Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam.
"Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal.
"Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel.
Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.
Di area luar Bandara.
Azel dan Rose duduk bersandingan di kursi yang terbuat dari besi yang diapit pilar beton. Keduanya sedang menunggu Go Car yang sudah di pesan Rose.
Bermenit-menit menunggu, Azel mulai resah karena ia ingin segera pergi dari tempat itu. Azel menarik rambut merah panjangnya ke depan, guna menutupi wajahnya. Ia takut jikalau tiba-tiba ada paparazi lewat, maka mereka tidak akan mengenalinya.
Di saat bersamaan, di dalam bandara ada sekelompok orang yang membawa kamera sedang mencari keberadaan Azel. Beruntung sekelompok paparazi itu tidak menyadari keberadaannya, dan melanjutkan pencarian yang sia-sia di dalam bandara.
"Lama banget sih mobilnya?" Azel mulai lesu karena menunggu. Meskipun ia tipikal orang yang sabar, tapi menunggu selama itu tentu membuatnya lelah.
"Itu mobilnya." Rose menunjuk mobil sedan hitam, yang sedang berjalan melambat mendekati arah mereka.
Mobil sedan hitam yang mengkilap itu berhenti di depan keduanya. Seorang supir laki-laki mengenakan setelan jas hitam turun dan membukakan pintu penumpang.
Tanpa basa-basi, Azel dan Rose bergerak menarik koper masing-masing, lalu berjalan mendekati mobil sedan. Azel masuk ke dalam mobil lebih dulu, sementara Rose memasukkan koper mereka ke bagasi.
"Terima kasih," ujar Azel ramah kepada supir, sebelum ia memasuki mobil.
Azel sedang duduk di kursi penumpang dengan anggun saat seseorang tiba-tiba datang dan berteriak padanya.
"Turun!" perintah laki-laki yang tiba-tiba muncul.
Azel menoleh ke sumber suara. Ia menangkap wajah laki-laki yang berdiri dengan gagah di luar mobil. Dilihat dari tampang dan tampilannya, jelas jika laki-laki ini jauh lebih tampan dan berkelas dari supir tadi.
"Siapa kamu?" tanya Azel ramah.
"Turun!" perintah laki-laki itu lagi dengan nada yang sudah naik satu oktaf.
Azel merengut, ia kesal jika seseorang dengan sengaja mengabaikan perkataannya. Dan lagi, punya hak apa laki-laki ini? sampai-sampai berani memintanya untuk turun dari mobil yang sudah ia order lebih dulu. Dengan nada yang sama, ia berkata: "Aku tanya kamu siapa?" Azel ingin memastikan jika pria ini bukanlah paparazi.
"Punya status sosial apa kamu? sampai berani bertanya siapa saya," timpal laki-laki itu sombong.
Keluar suara decakan dari mulut Azel. "Saya ini ar," artis internasional lanjut Azel dalam hati. Untung saja ia ingat untuk berhenti bicara, jangan sampai indentitas yang dengan mati-matian dia tutupi malah dibongkar sendiri olehnya.
"Ar-ar apa? huh?" tanya laki-laki itu jengah. "Turun kamu, keluar dari mobil sekarang juga! Nggak usah banyak bacot!" Kini Laki-laki itu marah.
"Nggak mau turun, nggak mau keluar juga. Lagian ini mobil udah saya pesan duluan, punya hak apa kamu nyuruh saya turun?" Kini Azel juga disulut amarah karena laki-laki itu terus-menerus memintanya turun dari mobil dengan sangat kasar. Sampai mati pun ia tidak akan mengalah dan patuh dengan perkataan orang asing yang tidak punya sopan santun ini.
Laki-laki itu tertawa. Jenis tawa yang merendahkan. "Sejak kapan mobil pribadi saya menjadi mobil sewaan?" Tangannya berpegangan pada pintu mobil, tubuhnya merunduk, wajahnya mendekati wajah Azel yang ada di dalam mobilnya. Lalu ia berkata dengan sinis, "Dan lagi, apa kamu pikir supir online di luaran sana mampu membeli mobil mewah seperti punya saya ini?"
Azel meneguk ludahnya dengan susah payah. Bukan karena terintimidasi, melainkan karena jarak wajah keduanya terlalu dekat, hanya satu jengkal tangan. Dari jarak itu, ia dapat melihat betapa tampannya laki-laki ini. Sungguh definisi dari pria tampan dan mapan, dambaan semua wanita di dunia.
"Bukannya jawab, malah bengong. Hei! ... saya tanya mau berapa lama lagi kamu menatap wajah saya?"
Perkataan laki-laki itu membuyarkan lamunan Azel, lalu ia berkata. "Aku nggak akan turun! terlepas dari ini mobil kamu atau bukan. Karena saya sudah naik, kamu harus antar saya sampai rumah." Azel menebalkan muka saat mengatakan itu.
Laki-laki itu mengalah, ujung matanya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Ia menyesal telah membuang banyak waktunya untuk berdebat. "Karena saya hampir telat, kamu boleh ikut saya." Laki-laki itu masuk ke mobil. Gerakannya memaksa Azel untuk bergeser ke samping, bahkan tanpa diminta.
"Jalan." Laki-laki itu berkata seolah-olah ia adalah raja yang dengan satu kata dapat menggerakkan seluruh bawahannya.
Azel merasa malu sekali saat ini. Siapa yang sangka jika mobil yang ia naiki sekarang bukanlah mobil pesanan Rose. Melainkan mobil pribadi milik laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Pantas saja Pak supir itu bersetelan jas rapi, ternyata supirnya orang kaya.
Beberapa saat kemudian.
Sial!
Umpat Azel dalam hati. "Dimana Rose?" pekiknya tanpa disengaja, karena baru sadar jika bukan Rose yang sedang duduk di kursi depan melainkan laki-laki yang tampak seumurannya.
Laki-laki berjas itu menoleh Azel dan berkata "Maksud anda wanita rambut pirang sebahu tadi?"
Azel mengangguk sebagai jawaban.
"Saya memintanya turun saat kita masih di bandara tadi."
"Apa?!"
Azel terkekeh. Jemarinya mengusap lembut wajah glowing-nya. Bagaimana bisa ia melupakan sepupunya?
Rasa khawatir segera memenuhi kepala Azel, tanpa melihat keluar jendela terlebih dahulu, ia meminta Pak supir untuk menepikan mobil. Sayang si supir tidak merespon bak orang tuli. Dengan berat hati Azel memohon kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya itu.
Lalu laki-laki itu melambaikan tangannya.
Hebatnya, hanya dengan satu tangannya itu terangkat, supir itu langsung menurut.
Mobil sudah berhenti di tepi jalan. "Cepat turun!" ujar Laki-laki di sebelah Azel, sudah dapat dipastikan jika dia lah bosnya.
"Baik! turun ya turun, nggak perlu marah-marah. Galak banget jadi laki-laki. Aku berharap nggak punya jodoh kayak kamu, kasar!" Azel menekan satu kata terakhirnya. Ia membuka pintu, dan lekas bergerak keluar dari mobil itu.
"Terima kasih," ujar Azel sopan dengan senyuman tipis. Meski laki-laki ini galak terhadap dirinya, mengucapkan 'terima kasih' harus tetap ia lakukan sebagai orang yang punya tata krama.
"Sama-sama." Laki-laki itu mengukir senyuman lembut, menambah satu tingkat lagi nilai ketampanan-nya di mata Azel.
"Aku harap kamu nggak akan menyesal sudah berkata demikian." Tangan laki-laki itu menarik pegangan pintu mobil sampai pintunya tertutup rapat. Pak supir segera melajukan mobilnya, tanpa menunggu diperintahkan.
Semenit kemudian.
"Kesel!" Azel mengumpat, hampir semua kata-kata kasar ia sebutkan dan ditujukan untuk laki-laki tadi, dia pria kasar dan tidak punya hati.
Bagaimana tidak marah, gadis cantik itu diberhentikan di jalan tol. Ia di tinggal sendirian di sana. Tidak ada satupun mobil yang mau berhenti, walaupun ia sudah mencoba menghentikan mereka.
Azel menghela nafas kasar. Ia sadar bahwasanya jika dirinya sedang di jalan tol, supir bodoh mana yang mau berhenti hanya karena diberhentikan olehnya.
Jika laki-laki tadi orang baik, seharusnya dia mengingatkan dirinya jika mereka sedang di jalan tol. Azel menyesal, karena sempat kagum akan wajah tampan laki-laki itu. Percuma saja punya wajah tampan rupawan jika hatinya tidak sebaik wajah malaikatnya itu.
"Sial!!!" umpatnya keras.
"Aku harap Rose lebih beruntung dari aku." Azel menyerah. Ia membuka sling bag yang melingkar di pundaknya dan mengambil ponsel dari dalamnya. Ponsel yang baru ia beli beberapa hari yang lalu itu juga tidak berpihak padanya, dayanya habis. Bisa-bisanya daya baterai ponselnya habis di saat-saat Azel sangat membutuhkan kegunaan benda itu.
Azel merasa kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya ia lebih dulu khawatir pada dirinya sendiri sebelum mengkhawatirkan orang lain.
Berjam-jam Azel menyusuri trotoar jalanan tol dengan berjalan kaki. Meski sesekali ia sempat duduk berjongkok untuk istirahat sebentar.
Saat ia berhasil keluar dari neraka itu, Azel berdiri di tepi jalan untuk menghentikan sebuah taksi. Taksi berhenti di depan Azel dan tanpa basa-basi ia segera masuk ke mobil. "Green House Village bangunan nomor satu," ujarnya pada Pak supir taksi dan mobil itu segera melaju ke tempat tujuan.
Azel merasa terselamatkan oleh kesejukan udara di dalam taksi. Beruntung cuma kulit wajah dan lengannya kebawah saja yang gosong karena terpapar sinar matahari. Kalau ia mengetahui hal ini akan terjadi, tentu saja dirinya akan mengenakan jaket atau hoodie dari pada kemeja berlengan setengah ini. Ia juga bersyukur karena hari ini ia memakai sepatu kets dan bukannya high heels seperti biasanya. Kalau tidak, mungkin betisnya sudah meledak sekarang, karena high heels.
Beberapa jam kemudian, taksi yang dinaiki Azel sudah memasuki gerbang kediaman orang tuanya. Taksi berhenti di depan pintu utama.
Karena tidak punya uang tunai, Azel berniat untuk membayar supir taksi via transfer bank mobile. Tetapi ia baru sadar jika ponselnya habis daya. Azel pun bertanya "Bisa tunggu sebentar nggak pak?"
"Maaf, Bu?" tanya pak supir belum paham.
"Saya nggak ada uang kes, apa bapak bisa tunggu sebentar? saya akan masuk untuk mengambil uang dan kembali lagi untuk membayar ongkos taksinya," jelas Azel merendah.
"Bisa, dari pada Ibunya nggak bayar." Supir itu terkekeh di akhir.
Azel ikut tertawa kecil. "Kalau begitu, tunggu sebentar ya Pak." Azel melihat supir itu mengangguk sebagai jawaban. Azel pun bergegas turun dari mobil dan memasuki rumah.
"Selamat datang, Nona Azel." Sebelas pelayan di kediaman itu berdiri membentuk 2 barisan dan menyambut Nona mereka dengan serempak.
Azel berhenti sejenak untuk menanggapi mereka. "Iya, terima kasih atas sambutan kalian." Azel meneruskan jalannya untuk mencari keberadaan orang tuanya.
Tapi baru dua kali melangkah, ia kembali berhenti di tempatnya dan tersenyum kepada pria paruh baya di ujung barisan yang juga sedang melihatnya.
"Pak Ahmad, dimana Bunda?" tanyanya kepada laki-laki yang menjabat sebagai Kepala pelayan di rumah orang tuanya.
"Ada di ruang keluarga, Nona," jawab Kepala pelayan.
"Oke! terima kasih." Azel tersenyum lalu berjalan menuju ruangan keluarga, ia ingin segera meminta uang untuk membayar ongkos taksinya.
***
Ruangan keluarga berada di sebelah kiri ruangan TV. Sofa hitam serta meja kaca mengisi ruangan itu, tiga lemari kayu jati berisi buku dan foto-foto keluarga disusun sampai membentuk kotak, lalu terciptalah ruangan keluarga itu.
Ayah, Ibu dan kakak laki-laki Azel ada di sana. Begitu juga dengan Rose yang baru datang dan bergabung.
"Kenapa kamu pulang sendirian? Dimana Azel?" tanya Arumi kepada Rose yang baru saja duduk di sofa.
"Nggak tau, Bun. Tadi aku dan Azel salah naik mobil, terus waktu aku disuruh turun dari mobil, ternyata Azel malah di bawa sama mobil itu." jawab Rose kepada bibinya. Ia sudah beberapa kali menelepon Azel, tapi sepertinya ponsel sepupunya itu kehabisan daya, mati.
Mereka sekeluarga merasa khawatir kepada Azel. Takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada puteri mereka.
Sebagai Ayah yang begitu menyayangi putrinya, Satrio pun segera memberikan perintah untuk mencari Azel. "Azka, ajak Pak Sarwan dan anak buahnya untuk mencari adik kamu. Hari ini juga Azel harus ketemu. Kalau perlu! minta bantuan polisi," tutur Satrio tegas.
"Baik, Yah. Aku jalan dulu," Azka pamit kepada istrinya, Liona. Sebelum ia bangkit dan pergi dari ruangan itu.
Beberapa saat setelah kepergian Azka.
Arumi menatap sang suami dan berkata dengan cemas. "Kalau sampai besok nggak ketemu ... bagaimana kita bisa bertemu Pras dan istrinya untuk membahas pernikahan Azel."
"Pernikahan siapa, Bun?!"
Suara Azel menggema dan menyita perhatian semua orang untuk melihat ke arahnya. Ia dan Azka baru tiba di ruangan keluarga.
Kakak dan adik itu berpapasan saat keduanya sampai di ruang tv. Merasa di buru waktu, keduanya pun segera kembali ke ruangan keluarga.Saat keduanya sampai.Azel mendengar dengan jelas jika ibunya mengatakan perihal pernikahannya dengan cemas. Ia ingin bertanya soal itu. Namun saat melihat binar kerinduan di mata sang ibu, ia mencoba menepis dulu pertanyaan dan rasa penasarannya."Azelia." Arumi berdiri dari duduknya dengan senyuman lega. Wanita berhidung mancung itu merasa bahagia, karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat putrinya itu pulang kembali ke rumah. Ia tidak perlu lagi repot-repot video call dengan putrinya itu jika merasa rindu.Satrio sang ayah juga merasa senang melihat putrinya kembali dalam keadaan sehat. Rasa khawatirnya pun hilang saat itu juga.Azka kembali duduk di sofa, di dekat istrinya tercinta.Sebelum membaur, Azel mendeka
Suasana di ruangan keluarga terasa sedikit canggung saat ini. Kruyuk. Namun, suara perut Azel terdengar beberapa kali, membuat semua orang lepas kendali dan tertawa terbahak-bahak termasuk Rose yang baru saja tiba. Azel hanya menunjukkan cengiran kuda untuk menutupi rasa malunya. "Duh, putri bunda laper ya?" tanya Arumi basa-basi padahal sudah tahu jelas jawabannya lewat suara yang di hasilkan perut putrinya itu. "Iya..." Azel nyengir lagi. "Kalau begitu, kita makan dulu saja. Ngobrolnya dilanjut nanti setelah makan..." Kata Arumi lalu melihat Rose. "Rose pasti laper juga, kan?" ujarnya dengan senyum menyelidik. Rose tidak mengelak. "Hehe... Bunda tau aja," jawab Rose dengan tawa sedikit sungkan. "Kalau begitu." Satrio bangkit dari sofa. "Ayo! kita ke ruangan makan," ajaknya kepada istri dan anak
Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren."Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara."Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah."Baks
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren."Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara."Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah."Baks