Nasi Berkat 26
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika bisa saling mengerti. Apapun itu, karena terkadang hanya egolah yang sebenarnya bertahta atas segala kilah yang lidah lakukan.Keikhlasan yang begitu banyak orang gaungkan, nyatanya tidak sepenuhnya bisa didapat. Karena bukan hanya dengan kesabaran saja semua bisa selesai. Masalah yang utama sebenarnya adalah bagaimana bisa mengalahkan ego itu sendiri yang sudah merajai hati.Ya, ego tidak pernah jauh dari lelaki. Ibaratnya seperti kopi, seberapapun banyaknya gula, kopi tetap mendominasi. Gula akan larut, tapi pekatnya kopi tidak akan bisa hilang, begitulah ego.Rasa syukur itulah yang membuat orang bisa menikmati kopi. Ketika orang lain hanya bisa memandang kopi dengan segala prediksi. Maka sejatinya orang yang meminum kopilah yang benar-benar tau rasa kopi itu sendiri.Ketika rasa syukur itu hanya ucapan, bisa dipastikan sesuatu yang larut dalam kopilNasi Berkat 27Jantung Pak Kasno berdegub kencang, dahinya sudah basah oleh keringat dingin. Senter yang ia pegang di tangan kanannya sedikit bergetar. Perlahan ia arahkan sorot lampu senter kesekelilingnya.Dengan susah payah Pak Kasno menelan ludahnya. Mencoba menenangkan debaran jantungnya. Matanya mengerjab beberapa kali. Dalam keadaan gugup ia masih mencoba bepikir positif, barangkali hanya kelapa jatuh.Suasana pagi buta ditambah kabut yang lumayan tebal membuat jarak pandang terbatas. Pak Kasno hanya mengandalkan penerangan dari lampu senter yang ia bawa. Beberapa kali ia arahkan sorot lampu senternya disekitar pohon kelapa tapi ia tak melihat ada tanda-tanda benda jatuh."Gak ada apa-apa, apa aku salah dengar ya!" gumam Pak Kasno. Ia memegang tengkuknya yang mulai meremang."Jelas sekali tadi ada yang jatuh. Lah wong suaranya kenceng banget lho, jangan-jangan ...," Pak Kasno tak melanjutkan
Nasi Berkat 28"Jadi, tadi Bapak ketemu sama Pak Agus. Kemarin memang sempat ngobrol sebentar pas lewat depan rumah, trus mampir. Tadi ketemu di masjid, alhamdulillah masih rezeki, bejo mu Mak hehehe!" Pak Kasno terkekeh mengakhiri ceritanya.Melihat suaminya justru tertawa, Mak Siti makin mengerutkan kening. Apanya yang lucu coba, batinnya."Kok aku sing bejo, Pak?" tanya Mak Siti makin penasaran. Ia beringsut menghampiri sang suami dan duduk di sampingnya."Lho..., kurang bejo piye, kan ndak jadi nebang pohon bambu," ucap Pak Kasno sambil menoel hidung Mak Siti.Sontak saja hal itu membuat pipi Mak Siti merona merah, ia tersipu malu. Hal itu tak luput dari perhatian Erna yang sedang membereskan bambu, membuatnya melongo melihat tingkah kedua orang tuanya."Cieeee ... cieee ...., romantis!" goda Erna yang membuat Mak Siti tambah malu."Apaan sih, Nduk. Cah cilik tau tauan romantis sega
Nasi Berkat 29Pak Kasno berucap syukur sepanjang jalan pulang dari rumah Pak Rusdi. Senyum terus terukir dibibirnya. Seberapapun rezeki akan tetap ia syukuri, karena keluarganya pernah mengalami dititik lebih rendah dari ini, dan mereka bisa melaluinya.Rumah tangga Pak Kasno layaknya seperti yang lain. Pertengkaran itu selalu ada, karena tidak ada jalan yang selamanya mulus. Pernah jatuh, tersungkur, tersandung, mencoba berdiri tertatih. Itu semua bumbu dan hiasan dari rumah tangga.Ia selalu berprinsip untuk memaafkan dan meminta maaf. Pak Kasno bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, tapi ia tahu cara menyenangkan hati istri. Itulah kenapa rumah tangganya terlihat adem ayem.Mak Siti sama halnya seperti perempuan lainnya, yang terkadang ngambek atau merajuk. Pak Kasno tidak menanggapinya dengan amarah, tapi justru dengan candaan. Tidak akan habis jika meladeni perempuan yang merajuk, apapun itu akan dianggap salah, entah
Nasi Berkat 30"Mak, Mak tau gak ada yang meninggal. Tadi pas aku pulang udah ada bendera kuning diujung jalan," Erna berucap sambil tangannya sibuk memisahkan irisan cabai dengan pepaya muda yang dirajang kasar."Meninggal, siapa?" tanya Mak Siti sedikit kaget. Ia meletakkan pisau yang ia pegang dan menatap Erna serius.Erna hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Ia juga tidak menoleh sedikitpun, asik dengan tumis pepaya muda dipiringnya."Ck, ditanya kok malah koyo ngono to jawabane," sungut Mak Siti kesal."Tenanan iki, Nduk?" tanya Mak Siti lagi dengan sedikit menekan suaranya dan menatap putrinya itu tajam. Ia gregetan melihat Erna menanggapi ucapannya hanya dengan mengangkat bahu.Erna menaruh piringnya di amben, lalu menoleh menatap Maknya. "Yo tenan lo, Mak, masa ngapusi. Tadi aku buru-buru mau nanyain soal itu juga, tapi keburu Emak ngomel. Udah gitu perut laper," ucap Erna sambil nyengir dan
Nasi Berkat 31"Mak...," panggil Pak Kasno pelan.Mak Siti mengusap air matanya kasar, dan mendongak. Menatap wajah Pak Kasno dengan tatapan yang entah, sulit diartikan."Kenapa?" Pak Kasno bertanya sembari menggelar sajadahnya."Gak apa, Pak!" Mak Siti menjawab sambil menundukkan wajah, tak berani menatap wajah sang suami."Ora ilok ngapusi karo bojo!" Pak Kasno menatap lekat istrinya.Mak Siti mendongak, memberanikan diri menatap suaminya dengan senyum yang dipaksakan. "Salat dulu, Pak. Mak mau bangunin Erna, udah sore."Pak Kasno hanya menghembuskan nafas berat melihat sikap istrinya. Biarlah nanti malam tanya lagi. Berusaha khusuk dalam salat walaupun pikiran sebenarnya kemana-mana.***Semilir angin sore berhembus dari jendela kamar Erna yang masih terbuka. Membawa hawa dingin karena hari memang sudah senja. Ia meringkuk lebih dalam, memeluk guling usangnya dengan erat.Pekerjaan Mak Siti yang terpaksa ditinggalkan karena harus melayat kerumah Bu Jaya sudah rapi semua.Badan keci
Nasi Berkat 32"Mak, galah yang di samping gubuk, kamu yang benahi ya?" tanya Pak Kasno sesaat setelah masuk kamar dan mendapati sang istri sedang merapikan tempat tidur dengan sapu lidi kecil."Iya, Pak!" jawab Mak Siti singkat tanpa menoleh, masih mengibas-ibaskan sapu diatas kasur.Salah satu kebiasaan dan adab sebelum tidur yang selalu Mak Siti lakukan, selain wudhu dan dzikir serta doa sebelum tidur adalah membersihkan tempat tidur dengan sapu liidi kecil, khusus untuk tempat tidur. Hal itu juga ia ajarkan kepada Erna, dan hampir tiap hari selalu mengingatkan putrinya, takut lupa katanya.Pak Kasno mengelap wajahnya dengan handuk yang tersampir dibelakang pintu. Ia lalu mengambil kaos oblong dari lemari.Mak Siti yang baru saja usai membereskan tempat tidur dan duduk ditepi ranjang, menatap heran pada Pak Kasno. Pasalnya suaminya itu mengambil kaos yang sudah sangat lusuh. Bagaimana tidak, keteknya bolong, pu
Nasi Berkat 33"Nduk ...!"Mak Siti menghentikan langkah kakinya. Ia lantas menoleh kebelakang untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya. "Bude Lastri, tumben!" gumamnya lirih.Bude Lastri melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar Mak Siti mendekat. Mak Siti tersenyum tipis, lalu mengangguk. Perlahan menghampiri Bude Lastri yang berdiri di teras rumahnya."Injih, Bude, pripun (iya, Bude, gimana)?" Mak Siti bertanya sopan."Seko layat, to (dari ngelayat, ya)?" tanya balik Bude Lastri sambil menunjuk bakul kosong yang dibawa Mak Siti dengan dagunya.Bude Lastri orangnya memang sedikit ketus dan dingin. Namun sebenarnya orangnya baik. Dia tidak suka basa basi dan banyak omong."Iya, Bude. Bareng sama yang lainnya tadi," jawab Mak Siti."Tegalku panen telo jalar, mbok menowo koe meh ngasak. Wite yo hurung dijipuki, iso dijipuk gawe bibit, opo meh didol gawe sayur. Pinggir omahmu rung ditanduri to?" jelas Bude Lastri panjang lebar dan diakhiri sebuah pertanyaan."Alhamdulillah, ter
Nasi Berkat 34Mak Siti begitu semangat menggoes sepeda tuanya. Terik matahari seolah tak mempan dikulitnya. Walau keringat sudah bercucuran, tapi senyum diwajahnya tidak pernah pudar.Begitupun dengan Erna. Sepanjang jalan ia terus saja berceloteh. Apapun hasilnya nanti, yang penting mereka usaha dan optimis.Kebun Bude Lastri sudah dekat, terlihat dari adanya mobil pick up yang parkir di seberang kebun. Ya, jalan menuju kebun memang tergolong lebar. Cukup untuk mobil dan motor lewat. Walaupun akan menyulitkan jika hujan tiba, karena jalan jadi berlumpur."Udah deket, Mak?" tanya Erna dari boncengan belakang, kepalanya sambil melongok kedepan."Sebentar lagi, itu didepan yang ada mobil pick upnya!" jawab Mak Siti, dengan menunjuk mobil pick up dengan dagunya, yang tentu saja tidak bisa dilihat putrinya karena Erna duduk membelakanginya.Sedangkan Erna hanya manggut-manggut mendengar penuturan M