Nasi Berkat 15"Erna!" teriak Hesti panik.Dari kejauhan Hesti sudah bisa melihat Erna. Kaget melihat kondisi sahabatnya itu, Hesti berlari agar segera sampai. Tak dipedulikan kakinya yang tersandung batu dan berdarah.Erna duduk ditanah dan menangis meraung-raung. Tangan menggenggam rumput di kanan kiri tubuhnya dengan sangat kuat. Wajah dan rambutnya berantakan. Air mata seolah enggan untuk berhenti. Matanya sampai bengkak karena terlalu lama menangis.Hesti mendekap sahabatnya itu dari belakang. Ia ikut menangis, prihatin melihat kondisi Erna."Nyebut, Na. Kamu gak boleh kayak gini! Cerita sama aku, ada apa sebenarnya? Kenapa jadi kayak gini, Na?" cecar Hesti.Perlahan Erna mulai sedikit tenang, sudah tak menangis meraung-raung lagi. Namun sedu sedannya masih kentara sekali."Istigfar, Na. Kalau kamu kayak gini malah bikin orang khawatir," ucap Hesti lalu melepas dekapannya. Duduk di samping Erna. Sahabatnya itu masih diam membisu. Hesti tau, tak ada gunanya memaksa Erna berbicara.
Nasi Berkat 16"Assalamualaikum." Erna dan Hesti mengucap salam bersamaan.Mak Siti tergopoh-gopoh menghampiri mereka."Wallaikumsalam, ya Allah Nduk..., kamu dari mana saja, Mak Bapak khawatir!"Mak Siti memeluk erat putrinya, mengamati badan Erna dari atas ke bawah. Meraba seluruh badan takut jika ada yang sakit atau luka. Bahkan sampai menyuruh berputar kanan kiri seolah enggan terlewat barang sedikitpun badan Erna dari pengamatannya.Erna hanya terkekeh menuruti perintah Maknya. Sedang Hesti yang merasa geli, membekap mulutnya takut kelepasan tertawa. Bu Ida dan Pak Kasno tersenyum melihat tingkah Mak Siti."Erna, gak apa-apa, Mak. Gak ada yang hilang dari Erna!"Setelah berkata demikian, akhirnya Mak Siti berhenti memeriksa badan Erna. Memegang kedua pundak Erna erat, lalu menatap lekat."Beneran?""Hu'um," jawab Erna dengan mengangguk mantap."Yaudah, ayo masuk! Cerita semua sama Mak, jangan ada yang ditutupi apalagi sampai berbohong, Mak gak suka itu.""Iya, Mak!" Mak Siti men
Nasi Berkat 17Bukan hidupnya gampang, namun hatinyalah yang lapang karena selalu bersyukur. Tuhan lah tempatnya bersandar dari hiruk pikuk dunia yang melenakan. Saling menguatkan satu sama lain agar tetap kuat. Berpasrah kepada-Nya setelah ikhtiar panjang yang dilakukan.Setelah memastikan semua pintu telah tertutup, dan mengecek kamar Erna. Membenahi selimut tipis yang menutupi tubuh putrinya untuk melindungi dari dinginnya malam. Mak Siti lalu bergegas menyusul suaminya yang lebih dulu masuk kamar.Duduk di tepi petiduran, dengan memangku bekas kaleng biskuit yang biasa ia gunakan untuk menaruh uang. Menghitung lembaran demi lembaran lusuh yang sangat berharga bagi keluarganya. Ada uang lima puluh satu ribu yang bisa ia kumpulkan hari ini. Mak Siti lalu merogoh bawah kasur untuk mengambil uang yang ia simpan disana.Pengalaman pahit yang keluarganya rasakan membuat Mak Siti bertekad menyisihkan uang walau hanya seribu rupia
Nasi Berkat 18Pak Kasno masuk ke dalam rumah, setelah punggung istri dan putrinya tak lagi terlihat dipandangan di ujung jalan.Duduk di kursi ruang tamu dengan segelas besar teh tawar hangat sebagai teman, yang sengaja disiapkan istrinya sebelum berangkat tadi. Menyalakan radio tuanya sekedar untuk menghilangkan keheningan pagi itu.Matanya menerawang jauh, mengingat kembali kehidupan rumah tangganya. Asam garam kehidupan telah ia rasakan. Begitu banyak ujian kesabaran dari segala penjuru arah. Bagai kapal kecil yang terombang-ambing ditengah badai lautan.Pak Kasno pernah ingin menyerah akan kerasnya kehidupan, tapi Mak Siti istrinya begitu sabar dan selalu menguatkan. Sebagai manusia biasa, Mak Siti pun merasakan lelahnya kehidupan yang ia jalani. Hidup ditengah keterbatasan dan kekurangan, tapi lelah dan keluhannya tak pernah ia tampakkan.Mak Siti juga tak menampik, dirinya tak luput dari salah dan dosa. Ada kala
Nasi Berkat 19Pasar masih lenggang saat Mak Siti dan Erna tiba. Bukan lapak di dalam pasar tempat Mak Siti menggelar dagangannya. Namun hanya mengemper di depan pasar. Harus membeli kios jika ingin berdagang di dalam pasar. Kalau tidak, minimal mengontrak selama setahun, dan itu butuh biaya yang sangat mahal.Mak Siti berhenti di samping pintu masuk pasar. Tempat itu dirasa cukup strategis untuk menjajakan dagangannya. Orang akan keluar masuk dari pintu itu. Beberapa orang juga sudah bersiap membuka lapaknya tak jauh dari tempat Mak Siti.Erna dengan cekatan membantu membuka ikatan tali pada sepeda. Saat menurunkan dagangannya tak sengaja Mak Siti melihat kaki putrinya yang telanjang."Sendal kamu kemana, Nduk?" tanya Mak Siti heran. Seingatnya tadi dari rumah masih pakai sendal lengkap. Saat istirahatpun ia masih melihat menggunakan sendal, tapi sekarang cuma pakai sebelah saja.Erna hanya nyengir saat Maknya me
Nasi Berkat 20"Heii, sedang apa disini?""Astagfirullah," Erna sampai terlonjak saking kagetnya."Eh, ini Pak, mmm gimana ya, anu itu." Erna yang masih kaget bingung ingin menjelaskan, alhasil hanya kata-kata tak jelas yang bisa ia ucapkan. Akhirnya dia hanya nyengir sambil garuk kepala yang tak gatal.Bapak-bapak berseragam oren itu mengernyitkan dahi heran. Alis hitamnya yang tebal sampai hampir menyatu.Erna memperhatikan Bapak itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saat melihat Bapak itu menggunakan sepatu boot dan sarung tangan plastik tebal, seketika sebuah ide muncul dibenaknya."Emmm, Pak, maaf, boleh minta tolong?" tanyanya pelan."Minta tolong apa, dek?""Boleh saya minta tolong ambilin sendal yang ada di tengah tempat sampah itu, Pak!" kata Erna pelan, tangannya menunjuk sepasang sendal yang tergeletak di tengah tempat sampah itu.Bapak berserag
Nasi Berkat 21"Permisi, Mbak!"Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan yang sedang berkutat di depan komputer mendongak karena mendengar ada yang memanggil. Ia lalu tersenyum manis dan menghampiri Mak Siti."Iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya."Mau beli obat, ini resepnya, Mbak!" ucap Mak Siti seraya menyerahkan selembar kertas berisi resep dari dokter. Kertasnya sudah lusuh karena sudah berkali-kali ia gunakan untuk menebus obat."Sebentar ya, Bu!" ucapnya dengan senyum yang menghiasi bibir, lalu meninggalkan Mak Siti untuk mengambil obat yang dimaksud.Mak Siti menanggapi dengan tersenyum mengangguk. Ia lalu duduk di kursi panjang disudut apotik untuk menunggu obatnya."Bu ..., ini obatnya!" seru gadis penjaga apotik itu."Iya, Mbak!" jawab Mak Siti. Ia buru-buru menghampiri gadis itu."Jadi berapa, Mbak?" lanjutnya lagi."Tuju
Nasi Berkat 22"Lagi banyak pesenan, Pak?" Tanya Pak Rusdi.Pak Kasno yang sedang membuat iratan bambu untuk besek menghentikan aktifitasnya, menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara."Pak Rusdi, mampir sini Pak!" jawab Pak Kasno, tak lupa ia menyunggingkan seulas senyum.Pak Rusdi mengangguk lalu ikut duduk di amben samping Pak Kasno. Pak Kasno merapikan bilah-bilah bambu agar Pak Rusdi lebih nyaman."Dari mana Pak?" Pak Kasno memulai obrolan."Dari rumah, Pak. Pengen jalan aja keliling kampung, bosan di rumah terus!" jawab Pak Rusdi."Oww. Maaf ya, Pak, ini ngobrolnya saya sambi bikin iratan," tutur Pak Kasno sedikit sungkan."Ehh, gak apa, Pak. Silahkan, saya temani boleh kan?" tanya Pak Rusdi."Boleh, Pak. Saya malah senang ada temannya. Kebetulan istri dan anak saya lagi ke pasar belum pulang."Obrolan mengalir begitu saja. Apap