Nasi Berkat 9Mak Siti berjalan keliling kampung, menjajakan sayur dagangannya. Tiap orang yang ia jumpai di jalan, akan ditawarin sayuran hasil panennya sendiri.Ibu-ibu yang sedang menjemur baju, menyapu halaman rumah, dan yang sedang bercengkerama di depan rumahnya tak luput jadi sasaran Mak Siti.Namun hasilnya masih nihil.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang menyuapi anaknya di teras depan rumahnya. Mak Siti perlahan menghampiri. Sambil berjalan, tak lupa Mak Siti berdoa dalam hati semoga ibu itu mau membeli dagangannya."Lagi nyuapin, Bu?" tanya Mak Siti lembut.Ibu itu menoleh, lalu tersenyum menganggukkan kepala. "Iya, Bu, maunya makan di luar, gak mau kalau di dalam."Ibu itu mengamati Mak Siti lebih teliti. "Istrinya Pak Kasno kan, ya? Mak Siti?" Ibu itu bertanya untuk meyakinkan jika ia tak salah orang.Mak Siti tersenyum lembut. "Iya, Bu.""Pak Kasno kadang suka bersihin halaman belakang, suami saya kadang suka gak mau bersihin kalau udah capek pulang kerja. Libur mend
Nasi Berkat 10"Ehh, temen-temen, jangan ada yang mau beli krupuk Erna! Gak enak, kotor, jorok." Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, mencoba mengompori teman-temannya. Anak itu duduk di bangku kelas lima, itu artinya kakak kelas Erna.Erna yang sedang menawarkan krupuk dagangannya, seketika mematung.Anak-anak mulai berkerumun. Banyak yang berbisik-bisik, ada juga yang menatapnya tajam. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala.Entah punya masalah apa anak kelas lima itu dengan Erna. Tega sekali."Lihat, pakaiannya dekil, sepatunya kotor! Pasti krupuknya juga kotor."Merasa menjadi pusat perhatian, seketika hati Erna menciut. Dia menunduk, tak berani menatap teman-temannya.Setegar apapun, Erna tetap anak umur sepuluh tahun yang rapuh jika di bully.Air mata itu perlahan menetes, makin lama makin banyak. Tak hanya membasahi pipi, tapi juga seragam dan kerudung lusuhnya. Erna terisak. Berdiri dikelilingi teman-temannya, menangis sesenggukan. Tangan kanannya menggenggam erat pla
Nasi Berkat 11Sepulang sekolah Erna tak langsung pulang. Duduk termenung di bangku panjang depan kelasnya. Sesekali membalas sapaan temannya."Na, ayo pulang! Ngapain malah ngelamun di sini, pamali, udah sepi nanti kesambet," tegur Hesti teman sebangku Erna. Hesti lalu ikut duduk di samping Erna."Kamu sendiri ngapain malah ikut duduk? Bukannya pulang sana, nanti dicariin pak ustad lho, anak gadisnya belum pulang," goda Erna sambil terkekeh. Hesti teman sebangku sekaligus sahabatnya. Anak bungsu Pak Udin, guru ngaji Erna.Hesti yang sedang mengikat tali sepatunya lantas berhenti, duduk tegak dengan menyilangkan tangan di dada. Dengan wajah kesal, menyipitkan mata, menatap tajam Erna. Seolah berkata 'aku tidak suka'.Erna yang ditatap dengan tatapan mengintimidasi, bukannya takut malah terbahak-bahak melihat wajah sahabatnya itu yang terlihat menggemaskan itu menurut dirinya. Erna tertawa terbahak. "Kamu tuh ga pantes kalau marah, ga usah sok menggertak gitu deh!"Hesti mendengus kes
Nasi Berkat 12Mak Siti berjalan tergesa-gesa, merasa bersalah karena meninggalkan suaminya yang sedang sakit terlalu lama. Biasanya walau dalam keadaan sangat kekurangan pun Mak Siti tak akan tega meninggalkan suaminya sendirian dalam keadaan sakit. Merawat dan melayani sebaik mungkin. Pasrah kepada-Nya, karena yakin rezeki tidak akan tertukar, bisa datang dari pintu manapun.Entah apa yang ada di benaknya, begitu banyak kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi, membuat dirinya sejenak terobsesi untuk terus mengejar lembaran rupiah. Memang betul manusia hidup butuh uang, namun nyatanya ketika hanya dunia saja yang difikirkan, berapapun rezeki akan terasa kurang. Sedangkan ketika mengejar akhirat dengan sendirinya dunia juga akan mengikuti. Karena kuncinya adalah bersyukur, sekecil apapun rezeki akan terasa lapang jika disyukuri dengan penuh ikhlas."Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah," ucap lirih Mak Siti.Mak Siti berjalan dengan terus beristigfar dalam hati."Mak, Mak Siti!
Nasi Berkat 13Erna berhenti di samping amben yang terletak di bawah pohon rambutan depan rumahnya. Keadaan amben berantakan, sisa sayur yang di ikat Mak Siti belum dibereskan. Ada beberapa tali dari bambu juga.Menoleh ke samping rumah, pelepah dan daun kelapa berserakan. Keranjang yang ia gunakan untuk memanen sayuran tadi pagi juga tergeletak begitu saja.Pintu depan tertutup rapat, pun dengan rumah yang sepi membuat Erna heran. Tak biasanya seperti ini.Erna lalu berjalan ke samping rumah, mengambil keranjang yang tergeletak begitu saja di tanah."Tumben, rumah berantakan. Apa Bapak belum sembuh, ya? Ahh tapi tadi pagi udah mendingan kok," gumamnya sendiri.Mendekati pintu samping rumah, mulai terdengar suara orang tuanya, diselingi gelak tawa."Bapak sama Mak di rumah, sepertinya Bapak juga sudah sehat tapi kenapa rumah berantakan sekali," ucap Erna dalam hati.Erna lalu membuka pintu perlahan."Assalamualaikum," Erna mengucap salam. Meletakkan keranjang didekat pintu, membiarkan
Nasi Berkat 14Erna terus berlari, bukan rumah tujuan meluapkan lara hati. Tak ingin membebani orang tuanya lagi. Sudah cukup beban yang harus ditanggung Mak dan Bapaknya. Namun dia juga tidak bisa terus menerus menyembunyikan duka yang dirasa.Dengan nafas ngos-ngosan, Erna berhenti di pinggir pematang sawah. Dadanya terasa sesak karena terus berlari dengan derai air mata yang seakan enggan berhenti. Jantungnya bergemuruh. Membungkuk, kedua tangan memegang lutut dan mata terpejam rapat.Setelah sedikit tenang, Erna berdiri tegak. Memandang sawah hijau di depannya. Ada gubug kecil di pinggir sawah, dengan batu berbentuk persegi panjang di tengah gubug. Biasanya digunakan orang-orang untuk rehat santap siang dan berlindung dari sengatan matahari. Atau hanya melepas penat sebelum pulang ke rumah setelah seharian merjibaku dengan lumpur dan cangkul."Aarrrggghhhhhhhh ...." Erna berteriak kencang, berharap sesak didadanya lenyap. Air mata keluar begitu deras. Isak tangisnya sangat menyay
Nasi Berkat 15"Erna!" teriak Hesti panik.Dari kejauhan Hesti sudah bisa melihat Erna. Kaget melihat kondisi sahabatnya itu, Hesti berlari agar segera sampai. Tak dipedulikan kakinya yang tersandung batu dan berdarah.Erna duduk ditanah dan menangis meraung-raung. Tangan menggenggam rumput di kanan kiri tubuhnya dengan sangat kuat. Wajah dan rambutnya berantakan. Air mata seolah enggan untuk berhenti. Matanya sampai bengkak karena terlalu lama menangis.Hesti mendekap sahabatnya itu dari belakang. Ia ikut menangis, prihatin melihat kondisi Erna."Nyebut, Na. Kamu gak boleh kayak gini! Cerita sama aku, ada apa sebenarnya? Kenapa jadi kayak gini, Na?" cecar Hesti.Perlahan Erna mulai sedikit tenang, sudah tak menangis meraung-raung lagi. Namun sedu sedannya masih kentara sekali."Istigfar, Na. Kalau kamu kayak gini malah bikin orang khawatir," ucap Hesti lalu melepas dekapannya. Duduk di samping Erna. Sahabatnya itu masih diam membisu. Hesti tau, tak ada gunanya memaksa Erna berbicara.
Nasi Berkat 16"Assalamualaikum." Erna dan Hesti mengucap salam bersamaan.Mak Siti tergopoh-gopoh menghampiri mereka."Wallaikumsalam, ya Allah Nduk..., kamu dari mana saja, Mak Bapak khawatir!"Mak Siti memeluk erat putrinya, mengamati badan Erna dari atas ke bawah. Meraba seluruh badan takut jika ada yang sakit atau luka. Bahkan sampai menyuruh berputar kanan kiri seolah enggan terlewat barang sedikitpun badan Erna dari pengamatannya.Erna hanya terkekeh menuruti perintah Maknya. Sedang Hesti yang merasa geli, membekap mulutnya takut kelepasan tertawa. Bu Ida dan Pak Kasno tersenyum melihat tingkah Mak Siti."Erna, gak apa-apa, Mak. Gak ada yang hilang dari Erna!"Setelah berkata demikian, akhirnya Mak Siti berhenti memeriksa badan Erna. Memegang kedua pundak Erna erat, lalu menatap lekat."Beneran?""Hu'um," jawab Erna dengan mengangguk mantap."Yaudah, ayo masuk! Cerita semua sama Mak, jangan ada yang ditutupi apalagi sampai berbohong, Mak gak suka itu.""Iya, Mak!" Mak Siti men