39"Assalamualaikum!" Mak siti mengucap salam seraya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah."Waalaikumsalam," sahut Erna dari dapur terdengar sayup-sayup.Ternyata Erna sedang memindahkan nasi aron ke dandang untuk dikukus. Gadis belia itu dengan cekatan melakukannya. Mak Siti memang mengajari putrinya untuk bisa apa saja sedari kecil. Agar kapan pun ia tidak ada Erna bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa merepotkan orang lain."Biar mak yang naruh di tungku, Nduk. Berat itu," ujar Mak Siti mengayunkan kakinya mendekati Erna lalu menaruh keranjang di lantai begitu saja."Lekas salat subuh, nanti gantian sama mak!" titah Mak Siti yang langsung diangguki Erna.Gegas Erna meninggalkan dingklik yang sedang ia duduki di depan tungku dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Mandinya nanti setelah selesai salat saja pikirnya, karena udara yang terasa sangat dingin menusuk tulang.Dengan cekatan Mak Siti mengangkat dandang dan menaruhnya di tungku paling depan. P
NASI BERKAT 38Sebelum subuh Mak Siti sudah bangun. Ia menoleh ke samping menatap sang suami yang masih pulas dalam alam mimpi. Berucap syukur sudah diberi tidur nyenyak dan umur panjang. Dengan perlahan menurunkan kakinya dan duduk di tepi pembaringan. Merapikan rambut dan menyanggulnya.Tempat pertama yang dituju tentu saja kamar mandi. Usai menuntaskan hajat dan mencuci muka, Mak Siti melangkahkan kakinya ke dekat sumur untuk melihat sayuran yang ia letakkan di bakul. Ia menyunggingkan senyum saat melihat sayuran itu masih nampak segar.Mak Siti mengambil bakul berisi sayur tempuh wiyung dan sintrong yang sudah ia pisahkan untuk dimasak sendiri. Menyiramnya dengan air agar bersih dan segar lalu mengambil baskom kecil untuk menampung air tirisan dari bakul agar tidak becek di mana-mana.Saat menaruh di amben dapur, matanya menatap kayu bakar yang ia letakkan di samping tungku. Ternyata sudah mau habis."Tinggal sedikit kayunya," ucapnya
NASI BERKAT 37"Nggak gerah Pak Kasno pakai baju tebal begitu?" tanya Pak Rusdi menatap Pak Kasno risih.Pak Kasno tersenyum lalu menggeleng pelan. "Enggak, Pak. Biasa aja."Bapak-bapak yang lain lantas menatap Pak Kasno lalu sibuk mengobrol kembali. Sebagian besar dari mereka sudah paham kalau tubuh Pak Kasno tak sekuat mereka. Kadang justru lebih banyak sakitnya dari pada sehatnya.Hal pertama yang tetangga Pak Kasno tanyakan ketika bertemu bukanlah pekerjaan, tapi kesehatannya. Tubuh sehat menjadi hal luar biasa bagi Pak Kasno. Namun tak semua tetangga seperti itu, karena sifat orang pasti berbeda-beda."Nggak pantes banget tahlilan kok pakai baju kayak gitu," cibir Pak Rusdi."Mbok yang umum kayak yang lainnya," tambahnya lagi."Yang pakai baju Pak Kasno kok situ yang gerah sih, Pak." Bapak-bapak yang duduk di samping Pak Kasno menimpali ucapan Pak Rusdi yang menurutnya tak etis.Pak Kasno menghela napas pel